Rabu, 11 November 2009

Prince Novel


Dulu, Penulis masih begitu muda untuk tahu apa itu yang namanya passion. Dulu, Penulis masih begitu naif untuk menentukan arah pilihan. Dulu, Penulis merasa bahwa hobi tak lebih hanya sekedar hobi dan tak layak berdiri di samping karier yang gemilang. 

Prince Novel
Sekarang, Penulis tidak peduli apa kata orang, Penulis menyukai apa yang saat ini Penulis kerjakan dan menikmati setiap prosesnya walau berjalan lambat layaknya "siput". Detik ini, Penulis mencoba merangkak, pelan tapi pasti, dan menentang dunia untuk fokus pada hobi dan berusaha untuk mengembangkannya menjadi sebuah pekerjaan yang menyenangkan. Memuaskan nafsu tak terbendung tentang yang namanya passion dan tujuan hidup--mimpi yang sekarang berusaha untuk diraih. Saat ini pula, Penulis sedang berusaha untuk menunjukan pada orang tua bahwa mimpi mampu membuat seseorang menjadi sukses tanpa harus menjadi orang lain yang itu-itu saja.

Ketika berharap menjadi seorang Penulis, diriku malah terdampar pada Teknologi yang sekarang berkembang pesat layaknya banjir bah yang tak mau repot-repot untuk surut. Kali ini Penulis memiliki dua motto hidup yang kadang tak bisa dimengerti orang lain: "Hiduplah seperti air yang mengalir" dan "Bila tak bisa meraih mimpi dengan berlari, cobalah dengan berjalan, jika belum bisa juga, merangkaklah karena manusia memulai perjalanannya dari sebuah proses."

Penulis saat ini sedang menempuh pendidikan di USU - Teknologi Informasi. Dan sedang masa galaunya skripsi. Berteman dengan teman-teman koplak lucu unik, yang berhasil membuatku mengenal yang namanya dunia karena mereka semua jelas-jelas tidak berasal dari dunia ini.

Me with Best Friend
Aku menyukai langit biru. Awan-awan yang menggumpal putih, mempercantik Bumi yang indah. Suara burung yang bernyanyi dikejauhan juga menjadi melodi sebuah orkestra yang sangat sinkron dengan seluruh alam.

Penulis mungkin terdengar sangat puitis, tapi sesungguhnya diriku tidak seperti itu. Aku hanya seorang manusia biasa yang suka menjelajah. Menjelajahi seluruh alam dengan kemampuan manusia. Mencoba menaklukan puncak gunung, walau sering tak berhasil. Berdiri di bangunan tertinggi, meski kaki gemetar. Tinggal di hutan dengan koneksi sinyal yang tak pernah nyambung dan pada akhirnya merindukan hiruk pikuk kota dan bantal gulingku--oh, kekasihku yang paling setia kawan! Juga berusaha untuk hidup di pulau terpencil tak berpenghuni yang jelas-jelas bikin mewek tak karuan.

Namun, Penulis jelas tak akan mampu lepas dengan yang namanya kertas dan pensil. Yep, jika Penulis mampu menikah dengan mereka, mungkin sekarang akan ada banyak sekali lembaran kertas yang usang karena habis Penulis coret dan gambar.

Penulis mengenal dunia tulis-menulis karena Sang Bunda yang tidak sengaja memberikan komik Doraemon muridnya yang dia sita pada Penulis--akar dari segala masalah ini. Masih SD kelas 2, Penulis sudah mengenal yang namanya Detective Conan dan mencintai Novel Terjemahan. Bukan maksudnya Penulis ingin menjelek-jelekan tulisan lokal. Banyak tulisan bagus seperti Supernova, Laskar Pelangi, 5 cm dan lainnya, tapi Penulis lebih suka dengan cara bercerita Novel Asing. Penulis tak tahu kenapa. 

Novel Terjemahan yang sudah dimakan oleh Penulis saat ini adalah: 
  1. Harry Potter - diperkenalkan oleh teman sewaktu ujian UN SMP dan jatuh cinta pada isinya. Untung saja Penulis lulus ujian. 
  2. Trilogy of Bartimaeus dan The Ring of Solomon - Jin luar biasa yang mampu membuat Penulis terbahak gila-gilaan. Penulis menjadi fans sang jin.
  3. Charlie si Jenius Dungu - Cerita kehidupan luar biasa tentang perjalanan anak manusia melalui diarynya
  4. Sherlock Holmes - Sedang berusaha menalar setiap katanya
  5. Arsene Lupin - Bila bertemu dengannya, katakan Penulis jatuh cinta.
  6. Eldest - Kata-katanya halus tapi tidak terlalu berat.
  7. The Lord of The Rings and The Hobbit : berat dan imajinatif

Lalu, seakan tak terbendung lagi, sejak SMP kelas 1, Penulis pun mulai bolak-balik Gramedia tanpa diketahui ortu, beli komik tanpa ada pemberitahuan kepada pihak orang tua. Kemudian sedikit demi sedikit, lemari buku Penulis sudah tak mampu menampung buku penulis lagi. Ibundaku tersayang memintaku menjual buku-buku itu, sayang sekali, Penulis tak berniat menjual selembar pun buku-buku itu. Itulah harta Penulis, lebih berharga daripada emas. Jujur, walau Penulis disuruh memilih emas dan buku untuk dibeli, Penulis akan memilih buku.

Kemudian saat kelas 2 SMP, Penulis mulai menulis cerpen. Tapi awal ketertarikan terhadap dunia tulis-menulis terjadi saat kelas 3 SMP, waktu mau tamat dan Ujian Nasional. Saat itu sahabat Penulis meminta Penulis menuliskan sebuah cerita dalam sebuah buku. Hasilnya adalah draft awal SPY, yang sekarang tetap menjadi kisah petualangan nomor wahid di hati penulis. Kemudian, judul-judul lain pun berkembang di tangan penulis: Second Life, Lova Alfa, StarBoy, Ocepa Kingdom, Amour Cafe, Killer Kid, Soul Doll, Hel, StarBoy, Charlie, Philia-Chiko, The Army of Earth, The Lost Kingdom, Derren dan Rai, An e-mail with Love, Don't Give Me Love, IMG, G-Class, The Flower Boy Next Door dan masih banyak lagi. Tapi, karena semua ditulis dalam kertas, Penulis tak memiliki kesempatan untuk mengetiknya.

Apabila ditanya pada Penulis, Penulis lebih ke genre Adventure dan Mystery. Tapi entah kenapa akhir-akhir ini malah lari ke Teen Fiction. Penulis juga kadang iseng menggambar para tokoh, kebanyakan dari mereka berwajah sama, maklum, Penulis tidak terlalu ahli. Walau begitu, Penulis berharap dapat memuaskan keiginan para pembaca. Penulis juga berharap agar para pembaca tak segan-segan memberi kritik agar penulis mampu memperbaiki diri sendiri.

Itulah sekadar cuap-cuap dari Penulis, semoga kita bisa saling mengenal.

Salam,

prince_Novel

Senin, 28 September 2009

StarBoy Eps 5

STAR BOY
by: Prince Novel
=====================================

Betapa buruknya diriku
Betapa hinanya kehidupanku
Begitu hancurnya harapanku
Tapi aku masih punya kalian, sahabatku

5.
Reon in the Past


Flo melipat tangan. “Nah, maukah kau mengatakannya pada kami?” dia bertanya dengan nada yang menurut Reon amat menjengkelkan. “Tolong ceritakan kenapa kau dipukuli Ayahmu.”
“Ayah membenciku.”
“Tidak. Bukan begitu,” potong Rudolph cepat. “Reon, dia tidak membencimu.”
“Terserahlah, aku tidak peduli apa namanya,” kata Reon menatap lantai. Rudolph membuka mulutnya, menutupnya dan membukanya lagi lalu ditutup lagi.
“Reon adalah seorang violis berbakat,” Rudolph berbicara dalam nada tenang yang getir. “Bakatnya sudah ada sejak dia berusia delapan tahun. Kemudian aku menjadi gurunya sampai kemudian dia keluar dari dunianya, tiga tahun lalu.”
“Kenapa?” kata Andrean refleks. “Padahal musikmu sangat indah loh. Kupikir itu adalah musik yang terindah dari perasaanmu yang paling dalam. Rasanya tenang sekali.”
“Sahabatnya meninggal karena itu,” kata Rudolph melanjutkan. Andrean berjengit, begitu juga dengan Esar. Flo menatap Reon yang dari tadi hanya menatap lantai. “Waktu itu, Reon...”
“Aku seorang Pecandu,” Reon menyambungkan perkataan Rudolph yang terpotong. “Sewaktu aku terkenal menjadi seorang violis, kehidupan glamour merusakku. Aku, hampir tiap hari, memakai barang haram, minum, merokok, berkelahi. Kau tidak akan tahu bagaimana rasanya ketika kau merusak tubuhmu sendiri. Tapi memang tubuhku sudah rusak, sih...”
“Reon, cukup. Itu bukan salahmu.” Rudolph memperingatkannya dan Reon kembali menutup mulut. Rahangnya mengeras.
“Apa temanmu itu meninggal karena over dosis?” kata Andrean lagi. Matanya menatap cemas pada Reon yang tidak menjawab.
“Aku tidak tahu. Reon tidak mau cerita apa yang terjadi pada Shan ketika kecelakaan itu. Shan tertabrak mobil. Namun dari autopsi mayat Shan... ditubuh Shan ada bekas suntikan, dia memakai obat pada saat itu. Jadi, kemungkinan besar, Shan dinyatakan bunuh diri atau tertabrak, atau juga...” Rudolph manatap Reon. “Polisi mengira Reon yang membunuh Shan.”
“Eh? Tapi dia tidak—”
“Memang tidak,” Rudolph manggut-manggut. “Walaupun Reon tidak mengatakan apa-apa pada saat itu, polisi juga tidak punya cukup bukti untuk menangkap Reon. Lagipula ketika kecelakaan Shan terjadi, terjadi hujan deras dan pelaku tabrak lari itu belum juga ditemukan sampai sekarang. Tidak ada yang bisa menjelaskan kronologis kecelakaan Shan.”
“Ayah menjadi paranoid sejak itu,” gumam Reon. “Dia mengekangku seperti burung. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan. Tapi, tidak masalah bagiku asal aku tidak kehilangan guruku,” Reon manatap Rudolph. “Dia menyalahkan Rudolph atas semua kesalahan dan menggantikan Rudolph. Jujur saja tingkahnya membuatku muak. Setelah Shan, Rudolph adalah sahabatku. Aku tidak punya tempat lain untuk bercerita kecuali padanya.”
“Aku tersanjung,” kata Rudolph tersenyum pada Reon. “Tapi sepertinya akhir-akhir ini kau tidak mau cerita lagi.”
“Soalnya...”
“Hm?”
Reon menggeleng. “Aku lupa mau bilang apa. Lupakan saja.”
Flo menggelembungkan pipinya. Dia duduk disampuing Reon dan merangkulnya. “Nah, sekarang kau puas kan? Jiwamu jadi tenang karena sudah bercerita kan?”
“Kau kira aku sakit jiwa?”
“Memang,” Alex setuju. “Kau lebih parah dari aku, tapi setidaknya tidak separah Flo.”
“Apa maksudnya ha?” Flo tersinggung. “Sori deh kalau aku tidak pintar dan mendukung dan membantumu terlalu banyak. Padahal kita teman sejak kecil.” Dia menambahkan sambil menggumam.
“Teman sejak kecil?” ulang Reon menatap Flo dan Alex secara bergilir. “Kau bisa tahan ya berteman dengan jiwa yang labil seperti Flo?” katanya pada Alex.
“Itu keajaiban.” Kata Alex membenarkan sok suci.
“Apa maksud kalian hah? Menyebalkan sekali!!”
Dan mereka tertawa bersama.
***

