Kamis, 19 Februari 2009

Ly, Yu, Di, Selamat tinggal Sahabat Eps 1

written: Prince Novel



Ly, Yu, Di

Selamat Tinggal Sahabat



1.

Disaat Aku Membutuhkanmu

“Langitnya berawan, anginnya juga tidak bagus, bisa bahaya kalau hujan turun. Apalagi di daerah tak dikenal seperti ini”, gumam anak laki-laki berusia lima belas tahun. Matanya menatap kearah langit yang cerah berawan, burung layang-layang terbang dengan sangat berisik. Air laut pun terlihat sedikit berombak, beberapa kapal nelayan kelihatan bergerak melawan arah angin.

“Mustahil bisa dapat ikan dalam kondisi seperti ini”, gumamnya lagi.

“Takut, nih”, kata anak yang lain, usianya tidak jauh beda dengan anak itu.

“Kau siapa?” tanya anak itu.

“Aku Joe Manasye, salah satu dari peserta Lomba Pemancing Junior Tingkat Internasional”, katanya “Kau siapa?”

“Youriou Schaeffer, sama sepertimu”, kata anak itu, dia memakai topinya, dia mengambil alat pancingnya.

“Bagaimana kalau kita taruhan? Aku pasti akan memenangkan pertandingan ini”, kata Joe dengan sombongnya sambil tersenyum.

“Sayang sekali”, kata Yoriou “Aku tidak berminat, aku datang ke Los Angles ini bukan hanya untuk bertanding, tapi juga memuaskan nafsuku dan menyalurkan hobi memancingku. Sudah, ya, sebaiknya kau jangan menggangguku, aku tidak bisa konsentrasi memancing kalau ada yang berisik”

Youriou naik ke atas kapal putih yang telah disediakan untuknya, sementara anak bernama Dista itu naik kapal yang lain dan pergi kearah yang berlawanan.

“Oke, kita kearah utara. Harap hati-hati dalam mengemudi, soalnya bisa jadi akan ada badai. Aku tak ingin kehilangan kesempatan sedikitpun dalam menangkap ikan”, kata Youriou pada pengemudi kapal yang hanya mengangguk saja.

Youriou masuk ke dalam badan kapal dan mengambil peralatan memancingnya, lalu mengambil umpan yang cukup besar. Setelah kapal mereka berada di tengah-tengah laut, kapal mereka berhenti dengan sedikit goncangan dari gelombang laut.

“Benar-benar bukan kondisi baik untuk memancing”, kata Youriou tampak tak puas. Dia duduk kepinggir badan kapal dan melemparkan pancingannya dengan sekali lempar dan mencapai kejauhan yang cukup jauh. Setelah melakukan itu, dia membuka kemejanya—hari ini panas sekali—dan langsung terlihat kulit putihnya itu.

Dia duduk beberapa lama disitu, tanpa gerakan sedikitpun—mematung. Soalnya jika dia bergerak, ada kemungkinan ikan-ikan tidak akan mau memakan kailnya. Tak lama kemudian, umpannya bergerak-gerak, dia langsung bereaksi.

“Ikan besar”, gumamnya dengan bangga. Dia sudah lama melakukan riset dan sedikit penyelidikan tentang wilayah kalautan ini karena dia sama sekali tak ingin kehilangan kesempatan untuk menang—soalnya dia tak pernah kalah untuk hal memancing.

Youriou menangkap pancingannya tepat saat pancingannya hampir jatuh ke laut, perlahan-lahan dia memutar roda pancingannya, tapi kalihatannya sang ikan sama sekali tak ingin ‘dibujuk’. Harus pakai cara keras.

Youriou menarik kailnya dengan cepat dna tepat sekali dugaannya, tenaga ikan yang dia tangkap benar-benar sangat besar, sama sekali susah ditarik.

“Ayolah, tunjukkan wujudmu”, gumam Youriou sambil terus berusaha menarik tangkapannya “Jangan takut, aku tak akan menyakitimu”

Seekor ikan layang-layang besar melompat ke atas permukaan laut. Terdengar gumaman kagum dari beberapa orang di kapal.

“Itu ikan yang besar, Yu!”

Semangatnya langsung naik, mangsa besar memang butuh perjuangan yang besar juga! Yu menarik lagi, kali ini dengan cepat dan memaksa. Setelah itu, dia menarik pancingannya keatas, tepat saat ikan layang-layang yang dia tangkap melompat.

“Whoa!!!”

“Apa yang kalian tunggu? Ambilkan jaring! Ini mangsa yang besar!” teriak Youriou, orang-orang dalam kapalnya segera mengambil jaring besar dan berusaha menagkap ikan layang-layang yang didapatkan Youriou.

Ikan layang-layang itu berhasil ditangkap, beberapa kali ikan itu menggelepar di atas kapal, memuncratkan air laut yang asin. Youriou meninju udara dengan senang. Kepuasan karena telah berhasil menangkap ikan saat memancing, merupakan satu-satunya kesenangan tersendiri bagi Youriou.

***

“Perlombaan Memancing Junior Tingkat Internasional yang diselenggarakan di Los Angles pada tanggal dua puluh lima Juni dimenangkan oleh Youriou Schaffer dari Indonesia dengan ikan tangkapan berupa Ikan Layang-layang berukuran dua meter sepuluh inchi tiga belas senti di peringkat pertama. Hm… jadi kau menang lagi, ya? Aku nggak kaget, sih, soalnya kau selalu memenangkan lomba memancing jenis apapun kan? Jadi tidak ada selamat untukmu, hal ini sudah biasa”, kata anak laki-laki berambut hitam kecoklatan dengan mata tajam dan raut wajah serius, dia menutup koran yang baru dia baca dengan bosan.

“Huh, kau sendiri tak bisa dibanggakan soal apapun kan, Di?” gerutu Yu, saat sahabat didepannya itu cuma pasang tampang biasa. Tidak bisa, ya kalau dia sedikit saja bikin Yu sedikit senang?

“Siapa bilang? Aku jago Matematika, Fisika, Bahasa Inggris, Kimia, Komputer dan Bahasa Jerman. Apa yang kurang dari diriku? Lagipula, aku ini cukup tampan dan disenangi cewek-cewek”, kata Di, agak sedikit menyombongkan diri, agar membuat Yu bete sedikit, hehe…

“Sejak hari perpisahan kelas tiga SMP kau jadi agak sedikit besar kepala, ya?” gerutu Yu, kesal. Dia memang tak bisa menyangkal, Dirta Pffendasck, alias Di, memang tampan dan digandrungi cewek-cewek, sahabatnya itu smart dan selalu juara kelas, disenangi guru, aktif, sopan, baik, de el el, nggak ada yang kurang.