Love Love Love Eps 14


Love for you Love for my family Love for my friend


written by: Glorious Angel

helped by: Prince Novel


14.
Refan versus Richard’s Family + Drew


Grace memegang dahinya dan mencoba mengingat-ingat perkataan Refan sebelum berpisah dengannya hari ini. Sepertinya ada yang aneh dengan diri Refan. Dia tidak tahu apa, tapi yang pasti sangat aneh. Kalau saja kelima abang-abangnya tidak mengganggu tentunya dia bisa mendengar secara pasti Refan bilang apa.
Grace bangkit mengambil kamus bahasa Inggrisnya dan membuka kamus. Leidu... memangnya ada bahasa Inggris leidu? Kayaknya Grace baru dengar itu hari ini, deh. Tapi ternyata tidak ada kosakata leidu. Refan tadi sore bilang ih lei du, leidu atau apa, sih?
Grace mengacak rambutnya. Hari ini menyenangkan sekali. Dia bisa melihat ekspresi Refan yang seperti itu benar-benar lucu. Grace ingin melihat ekspresi yang lain dari Refan.
***
Beberapa jam lalu...
“Ich leibe du.”
Grace mengerutkan dahinya. Dia tidak mengerti. Leidu? Refan ngomong apa, sih?
“Leidu...?”
“Leibe du! Ich leibe du!” kata Refan lagi.
“Leidi du?” kata Grace heran, bingung.
“Leibe, Grace. Aisiteru.” Refan kelihatan putus asa sekali “Aku su—”
“JANGAN MACAM-MACAM, JELEK!”
Abang-abang Grace muncul kayak ninja. Mereka datang secepat kilat dan membentengi Grace sehingga Grace tidak bisa melihat Refan begitu juga sebaliknya.
“Apaan, sih? Aku mau ngomong sama Grace,” kata Refan. “Minggir.”
“Mana mungkin kami mau minggir!” kata Drew keras kepala.
“Apa tadi yang kau katakan pada Adikku yang paling cantik sedunia ini hah? Kau mau bergombal ya? Tidak akan kami ijinkan kau dengan bidadari secantik Grace. Langkahi mayat kami kalau mau dengannya!” kata Mark geram.
“Benar!” Daniel mengangguk setuju.
“Apaan, sih ini? Bang, ada apa?” kata Grace heran.
“Kim! Bawa Tuan Putri ke dalam. Jangan sampai Pangeran Serigala nyasar ini menangkapnya!” kata Harry cepat.
“Baik. Mari, Dek,” Kim menarik Grace masuk ke dalam gerbang rumahnya. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi Grace hanya mendengar Refan yang bilang. “Aku tidak akan kalah!”
***
Refan menutup bukunya. Dia tidak konsentrasi membaca. Pikirannya masih tertinggal di depan pintu gerbang rumah Grace.
“Heh, Nak. Kau ini masih SMP kalau mau pacaran tunggulah sampai kau berusia dua puluh tahunan. Masih sepuluh tahun lagi sebelum kau merasakan hal-hal seperti itu.” Kata Mark.
“Apa?”
“Benar. Kami tidak akan mengizinkan kau dengan adik kami.” Kata Harry.
“Aku tahu Grace menyukaiku.”
“Geer,” kata Daniel.
“Aku tidak akan kalah!”
Dia harus melakukan sesuatu pada kelima biang kerok pengganggu itu—kecuali Kim, sepertinya dia hanya ikut-ikutan saja. Dia juga memikirkan keberadaan Rachael yang mengganggu sekali, berisik, sok tahu... menyebalkan...
Refan menggertakan giginya.
Aku tidak mau kalah. Kalau aku kalah maka aku tidak bisa naik ke atas panggung dan mendapatkan tepukan tangan apalagi mawar merah. Tapi menghadapi kelima orang itu tidaklah main-main. Tidak boleh main belakang. Itu pengecut namanya. Aku akan menghadapinya secara langsung. Lima lawan satu. Huh, keroyokan... tapi tidak apa...
Aku akan mengalahkan mereka semua. Pasti!
***
“Hah? Hari ini kita pulang bareng lagi?” Grace terheran-heran ketika Refan menunggunya di gerbang sekolah. “Bukannya kau harus melatih anak-anak basket? Jangan sampai kau melipat gandakan latihan mereka lagi.”
“Ada urusan yang lebih penting dari basket. Lagian mereka bisa latihan sendiri. Aku malas meladeni mereka,” kata Refan datar. “Kelima biang kerok berisik itu ada di rumahmu kan?”
Grace mengerutkan dahi. “Lima biang kerok berisik?” ulangnya heran. “Maksudmu abang-abangku? Tega banget, sih, Fan! Itu kan abangku! Masa dikata-katai di depanku!” kata Grace kesal. Enak banget, sih mengejek-ejek abangnya. Huh! Tidak bisa dimaafkan.
“Jangan marah, dong!” kata Refan ikut-ikutan kesal sekaligus salah tingkah. “Aku ada urusan dengan mereka—maksudku abang-abangmu,” Refan memperjelas ketika melihat raut wajah Grace. “Mereka ada di rumah kan?”
“Ya kalau siang mereka pulang. Katanya makan siang di rumah. Memangnya ada urusan apa, sih?” kata Grace heran.
“Aku mau menantang mereka.”
“Heh? Buat apa?”
“Untuk mendapatkanmu tahu! Ayo cepat pergi! Aku udah nggak sabar membungkam mulut mereka!” Refan menarik tangan Grace yang mengerjap sambil terbengong-bengong.
Mendapatkanku? MENDAPATKANKU? Astaga! Refan suka padaku ya?
Nggak. Nggak. Itu pasti mustahil. Suara hatinya yang lain berbicara. Dia cuma mau menantang kelima abang-abangku. Dia tidak punya maksud sama sekali untuk berkata begitu. Aku salah dengar. Pasti begitu.
Tapi entah kenapa Grace semakin deg-degan ketika Refan sama sekali tidak mau melepas pegangannya dan tetap menarik Grace menuju rumahnya.
***
Harry, Mark, Kim, Evan, Daniel dan Drew menatap Refan dengan tajam tanpa berkedip. Rasanya mereka akan menelan Refan hidup-hidup. Grace sendiri takut melihat aura mereka yang tidak biasa. Mereka berenam menyambut Grace di depan pintu dengan tangan dilipat dan tubuh tegap yang siap tempur.
“Mau apa lagi kau datang kesini, hah? Belum cukup penjelasan yang kukatakan tempo hari?” Harry berbicara dengan nada datar membuat bulu kuduk Grace merinding.
“Belum. Aku menantang kalian dan akan kubuktikan aku bisa melakukan hal yang kalian suruh. Jika aku memuaskan maka kalian harus menerimaku,” kata Refan ikut-ikutan datar.
“Ini bukan permainan anak kecil,” kata Mark dalam. “Kau ini masih cencen. Kim, suruh Grace masuk ke dalam.”
“Aku mau disini. Kalian sebenarnya ada masalah apa, sih? Kok seram banget,” kata Grace menuntut. “Fan, ada masalah apa, sih?”
“Kemarin dia mengatakan hal yang tidak pantas untuk Tuan Putri sepertimu.” Kata Drew. “Masuk ke dalam, Grace. Ini urusan orang dewasa.”
“Refan dan Bang Daniel kan belum dewasa. Bang Evan masih delapan belas tahun! Itu juga belum dibilang dewasa!” kata Grace bersikeras. Daniel menyikut perut Drew. Payah banget kalo ngomong sama Grace.
“Ini urusan laki-laki kalau begitu. Anak perempuan nggak perlu ikut campur,” kata Daniel memperbaiki ucapan Drew.
“Aku mau tanya. Memangnya kemarin Refan bilang apa? Aku sama sekali nggak ngerti.” Kata Grace. Refan dan keenam orang itu melotot padanya.
“Kau tak tahu artinya?” kata Kim heran. “Dek, itu bahasa Jerman.”
“Yang aku tahu cuma bahasa Inggris doang! Jadi apa artinya?” kata Grace lagi.
“A—”
“Itu nggak penting. Dek, masuk ke kamar,” kata Harry dalam dan menatap Grace dengan tatapan sengit. Grace menciut dan segera naik ke tangga.
“Kalian membuatnya takut,” kata Refan melihat Grace yang membanting pintu kamarnya.
“Kau yang membuat kami takut, Anak Kecil. Kau keras kepala sekali. Ngeri rasanya melihatmu. Kau kayak bayangan yang membuntuti Grace kemanapun dia pergi, tahu.” Kata Mark.
Refan kesal. Tapi dia lebih memilih untuk diam. Jangan sampai dia membuat masalah jadi lebih buruk.
“Baik, begini saja,” Harry berbicara masih dengan nada dalam. Refan malah bisa melihat sosok Papanya dibelakang Harry. “Kalau kau benar-benar ingin mendapat izin dari kami maka kau harus diujiankan.”
“Ujian?” ulang Refan.
“Kau selalu mendapat nilai yang baik dalam tiap ujian kan? Maka tentunya tidak masalah kalau diujiankan. Setiap kali kau melakukan hal yang baik sesuai dengan perintah yang kami berikan maka kami akan memberimu nilai plus. Kami berhak mengurangi nilai yang kau dapatkan. Kau setuju?”
“Bagaimana dengan nilainya?”
“Oh, itu sih terserah oleh pemberi nilai. Mau memberimu nilai seratus atau seribu atau malah nilai minus. Kami berlima akan memberi ujian yang masing-masing harus dilakukan olehmu. Kalau kau tidak bisa, maka kau gagal.”
Refan menelan ludah.
“Baik! Aku terima!”
“Oke. Pertama-tama dimulai olehku.” Kata Harry. Dia pura-pura berpikir. “Aku ingin kau datang besok pagi karena besok hari Sabtu. Langsung saja datang ke halaman belakang rumahku ya?”
“Harry, memangnya kau mau membuat ujian yang bagaimana?” Mark bertanya setelah Refan pulang beberapa menit kemudian. “Kau yakin dengan begini bisa membuatnya jera.”
“Yah... kita lihat saja. Kalaupun dia tidak jera, setidaknya kita tahu dia benar-benar memiliki perasaan yang sama seperti Grace atau tidak,” kata Harry melipat tangan dengan pasti. “Kalian pikirkan saja ujian yang akan kalian berikan pada dia. Kalau bisa, bikin dia cepat jera. Sesekali mengusili anak itu boleh juga.”
“Benar!” kata Evan setuju.
***
Sabtu. Ujian Pertama.
Refan menatap perlengkapan yang sudah disediakan oleh Harry dilapangan. Ada meja, pisau, sendok, wajan, kompor, berbagai macam bahan makan dan sayuran, ember dan entah apa lagi. Evan dan Mark yang hari ini libur melihat barang-barang itu dengan dahi mengerut. Mereka sudah memperkirakan apa yang akan diujiankan Harry.
“Ujian pertama, memasak,” kata Harry melipat tangan.
Dahi Refan mengerut.
“Aku ingin kau memasak sesuatu dengan bahan yang sudah kusediakan. Kau tidak memakai dapur karena aku takut kalau-kalau meledakan dapur nanti. Nah, sekarang segera masak apapun yang kau bisa.”
Harry menyingkir dan segera kearah saudara-saudaranya.
“Kejam kau, Harry. Dia mana bisa masak,” kata Mark geleng-geleng kepala. “Tega banget, sih? Kalau nanti dia luka gimana?”
“Emang aku pikirin,” kata Harry cuek.
Mereka melihat Refan memegang pisau dan menatap pisau itu. Dia memegang tepi pisau—sepertinya berusaha untuk menguji ketajaman pisau itu. Dia lalu melihat sayur, melihat wajan, daging, kompor.
“Dia ngapain, sih? Lagi masa penyelidikan ya?” kata Evan heran.
“Mungkin dia sedang mengenal nama bahan-bahan.” Kata Harry mengangkat bahu.
“Yah... aku juga tidak meragukan kalau nanti dia meledakan kompor atau masakan gosong atau malah tidak ada yang bisa dimakan. Keasinan atau malah hambar.”
Tak tak tak tak tak tak tak tak tak tak tak tak.
Mereka bertiga mengerjap ketika Refan memotong bawang dengan cepat lagaknya koki profesional. Dia memasukan bawang yang sudah diiris itu ke dalam wajan dalam ukuran yang sama panjang. Dia lalu memotong cabai, daun sop, dan entah apa lagi dalam potongan cepat.
Crang... crang... bwosh!!
Refan membalikan tumisannya dengan cepat. Dia menggerakan wajannya sedikit dan membuat wajannya terbakar api. Harry melotot, bola matanya hampir keluar ketika Refan menyiram air dan memasukan helaian daging dan sayur ke dalam, garam, merica, kaldu dan bumbu-bumbu lainnya. Dia membaliknya lagi dan aroma yang tidak biasa tercium di lapangan.
“Wangi banget aromanya. Jadi lapar,” kata Evan memegang perutnya. “Iya kan, Harry?” Evan menoleh kesisinya tapi Harry sudah tidak ada disisinya. “Harry?”