“Iya, dong. Soalnya di sekolah baruku nanti aku nggak akan ketemu kamu lagi. Aku sudah bosan tahu tidak sekelas dan sebangku terus bersamamu sejak TK, kayak aku nggak punya teman lain aja selain kamu”, kata Di, melipat tangannya.

“Aku juga nggak mau satu sekolah denganmu, tahu. Itu sebabnya kita saling merahasiakan SMA yang akan kita tuju kan?” kata Yu lagi, nggak mau kalah.

Memang benar, Di dan Yu berteman sejak TK, mereka teman sejak kecil. Waktu itu, Di yang memiliki wajah yang manis nyasar tanpa sebab dan keluar sekolahan. Hal itu membuat panik satu sekolahan karena dia tiba-tiba menghilang. Tapi, Yu yang saat itu memang nakal dan sama sekali tak ingin sekolah berhasil menemukan Di yang bermain di kolong meja Kepala Sekolah. Nah, sejak hari itu mereka jadi sahabat. Alasan Yu pun pergi kesekolah adalah karena Di juga. Tapi, entah kenapa, sejak saat itu mereka selalu bersama. Satu sekolahan, satu kelas, satu jurusan, satu kelompok dan teman sebangku.

Hal itu terjadi sampai sepuluh tahun berturut-turut! Bayangin! Sepuluh tahun! Huh, teman akrab saja pasti tidak ada yang seperti mereka. Tapi, walaupun mereka berantem, mereka selalu bicara—istilahnya nggak sampai musuhan, gitu—dan karena mereka terlalu ‘dekat’ anak-anak jadi agak sedikit curiga pada hubungan mereka. Yah… kau tentu tahu sendiri hubungan apa itu. Soalnya, disaat yang satu membutuhkan yang lain, mereka selalu ada! Bayangin!

Nah, karena menurut mereka segala ‘ketidaksengajaan’ ini agak terlalu aneh, Di dan Yu memutuskan untuk sekolah ditempat yang berbeda. Syaratnya, tidak boleh memberitahukan dimana mereka akan bersekolah. Hari ini adalah hari perpisahan mereka untuk selalu bersama, dan hari ini mereka merayakannya di pantai bersama Ly.

“Kalian ini, jangan berantem terus, dong. Kita kan sedang merayakan perpisahan kita. Harusnya kalian akur sedikit, nanti kan tidak sekolah di tempat yang sama lagi”, kata Ly, dia menyodorkan sekantong plastik pada Yu.

“Apa ini?” kata Yu mengambil kantongan plastik itu.

“Ikan. Dimasak, ya?” kata Ly.

Aleya Rehuel adalah teman Yu dan Di sejak kelas tiga SD. Waktu itu, orang tua Ly dipindahtugaskan ke daerah mereka. Waktu itu Ly tak punya terman. Yu-lah orang yang pertama sekali menjadi teman Ly di kota sebesar ini, lalu Yu memperkenalkan Ly pada Di. Ly memiliki wajah manis yang polos—agak memukau, sih, sedikit.

Sejujurnya dan sesungguhnya dari hati mereka yang paling dalam, mereka sama sekali tidak mau berpisah, namun ego mereka yang kelewat tinggi membuat mereka membohongi diri mereka sendiri. Lalu, Di sebenarnya ingin sekali satu sekolah dengan Ly. Gadis itu sudah babyak berubah dari sejak dia mengenalnya dulu. Jika die berdekatan pada Ly, Di selalu saja merasa kalau jantungannya berdegup tidak karuan.

Berbeda dengan Di, Yu orang yang terlalu cuek akan apapun—dia lebih mencintai ikan daripada manusia. Dia juga tidak terlalu memikirkan ketika ada gadis yang nembak dia. Dia hanya bilang “Oke, mau ke laut nggak?”, dan saat cewek yang nembak dia pergi dengannya ke laut, dia tidak akan memedulikan cewek itu. Dia sendiri lebih sibuk dengan kail dan benang pancing. Nyebelin kan?

“Ikan panggang terbang!” teriak Yu melemparkan ikan yang dia cuci kea rah Di yang langsung menjerit panik. Yu tertawa terbahak melihat tingkah Di.

“Oi! Jorok banget, sih! Aku basah tahu!” kata Di melemparkan nenas yang tadi dia potong tepat kea rah Yu, namun sayang Yu yang sigap langsung menghindar.

“Di, lebih enak makan ikan panggang atau terbang?” kata Yu mengambil ikan yang tadi dia lempar.

“Sama saja!” gerutu Di membersihkan lender ikan yang mengenai kaos biru miliknya. “Uuugh, bau banget!”

“Nih, aku udah siapin bahannya. Masakin, dong,” kata Ly membawa bawang yang sudah dia iris. Yu segera ke arahnya dan melihat hasil pekerjaan Ly.

“Apaan, nih? Ini sih sama aja bohong,” kata Yu mengambil salah satu wortel yang masih trehubung satu sama lain. “Di, potong lagi. Ly sama sekali nggak bisa diharapin, nih. Masa potong wortel kayak per gini sih.”

Ly mencubit Yu dengan gemas.

“Ya udah, Ly hidupin api unggunnya aja, biar kita bakar,” kata Di mengambil alih tugas Ly. Dia tersenyum sejenak pada gadis itu sebelum memulai pekerjaanya kembali.

“Ikan bakar, ikan bakar, wanginya harum… campur cabai campur bawang… jangan lupa jeruk nipis,” Yu bergumam sambil mengoleskan cabai, bawang, garam dan jeruk nipis secara sekaligus ke panci milik Di. Di mengerutkan dahi saat Yu memasukkan lagi ikan-ikan ke dalam panci itu dan mengaduknya dalam satu adonan.

“Ini bukan buat kue, tahu!” Kata Di mengambil panci yang diaduk Yu. “Asal campur aja. Kau kira semen?”

“Biar rasanya rata,” kata Yu polos.

Di menempeleng kepala Yu.

“Dodol. Pake otak, dong. Nggak semua yang dicampur itu rasanya rata.” Kata Di sebal. “Bantuin Ly sana. Biar aku aja yang ngurus makanan.”