“Dia ada disana,” kata Mark menunjuk ke arah pohon dimana Harry terpuruk dibawahnya. “Dia sama sekali nggak nyangka kalau Refan bisa masak. Harga dirinya terlanjur hancur.”
Evan terkikik geli. “Tahu rasa. Siapa suruh menyombongkan diri.”
Dalam waktu satu jam, lima hidangan berbeda sudah tersedia diatas meja. Semuanya ditata dengan cantik dan sangat mengundang selera.
“Yah... aku akan memberi nilai kalau manusia yang ada di rumah ini menyukai masakanmu,” kata Harry mencoba menekan rasa malunya. “Aku hanya akan memberi nilai pada salah satu kepribadianmu dengan nilai seratus lima puluh.”
Evan melotot. “Seratus lima puluh? Kau gila ya? Anak yang sifatnya jelek begini kau beri nilai seratus lima puluh?”
“Soalnya dia mirip aku,” kata Harry membela diri. “Tunggu saja penilaian orang terhadap masakannya. Apakah enak atau malah bikin orang keracunan.”
Refan tersenyum puas. Hehe, dia sudah mendapat nilai seratus lima puluh dalam waktu singkat, padat dan mudah. Ujiannya yang sama sekali tidak diperkirakan Refan. Kalau sama Refan sih urusan masak itu sebesar debu dipantai. Keciiiiiiiiiiiiiiiil banget.
“Aku pulang. Aduh, capek banget...”
Daniel memasuki rumah dan melemparkan tasnya yang berat ke atas sofa. Dia melepas sepatunya di pintu depan dan masuk setelah dia melepas kacamatanya. Indera penciumannya langsung merasakan aroma yang sangat enak.
“Masak apa, Har? Lapar nih, belum makan sama sekali,” kata Daniel melangkahkan kakinya ke dapur. Dia melihat makanan di atas meja dan bersiul kagum. “Tumben masak banyak biasanya cuma sedikit.”
Evan memberikan Daniel piring sambil tersenyum-senyum. Dahi Daniel mengerut heran sekaligus curiga. Belum pernah dalam sejarah kehidupannya kalau Evan mau memberinya piring dengan sukarela.
“Dicicipin, Dan,” Evan menyuruh Daniel duduk. Dia menyendokan makanan yang ada di atas meja ke piring Daniel dengan buru-buru.
“Ada apa-apanya kan?” kata Daniel menatap Mark yang tersenyum geli. “Kalian mau meracuniku ya?”
“Nggak kok. Makan aja. Dijamin enak.” Kata Mark menyendok nasi. “atau mau kusuapin, Dan? Aaaah... buka mulutnya.”
“Hentikan itu. Aku bisa makan sendiri,” Daniel mengambil sendok yang dipegang Mark. Dia menatap Refan yang ada di depannya. Daniel menyendokan makanan itu ke mulutnya dan mengunyahnya beberapa saat. “Kok rasanya lain?”
Harry tersenyum senang. Tamat riwayatmu, Anak Kecil.
“Enak banget!” kata Daniel mengunyah cepat. “Tahu aja kalo aku lagi lapar, Har. Sejak kemarin malam aku cuma makan roti doang. Pelit banget produsernya beli nasi bungkus!” Daniel mengambil lauk lebih banyak lagi. “Rasanya beda dari yang biasa, Har. Rasa jeruknya terasa banget. Resep baru ya? Kau menjadikan aku kelinci percobaan ceritanya, nih?”
“Jeruk?” Harry mengulang sementara senyumnya menghilang.
Mark dan Evan menahan tawa mereka.
“Aku mencium bau yang enak,” Kim datang masih menenteng kotak biolanya. Tadi pagi dia mendapat panggilan untuk latihan dan pulangnya baru sekarang. “Kebetulan aku lagi lapar.”
Evan memberikannya piring. Kim mengerutkan dahi.
“Kok aneh, ya?” kata Kim heran. “Rasanya enak, Dan?”
“Luar biasa!” kata Daniel dalam usahanya menelan makanannya.
Kim menyuap makanan yang ditawarkan Mark.
“Hm... excellent!! Harry bisa jadi calon isteri yang baik, nih. Enak banget!” kata Kim dengan polosnya. Mark dan Evan tertawa terbahak tapi Harry tidak.
“Katakan itu pada anak itu!” Harry sebal sambil menunjuk Refan.
“Eh?” Daniel dan Kim terbengong. “Dia yang masak?”
“Iya,” kata Refan mengangguk. “Ujian.”
“Diluar dugaan,” gumam Daniel tidak percaya.
“Kalau begitu kau harus memberinya nilai sempurna, Har. Masakannya enak banget tahu,” kata Kim tersenyum pada Refan. Refan balas tersenyum padanya.
“Ehm... ya... baiklah,” Harry menyerah. “Nilai seratus dua puluh kalau begitu...”
Kim bertepuk tangan. “Jadi berapa nilaimu sekarang?”
“Dua ratus tujuh puluh,” kata Refan datar.
Daniel terbatuk. Dia menatap Harry dengan tidak percaya. “Dua ratus tujuh puluh? Harry, kau gila ya? Nilaimu biasanya yang paling susah di dapat! Sekarang dia malah dapat dua ratus tujuh puluh dalam satu hari?”
“Biarkan saja. Harga diri Harry kan terlanjur hancur,” kata Mark lagi. Evan mengangguk setuju. “Selanjutnya aku yang akan mengujiankanmu.”
Refan menelan ludah. Lidah Mark yang tajam kayak pisau bisa membuatnya terpuruk. Sebenarnya dia lebih takut ujian bareng Mark ketimbang Harry. Dia tahu kalau Harry akan adil padanya, tapi Mark... selalu saja bisa membuat kupingnya panas dengan kata-kata yang amat menusuk perasaan. Kayak duri yang beracun.
“Kita ujian di ruang tengah aja sambil bersantai,” Mark merangkul Refan dengan ramah. “Kurasa kau pasti bisa melakukan ini dengan baik kok.”
Itu yang paling ditakutkan Refan. Ujian mudah justru adalah ujian yang tersulit.
“Nih, mainkanlah sebuah lagu,” Mark memberikan gitar pada Refan.
“Aku nggak bisa nyanyi,” kata Refan menerima gitar itu. “Aku cuma bisa main gitar.”
“Ya sudah. Mainkan saja lagu yang kau bisa,” kata Mark menopang dagunya.
Refan memetik gitar itu dan mendengarkan nadanya. Sudah disetel dengan baik. Ternyata dia salah menduga kalau ujian dengan Mark akan sangat buruk. Dia memilih satu lagu dan dia memilih lagu “Sempurna” milik Andra and the Backbone.
Suara gitarnya membuat Grace turun dari kamarnya walaupun dia sudah dilarang Harry. Bodoh amat, deh. Suara gitar Refan itu amat tidak biasa. Refan kelihatan amat menikmati permainannya begitu juga dengan orang-orang yang mendengar. Mark sesekali terdengar menyanyikan liriknya. Perpaduan yang sangat sempurna.
“Bravo!” Mark bertepuk tangan. Kim juga ikut-ikutan. “Nilai delapan puluh. Soalnya masih ada nada yang datar. Nah, ujian selanjutnya.”
“Ada lagi?” kata Refan.
“Tentu saja. Ini gampang kok. Aku cuma pengen mendengar kau melantunkan nada do rendah sampai do tinggi dimana C = do. Gampang kan?”
O-ow.
“Aku nggak bisa nyanyi.” Kata Refan mengulang kata-katanya.
“Aku nggak menyuruhmu nyanyi. Aku menyuruhmu melantunkan nada do sampai do lagi dimana C=do,” Mark mengulang dengan nada sebal. “Kalau kau tidak mau, nilaimu minus lima puluh.”
“Baik baik. Aku lantunkan,” Refan menyerah. Wuiih... Grace girangnya bukan main. Jarang-jarang Refan mau nyanyi di depan orang.
“Do,” Refan memulai. “Re. Mi. Fa. Sol.”
Daniel menganga. Mark melotot. Evan mengerjap. Harry memegang telinganya.
“Berhenti!” kata Mark. “Aku bilang lantunkan! Bukannya dibaca!”
“Sudah!” kata Refan. “Do. Re. Mi!”
“Nada datar semua,” komentar Kim. Dia tersinggung karena dia juga bergelutr di dunia musik. “Itu sih bukan melantunkan tapi menyebutkan satu per satu.”
“Lantunkan, Anak Bodoh!” kata Mark sebal. “Doremi aja nggak bisa! Masa main gitar bisa tapi bilang doremi nadanya sama dari do sampai ke do lagi. Pita suaramu rusak ya?”
Hal yang ditakutkan Refan terjadi juga.
“Nilaimu minus enam puluh!” kata Mark.
“Ap—? Aku kan tadi sudah bagus main gitar!” Refan protes.
“Ya dan aku sudah memberimu nilai delapan puluh. Sekarang kau gagal diujian kedua jadi aku memberimu nilai minus.”
“Tapi—”
“Membantah juri! Minus sepuluh!”
Refan terdiam. Sial! Nilainya berkurang dengan sangat cepat. “Selesai.”
“Kalau begitu berikutnya giliranku,” kata Evan.
“Tidak. Ini giliran Kim,” kata Daniel menyikut perutnya.
“Eh? Aku?” kata Kim. “Aku sama sekali belum memikirkan ujian untuk Refan,” Kim menopang dagunya sambil berpikir. “Um... begini aja, deh, ujian Refan main biola aja sambil melihat not balok. Refan bisa main biola kan?”
“Baca not balok bisa.... tapi kalau biola....” Refan menatap Evan yang berbisik keras-keras. “Kasih nilai minus.” Sehingga membuat Refan berkata. “Aku bisa! Pasti bisa!” urusan jelek atau nggak itu urusan belakangan, deh.
“Ah! Kalau begitu pakai biola ini saja. Aku malas naik ke atas,” kata Kim membuka kotak biola yang dia bawa-bawa dari tadi. Dia membuka kotak itu. Terlihatlah biola coklat yang cantik dan berkilat disitu.
“Biola baru, Kim?” tanya Evan. “Keren...”
“Ah, ini hadiah ultah dari Lo—tidak penting! Mainin aja!” wajah Kim merah padam. Evan merangkulnya.
“Lo? Lo siapa? Cowok, ya? Aku nggak sudi punya kakak ipar cowok,” kata Evan.
“Cewek, dong! Enak aja!” Kim menutup mulutnya. Mark dan Evan mengerubutinya. “Apaan, sih?”
“Seperti apa wajahnya? Cantik nggak?” kata Harry ikutan. “atau jelek?”
“Aku nggak akan bilang apapun. Lepaskan!” kata Kim.
Ngeok.... ngiiiik.... ngeeoook....
Grace memegang pipinya. “Gigiku ngilu.”
Evan dan Mark tertawa.
“Eh, Fan. Kalau nggak bisa main biola bilang aja! Kau pikir biola itu sama dengan gitar asal gesek aja,” kata Mark melihat hasil pekerjaan Refan.
Tung. Toing toing.
Mereka terdiam ketika salah satu senar biola yang tadi digesek Refan putus. Itu karena Refan terlalu keras menggesek karena sebal dengan perkataan Mark.
“AAAARGH!!!” Kim berteriak. Dia mengambil biola dari tangan Refan. Cepat sekali. Dia menatap Refan dengan marah. “Kau memutuskan senarnya! Nilaimu minus dua ratus!”
“Aku—”
“Tidak ada bantahan!” Kim memotong. Dia memasukan biolanya ke dalam kotaknya lalu menghilang menerobos saudara-saudaranya yang masih terbengong takjub. Mereka masih bisa mendengar suara pintu yang dibanting Kim.
Diluar dugaan justru Kim yang membuat Refan kehilangan banyak nilai.
“Selanjutnya aku!” kata Evan senang. Akhirnya kesempatannya untuk mengerjai Refan datang juga. “Aku dan Drew cuma memberimu satu ujian saja.”
Refan tidak senang sama sekali melihat senyum diwajah Evan.
“Yah... coba kau kerjain Papaku.”
JEDEGER. Refan terpaku kayak batu.
“Evan, itu mustahil,” kata Harry. “Masa kau menyuruh dia mengerjai Papa? Bisa dibunuh Papa dia. Anak itu kan bukan kau yang mudah saja mengerjai orang lain tanpa pandang bulu.”
“Aku minta ganti.”
“Aku nggak akan ganti,” Evan bersikeras. “Tapi kalau kau mau ujiannya ditambah boleh juga. Selagi menunggu Papa pulang, kau bisa mengerjakan soal yang kuberikan. Ujiannya selesai sampai Papa datang. Tunggu ya kuambil soalnya dulu,” kata Evan santai.
Kalau soal sih gampang.
Tapi saat Refan melihat soal yang diberikan Evan, Refan terpelongo.
“Itu soal yang sulit bahkan para professor belum bisa menyelesaikannya tapi ada seorang mahasiswa yang bisa menyelesaikannya.” Kata Evan.
“Siapa?” kata Refa.
“Aku,” kata Evan bangga.
“Tidak mungkin.”
“Walau jelek begini, aku seorang asisten dosen loh. Malah mau dinobatkan jadi dosen tetap malah. Jadi jangan melecehkanku ya, Anak Kecil.”
Refan melirik ke arah yang lain dimana mereka mengangguk-angguk.
Pantas saja waktu dia memeriksa seluruh isi rumah Grace ada buku-buku tebal. Ternyata itu buku-buku milik Evan yang mau diajarkan pada mahasiswa, ya? Mahasiswa mengajar mahasiswa.... benar-benar hebat...
***

Love Love Love Eps 13


Love for you Love for my family Love for my friend


written by: Glorious Angel

helped by: Prince Novel


13.
Aku...


Refan berulang kali memutar tubuhnya dan mencoba untuk tidur. Beberapa kali dia menutup mata, dan berulang kali dia membuka matanya kembali. Dia lalu duduk, menyingkirkan selimutnya dan bangkit dari tempat tidurnya. Dia menuju meja belajarnya dan membuka buku yang sempat dia baca.
Dia baru membaca sekitar lima baris kemudian menutup bukunya kembali. Apa yang dia baca sama sekali tidak bisa dia ingat. Mendengus sebal, dia mengambil bola basketnya yang terdekat dan memantul-mantulkannya ke lantai.
“Nak, apa yang sedang kau lakukan?” teriak Papanya dari bawah.
Refan berhenti memainkan bola basktenya. Dia melempar bola basketnya dengan asal dan menabrak tumpukan iPod koleksinya. Dia sendiri melompat ke tempat tidurnya dan buru-buru menutupi tubuhnya dengan selimut dan pura-pura tidur tepat saat pintu kamarnya terbuka.
“Loh? Tidur...,” terdengar suara Papanya yang kelihatan bingung. Refan mengintip sedikit.
Papanya memakai piyama dengan mantel panjang yang diikatkan di tubuhnya yang masih langsing dan keren untuk ukuran seorang Ayah. Refan buru-buru menutup matanya ketika Papanya menuju kearahnya.
“Selamat malam, Nak. Mimpi yang indah,” Papanya menarik selimut Refan dan menutupi bagian tubuh Refan yang tidak tertutupi Refan dengan sempurna. Dia mengelus rambut Refan dengan sayang dan mengecup dahi refan sebelum akhirnya dia keluar sambil bergumam, “Mungkin aku kelelahan jadi dengar suara yang aneh-aneh.”
Setelah pintu kamar tertutup, Refan menghembuskan napas lega. Sepertinya Papanya masih mengurusi pekerjaannya di kamarnya sehingga bisa tahu kalau Refan tadi yang main-main bola basket. Refan memutar tubuhnya dan melihat langit-langit kamarnya yang gelap tanpa
cahaya lampu. Terdengar suara burung hantu, walau samar-samar juga terdengar suara seseorang. Kelihatannya masih ada tetangga yang masih bangun.
Jam besar yang terdapat di ruangan tamu berdentang dua belas kali.
Udah jam dua belas, tapi mata Refan masih belum mengantuk. Dia memutar tubuhnya lagi, berusaha untuk tidak membuat suara yang berisik. Dia melihat lampu kamar tidur yang ada disisi tempat tidurnya.
Tek, Refan menghidupkan lampu itu tanpa sadar.
Tek, dia mematikannya lagi.
Tek.
Tidak akan kuserahkan adik kami yang paling manis sedunia padamu. Kau itu tidak pantas mendapatkan bidadari seperti Grace
Tek.
Berapa kali sih aku harus bilang kalau Rachael itu bukan pacar atau siapa-siapanya aku?
Tek.
Kalau kau tidak segera naik ke atas panggung, nggak bakal seru, Fan. Nggak ada tantangan. Cepatlah tampil di bawah sorotan lampu atau kau tidak akan pernah mendapat tepukan tangan, apalagi mawar merah...
Tek.
Aku ini ngapain, sih sebenarnya? Kenapa aku kesal dengan perkataan mereka?
Tek.
Bu, saya tidak mau jadi Pangeran kalau bukan Grace yang jadi Putih Saljunya! Aku maunya cuman samamu saja! Aku nggak mau yang lain! Titik!
Tek.
Kenapa aku bisa bilang begitu ya? Sebenarnya waktu itu aku mau bilang apa?
Tek.
'Su' apa? Tadi 'Ja' sekarang 'su'! Apa, sih? Ngomong yang jelas! Memangnya berapa kilo sih kalo bicara?
Tek.
Refan tersenyum kalau mengingat kejadian itu. Geli juga melihat ekspresi Grace yang marah-marah, kesal panik...
Tek.
saya tidak mencuri! Itu mobil Abang saya! Hanya saja, orang ini mengira saya pengemis! Kurang ajar banget kan, Pak? Masa uang seratus ribu dibuang-buang?
Tolong, ya... Rambut itu jangan dikibas-kibaskan. Memangnya cuma kamu yang punya rambut?
Tek.
Refan menutup matanya dan tertidur dengan pulas.
***
Refan berlari masuk ke dalam gerbang sekolah sambil melirik jam tangannya yang berkilat-kilat. Dia telat bangun—dan Papanya sama sekali tidak menolerir dia untuk tidak sarapan (“Gimana kalau kamu nanti sakit, hah? Papa juga yang repot kan?”)—jalanan macet dan dia terpaksa turun lima ratus meter jauhnya dari sekolah kemudian berlari karena waktu tidak sempat lagi.
Refan tiba tepat waktu di kelasnya. Dia menetralkan napasnya yang terasa sesak sementara dasinya ada di belakang, rambutnya berantakan—dia tidak sempat menyisirnya—dan kemejanya juga tidak rapi, tidak seperti biasa.
“Kapten, tumben telat,” komentar Faldo ketika melihat Refan masuk ke kelas. Anak-anak basket disekelilingnya cuma memasang tampang bingung.
Refan meletakan tasnya, dia duduk di tempatnya sambil merapikan penampilannya yang berantakan.
Terdengar suara ketukan di pintu kelasnya. Semua mata melihat kearah sumber suara itu, ada Grace—dan disampingnya ada Rachael, kelas langsung heboh saat melihat kedatangan mereka berdua.
“Cie.... ada pasangan datang kesini!” teriak Dhika dari ujung kelas.
Rachael tersenyum kecil.
“Ngapain kalian datang kesini? Mau pamer?” kata Faldo.
“Tolong jangan salah paham ya,” kata Rachael menatap Refan lalu tersenyum penuh kemenangan. “Aku datang kesini cuma untuk menemani Grace doang kok karena Grace sedikit ada urusan dengan kelas ini.”
“Benar-benar anjing penjaga,” kata Refan tidak peduli.
Anak-anak di kelas itu terdiam.
“Aku tidak peduli kau mau bilang apa, Fan,” kata Rachael enteng. “Tapi seperti yang kukatakan tempo hari, aku terima tantanganmu kapan saja kau mau.”
Grace dan yang lain sepertinya mulai menyadari ada yang tidak beres antara hubungan Rachael dan Refan. Lihat saja pandangan mereka yang saling bertemu dan kelihatan menakutkan. Sama sekali tidak bisa diketahui siapa yang paling marah dalam masalah ini.
“Aku dan Grace datang mau menagih hutang anak-anak kelas ini yang belum membayar ulang untuk acara Hallowen kemarin,” kata Rachael menegakan kembali tubuhnya. “Kalian ini, pestanya udah selesai tapi kalian masih punya hutang. Benar-benar memalukan.”
Anak-anak kelas itu mengeluh.
“Karena nanti Grace bisa kalian tipu dengan mudah jadi aku membantunya sedikit,” Rachael mengambil catatan yang dibawa Grace. “Um.. . Faldo, Dhika, Aroz, Sandy... ya, ampun Fan, ini anak-anak basket belum pada bayar.”
Anak-anak kelas itu menertawakan anak-anak basket.
“Cepat bayar!” kata Rachael tegas.
“Besok aja bisa kan?” kata Dihika.
“Nggak ada besok-besokan. Hari besok itu nggak ada habis-habisnya. Cepetan bayar. Tujuh puluh lima ribu aja payah banget bayarnya.”
“Ten,” Donny mendatangi Refan dan dengan tampang memelas dia berkata, “Ten, nggak punya duit, nih.”
“Terus?”
“Bayarin, dong.”
“Nggak.”
Refan membuka bukunya dengan tidak peduli.
“Nggak ada uang, nih, Ten. Anak kost kan nggak punya duit banyak. Plis dong, Ten. Ntar kalo aku punya duit aku balikin.”
Refan menghela napas. Dia mengambil dompetnya dan mengeluarkan uang seratus ribu. Mata Dhika langsung bersinar, tanpa menunggu izin, Dhika mengambil dompet Refan.
“Eh!”
“Wah, baru kali ini aku lihat ada dompet isinya uang merah semua. No biru, deh!” kata Dhika. Aroz dan Sandy berebut untuk melihat.
“Ten, pinjam duit ya.”
“Ap—hei! Itu uang jajanku!”
Tapi percuma saja. Anak-anak basket mendaftar dengan memakai uang Refan. Dan dengan santainya Rachael mencatat nama mereka satu per satu sambil tersenyum geli.
“Terserah kalian lah,” kata Refan cuek dan kembali membaca bukunya.
“Baiklah, Refan membayar buat sepuluh orang. Delapan ratur ribu. Lima puluhnya lagi buat bunga dan pajak karena telat bayar. Nggak apa kan Fan?” kata Rachael.
“Sudah aku bilang terserah kalian.”
Grace geleng-geleng kepala. “Ya ampun...”
“Oke, deh. Makasih ya, Fan. Yuk, Grace ke kelas selanjutnya.”
Refan mengintip sedikit dari bukunya ketika Grace dan Rachael melangkah pergi keluar kelas.
“Nih, Ten. Makasih ya. Entar kalo kami punya duit dibalikin deh,” kata Faldo memberikan kembali dompet Refan yang kosong. Dahi Refan mengerut.
“Mana sisanya?” kata Refan.
“Dua ratus ribunya buat kami aja, Ten. Belum makan sama sekali nih.”
“Oh, ya ampun....”
Refan geleng-geleng kepala sambil memasukan kembali dompetnya kesaku celananya.
***
Sepulang sekolah, Refan bolos buat latihan. Malas katanya dan akibat perbuatannya itu, anak-anak basket yang lain pada ikutan. Mereka semua langsung ngacir, hilang ditelan bumi ketika Refan berbalik dalam waktu kurang dari beberapa detik. Sebenarnya Refan tidak malas latihan, hanya saja badannya sakit semua. Kakinya senat-senut dari tadi karena kebanyakan lari—bukan berarti karena dia pemain basket kakinya selalu full sehat tapi tadi dia sempat jatuh waktu ngindarin palang. Huh, andai saja tadi yang lewat itu bukan anak-anak udah Refan hajar.
Refan mengerutkan bibirnya ketika dia menunggu selama sepuluh menit di depan gerbang karena mobil jemputannya belum datang-datang juga. Dengan berat hati Refan mengambil ponselnya dan menghubungi supirnya.
“Pulsa kartu prabayar Anda tinggal lima puluh rupiah. Anda tidak cukup untuk—”
Shit! Dia lupa isi pulsa!
Refan hampir saja melempar ponselnya kalau saja anak-anak basket nggak pada lewat di depan gerbang. Refan mengerutkan dahinya. “Heh! Mau kemana kalian?”
Anak-anak basket terpaku.
“Ehehehe, Kapten... kami mau menjenguk Aroz yang sakit!” kata Faldo cengengesan.
“Alasan nggak mutu,” kata Refan. “Aroz ada dibelakangmu tahu.”
Aroz menempeleng kepala Faldo. “Tega ya doain gue cepat mati.”
“Latihan sana!” kata Refan mengecak pinggang.
“Kapten sendiri nggak latihan,” kata Sandy membela diri.
“Aku kan udah bilang kalo aku malas. Kalian itu beda. Latihan sebulan, drible aja nggak becus. Latihan sana!” kata Refan lagi.
Ogah-ogahan, anak-anak basket kembali melangkahkan kaki memasuki gerbang sekolah. Tapi Sammy tiba-tiba mendapat pencerahan sehingga dia kembali pada Refan.
“Apa?” kata Refan saat Sammy merangkulnya. “Jangan pegang-pegang. Nanti pacarmu si Sandy itu marah.”
“Najis!” kata Sammy melepas rangkulannya. “Siapa yang mau pacaran sama dia. Ten, kami lapar. Kita makan aja dulu ya? Baru deh latihan.”
Seakan bisa membaca pikiran Sammy, anak-anak basket ikut-ikutan nimbrung dan mengerubuti Refan.
“Iya, Ten. Lapar, nih.” Kata Donny dengan mata berbinar. “Lapar.... lapar banget....”
“Ntar aku kena busung lapar....” Aroz nimbrung. “Ntar perutku buncit... entar aku kyuruss... terus...”
“Makan sana di kantin. Lebih murah—”
“Tapi nggak higienis!” potong Dikha cepat. Dan dia mulai membujuk Refan. “Kapten sendiri nggak pernah sudi makan di kantin. Ayo, dong, Ten, kita makan di resto atau cafe. Aku tahu resto yang enak dan bersih,” Dikha sengaja menekan kata bersih untuk membuat Refan luluh. “Banyak makannya lagi, Ten. Lagian dari tadi Kapten nungguin disini tapi jemputannya nggak nongol-nongol. Bareng kita aja gimana, Ten?”
“Panas, Ten. Entar item, lagi,” Lev mengangguk-angguk setuju sambil mengangkat tangannya menutupi wajah. “Sinar matahari menyengat kulit. Nanti bisa kena kanker kulit.”
“Benar tuh,” kata Biyon angkat bicara ketika Roy menyikutnya. Ilham cuma manggut-manggut. Mau bohong atau nggak terserah, deh. Dia diam aja. Yang penting dapat untungnya entar.