“Sip, Bos!” kata Yu menghormat padanya. Dia segera kearah Ly yang rupanya masih berkutat dengan kayu bakar. “Aku bantuin, deh, Ly. Ini kan keahlianku.”

Yu mengambil korek dari tangan Ly.

“Masangnya bukan kaya gitu. Kayu-kayunya disusun dulu. Pegang, nih,” kata Yu mengambil beberapa kayu dan menyusunnya dan memulai membuat beberapa trik.

“Tunggu kunyalain koreknya,” kata Yu menggosek korek dan apinya pun muncul. “Lepasin, Ly.”

Ly melepas pegangannya terhadap korek dan apinya pun berkobar.

“Nah, sudah,” kata Yu tampak puas dengan hasil kerjanya.

“Yu emang jago kalo udah berurusan dengan alam, ya?” kata Ly takjub.

Yu hanya cengengesan saat dipuji begitu.

“Kalo pisah dengan Yu mungkin aku bakal kesepian, ya?” kata Ly. “Habis, waktu pertama kali juga Yu duluan yang bicara denganku. Sekarang kalian bakal ke sekolah yang aku sendiri nggak tahu. Aku kan nggak terlalu pandai bergaul.”

Yu melihat ke langit. Ada pesawat terbang yang lewat.

“Gini aja, deh. Disaat kau membutuhkanku, hubungi aja aku. Anytime!” kata Yu. “Aku akan datang dimanapun kau berada. Aku janji.”

Ly tersenyum senang.

“Nih ikannya. Mau diapain, nih?” Di duduk diantara mereka dan menyodorkan panci berisi ikan pada mereka.

“Dibakar aja. Ambil kayunya, mumpung baranya udah banyak,” kata Yu lagi mengambil salah satu kayu dan menyodokannya ke mulut sang ikan.

“Aku ambil kamera, ya. Kita foto bareng.” Kata Ly bangkit berdiri. Dia merogoh tasnya yang diletakkan diatas batu besar dekat pinggiran sungai. Dia meletakkan kamera itu ke atas batu dan memasang timer-nya.

Ly berlari dan berhenti diantara Yu dan Di.

“Cheese!”

***

Kamis, 12 Februari 2009

Charlie Eps 2

CHARLIE

Written by: Prince Novel

2.

New Model

Sudah seminggu sejak aku mengunjungi kantor Papa. Hari-hariku kembali normal seperti biasa, datar, membosankan dan tidak terjadi hal-hal yang mengejutkan. Kulewati beberapa anak cewek yang bergerombol sambil membuka-buka majalah. Mereka menyapaku.

Pagi, Kak Charlie!” sapa salah seorang dari mereka.

Ya, pagi.” balasku dan kembali menuju kelasku. Aku kembali menguap. Hari ini aku begadang menyelesaikan tugas Fisika. Belum lagi hari ini ada ujian Kimia.

Ada apa, sih? Lihat, dong.”

Keren banget, deh!”

Mau, deh!”

Pembicaraan biasa tiap cewek di sekolah ini adalah mengenai para model. Aku cuek. Maklum, aku tidak mengerti hal-hal yang begituan, tapi kalau mengenai rumus-rumus kimia atau fisika padaku. Aku akan menyemburkan semuanya padamu.

Pagi, Charlie!” sapa Carla secara sekilas saat aku memasuki kelas. Setelah itu dia kembali mengobrol dengan Riesan. “Cowok ini keren banget! Tapi kok cuman ada satu, sih fotonya?”

Lie, udah siap tugas Fisika? Nyontek dong!” ucap Khalil, Ketua Kelasku sekaligus Ketua Osis.

Nih, aku udah buat jalan yang beda,” kataku memberikan buku khusus—buku berisi contekan dengan jalan yang lebih berbeda dari sebelumnya.

Thanks, ya. Oi, semua! Nih, ada contekan!” teriak Khalil. Serentak seluruh anak yang belum mengerjakan tugas segera mengapitnya dan mulai berebut.

Aduh, makasih ya, Lie. Kita jadi tertolong!” kata Carla yang menuju meja Khalil.

Aku duduk menjauh dan melihat majalah yang dari tadi kelihatannya sangat familiar. Oh, rupanya itu majalah yang terus terlihat sejak aku berjalan dari koridor. Majalah “Jepret!” isinya tentang gosip semua model. Kok ada orang ya yang mau beli majalah beginian. Sambil menggeleng, aku menutup majalah itu. Cover depannya anak cowok berkaca mata dan bertopi.

Ng? tunggu. Kayaknya aku kenal, deh sama wajah itu.

OH ASTAGA!! ITU KAN AKU!!

Aku menatap lekat-lekat majalah itu. Tidak salah lagi. Itu memang aku. Siapa yang berani-beraninya menaruh wajahku disitu? Tunggu, tunggu, rasanya aku tahu deh kapan foto ini diambil. Ini foto waktu di kantor Papa.

Oh, Charlie rupanya suka melihat model itu, ya? Keren banget ya tuh cowok,” celetuk Carla dari depan. “Wajahnya segar banget. Lain dari biasanya! Dia manis banget!”

Sejak kemarin anak-anak cewek sibuk membicarakan dia terus. Apa, sih bagusnya dia?” kata Adam dari seberang ruangan. Dia sibuk menghapus papan tulis.

Tanganku gemetaran saat melihat fotoku dalam versi cowok. Shock sendiri. Apa-apaan sih ini? Kok bisa-bisanya Diaz memasukkan fotoku disini? Dasar dia itu! Apa, sih maunya? Papa juga tidak bilang apa-apa! Kok begitu, sih?

***

Papa! Ini apa maksudnya?”

Sepulang sekolah, setelah mengganti pakaianku, aku langsung melesat ke Digital Entertainment untuk menanyakan apa maksud dari majalah ini. Papa yang sibuk dengan film kelihatan kaget saat aku datang tiba-tiba. Beberapa pegawainya melihat kearahku dengan sangat berminat.

Charlie, kalau mau masuk ketuk pintu dulu, dong!” kata Papa mengusap-usap dadanya. “Papa sampai jantungan. Ada apa, sih? Kenapa kau berpakaian begitu lagi?”

Aku mau tanya soal 'ini'!” kataku meletakkan majalah “Jepret!” ke atas meja. Papa membulatkan mata dan menganga tidak percaya. Kelihatan jelas kalau dia tidak tahu mengenai majalah itu.

Loh? Kok wajahmu ada disini?” kata Papa heran melihat majalah itu lekat-lekat.