“Ya udah,” Refan menyerah. “Dimana?”
Yes, yes! Anak-anak basket tersenyum-senyum.
“Hezi Resto!”
Refan melotot. Gawat!
“Ayo, Ten!” dan mereka semua beramai-ramai menarik Refan tanpa mempedulikan Refan yang mencoba menolak. Sepertinya mereka tidak mendengar teriakan penolakan Refan.
“Selamat datang, Tuan Muda Refan.” Manajer Hezi Resto menyambut mereka langsung dari depan pintu. Dia sudah melihat Refan seratus meter sebelum Refan datang dan langsung membentangkan karpet merah di depan restoran. “Senang sekali Anda berkunjung kesini.”
“Eh?” anak-anak basket terbengong.
Manajer tua keriput itu membungkuk rendah pada Refan ketika mereka memasuki restoran dan dengan sangat hormat memperlakukan mereka.
“Kami akan menyiapkan ruangan VIP untuk Anda, Tuan Muda Refan.”
“Kami?” kata Faldo menunjuk teman-temannya yang mengangguk setuju.
“Yang biasa saja,” kata Refan melewati bangku-bangku pelanggan wanita yang menatapnya dengan takjub. “Mereka ikut denganku.”
“Benar,” kata Lev. “Soalnya Kapten Refan yang bayar iya kan, Ten?”
Refan berhenti dan menatap Lev. Lev langsung menciut. Tapi sayangnya, Lev didukung anak-anak basket yang mengangguk penuh harap.
“Beri mereka apapun yang mereka mau. Aku yang bayar.”
“HORE!!!”
Sial! Tahu gini aku latihan aja! Uang habis, pulsa limit, nggak dijemput sekarang malah terjebak sama orang-orang bodoh! Uh, ya ampun!
Refan tidak berkomentar saat semua hidangan di letakan ke meja mereka dan semuanya habis di makan anak-anak basket. Refan cuma makan roti doang dan segelas jus hangat—hidangan spesial, katanya tapi rasanya biasa saja.
“Kita sering-sering aja ke sini. Pasti gratis!” kata Ilham dengan polosnya.
“Makan gratis, keluar bayar dodol,” kata Dikha.
“Berapa?” tanya Refan menatap menejer Resto.
“Oh, tidak usah Tuan, ini kan Restoran milik Anda. Mana mungkin saya minta bayaran. Tapi kalau Anda memaksa, semuanya ada di bon ini.”
Cih, dasar lidah ular! Refan membatin sebal. Dia mengambil dompetnya dan mengeluarkan kartu kredit dengan cepat. Anak-anak basket saling lirik dan memainkan mata.
“Kalian udah puas makan kan sekarang latihan!” kata Refan.
“Ngggh!” Dikha meregangkan tubuhnya. “Baru makan jadi ngantuk. Istirahat dulu, deh, Ten. Aku tahu tempat yang bisa dijadiin tempat istirahat.”
“Jangan memancingku! Latihan!” kata Refan sebal.
“Huah...” Lev menguap—atau Refan yang mengira begitu. “Sebentar aja, deh, Ten. Lima menit aja. Lagian baru makan langsung olah raga. Cuacanya kan panas, Ten. Agak mendung dikit aja Ten.”
“Iya, Ten,” kata Faldo menopang dagu. Roy berakting pura-pura tertidur di meja.
“Ya, sudah. Dimana?” Refan menggerutu. Dia tidak tega juga melihat Faldo.
“Darntian Rent.” Kata Sandy cepat. Anak-anak basket melotot padanya dan cepat-cepat mengangguk. Jarang-jarang bisa ke sana. “Enak, loh, Ten. Sejuk. Semangat bisa langsung naik jadi maximal.”
“Ya udah kita kesana,” Refan menyelipkan kartu kreditnya kedalam dompet dan mengikuti anak-anak basket yang berhehehe di belakang Refan. Jarang-jarang Kapten mau diajak jalan. Sekali-kali licik nggak apalah...
Ternyata Darntian Rent itu adalah tempat rental video. Mereka disediakan ruang khusus untuk nonton video. Dalam masalah ini tidak perlu ditanya siapa yang bayar karena Refan langsung mengeluarkan kartu kreditnya—lagi—ketika anak-anak basket menatapnya dengan penuh air mata. Mereka juga menyewa banyak film. Nggak kira-kira ada sepuluh.
Mereka menikmati filmya tapi tidak bagi Refan. Baru satu film aja dia udah tidur pulas. Dia memang nggak hobi nonton film. Untunglah. Soalnya lima film dibelakang adalah video porno yang sengaja disewa anak basket. Refan aja yang nggak tahu dan mereka bohong bilang kalau itu video tentang perkembangan akhlak manusia. Cih! Jijik!
“Ten, pulang yuk!” Refan bangun ketika Aroz mengguncang-guncangkan tangannya. Refan mengucek matanya yang masih kabur. “Bangun, Ten. Udah malam, nih.”
“Ha?” kata Refan sadar. Ruangan itu sudah terang benderang. Televisi sudah mati dan mereka memegang video yang sudah selesai ditonton. “Latihannya?”
“Besok aja. Ini udah jam sepuluh malam.”
Refan melotot. “Apa?” Refan melihat jam tangannya. Oh, Tuhan!
“Pulang yuk, Ten. Aku capek. Mau tidur. Kapten sih enak dari tadi tidur di sofa empuk. Lah kami kan di lantai.” Kata Ilham menguap. “Film tadi hot banget, deh.”
“Kalian...” Refan menggeram kesal. “KENAPA TIDAK MEMBANGUNGKANKU HAH?” anak-anak basket melonjak kaget. “KALIAN PIKIR AKU INI APA?”
Saling lirik bingung, anak-anak basket takut pada Refan. Sebenarnya kemarin malam Refan sudah mau marah-marah. Sekarang adalah saat yang tepat.
“Tapi, Ten—”
“NGGAK ADA TAPI-TAPIAN. MALAM INI KALIAN HARUS LARI LIMA KILOMETER! AKAN KUAWASI SAMPAI SELESAI!”
Film di tangan Sandy jatuh. “Kapten sudah gila ya?”
“YA! AKU GILA! TAPI KALIAN LEBIH TIDAK WARAS! SEKARANG LATIHAAAAAN!!!”
Anak-anak basket keluar sambil berlari. Ngacir. Saatnya kabur!!!
“OI! MAU KEMANA!” Refan berteriak.
“Pulang!”
Refan mengelus dadanya. Sabar, Fan... sabar... awas mereka... lihat aja besok... mampus kalian... huh...dasar...
Rrrrrr....rrrrr....rrrrr....
Refan memeriksa kantongnya. Tapi hapenya tidak ada. Dia mencari hapenya di dalam ruangan dan mendapati hapenya ada di dekat loudspeaker—tergeletak begitu saja.
Papa calling.
“Halo?” Refan mengangkat teleponnya.
“ADA DIMANA KAMU?”
Refan menjauhkan ponselnya dari telinga. Papanya berteriak seperti di lapangan bola.
“PAPA KHWATIR TAHU! SUPIR BILANG KAMU NGGAK ADA DI SEKOLAH! MENEJER HIZI RESTO BILANG KAU SEMPAT MAMPIR YA? PAPA UDAH BILANG KALAU KAMU HARUS MAKAN DI RUMAH! NAK, KAMU DENGAR TIDAK? HAH? HALO! HALO?”
Refan mematikan hapenya. Dia melepas baterainya dan memasukannya ke dalam tas. Kalau diomeli di hape bisa-bisa double capeknya. Lebih baik dia mendengar teriakan Papanya di rumah saja. Tapi... gimana cara dia pulang?
Sial! Aku kan nggak ada uang. ATM udah tutup. Mampus!
***
“Aku tahu kita salah... tapi nggak harus... kayak gini... penyiksaannya!!” Lev menggerutu ketika esoknya mereka disuruh Refan lari-lari keliling lapangan tiga puluh kali. Anak-anak basket sempat melotot dan protes tapi wajah sangar Refan membuat mereka bungkam. Alasan apapun sama sekali tidak ditolerir Refan bahkan pelatih pun sama sekali tidak bisa bicara ketika Refan bilang kalau dia sendiri yang akan melatih anak-anak basket dan memegang tanggung jawab penuh buat hari ini.
“Karena kemarin mereka tidak latihan, maka latiah hari ini dilipat gandakan. Tidak apa-apa kan, Pak?” kata Refan sambil tersenyum—tapi bukan senyum yang tulus. Pelatih hanya mengangguk saja. “Nah, karena biasanya keliling lapangan lima belas kali, sekarang jadi tiga puluh kali. Push up delapan puluh kali dan sit up enam puluh kali.”
“Tahu gini mending latihan deh kemarin.” Kata Ilham frustasi.
Refan sebenarnya selain kesal dengan tingkah anak-anak basket yang mempermainkan dirinya. Dia juga mau balas dendam. Karena ulah mereka uang jajan buat bulan ini habis dalam sekejap, semalam dia jalan kaki pulang ke rumah, sempat di kejar-kejar banci dan polisi yang mengira dia anak pengamen (Emang tampangku seperti gelandangan apa?), belum lagi sampai rumah dia diomeli sampai membuat gendang telinganya sakit dan berdenging.
“KAU INI MASIH ANAK KECIL!” Papanya berteriak kemarin malam dan tidak mempedulikan tetangga yang berteriak di samping, “Woi! Ini sudah malam!” lalu melanjutkan. “KAU PULANG JAM DUA BELAS DENGAN PAKAIAN SERAGAM! KAU PIKIR KAU SDUAH HEBAT YA? PAPA LIHAT TABUNGAN KAMU SUDAH BERKURANG DALAM WAKTU SEHARI! PAPA NGGAK AKAN KIRIM UANG JAJAN LAGI KALAU KAMU MASIH SUKA BEGINI! TUNGGU! NAK! PAPA BELUM SELESAI BICARA!”
Blak, Refan membating pintu kamarnya dengan tidak peduli untuk menyelesaikan masalah.
“KAMU ITU YA!! ORANG TUA SEDANG BICARA JANGAN LANGSUNG MASUK KAMAR! KEBIASAAN!”
Refan juga tidak bisa tidur. Peernya cuma selesai separuh. Ada buku yang tidak selesai dia baca. Dia juga berurusan dengan penjaga perpustakaan lagi. Ada Pecinrai dan Evol yang ikut-ikutan. Hari yang sial sejak kemarin dan dia ingin membalasnya sekarang.
“Istirahat dua menit,” kata Refan kembali ke tempatnya.
“KAPTEN TEGA!!” jerit anak-anak basket. Tapi Refan tidak peduli.
“Refan menggila ya?” Rachael bertanya pada Choki yang sedari tadi terbengong melihat kondisi anak-anak basket yang tidak beristirahat. “Bisa mati anak orang dia taruh. Sejak pulang sekolah sampai sekarang disuruh lari, sit up push up tanpa istirahat.”
“Istirahatnya cuma dua menit....” Choki geleng-geleng kepala.
“Biar aku tegur dia,” kata Rachael masuk ke lapangan basket. Refan masih mengambil handuknya ketika Rachael ke arahnya dan langsung mengalihkan pandangan—pura-pura tidak melihat Rachael. “Oi!”
“Semuanya berdiri,” kata Refan pada anak-anak basket. “Scot jump.”
Anak-anak basket terbengong.
“Ten, ini belum minum sama sekali.” Aroz protes.
“Nggak ada yang menyuruhmu berlama-lama. Scot jump.”
“Fan, mereka belum istirahat total, tuh,” kata Rachael menepuk bahunya. “bisa mati anggotamu kalau digituin.”
“Orang luar jangan ikut campur,” Refan menyingkirkan tangan Rachael. “Scot jump lima puluh kali. Yang bisa boleh istirahat setengah jam. Kalau berhenti ulang dari awal.”
Anak-anak basket menganga.
“Fan, mereka itu manusia,” kata Rachael lagi.
“Nggak ada yang bilang mereka robot,” kata Refan santai. “Laksanakan atau scot jumpnya kutambah.”
Anak-anak basket mengeluh. Tapi mereka toh melakukan hal yang diperintah Refan.
“Fan, latihan yang kau berikan terlalu berat.”
“Mereka nggak latihan kemarin.”
“Bukan berarti kau menggandakan latihan mereka.”
“Ini bukan urusanmu.”
“Memang tapi kau sudah kelewatan.”
“Jangan urusi masalahku. Kau urusi masalahmu dan aku mengurusi masalahku. mengerti?”
“Kalau sedang bad mood jangan dilampiaskan ke orang lain, dong.”
“Aku tidak bad mood. Aku akan bad mood kalau kau menggangguku terus.”
Grace mendatangi mereka berdua yang sudah mengeluarkan aura mengerikan. Dia menyeruak ke tengah-tengah, Refan dan Rachael melirik Grace yang tersenyum pada mereka berdua.
“Maaf, aku mengganggu,” kata Grace. “Tapi kuharap kalian tidak bertengkar.”
“Aku bertengkar atau tidak bukan urusanmu,” kata Refan datar. “Urus pacarmu jangan sampai dia mengganggu konsentrasiku.”
“Rachael bukan pacarku!” Grace hampir saja berteriak saat mengatakan itu. “Ya kan?” Grace melihat Rachael yang tersenyum.
“Tentu saja bukan. Tapi aku berharap kau jadi pacarku.”
Cuaca sudah sangat panas tidak perlu ditambahi lagi dengan tingkah mereka. Anak-anak yang masih di lapangan menonton dengan seru. Anak-anak basket nggak jadi scot jump, mereka terhenti ditengah-tengah usaha menghitung.
“Tolong, ya, ini lapangan bukan arena kencan,” kata Refan, dia berbalik menghadapi anak-anak basket lagi. “Ulang dari awal.”
“Ap—?” Lev menganga. “Tapi kami tadi udah sampai dua pu—”