Harusnya itu pertanyaanku!” kataku sebal. “Kenapa Papa tidak melarang Diaz agar dia tidak mempromosikan wajahku?”

Eh? Diaz? Papa tidak tahu. Papa bahkan baru tahu.” kata Papa dengan wajah polos.

Mana dia?”

Aku disini.” kata Diaz dari balik pintu. Seperti biasa, dia memegang kameranya. Hari ini dia memakai T-Shirt ketat yang membentuk tubuhnya yang berotot. “Kau membuat kehebohan disini, makanya aku langsung kesini. Ada apa?”

Jelaskan padaku tentang ini! Kau pasti tahu sesuatu kan?” kataku lagi memegang majalah itu ke depan hidungnya. “Kenapa kau menaruh wajahku jadi cover majalah?”

Bagus kan? Majalah itu jadi laris.” katanya.

Apa?”

Diluar dugaan, majalah itu laris karena wajahmu. Para pembeli kecewa saat isinya tidak membahas tentangmu. Apa boleh buat, fotomu cuma satu, sih.” katanya cuek.

Aku tidak tanya soal larisnya majalah itu! Aku bertanya soal kenapa wajahku bisa ada disitu!” kataku sebal. Gigiku merapat.

Oh. Aku tidak bisa motret kalau nggak mood. Dan saat kau datang tiba-tiba mood-ku kembali, jadi aku masukkan saja fotomu karena hasilnya memuaskan. Apalagi pihak produser juga setuju. Kau tidak senang?” katanya lagi.

Tentu saja!” kataku. Ini orang, tentu saja aku nggak senang kalau tiba-tiba wajah dalam versi cowokmu muncul di majalah. Kalau ada orang kenal gimana coba?

Ya, sudah.” kata Diaz mengangkat bahu dengan tidak peduli.

Kau tidak boleh mempublikasikan wajahnya tanpa seizinnya,” Papa tiba-tiba berbicara. Nada bicaranya yang tenag dan dalam agak membuatku kaget—dan pegawainya juga.

Bram, aku hanya memotret bukannya merampoknya,” kata Diaz. “Lagipula, seharusnya dia senang kalau wajahnya muncul di majalah. Sekarang kan banyak orang yang kepingin terkenal.”

Aku tidak mau Charlie-ku terkenal,” kata Papa dingin. “Cukup aku saja yang bekerja. Kewajibannya saat ini hanya belajar. Bukannya masuk majalah.”

Oh, dia punya kesempatan, Bram!”

Kali ini muncul lagi orang asing. Laki-laki lagi. Dia memakai stelan jas dan kaca mata. Rambutnya disisir rapi. Dia kelihatan taman dengan senyum bisnis yang agak menakutkan. Dia melihat kearahku, dan tersenyum.

Ah, Charlie! Kau lebih manis dari yang difoto!”

Aku mundur dan bersembunyi di balik tubuh Papa. Ada sesuatu yang membuatku takut pada cowok itu. Tapi apa itu aku sendiri tidak tahu.

Aku Santiago Duffan, Produser Digital Entertainment.” katanya ramah. “Tolong jangan bersembunyi dibalik punggung Bram, aku tidak bisa melihatmu dengan jelas.” katanya saat aku kembali menghindarinya yang mencoba menjabat tanganku. “Jangan takut begitu. Aku cuma mau mengucapkan terima kasih. Berkat kau, majalah yang kami rilis, laris manis di pasaran.”

Aku merasa dirugikan karena keuntungan Anda,” kataku masih tetap bersembunyi.

Oh, jadi kau minta keuntungan? Boleh.”

Aku mengerutkan dahi. Masih belum percaya pada orang itu.

Dasar anak Papa, ngapain kau bersembunyi di balik tubuh Bram? Kami kan tidak memakanmu hidup-hidup.” kata Eugene yang masuk ke ruangan itu bersama dua temannya yang kelihatan tampan. “Huh! Masa' anak laki-laki bertingkah seperti itu? Bram, kau terlalu memanjakannya.”

Aku menggelembungakn pipiku. Huh!

Tolong semuanya,” kata Papa tiba-tiba. “Masalah ini akan aku anggap selesai sampai disini. Sekarang, bisakah kalian kembali ke tempat kalian masing-masing? Aku masih punya banyak pekerjaan. Masih ada yang harus diselesaikan.”

Kenapa harus terburu-buru begitu, sih, Bram?” kata Santiago. “Aku repot-repot datang kesini karena mendengar kalau Charlie datang. Ada penawaran bagus yang ingin aku beri paddanya. Kau mendengarnya Charlie?”

Kalau kau memintaku jadi Model, aku tidak mau.” kataku.

Kau anak yang cerdas, ya?” kata Santiago lagi. “Kau ada bakat buat dikenal orang loh. Aku pasti mempromosikanmu tanpa masalah. lagipula—”

Aku sudah bilang kan kalau aku tidak mau. Kau tidak dengar? Aku lebih mementingkan pendidikanku dari pada jadi terkenal.” kataku sebal.

Aku merasakan kalau ada aura mengerikan di belakang punggungnya.

Bram, bisa tidak sih kau menyuruh anakmu kehadapanku?” katanya lagi. “Aku sebal sekali padanya. Tidak masalah kan kalau dia kupukul?”

Maaf, Santiago, bukannya aku bermaksud untuk melawanmu, tapi aku tidak mengijinkan seorang pun melukai anakku. Tidak seorang pun, bahkan itu kau atau orang yang palin penting baginya,” kata Papa dengan nada dingin.

Charlie, kau tahu kan kalau kekuasaanku mutlak?” katanya padaku. Aku heran, apa maksudnya dia berkata seperti itu coba?

Papa-mu tersayang adalah bawahanku,” lanjutnya. “Kau tidak mau dia kupecat kan?”

Kalau begitu kau itu orang yang diktator,” kataku karena bisa menangkap maksudnya.

Kalau kau tidak mau jadi model. Aku akan memecat Papa-mu tersayang.”

Aku mencengkram lengan Papa. Orang ini tidak bisa digertak dnegan mudah. Sekarang dia mencoba mengatakan akan memecat Papaku. Tidak bisa dibiarkan. Papaku sangat mencintai pekerjaannya. Aku tidak bisa membiarkannya dipecat.

Aku lebih memilih dipecat, Santiago,” kata Papa. “Aku tidak berminat bekerja jika anakku merasa terbebani. Aku bisa mencari kantor lain yang bisa menerimaku.”

Papa...

Ayo, Charlie, kita pulang. Kau pasti belum makan siang kan?” Papa menarik tanganku. Aku hanya dapat mengikutinya saat dia membawaku menerobos pegawai-pegawainya beserta beberapa model dan aktor yang ada di dalam.

Pa, tunggu,” kataku mencoba menarik tanganku. Tapi percuma saja, pegangan Papa erat sekali. “Kalau Papa dipecat, Papa akan bekerja dimana?”

Papa bisa bekerja dimana saja. Papa bisa jadi teknisi kok, Papa juga bisa jadi koki. Papa tidak keberatan bekerja sebagai apapun asal dapat membesarkanmu dengan layak,” kata Papa masih menarikku melewati koridor.

Tapi...”

Papa menghela napas. Dia berhenti dan berbalik.

Tidak apa-apa, Nak. Papa lebih suka menderita demi kebahagiaanmu.” kata Papa tersenyum. Ini yang aku sukai darinya. Dia selalu bisa tersenyum disaat susah sekalipun. “Jangan takut. Semuanya akan baik-baik saja.”

Papa selalu bilang itu kalau kita sedang susah,” gumamku. Dia tertawa. “Kok tertawa?”

Sebab Papa tidak mau memikirkan hal-hal yang sulit dalam hidup,” kata Papa merangkul. “Dengar, Charlie, bagiku kau sangat berarti. Aku tidak akan membiarkanmu terjatuh. Aku sudah janji pada Mama-mu supaya tidak terlalu banyak bersedih. Hidup ini untuk dijalani, bukannya dipikirkan.”

Wuah!! baru kali ini aku mendengar kata-kata bijak seperti itu. Hehe, Papa memang hebat! Tapi walaupn Papa-ku orang yang hebat, aku tidak mau melihatnya terus berkorban.

Pa, kali ini biar Charlie aja, deh.” kataku melepas rangkulanku.

Maksudmu?” kata Papa heran.

Kali ini biarkan aku saja yang menjalani hidupku tanpa bantuan Papa. Lagipula, akhir-akhir ini aku sering merasa bosan. Nggak ada yang menarik, sih.” kataku melipat tangan sambil berpikir.

Charlie, masa' sih kamu mau—tapi nanti kau harus—j”

Sssht,” aku menutup mulut Papa. “Pa, ini rahasia kita aja, ya? Aku nggak mau Papa kehilangan pekerjaan cuman karena aku tidak setuju masalah sepele. Kali ini biar Charlie yang urus.”

Tapi—Lie!”

Aku tidak mendegarkan perkataan Papa karena aku sudah berbalik menuju kantor Papa. Disana masih berkumpul orang-orang yang tadi. Aku mengetok pintu. Perhatian langsung beralih padaku.

Charlie?” kata Santiago bangkit dari kursinya. “Kau kembali?”

Aku bersedia jadi model dengan tiga syarat,” kataku pada Santiago.

Huh, belum jadi model sudah berlagak,” gerutu Eugene.

Apa?” kata Diaz.

Pertama, aku mau pekerjaan Papa-ku kembali. Kedua, aku tidak mau tampil tanpa busana di depan kamera dan yang ketiga, aku tidak mau kalian mencari tahu identitasku.”

Santiago tercengang untuk beberapa saat. Kemudian dia mengangguk dan berkata setuju.

Well, kelihatannya hari-hari yang merepotkan akan segera dimulai.

***





Rabu, 11 Februari 2009

Charlie Eps 1


written by: Prince Novel


CHARLIE

Hidup bukan sesuatu hal yang mudah diraih begitu saja...

Kadang hidup bukanlah sesuatu hal yang dapat diperoleh dengan mudah...

Hidup juga bukan merupakan permainan takdir, karena kau sendiri yang menjalani hidup itu...

Dan saat kau merasa bahwa hidup sudah tidak berarti, maka pada saat itulah...

hidup akan meninggalkanmu...

Pernahkah kamu berkata pada dirimu sendiri...

Bahwa aku hidup dan ingin lebih lagi?

Kecuali pengharapan, aku tidak memiliki apa-apa lagi...

Prince Novel

1.

Charlie

Hay, aku Charlie! Aku anak biasa-biasa saja. Yah... tidak bisa dibilang begitu juga, sih. Aku ini anak teladan di sekolah. Selalu nomor satu. Aku jago olahraga spesialisasi bela diri—tidak ada yang bisa mengalahkanku dalam hal ini. Aku juga anak yang mudah bergaul, temanku sangat banyak. Namun, aku punya satu kekurangan yang amat fatal. Aku sama sekali tidak bisa bersikap seperti anak perempuan.

“Charlie! Turun dari sana!”

Papaku tersayang, namanya Bram berteriak dari bawah. Aku ada di atas genteng, memperbaiki antena sekalian seng yang bolong. Aku melongok ke bawah dan meilaht Papaku ada disana.

“Turun! Biar aku saja yang memperbaikinya!” teriaknya lagi.

“Aku sudah selesai kok!” aku balas berteriak. Aku menepuk-nepuk tanganku yang berdebu dan menghapus keringat dari dahiku.

“Biar aku ambilkan tangga ya?” kata Papa lagi.

“Nggak usah! Naggung!” jawabku. Aku turun dengan hati-hati menginjakan kakiku diantara tembok-tembok beton yang licin. Aku melompat saat mendekati tanah. Kulihat Papa menghela napas lega saat aku sudah sampai ke tanah dengan selamat.

“Ya ampun, Nak. Lain kali jangan naik ke atas genteng,” kata Papaku mengacak rambut coklatku. “Cepat makan. Papa sudah bikin makan malam kesukaanmu.”

“Oke.”

Sejak Mama meninggal empat tahun lalu, aku tinggal dengan Papa. Hehe, Papaku tersayang cukup ditaksir banyak cewek-cewek, loh. Hanya saja Papa nggak mau mencari Mama baru untukku. Well, mungkin itulah yang membuat aku makin sayang padanya.

“Wuih! Kelihatannya enak!” kataku takjub melihat masakan Papa yang dihiasi dengan sangat cantik dan rasa yang kelihatan juga sangat enak.

“Yah... makanlah. Untuk Putri-ku apa, sih yang tidak?” kata Papa lagi-lagi mengacak rambutku. “Papa hari ini akan lembur. Jaga rumah, ya? Jangan telat bangun.”