“Tadi aku bilang apa?” kata Refan lagi. “Kalau berhenti ulang dari awal kan?”
Menggerutu. Anak-anak basket mengulang dari awal.
“Sifat Iblis Kapten kelihatan, ya?” kata Donny.
“Aku dengar itu. Tambah sepuluh lagi.” Kata Refan.
Sandy yang ada disamping Donny menempeleng kepalanya. “Bego!”
“Refan, udah cukup,” kata Rachael. “Mereka bisa kena dehidrasi,” kata Rachael. “Kau keterlaluan tahu.”
“Aku Kaptennya!” kata Refan tegas. “Jangan ikut campur urusanku!” Refan membanting bola basket di tangannya yang terpental ke atas sejauh dua puluh meter. Semua melihat kearah bola basket itu. Wah... Refan betulan marah.
Duk...
“AuuW!!!” Ananda memegang kepalanya yang baru saja terkena bolanya Refan. Dia jatuh pingsan dan ditangkap Pecinrai dengan sukses.
“Ananda...Ananda...? Pangeran.... Ananda pingsan.” Kata Yani panik menepuk-nepuk pipi Ananda.
“Lihat tuh akibat perbuatanmu,” kata Rachael.
Refan menggigit bibir. Tolong. Nggak. Tolong. Nggak. Tolong. Nggak! Nggak! Nggak! NGGAK BAKALAN!
Tapi malaikat di hati Refan rupanya masih hidup dan bersemayam dengan sukses.
“Latihannya sampai disini. Besok dilanjutkan,” kata Refan pada anak-anak basket. Anak-anak basket hampir saja melonjak kegirangan tapi tidak jadi ketika melihat wajah sangar Refan. Refan mendatangi Ananda dengan berat hati. Dia berjongkok dan memegang wajah Ananda.
“Nggak ada yang memar, kok bisa pingsan, sih?” kata Refan.
“Bola tadi mungkin kena bagian vital.” Kata Yani dengan mata bersinar saat melihat wajah cakep Refan dari dekat.
“Kalau begitu dia pasti udah mati,” kata Refan datar.
“Jangan ngaco, Fan!” kata Choki yang ada di lantai atas. “Kasih napas buatan!”
“Kasih aja sendiri,” kata Refan datar. “Bawa ke UKS.”
“Mana bisa, Pangeran,” kata Rati. “Ananda kan berat. Aauw!!”
Refan menatap Rati yang tersenyum-senyum memegang tangannya yang baru saja dicubit Ananda. Sebenarnya Ananda udah sadar dari tadi, tapi dia berakting. Refan melihat Sandy. “Sandy, angkat dia!”
“Capek, Ten. Istirahat dulu, ya?” kata Sandy.
Refan melihat anak-anak basket yang buru-buru mengambil minuman dan sibuk dengan keringat. Refan menghela napas. Dia mengambil tangan Ananda dan menggendong Ananda dengan gendongan ala Tuan Putri.
“CIEEEEEEEEEE!!” Choki berteriak. “Akhirnya luluh juga perasaanmu pada Ananda ya Fan? Kirain nggak sudi sama cewek kayak gitu.”
Terpaksa...
“Enaknya Ananda...” Rati mengeluh. “Gue juga mau.”
“Nggak berat, Pangeran? Ananda kan kayak godzilla,” kata Yani.
“Apaan, sih? Gue ringan tahu!” Ananda bangun. “Iya kan, Pangeran.”
Refan melepaskan pegangannya dan Ananda jatuh. Serentak anak-anak tertawa ngakak.
“Pangeran, tega deh!” kata Ananda memegang pantatnya. “Sakit kan... jorok lagi...”
Refan tidak menggubris. Dia berbalik ke lapangan. Anak-anak basket sempat terbengong-bengong jangan-jangan dia berubah pikiran. Tapi ternyata Refan cuma mengambil tasnya dan pergi dari situ secepat yang dia bisa.
“Suasana hatimu benar-benar buruk, ya?” kata Grace mengikuti Refan yang keluar gerbang. Refan menghapus keringatnya dengan handuk tanpa mengatakan apapun. “Aku tahu kau tadi nggak sudi menggendong Ananda,” Refan masih diam. “Hei, aku ngomong sama kamu tahu!” tetap aja Refan nggak menggubris. “Suaranya berapa kilo sih kalo bicara?”
Refan mengerutkan dahinya. “Kau pernah bilang hal yang sama ya?”
Hehe, ternyata dia mau ngomong.
“Masih ingat rupanya,” kata Grace. “Kalo bad mood sebaiknya cerita. Itu lebih membuat perasaan lega tahu. Kalo disimpan-simpan bisa-bisa meledak kayak tadi.”
“Apa maksudmu?” kata Refan. Alisnya terangkat. “Jangan mengintropeksi perasaan orang.”
“Memangnya kau orang?” kata Grace. “Kau kan bocah iblis, begitu kata abang-abangku.”
Refan mencibir. Dia menggaruk-garuk kepalanya. “Lama.”
“Nunggu supir ya?”
Refan mengangguk.
“Nggak bakal datang.”
“Kenapa?”
“Jalan menuju kesini ditutup. Mesti mutar dulu baru kesini.”
Refan menggaruk-garuk kepalanya lagi. Kesal.
“Aku duluan, ya,” Grace berjalan sendirian menuju kesisi jalan. Refan menunggu beberapa detik sampai akhirnya dia beranjak juga.
“Tunggu. Kita barengan aja.”
Refan mengejar Grace yang berdiri menunggunya.
“Memangnya kau tahu jalan memutar?” kata Refan.
“Tahu.”
“Kau itu kayak Pak Pos ya, tahu jalanan.”
“Jangan mengejekku,” kata Grace sebal. “Kau sendiri kayak komputer tahu semua isi buku dari cover depan sampai cover belakang. Tahu isi sinopsis, kata pengatar, lampiran, index, bahkan sampai halamannya.”
Refan ingin membalas, tapi tidak jadi.
“Apa? Tidak menemukan kata-kata untuk membalasku ya?”
“Aku haus.”
Grace mengerutkan dahinya. “Minum es aja mau nggak?”
“Nggak. Pertama nggak steril, kedua nggak enak, ketiga nggak baik untuk kesehatan makan es siang-siang bolong begini apalagi aku baru selesai olah raga.”
“Kebanyakan baca buku membuat otakmu jadi beku,” gumam Grace sebal. “Ya udah gini aja. Aku beli es kau minum air mineral.”
“Nggak adil. Masa dibedain kayak gitu.”
“Kan kau yang bilang nggak mau!”
“Aku bilang nggak bukan nggak mau.”
Grace mendengus dongkol. Dia menarik Refan memasuki salah satu swalayan. Udara AC itu sedikit membuat segar.
“Kau mau rasa apa, Fan?” kata Grace mencari ke dalam kulkas.
“Apa aja asal jangan sirsak.” Kata Refan datar.
“Nih. Bayar sendiri-sendiri ya,” Grace memberikan Refan es krim besar.
“Nggak usah. Aku traktir,” kata Refan menuju kasir. Dia mengeluarkan kartu kreditnya tapi Grace sudah lebih dulu menyodorkan uang lima puluh ribuan. “Apaan, sih?”
“Kelamaan tahu kalau pake itu. Nggak punya uang kontan ya?” kata Grace mengambil kembaliannya.
“Udah diperas anak-anak basket.”
“Kau terlalu baik, sih.” Kata Grace membuka bungkusan es krim punyanya.
“Punyaku kebesaran,” kata Refan protes pada Grace. Grace nyengir lebar.
“Kau kan nggak menentuin besar kecilnya tadi. Kau cuma bilang kecuali sirsak,” kata Grace membela diri. “Itu aja kok repot.” Grace menggigit es krimnya. “Udah makan aja. Kan ada sendoknya. Tinggal makan aja susahnya setengah mati.”
“Mana bisa aku menghabiskan ini sendirian!” kata Refan membuka tutup es krimnya dengan susah payah. “Rasa coklat, lagi... aku suka yang vanilla.”
“Tadi kau nggak bilang.” Kata Grace sebal. “Protes mulu sih. Mana aku tahu kesukaanmu apa. Udah makan aja napa?”
“Aku mau punyamu saja,” Refan mengambil es krim ditangan Grace. “Ini vanilla kan? Kau makan ini saja, biar kau nggak kurus.”
“Ap—”
Grace tidak membalas ketika Refan memakan es krim miliknya.
“Apa?” kata Refan cuek. “Nggak sanggup makan es krimku?” katanya lagi. “Kalau nggak sanggup nanti aku bantuin.”
Grace tersenyum. Refan mungkin tidak menyadari kalau mereka berciuman secara tak langsung. Grace mengambil sendok dari tangan Refan dan memakan es krimnya. Enak juga. Rasa yang disukai Grace. Grace cuma berjalan mengikuti Refan ketika mereka sudah melewati jalan sambil mengobrol.
“Bagi, dong,” kata Refan mengambil es krim Grace. “Lapar. Capek teriak-teriak tadi.”
“Ya udah, makan dimana?”
“Resto.”
“Disini nggak ada resto.”
“Terus?”
Grace menoleh kesana-kemari lalu tersenyum. “Makan gorengan aja, yuk.” Refan nurut aja ditarik Grace ketika mereka menyebrangi jalan menuju kesalah satu penjual gorengan. Refan menutup hidungnya ketika mereka ada di ditempat itu.
“Mau apa, Fan?”
“Apa aja.”
“Tahu isi, bakwan, pisang goreng, risol, tempe. Semuanya dua-dua ya, Mbak.”
Si Mbak tersenyum pada Grace lalu terpaku pada Refan. “Cakep pisan.”
“Apa katanya?” kata Refan menatap Grace. Grace mengangkat bahu. Pura-pura nggak ngerti aja lebih baik dari pada ditanya-tanya.
“Ini aja. Kartumu nggak berlaku,” kata Grace mengeluarkan uang sepuluh ribu. “Makasih ya, Mbak,” kata Grace pada si Mbak sambil mengambil bungkusan plastik itu. “Makannya dimana, Fan?”
“Terserah.”
“Ditempat yang adem aja kali ya,” Grace menarik tangan Refan lagi. Refan mengerutkan dahinya. “Disana cocok, Fan.”
“Jangan tarik-tarik aku. Aku bukan sapi,” kata Refan tapi dia tidak melepas pegangan Grace.
“Aku nggak bilang kau sapi. Kau yang bilang,” Grace membalas.
Refan mengerutkan dahinya. Grace tersenyum lalu mereka sama-sama tertawa.
“Ya, Tuhan. Kata-kata yang sama!” kata Grace.
Mereka duduk di bawah pohon di rumput. Grace membuka bungkusannya dan pertama-tama memberi Refan bakwan.
“Ini apa?”
“Bakwan.”
“Bentuknya aneh.”
Grace geleng-geleng kepala.
“Banyak minyaknya,” Refan memuntahkan makanan yang baru saja dia gigit sekali.
“Namanya juga gorengan.” Grace memutar matanya.
“Yang lain?” tangan Refan mengadah.
“Pisang goreng.” Kata Grace memberikannya pisang goreng.
“Kayak tangan orang,” komentarnya lagi. Tapi dia tidak berkomentar soal rasanya karena dia menghabiskannya. “Itu?”
“Tahu isi.”
“Ini baru sehat. Ada sayurnya.”
Ada juga hal yang positif dari tahu isi.
“Itu yang empat persegi?”
“Tempe goreng.”
“Tempe goreng juga dijual?”
“Namanya juga makanan rakyat.”
“Aku nggak mau makan itu. Yang panjang itu aja.”
“Ini risol. Ada sayurnya juga tapi—”
Refan memakan risolnya tanpa mendengar kelanjutan perkataan Grace.
“PEDAAAAAAAAAAAAS!!”
Refan mengibas-kibaskan tangannya ke depan mulutnya. “Apa, sih ini? Kok pedas? Katamu isinya sayur!”
“Aku belum selesai!” kata Grace mencari kotak es krim yang tadi belum habis dimakan Refan. “Ada beberapa risol yang isinya cabai rawit. Nih, makan es krim dulu. Aku nggak bawa air.”
Refan menggerutu sambil menarik kotak es krim yang disodorkan Grace.
“Lain kali beli pisang goreng sama tahu isi aja.”
“Iya, iya.”
Mereka melanjutkan perjalanan lagi. Refan masih mengeluh soal risol. Bibirnya yang merah semakin merah seakan terbakar. Dia berulang kali menghembus-hembuskan bibirnya.
“Nggak bisa makan yang pedas ya, Fan?” kata Grace heran sendiri.
Refan mengangguk. Tidak bisa berkata apa-apa.
“Pantas suka es krim.” Gumam Grace lagi.
Mereka sekarang sudah sampai di rumah Grace. Pintu gerbang itu tertutup rapat seperti biasa. Grace tersenyum dan mengucapkan terima kasih karena sudah diantar. “Makasih, ya.”
“Ada yang mau aku bilang.” Kata Refan menatap jalan.
“Apa?”
Cepatlah tampil di bawah sorotan lampu atau kau tidak akan pernah mendapat tepukan tangan, apalagi mawar merah
Refan menggaruk-garuk kepalanya. Jantungnya berdegup kencang semenatara keringatnya sudah mulai keluar sekarang. Refan menggigit bibirnya setelah membasahi bibirnya. Refan menghela napas dan menelan ludahnya.
“Kau ngapain, sih? Kayak mau ngomong sama hantu aja.” Grace melucu melihat ekspresi Refan.
“Aku... itu...”
“Ya?”
Ternyata dia bisa gugup juga mengatakan hal ini.
“Aku... sebenarnya... su—tidak—maksudku...” Refan menggeleng kuat-kuat. Dia menggaruk-garuk kepalanya dengan bingung.
“Apa, Fan?”
“Nggak. Nggak jadi.”
“Oh, ya udah. Aku masuk ya,” kata Grace membuka pintu gerbang. Dia hendak masuk ke dalam ketika Refan mengambil tangannya. “Fan?”
“Leibe du... ich... leibe du...”
Grace mengerutkan dahinya.
“Grace, ich leibe du.”
***