“Oke.”

Papaku bekerja sebagai Editor Film. Dia cukup ahli mengotak-atik tali-tali film. Dia juga sering lembur. Aku juga dilarang kalau ke kantornya. Katanya takut mengganggu aku yang belajar. Kadang-kadang dia malah membawakan buku dari sana. Aku, sih senang-senang saja. Soalnya aku suka membaca. Tapi aku sering berpikir, kalau Papa bekerja di perfilman, berarti Papa juga cukup dikenal artis, dong.

Biarpun begitu, sepertinya tidak ada satupun mengenai pekerjaan yang keluar dari mulutnya kalau dia berduaan denganku. Katanya, pekerjaan dan keluarga amat berbeda. Tuh, kan... aku semakin menyayanginya.

“Mama, hari ini Papa mengurusku dengan sangat baik,” kataku mengecup foto Mama sebelum aku tidur. Kebiasaan jelek sejak Mama meninggal adalah aku selalu tidur dengan televisi menyala, apalagi kalau tidak ada Papa. Aku lebih suka kalau ramai. Apalagi semua tugas dan PR juga udah selesai. Saatnya tidur.

RRRRRR, suara dering telepon yang ada disudut ruangan. Aku membiarkannya sejenak. Tapi rupanya teleponnya tidak berhenti-berhenti juga. Siapa sih yang menelepon larut malam begini?

“Halo?” kataku mengangkat telepon.

“Charlie, ini Papa,” kata orang yang diseberang. “Nak, maaf mengganggu ya. Bisa tidak kau antarkan dulu CD pekerjaan Papa? Ada di kamar. Papa nggak sempat lagi, nih. Tolong, ya.”

Sebelum aku menyetujui, Papa sudah mematikan teleponnya. Sepertinya dia sangat sibuk. Kulirik jam dinding, sudah jam sebelas malam. Papa tidak biasanya mengizinkan aku keluar malam, tapi karena dia benar-benar butuh, mungkin dia tidak punya cara lain.

Tidak baik bagi gadis—walaupun jago karate—sepertiku berkeliaran ditengah malam. Karena itu kuambil antisipasi. Aku memakai wig milik Ayah—yang dulu dipakainya untuk drama—dan kacamata milik Mama, lalu topi dan jeket. Kuperhatikan diriku dicermin.

Aku ganteng juga ya kalau jadi cowok, batinku.

Kuperhatikan tubuhku yang kecil, wig hitam yang luwes dan menutupi sebagian dahiku, wajahku yang manis—idih! Pedenya aku—dan mata hitam cemerlangku. Oh, gosh! Kelihatannya akan banyak cewek yang naksir padaku. Apa pendapat Papa ya kalau aku bergaya begini? Dia pasti kaget.

Kuambil CD pesanan Papa, ada alamat perusahaannya disitu. Aku segera menaiki speda motorku dan melesat pergi menerobos udara mala yang dingin. Untung saja aku pakai banyak baju dalam sehingga nggak kedinginan. Akhirnya setelah setengah jam, aku sampai juga di Digital Entertainment. Ada satpam yang melirikku sejenak.

Kantor itu sunyi sekali. Mungkin para pegawainya sudah pada pulang. Aku merapatkan jeket hitamku. Kantor Papa dimana. Ya? Gara-gara aku nggak pernah kesini, aku jadi nggak tahu, deh.

“Bagaimana kau ini? Masa kau belum memotret juga? Apa yang kurang?”

Aku mendengar ada suara dari balik dinding diseberang. Dua orang laki-laki sedang berbicara disitu. Yang satu kelihatan yang lebih tua, dan dia kelihatannya memarahi pria bertubuh langsing yang memegangi kamera besar dengan raut wajah sebal.

“Aku nggak bisa motret kalau aku nggak pingin,” kata yang muda. “Sudahlah, Adi, jangan memaksaku terus. Nanti kalau aku sedang mood aku pasti motret.” kata yang muda.

“Diaz, ini kariermu!”

“Permisi,” kataku. “Eh, maaf tiba-tiba mengganggu.” kataku lagi ketika melihat wajah mereka.

“Ada apa? Kau siapa? Paparazi? Apa kau mendengar percakapan kami tadi?” kata Adi dengan wajah sangar. Aku baru sadar kalau dia memiliki tindik di hidung. Selain itu, cara bicaranya pun agak aneh, seperti banci.

“Yah... sedikit. Sebenarnya—”

“Awas kalau kau bilang-bilang pada orang!” kata Adi. Kulirik Diaz yang diam saja tanpa reaksi.

“Anu, aku kesini cuma mau ketemu Pak Bram. Dimana aku bisa bertemu dengannya, ya?”

“Ada urusan apa kau dengan Bram?” kata Diaz tiba-tiba.

“Aku mau mengantar CD pekerjaannya,” jawabku.

“Dia ada lantai dua, studio tiga,” jawab Diaz.

“Eh, terima kasih, ya? Permisi.”

Jujur saja, aku takut melihat tatapan Diaz. Dia itu kelihatan seperti akan menelanku hidup-hidup. Hii rasanya mengerikan, deh. Aku naik lift dan turun di lantai dua. Kemudian berjalan lagi sambil mencari studio tiga. Ternyata di lantai ini cukup banyak orang yang hilir mudik. Akhirnya aku menemukan studio tiga.

“Permisi,” kataku perlahan saat membuka pintu studio tiga. Dan aku kaget sekali melihat isinya.

Didalam sana ternyata ada bnayak orang. Beberapa diantaranya aku kenal sebagai artis, tapi nggak tahu artis yang mana. Ada yang sibuk memegangi kaca, cermin, kamera, make up. Urusan itu belakangan aja, aku lebih memilih untuk bertemu Papa dulu.

“Siapa kau?” terdengar suara laki-laki. Laki-laki yang tampan. Wajahnya dingin, matanya tajam, rambutnya hitam dicepak. Kelihatanya wajahnya tidak asing. Siapa, ya? “Orang luar dilarang masuk.”

“Aku mau bertemu Pak Bram,” kataku perlahan sambil berusaha melihat ke dalam. “Dia ada?”

“Tidak ada. Keluar.”

“Eugene, kau sedang apa?” terdengar teriakan dari dalam.

“Aku sedang mengusir orang asing. Kelihatannya dia fans,” kata laki-laki yang bernama Eugene. Aku mengerutkan dahi. Siapa yang penggemarnya. Aku saja tidak kenal.

“Aku cuma mau bertemu Pak Bram. Setelah itu aku pergi. Ada barang yang harus kuberikan padanya,” kataku sebal. “Minggir.”

Orang-orang dalam ruangan itu sekarang melihat kearahku.

“Kalau mau mencari Bram bukan disini. Tapi di Editing House, dilantai tiga studio empat,” kata anak laki-laki lain. Kali ini wajahnya lebih ramah dengan rambut coklat kepirangan.

“Tapi orang yang bernama Diaz menyuruhku mencarinya kesini.” kataku bersikeras.

“Diaz?” ulang suara yang lain. Laki-laki lagi, berapa banyak sih laki-laki di ruangan ini. Kali ini laki-laki yang lebih dewasa dengan stelan rapi kearahku. Tampan juga, sih. “Yang bawa kamera?”

“Iya. Nah, bisa aku bertemu dengan Pak Bram?”

Laki-laki berstelan rapi itu melihatku dari atas sampai ke bawah dengan penuh minat. Dia mengitariku seakan tidak pernah bertemu manusia sebelumnya.

“Tubuhmu kecil,” dia bergumam. “Wajahmu manis... boleh juga, sih. Agak beda sedikit. Mungkin cowok imut-imut bisa menarik selera. Siapa namamu?”

“Charlie!”

Akhirnya aku mendengar suara yang kukenal. Papa kelihatan habis lari marathon aja, ada keringat di bajunya.

“Kalau sudah sampai seharusnya nelepon! Papa nungguin kamu di parkiran selama sejam, loh! Ngapain kamu disini?” kata Papa panik.

“Bram, ini anakmu?” kata cowok berjas itu. Papa hanya mengangguk. “Tampan. Mirip denganmu. Kau tidak keberatan kalau aku bicara dengan dia berdua saja?”

“”Maaf, Tim, dia berurusan denganku. Sebaiknya kau mengurusi anak didikmu saja.” kata Papa. Dia menarik tanganku. “Ayo, Lie.”

Aku mengikuti Papa naik ke lantai tiga. Disana lebih sunyi dan gelap. Papa membuka pintu yang menunjukan sebuah ruangan yang hanya berhiaskan lampu hijau.

“Pa, ini dimana?” kataku heran.

“Kantor Papa.”

“Tapi kok gelap banget,” komentarku, “Papa betah ya kerja disini.”

“Tugas Papa memang disini. Filmnya bisa rusak kalo kebanyakan cahaya. Kamu kok ada disana tadi? Bukannya langsung menemui Papa.”

“Habis kata Diaz kalo Papa ada di lantai dua studio tiga.”

“Diaz?”

“Papa hebat, deh masih bisa mengenaliku walaupun aku berpakaian begini.”

“Walau bagaimanapun kau kan anakku Charlie,” kata Papa. Dia duduk di belakang meja yang kelihatan penuh dengan berbagai alat yang dibutuhkannya. “Sebaiknya kau tidur disini. Papa akan membangunimu kalau sudah subuh. Nggak baik pulang malam-malam begini.”

“Oke, Pa.”

Aku merebahkan diriku di sofa dan mulai terlelap saat Papa tiba-tiba berkata. “Lie, mana CD pesanan Papa?”

***

“Charlie, bangun.”

Aku bangun ketika mendengar suara Papa di dekat telingaku.

“Ini kopi. Kau akan merasa lebih segar,” kata Papa lagi memberikanku secangkir kopi.

“Thanks, Pa.” kataku menerima cangkir pemberian Papa.

“Setelah ini kamu sarapan, terus kamu pulang ya. Kamu nggak boleh bolos.”

“Papa?”

“Ada pekerjaan yang harus Papa urus.”

Papa menghirup kopinya. Aku juga melakukan hal yang sama.

“Nah, perlu Papa antar sampai ke bawah?” kata Papa lagi.

“Nggak usah, deh, Pa. Aku bisa sendiri.” kataku buru-buru bangkit. “Papa istirahat saja dulu. Papa kan harus kerja lagi nanti.” aku mengecup dahi Papa. “Charlie pergi ya, Pa.”

“Hati-hati dijalan.”

Aku cuma terseyum sekilas ketika menutup pintu. Aku menguap lagi. Aduh, kelihatannya aku terlalu capek semalam. Mataku masih ngantuk. Belum lagi hari ini kebanyakan mata pelajaran yang isinya ceramah melulu. Tahan nggak ya mataku untuk nggak tidur?

“Hei, kamu.”

Aku lapar. Makannya di sekolah, di rumah atau dijalan aja, ya? Mesti mandi lagi. Ini dimana, ya? Kok ruangannya sama semua...

“Cowok kerdil bertopi di depan sana! Tunggu sebentar!”

Aku berhenti melangkahkan kakiku. Cowok kerdil bertopi? Maksudnya aku?

Aku berbalik untuk melihat si empunya suara. Ternyata Diaz. Apa yang dilakukannya pagi-pagi begini? Masih memakai baju dan kamera yang sama lagi. Dia nggak pulang ya?

“Apa? Kau memanggilku?” kataku dengan sikap menantang.

Diaz mendekatiku dan menatapku dari atas sampai ke bawah.

“Sudah bertemu Bram? Aku dengar kalau Bram itu Ayahmu. Benarkah?” katanya.

Kok dari kemarin mereka bertanya soal Papa terus ya?

“Iya. Kenapa?” kataku lagi.

“Aku boleh memotretmu sekali kan?” kata Diaz lagi.

“Untuk apa?” kataku heran.

“Soalnya, aku lagi kepingin motret. Bisa kan?” kata Diaz mengangkat kameranya.

“Maaf. Tidak.” kataku melewatinya. Enak saja. Ngapain dia moter-motret aku?

“Charlie.”

“Apa?” kataku berbalik.

Jepret. Lampu blitz yang keluar dari kamera Diaz membuatku kaget. Mataku berkunang-kunag.

“Makasih, ya?” katanya ngeloyor pergi.

***

Love Love Love Eps 4

Love for you Love for my family Love for my friend





written by : Glorious Angel

helped by : Prince Novel

4.

Pemeran di Pentas Seni

“Refan! Makan!” teriak Kim dari bawah.

Grace yang sedang memakai bando segera mengerutkan dahinya. Dia heran sendiri. Refan? Refan siapa? Perasaan anak itu nggak tahu tempat tinggalku, deh, batin Grace. Grace segera turun dari kamarnya.