Love Love Love Eps 12

Love for you Love for my family Love for my friend


written by: Glorious Angel

helped by: Prince Novel


12.
Hallowen

Akhirnya setelah berhasil menyelesaikan pekerjaan Refan, Grace akhirnya dapat pulang juga. Sudah tiga jam lamanya dia telat pulang. Dia takut kalau abang-abangnya mengkhawatirkan keadaan Grace. Tapi, sepertinya mereka sibuk dengan urusan masing-masing, soalnya tidak ada tanda-tanda mereka mengkhawatirkan Grace. Menelepon ponsel Grace saja mereka tidak mau.
“Makanya, Fan. Lain kali jangan asal aja membuat tugas. Banyak begitu memangnya bisa dikerjain sendiri?” kata Grace pada Refan yang ada disampingnya.
Sebagai rasa terima kasih—emangnya Refan pernah merasakan terima kasih pada orang?—dia mengantarkan Grace pulang. Apalagi saat ini sudah sore. Bahaya cewek kayak Grace pulang sendirian.
“Aku tahu.”
“By the way, Fan. Kenapa kau nggak dijemput supir?”
“Aku mau jalan kaki.” Kata Refan melihat kearah sisi jalan. Grace mengangguk penuh pengertian. Sebenarnya, Refan bohong, dia sendiri juga heran kenapa dia menyuruh pulang saja supir yang tadi sempat menunggu di gerbang sekolah.
“Jalan kaki? Biasanya kau ogahan buat jalan kaki,” timpal Grace.
“Ya, aku juga heran kenapa,” kata Refan. Grace mengerutkan dahinya. “Tapi menurut buku biologi, berjalan itu sangat baik untuk kesehatan.”
Grace menggeleng perlahan. “Aneh.” Lalu dia tiba-tiba teringat sesuatu. “Oh, iya, Fan kau sebaiknya segera menyuruh anak-anak Osis buat ngumpul besok. Kita kan ada acara tahunan buat Hallowen.”
“Buat apa ada acara norak kayak gitu? Hallowen kan cuma ada di luar.”
“Biar seru. Tahun lalu kau nggak ikut karena nggak ada yang ngajak kan?”
“Hallowen kemarin aku ada di Inggris. Diundang makan malam sama Pangeran William.”
Grace melotot.
“Yang benar?” katanya tidak percaya.
Refan tersenyum kecil. “Bohong kok.”
Grace memonyongkan mulutnya. “Kirain makan malam betulan.”
“Papa memintaku membantunya mengurus perusahaan. Soalnya ada masalah disana.” Lanjut Refan. “Lagian kalaupun Pangeran William mengundangku buat makan aku tidak berniat. Aku kan bisa buat sendiri.”
“Buat sendiri? Maksudmu masak?” kata Grace dengan dahi mengerut. “Kau bisa masak?” katanya lagi tidak percaya.
“Kau sudah sampai.” Kata Refan menunjuk rumah Grace yang besar. “Masuk sana, jangan sampai kau dicari sama lima orang bodoh di rumahmu.”
“Terus, soal rapat Hallowen?” tanya Grace sebelum masuk ke gerbang.
“Itu urusan Choki bukan urusanku.”
“Tapi kau kan Pembantunya Choki. Harusnya—”
“Wakil Ketua Osis,” Refan menekankan. Sepertinya kata “pembantu” amat tabu baginya.
“Apalah. Choki kan lagi sakit.”
“Dia udah sembuh. Kamarin kulihat dia kencan sama teman ceweknya. Itu loh cewek berambut panjang yang sering mengekorimu itu.”
“Namanya Stevani.”
“Aku tidak peduli.”
Refan berbalik pergi, kemudian dia nyaris pingsan saat kelima abang-abang Grace muncul dari balik tembok dan menghadang Refan. Wajah mereka seram sekali.
“Bang, mau apa?” kata Grace heran saat melihat Evan—yang membawa pemukul baseball, Harry—yang mengecak pinggang sementara auranya kelihatan mengerikan, Mark—yang masih memegang gitar, tapi rasanya dia siap melayangkan gitar itu kapan saja, Daniel—melipat tangannya sementara wajahnya kelihatan jengkel, Drew—yang masih membawa koper kerja, dia mencengkram erat kopernya, dan Kim—hanya Kim yang wajahnya tidak menakutkan.
“Udah pulang, Dek?” tanya Kim sambil menaburkan senyuman menawannya.
“Udah, Bang,” jawab Grace dengan dahi mengerut. Kim kearahnya dan langsung menarik Grace untuk masuk ke dalam. “Loh, Bang? Mau dibawa kemana?”
“Sebaiknya kita tidak ikut campur sama urusan mereka. Refan belum dikasih makan, kita kasih makan sama-sama yuk.” Kim masih menarik tangannya.
Grace tidak ada alasan lain selain ikut saja. Dia menatap keempat abang-abangnya yang masih tinggal dan melambai padanya. Namun setelah Grace masuk dan tidak kelihatan lagi, wajah mereka kembali beringasan.
“Jadi, Anak Kecil,” Harry yang memulai. Rasanya ada tanduk yang muncul dari kepalanya. “Apa tadi yang kaukatakan pada Grace mengenai kami?”
Refan mengerutkan dahinya. Tidak mengerti.
“Kau mengatakan sesuatu yang menyakiti hati kami,” geram Drew.
Refan bingung. Masih belum mengerti.
“Kau mengatai kami bodoh tahu!” kata Evan sebal. “Tahu tidak, jangan berlagak sok pintar. Kau itu tidak lebih pintar dari kami! Nilai seratus saja dipamerin!”
Refan baru ingat kalau tadi mulutnya sempat kelepasan bicara. Dan hasilnya, tada.... mereka berlima muncul seperti ninja. Heran, kenapa rasanya mereka selalu muncul kalau Refan salah sedikit saja, tapi sama sekali tidak muncul kalau ada didekat Rachael.
“Anak Kecil—”
“Namaku Refan,” potong Refan datar.
“Ya. Kau. Aku tidak peduli kau punya nama Badu atau Budi atau Dodol atau Bodoh!”
“Namaku Refan,” Refan mengulang dengan nada jengkel. Abang-abang Grace selalu bisa menarik emosinya, entah dengan cara bagaimana.
“Apalah. Jangan sekali-sekali mengatakan kata makian itu di rumahku!” kata Harry. “Bukankah aku sudah mengingatkanmu sejak awal kalau kata itu sangat tabu?”
“Nggak, tuh,” kata Refan cuek sambil mengangkat bahunya dengan tidak peduli.
Harry menaikan alisnya, begitu juga dengan Daniel. Mata Evan sudah menyipit berbahaya, sementara Mark buka mulut duluan.
“Tengik Kecil, Kutu Busuk tidak berguna,” katanya berang, Harry menoleh kearahnya dengan tidak percaya, “Kau itu buat susah baik hidup maupun mati. Jangan harap aku tidak tahu rencanamu ya? Aku tahu kalau kau suka Grace. Seumur hidup tidak akan kuserahkan Grace yang manis padamu, Dasar Bocah Iblis!”
Refan protes, nada suaranya berubah menjadi berbahaya, dingin dan datar. “Aku tidak terima dikatai begitu.” Dia menoleh menatap Harry. “Kau bilang kalau tidak boleh ada kata makian di rumahmu, tapi coba lihat dia. Apa kau tidak bisa mendidik dia dengan baik?”
Mark menganga.
“Anjrit!” makinya sebal. “Kau tidak sadar kalau kau berhadapan dengan siapa, Kecil?”
“Mark, biar aku yang bicara,” kata Harry menaikan tangannya menghadang Mark yang hendak menyerbu Refan. Harry menatap Refan dengan sudut matanya dan berkata, “Seperti kata Mark tadi, tidak akan kuserahkan adik kami yang paling manis sedunia padamu. Kau itu tidak pantas mendapatkan bidadari seperti Grace.”
“Aku setuju,” Drew manggut-manggut sok suci. “Rachael lebih baik.”
“Iya. Setidaknya kepribadiannya tidak separah Bocah ini,” Evan setuju, hidungnya kembang kempis menahan amarah.
Refan mengepalkan tangannya.
“Aku tidak akan kalah. Akan kubuktikan bahwa aku lebih baik dari Rachael. Apa bagusnya anak kayak dia?” kata Refan. “Lihat saja, aku pasti akan membuat Grace menjadi pacarku. Aku yakin kalau dia akan menyukaiku.”
Daniel maju ke depan. Dia mencengkram kerah seragam Refan. “Jangan coba-coba untuk membuat adikku menangis atau aku akan membunuhmu. Ingat itu.”
Refan menyingkirkan tangan Daniel. Dia tidak mengatakan apapun dan menatap satu per satu abang-abang Grace yang baginya amat merepotkannya.
“Harry! Ada telepon!” terdengar suara Kim dari dalam. Hebat sekali baginya bisa berteriak dari dalam dengan suara yang keras. “Dari Amalie!”
“Oh, iya, iya aku kesana!” teriak Harry. Dia cepat-cepat masuk ke dalam tanpa mempedulikan Refan lagi. Sisa abang-abang Grace saling pandang dengan dahi mengerut.
“Amalie?” ulang Mark. Dia langsung masuk diikuti yang lain.
Refan menganga tidak percaya melihat mereka pergi begitu saja dan tidak mempedulikannya setelah marah-marah terlebih dahulu padanya.
***
Choki tersenyum-senyum keesokan harinya. Dia sudah kembali ke sekolah. Hore, ada kelegaan dalam hati Refan mengingat dia tidak perlu lagi berkutat dengan urusan para guru dan Osis serta anak-anak yang berisik. Namun tampaknya dia salah pengertian. Bagitu Choki masuk,
dia langsung menyuruh anak-anak Osis buat rapat membicarakan masalah Hallowen. Dia juga sama sekali tidak bertanya apa-apa saja yang dilakukan Refan. Malah dengan sengaja berkata pada Refan, “Harusnya kau memimpin rapat buat pesta dansa Hallowen, Fan. Gimana sih?”
“Aku tidak berniat berurusan dengan pesta apapun dalam bentuk bagaimanapun,” timpal Refan melipat tangannya ketika rapat dimulai pada saat pelajaran sekolah. Seperti biasa dia selalu cuek pada apapun. “Lagipula kenapa kita harus rapat saat pelajaran? Kau nggak bisa cari jadwal lain ya?”
Grace yang ada disisi Refan—dan diapit oleh Rachael disisi yang satunya—mengangguk setuju.
“Aku malas masuk. Lupakan soal itu dulu.” Kata Choki cuek. “Grace, aku mau tanya nih. Kau udah jadian dengan Rachael ya?”
Wajah Grace merah padam. Rachael buka mulut, “Nggak usah bahas yang begituan. Kita kesini buat rapat bukannya mengurusi masalah pribadi orang.”
“Jangan-jangan kau ditolak Rachael, iya kan?” kata Choki sambil nyengir.
“Aku ditolak atau diterima itu bukan urusanmu, Ketua Osis berisik,” kata Rachael sebal. “Kenapa sih kau selalu ikut campur urusan orang? Kemarin kau menghancurkan suasana pernyataan cintaku, sekarang malah pengen tahu aku ditolak atau tidak.”
Ananda mengibas-kibaskan kipas tangannya yang berbulu dan memain-mainkan bulu matanya yang lentik. “Choki, cepat minta maaf pada Rachael. Lo menyinggung perasaannya tahu.”
“Kok jadi aku yang minta maaf?” kata Choki heran.
“Karena kau yang mencari masalah,” timpal Dony.
“Benar. Kau itu sumber dari semua masalah yang timbul selama ini tahu,” Sandy membenarkan. Anak-anak Osis yang lain mengangguk setuju, kecuali Refan yang diam saja sambil melipat tangannya.
“Fan, bantuin dong. Kau kan Wakil Ketua Osis. Harusnya kau membantuku,” kata Choki pada Refan sambil memasang tampang memelas.
“Kenapa aku harus membantumu? Lagipula aku setuju dengan perkataan mereka. Selama ini memang kaulah biang kerok dan akar dari segala masalah. Waktu liburan kemarin kau juga berteriak sampai membuat gendang telingaku berdenging, belum lagi kau selalu ketakutan dan membuatku tidak bisa tidur, jatuh dari pohon-lah, nggak masuk sekolahlah dan kemarin aku diceramahi penjaga perpustakaan karena ulahmu yang meminjamkan surat keanggotaanku pada Rachael yang telat mengembalikan buku. Belum lagi harus mengurus guru-guru itu.”
Anak-anak Osis terdiam ketika Refan panjang lebar mengatakan unek-uneknya.
“Ampun, deh, Chok,” kata Rati buka mulut. “Jadi selama ini kerjaan elo itu buat Pangeran pada susah ya? Gila lo ya.”
“Udah, udah,” Grace melerai perkelahian mereka yang sia-sia. “Kapan kita selesai rapatnya kalau dari tadi nggak masuk ke topik? Chok, urusan pribadi disingkirin dulu. Nggak ada yang perlu minta maaf dan nggak ada yang harus mempermasalahkan.”
“Aku setuju,” kata Faldo tersenyum pada Grace. Refan dan Rachael mendelik kesal padanya. “Eh, Chok, cepat lanjutin rapatnya.”
Akhirnya rapat berjalan juga walaupun setengah hati. Rachael terlanjur bad mood dan tidak mau memberi komentar atau ide. Refan—seperti biasa—membaca selama rapat, baginya hallowen sangat tidak penting. Pecinrai memberi ide yang tidak-tidak yang kesemuanya berhubungan dengan Refan dan Rachael, dan akhirnya dari semua ide yang mereka tuangkan cuma dua yang lulus seleksi. Pertama adalah pesta topeng dan yang kedua wajib memakai kostum hantu.
“Pangeran bakal pakai kostum apa ya?” kata Rita genit pada Refan.
“Frankstein,” jawab Refan asal.
“Cocok tuh, kau kan nggak berekspresi kayak Frankstein.” Timpal Grace setuju. Dia mengangguk-angguk, tapi rupanya Refan mendengar, dia mengalihkan pandangannya dari bukunya. “Aku sendiri nggak tahu harus pakai kostum apa.”
“Aku mau jadi penyihir aja, ah,” kata Yani dengan mata berbinar. “Supaya bisa menyihir hati Pangeran Refan, kan Grace udah jadi milik Rachael.”
“Daripada penyihir kau lebih mirip kuntilanak,” timpal Refan. Anak-anak Osis tertawa ngakak. Haha!
***
31 Oktober, Hallowen.
“Adyuh... sori, Dek,” kata Evan pada Grace ketika Grace memintanya untuk diantar ke pesta dansa sekolah. “Bukannya kakanda bermaksud pelit hingga jadi orang kikir. Tapi abang hari benar-benar nggak bisa. Xandra sedang menunggu kedatangan abang buat pesta hallowen kampus. Jarang-jarang dia mau terima tawaran abang.”
Grace merengut.
Entah kenapa sepertinya hallowen tahun ini abang-abangnya sibuk semua. Padahal tahun lalu mereka nggak ada kerjaan. Mark pergi ke Amrik minggu lalu karena ada urusan gitu. Kim katanya harus pulang karena singa peliharaannya tiba-tiba sakit—what? Bang Kim melihara singa? Kurang kerjaan!—dan dia nggak tega membiarkan singa itu sendirian di kandang, mungkin Kim berniat jadi makanan singa. Daniel ada shooting dan bentar lagi mau berangkat ke lokasi shooting. Harry? Wah, dia sih manusia serba sibuk. Tadi pagi dia dan Drew pergi ke Medan, ada seminar gitu dan dia diminta jadi pembicara. Papa dan Mama mau kencan, menikmati waktu berdua katanya. Hah....
“Mau ke sekolah ya, Dek?” Daniel turun dari kamarnya sambil buru-buru memakai helm dan jeketnya yang berloreng-loreng. “Abang antar aja, ya. Tapi pulangnya abang nggak tahu bisa menjemput atau nggak.”
“Dan, kau memang penyelamat!” kata Evan senang. “Pulangnya entar biar aku yang menjemput deh. Telepon abang tiap waktu, Dek. Aku akan selalu melesat walau ke ujung dunia sekalipun.”
“Kau akan melesat walau ke ujung dunia sekalipun kalau Xandra yang memintamu melakukannya,” timpal Daniel menempeleng kepala Evan. “Yuk, Dek.”
“Pakai motor?” kata Grace ragu.
“Ya iyalah.” Daniel mengangguk.
Grace melihat dirinya sendiri dari atas sampai ke bawah. Daniel dan Evan juga melakukan hal yang sama. Daniel menghela napas, dia melepas helmnya.
“Ya udah, naik mobil,” Daniel menyerah melihat kondisi Grace yang memakai gaun nggak mungkin bisa naik motor. Bisa hancur dandanannya. Grace melompat kegirangan. Dia mengikuti Daniel keluar rumah.
“Van, jangan lupa rumah dikunci,” teriak Daniel.
“Iya,” kata Evan balas berteriak.
Daniel mengeluarkan mobil merah porche carrera gt-nya yang mengilap dari bagasi dengan perlahan dan membukakan pintunya ketika Grace sudah ada disisinya. Mobil baru Daniel yang baru dia beli dua hari lalu, tapi Daniel juga ogah memakainya, katanya nggak bisa dipakai ngebut kalau jalanan macet. Lebih enak pakai motor katanya.
Hanya perlu lima belas menit bagi Daniel mengantar Grace ke sekolah sebelum akhirnya Grace turun dari mobil Daniel dan mengecup pipi Daniel.
“Hati-hati ya, Dek. Kalo ada apa-apa bilang aja,” kata Daniel.
“Iya,” Grace membuka pintu mobil dan turun dari tempatnya. “Dah...” Grace melambai pada mobil Daniel yang melaju pergi kearah berlawanan.
“Grace, itu siapa?” Stevani yang menunggu Grace di pintu gerbang mendatangi Grace dengan wajah berbinar. “Kayaknya tajir dan ganteng.”
Grace cengengesan. Dia sama sekali tidak mau mengungkit-ungkit soal Daniel, bisa bahaya entar.
“Masuk, yuk, Stev,” ajak Grace mengalihkan pembicaraan Stevani, namun rupanya Stevani menyadari maksud Grace sehingga dia bertanya lagi dengan nada serius.
“Jadi alasan kenapa kau menolak Rachael dan nggak tertarik sama Pangeran Refan gara-gara kau punya cowok ganteng ya? Udah berapa lama kalian pacaran?”
“Aduh, Stev, dia itu abang aku.”
“Masa sih? Tapi kok pake cupika-cupiki segala?” kata Stevani curiga.
“Emangnya kenapa? Nggak boleh?” timpal Grace. “Eh, kau dandan jadi apa, nih. Kok kayaknya keren banget.”
“Hehe, aku jadi penyihir. Kau sendiri? Kok kayak nggak jelas gini. Ada perban segala lagi,” kata Stevani ketika melihat gaun hitam yang dipakai Grace penuh dengan lilitan perban yang bercorak-corak hitam dan puntih.
“Aku jadi mumi,” kata Grace bangga. “Bagus kan? Jadi nggak perlu dandan.”
Stevani melotot tidak percaya, dia bahkan tidak berkedip.
“Kenapa?” kata Grace heran.
“Tahu nggak, Pangeran Refan juga jadi mumi loh. Kalian janjian ya?” kata Stevani dengan mata dikerjap-kerjapkan.
“Mana mungkin. Dia sendiri bilang pengen jadi Frankstein kan?” kata Grace kesal namun ada sedikit rasa senang dalam hatinya. Refan jadi mumi? Seperti apa tampangnya ya?
“Iya juga sih. Eh, Rachael jadi drakula. Ganteng banget. Choki jadi manusia serigala. Yang jadi Frankstein justru Pecinrai. Tahu nggak waktu orang itu ngeliat Refan jadi mumi mereka langsung lemas. Maksudnya biar sama kayak Pangeran gitu.”
“Oooh,” kata Grace menimpali. Dia mengambil perban dari tas perbannya dan melilitkannya ke sekujur wajahnya.
“Buat apaan?” kata Stevani heran.
“Cari sensasi, biar agak beda dengan Refan.”
“Nggak usah, deh, Refan udah lebih dulu pake begituan.”
Dahi Grace mengerut. Masa, sih Refan mau berdandan berantakan kayak mumi, kayaknya kalo soal begituan dia yang paling ogah. Memang sifat anak yang satu itu susah sekali ditebak.
“Soalnya Refan baru dandan waktu di depan gerbang sekolah setelah dicegat Choki karena nggak make kostum. Dia nyuruh sopir pribadinya buat beli perban terus digulung-gulung nggak jelas. Tapi walau gitu dia tetap aja ganteng.”
Dahi Grace mengerut, Stevani emeng susah banget ya nggak terpesona sama cowok ganteng.
“Hay, Grace,” Rachael sang Drakula muncul di depan pintu masuk. Rambutnya disisir kebelakang sehingga terlihat lunglai. Ada taring panjang keluar dari mulutnya. Jubah yang dia pakai panjang kehitaman. Benar-benar cocok dengan image kedrakulaan yang dia punya. “Kupikir kau nggak datang, soalnya rumahmu sunyi banget. Nggak ikut dengan Kak Harry ke Medan?”
Grace menggeleng. Rachael tersenyum, manis sekali. Rasanya dia benar-benar seperti drakula yang menarik perhatian. Benar-benar mempesona.
“Acaranya udah dimulai dari tadi. Tahu nggak, Refan dari tadi diajak dansa tapi dia menolak terus. Aku jadi nggak tahu apa yang dipikirkan anak itu. Omong-omong Grace, kau keberatan tidak dansa denganku? Aku rasa drakula dengan mumi cantik boleh juga.” kata Rachael lagi mengulurkan tangannya. “Kau tidak keberatan kan Stev?”
“Oh, nggak. Sama sekali nggak,” kata Stevani memainkan alisnya pada Grace. “Sukses ya, Grace.” dan dia berlalu.
Rachael melihat kearah Stevani pergi. “Dia kenapa sih?”
Grace mengangkat bahu. Rachael mengulurkan tangannya. “Kau tidak keberatan kan jika aku memegang tanganmu?”
Grace menggeleng. Dia menerima tangan Rachael dan Rachael menariknya menuju ke lantai dansa dan mereka berdansa.
“Cie... suit... suit... yang baru jadian,” Dhika bersiul dari pinggir lantai dansa. Disana pada ngumpul anak-anak basket dan diantara mereka ada Refan.
Benar, Refan memang memakai kostum mumi yang sebagian perbannya menutupi wajahnya. Dia kelihatan keren dengan rambut yang agak berantakan diantara perban di kepalanya. Tapi Grace tidak mengerti ekspresi Refan ketika mereka saling pandang dan Refan meletakan gelas minumannya sampai sebagian isinya tumpah ke atas meja dan dia pergi keluar.
Grace mendesah lelah. Capek sekali rasanya berdansa dengan Rachael. Mereka berdansa tiga lagu sekaligus sampai akhirnya Ananda meminta pergantian. Dia mengambil minuman jus jeruknya dan keluar. Dia mendapati Refan duduk di dekat lapangan basket. Grace kearahnya.
“Ngapain sendirian disini?” sapa Grace duduk disamping Refan.
Refan melonjak kaget. Dia memegang dadanya. Tampaknya dia benar-benar kaget. “Kau sendiri? Apa kau tidak berdansa lagi dengan pacarmu?”
“Siapa yang pacarku?”
“Rachael.”
“Berapa kali sih aku harus bilang kalau Rachael itu bukan pacar atau siapa-siapanya aku? Sewot banget, sih,” kata Grace, suaranya naik satu oktaf.
“Kalau gitu ngapain berdansa dengannya?” tuntut Refan.
“Salah kalau aku berdansa dengannya?” timpal Grace heran. “Dia mengajakku dengan baik-baik dan sopan. Wajar saja kalau aku mau. Kalau kau cemburu jangan begitu, dong.”
“Kau ini—apa? Siapa yang cemburu? Jangan salah sangka, ya,” kata Refan, dia melihat kanan dan kiri dengan tergesa-gesa. “Mana mungkin aku cemburu. Aku cuma merasa kasihan aja pada Rachael yang udah kau tolak tapi masih saja kau beri harapan.”
Grace menganga.
“Fan, gimanapun dia masih lebih baik darimu. Tahunya cuma marah-marah,” kata Grace bangkit dari tempatnya dan pergi dengan bunyi sepatu yang berklotak-klotak.
Refan mendesah. Dia memegang kepalanya dengan kedua kepalanya sambil menarik perban yang melilit kepalanya. Dia kesal dan ingin berteriak tapi masalahnya dia tidak mau melakukan hal itu. Entah kenapa dia sering panas melihat Grace dengan Rachael. Kenapa sih harus dia yang panas? Dan kenapa juga dia harus mengurusi kehidupan pribadi Grace?
Grace punya pacar atau nggak itu bukan urusannya. Tapi walaupun begitu, kalau melihat tingkah Rachael yang seperti anjing penjaga disisi Grace dan sikap abang-abang Grace yang menyebalkan, dia merasa kesal, gembira, sedih... emosinya tidak stabil, tapi justru itu yang membuat hidupnya jauh lebih hidup dan berwarna. Tapi, dia berpikir lagi, kenapa Refan harus marah kalau Grace berduaan dengan Rachael? Kanapa dia nggak pernah merasa terganggu kalau Grace dekat-dekat dengan cowok lain seperti Choki atau Faldo atau yang lain. Kenapa harus Rachael? Apa karena dia merasakan adanya persaingan yang ketat dengan Rachael atau apa?
“Huh!” Grace dongkol. Dia sudah nggak berniat berlama-lama di pesta. Sudah malam dan sekarang hapenya Evan nggak bisa dihubungi. Padahal tadi katanya dia siap dihubungi kapan aja. Dasar tukang tipu! Grace sebenarnya ingin menghubungi Daniel, tapi Daniel lagi shooting dan lokasinya pasti berlawanan arah, tidak baik terlalu merepotkan Daniel.
Tapi jam sudah menunjukan pukul sebelas... dia mengambil ponselnya dan menghubungi Daniel. Yang menjawab bukan Daniel, tapi salah satu kru. “Maaf, ya, Mbak. Daniel-nya masih shooting. Entar aja kalau menghubungi. Dia sibuk sekali.”
“Selesai shootingnya jam berapa ya, Mas?”
“Selesai ini masih ada pemotretan dan wawancara singkat. Mungkin selesainya jam tiga pagi.”
Grace menutup ponselnya. Daniel bakal pulang jam tiga pagi dan besok Daniel masih ada kuliah dan tugas dan masih banyak lagi kerja yang menggunung. Grace mendesah. Mana nggak ada taksi lagi.
“Yuk kuantar.”
Grace melihat kesisinya dan mendapati Refan sudah ada disampingnya.
“Nggak usah. Makasih.” timpal Grace masih sebal dengan sikapnya Refan.
“Jangan begitu, nggak baik anak perempuan pulang sendiri. Lagian dari tadi kau menunggu disini. Pasti menunggu salah satu dari lima orang itu kan? Apa mereka sebegitu sibuknya sehingga tidak mempedulikanmu?”
“Iya. Mereka sibuk dan semuanya ada di luar kota,” kata Grace sebal.
“Pulang bareng aku aja. Kan sama aja tuh. Lagian nggak capek apa kau nunggui terus dari tadi disini? Udah pulang bareng aja,“ kata Refan menarik tangan Grace.
“Ogah! Aku nggak mau!” Grace menepis tangan Refan. “Kenapa aku harus pulang barengan denganmu? Nggak sudi!”
“Lebih baik pulang dengan aku daripada orang lain kan? Nggak usah berisik, deh.”
Grace makin kesal. Refan emang benar-benar susah buat dibilangin.
“Fan, Grace pulang bareng aku aja,” Rachael tiba-tiba mengambil tangan Grace yang satu lagi. Dia tersenyum tipis pada Refan lalu mengalihkannya pada Grace. “Grace, rumah kita kan dekat. Jadi nggak masalah sama-sama kan? Lagian, kayaknya kau nggak punya tumpangan, deh. Kudengar rumahmu sunyi kan? Kalo misalnya keluargamu belum pulang, kau boleh kok nginap—buat sementara waktu—di rumahku. Aku sama sekali tidak keberatan kok.”
“Dia nggak akan kemana-mana,” kata Refan.
“Yuk,” kata Grace mengangguk setuju dan menarik Rachael pergi.
“Tunggu sebentar,” kata Refan tidak terima dicuekin begitu saja oleh Grace.
“Apa, sih, Fan?” kata Grace heran.
“Kenapa kau mudah saja menerima ajakannya sementara setiap ajakanku selalu kau tolak?” Refan protes. Matanya menyipit berbahaya dari Grace ke Rachael.
“Karena yang Rachael bilang itu benar. Kami itu bertetangga. Kenapa aku mesti menyusahkanmu yang rumahnya jelas-jelas lebih jauh dari rumahku?” timpal Grace. “Udahlah nggak usah protes. Yuk kita pergi, Rachael. Aku udah capek dari tadi berdiri terus disini.”
“Ok,” Rachael merangkul Grace lalu melirik Refan sekali lagi sambil tersenyum penuh kemenangan. “Dah, Refan. Jangan ngikutin kami ya.”
Refan mengepalkan tangannya. Merasa bodoh dan kesal.
Rachael geleng-geleng kepala saat dia duduk berdampingan dengan Grace sementara supir pribadinya membawa mobil dengan cepat dan seimbang. Grace mengerutkan dahi dengan heran.
“Kenapa?” kata Grace.
“Lucu aja ngeliat Refan begitu ngotot ingin mengantarmu. Jangan-jangan dia beneran suka lagi sama kau.”
“Itu nggak mungkin. Hatinya kan kayak batu dan sedingin es,” gumam Grace sebal.
“Walau begitu tetap aja kan dia bisa jatuh cinta. Batu juga bisa hancur dan es juga bisa mencair,” timpal Rachael.
“Aduh, nggak usah bahas itu lagi, deh,” gerutu Grace.
Rachael hanya bersandar dengan nyaman di kursinya sampai dia melihat dari kaca spion ada mobil yang melaju di belakang mereka dengan kecepatan yang sama. Rachael tersenyum geli. Dia benar-benar melakukan yang kuperkirakan.
“Makasih, ya,” kata Grace ketika Rachael membukakan pintu mobil baginya.
“Sama-sama. Jangan lupa besok ke sekolah kayak biasa ya. Mau kujemput nggak?” tawar Rachael dengan penuh keikhlasan.
“Nggak usah. Besok Papa yang bakal ngantar,” kata Grace. Rachael manggut-manggut. “Aku masuk dulu ya.”
“Mimpi indah ya. Kalo bisa mimpiin aku aja,” kata Rachael tersenyum sambil mengedipkan matanya. Dia pasti lihat.
“Yang benar aja,” timpal Grace masuk ke dalam pintu gerbang dan menutupnya.
Rachael masih berdiri beberapa detik di depan gerbang rumah Grace sebelum akhirnya dia beranjak dari tempatnya dan menuju kearah mobil BMW hitam yang terparkir di pinggir jalan. Beberapa meter dari tempatnya. Dia mengetuk kaca mobil belakang dengan buku-buku jarinya. “Refan, ngapain kau mengikuti kami? Takut kalau Grace kuapa-apain ya?”
Pintu mobil turun dan terlihatlah Refan yang duduk di jok belakang. Tampangnya kelihatan sebal.
“Ya ampun Fan, kau nggak ada kerjaan lain selain memata-matai kami?” kata Rachael.
Refan tidak membalas. Mungkin dia tidak menemukan kata-kata yang tepat untuk membalas Rachael.
“Kalau kau tidak segera naik ke atas panggung, nggak bakal seru, Fan. Nggak ada tantangan. Cepatlah tampil di bawah sorotan lampu atau kau tidak akan pernah mendapat tepukan tangan, apalagi mawar merah.” Kata Rachael pelan menatap mata Refan dengan serius.
Refan juga menatapnya dengan sebal.
“Malam, Fan.”
Rachael memasukan kedua tangannya ke dalam saku celananya. Jubah hitam drakulanya berkibar ketika dia berjalan diantara kegelapan.
“Tuan Muda, kita pulang sekarang?” kata supir pribadi Refan yang ada di depan.
Refan mengangguk.
***