“Siapa tadi, Bang?” tanyanya pada Kim yang memasukkan makanan ke mangkuk anjing. “Kok makanan Refan disitu?”

“Loh? Refan kan anjing, Dek. Masa' makan pake piring?” kata Kim heran.

Hee? Grace bengong. Refan si anjing masuk sambil menggonggong.

“Nah, Grace. Ini yang namanya Refan,” kata Kim memperkenalkan Refan.

Mampus aku!

“Papa,” kali ini terdengar suara Evan yang masuk ke dapur bersama dengan Goen. Evan kelihatan merengek dan mengikuti Geon terus. Harry masuk sambil merapikan dasinya. Evan juga masuk dengan ponsel ditelinga. Sementara Daniel mendengarkan musik dan tangan yang satunya sibuk main game. “Papa kok nggak bilang Evan kalo Papa memblokir semua kartu kredit Evan, sih? Memangnya salah Evan apaan, Pa?”

“Altrax tidak memberitahu kamu apa kesalahan kamu?” kata Geon tidak percaya.

Evan menggeleng perlahan.

“Papa memblokir kartu kredit kamu karena kamu berani memfitnah Papa selingkuh! Sampai dua bulan depan tidak ada uang jajan!” kata Geon tegas. Dia membuka koran paginya.

“Kak Kim...” rengek Evan. “Tolongin, Adikmu ini dong!”

“Mulai deh rayuan gombal Evan,” kata Daniel memasang tampang mau muntah.

“Ayah...” Kim mulai bicara dengan wajah polosnya. “Kasihan Evan, Ayah.”

“Tidak, Kim. Jangan bujuk Papa. Plis!” kata Geon yang mulai gelisah. Dia sama sekali tidak pernah tahan melihat tampang memelas Kim.

“Evan pasti cuma bercanda, Yah,” kata Kim lagi memijat bahu Geon. “Kasihan kan Ayah. Dia nanti harus pergi-pulang ke Bandung. Kalau nggak ada uang jajan, gimana dia bisa makan. Nanti Evan malah mati kelaparan lagi.”

Harry dan Mark tertawa saat mendengar “mati kelaparan”, memangnya Evan pernah merasa kelaparan? Dia itu kan boros banget.

“Yah... baiklah,” kata Geon menyerah. “Papa akan mengembalikan semua kartu kredit Evan seperti sedia kala.”

“Terimakasih, Ayah.” kata Kim.

“Yei! Makasih ya Kim!” kata Evan.

“Kalau ada maunya aja manggil 'Kakak',” komentar Mark.

Ting Tong

“Kok ada tamu pagi-pagi begini ya?” kata Tarandra. “Grace Sayang, buka dulu sana.”

“Aku aja, deh,” kata Geon bangkit berdiri.

“Dan, kau nggak shooting?” kata Harry pada Daniel yang sibuk makan. “Nanti gemuk loh kalo makan sebanyak itu.”

“Bawel. Aku kan dalam masa pertumbuhan,” kata Daniel tidak peduli.

Geon membuka pintu dan melihat pemuda asing berwajah bule ada di depan pintu rumahnya. Ada sekitar empat anting di telinga kirinya. Rambutnya pirang diwarnai merah. Alisnya tebal.d ia juga membawa-bawa koper dan tas besar.

“Selamat pagi, Oom,” kata Pemuda itu dengan logat yang aneh.

“Pagi. Eh, siapa ya?” kata Geon agak tidak suka melihat penampilannya. Rambut dicat, pake anting lagi. Jangan-jangan berandal.

“Saya Drew, Oom. Drew Shouthernheart,” kata Drew sopan. “Daddy bilang kalau aku—eh, saya harus kesini. Katanya untuk belajar.”

“Shouthernheart?” ulang Geon dengan dahi mengerut. “Maksudmu, kau anak dari Hendry Shouthernheart, Businessman dari Kanada itu?”

“Benar, Oom.” kata Drew.

“Buat apa dia mengirimmu kesini?” kata Geon heran.

“Loh? Daddy bilang kalau saya harus belajar dari Oom. Daddy bilang kalau saya boleh tinggal di rumah Oom untuk jadi good-boy bagi Daddy.”

Dahi Geon makin mengerut. Apa?

***

“Apa maksudmu mengirim anakmu ke tempatku?” Geon menggerutu, hampir saja berteriak, di telepon. Setelah mempersilakan Drew masuk, dia segera ke kantornya dan menelepon salah satu teman sejawatnya.

Hendry Shouthernheart malah tertawa saja di seberang telepon.

“Heh, jangan tertawa!”

“Jadi Drew sudah sampai, ya?” katanya. “Maaf, Geon. Bukannya aku tidak mau memberitahumu, tapi aku tidak punya waktu.”

“Bilang saja kalau kau sengaja! Jika dia disini, dia pasti tidak bisa kuusir pulang!”

“Aduh, Geon. Jangan sadis begitu,” kata Hendry. “Anakku itu begitu bersemangatnya untuk menemuimu. Soalnya dia agak mirip dengan Evan. Kurasa dia pasti mudah akrab dengan yang lain.”

“Masalahnya, satu Evan saja sudah membuatku hampir gila. Apalagi dua!” timpal Geon. “Kalau dia macam-macam disini, aku akan mengirimnya pulang dengan paket ekspres!”

Hendry hanya tertawa saat Geon menutup telepon.

Geon mengambil napas dalam-dalam. Mencoba menenangkan diri. Dia keluar dari kantornya dan mendapati Drew sudah duduk di samping Tarandra dan Harry.

“Drew, ayo ke kantor,” kata Geon.

“Dia baru sampai, Yah,” kata Kim. “Biarkan dia istirahat dulu. Kasihan dia lelah.”

“Ah, tidak apa-apa, Pretty Boy. Aku kuat kok, lagipula aku pengen kerja, nih. Mau lihat kantor Oom Geon.” kata Drew asal aja.

“Drew,” kata Harry menepuk bahunya. “Jangan sekali-kali memanggil Kim dengan sebutan 'Pretty Boy' atau kau bakal ditindas disini.” tambahnya sambil tersenyum mengerikan. “Dan jika kau coba-coba menyentuhnya, akan kupastikan mayatmu akan dicincang. Kim itu laki-laki tulen dan bukan homo walaupun dia kayak perempuan. Kau mengerti?”

“I, iya,” kata Drew ketakutan. “Baiklah. Rileks, ok? Aku juga tidak berminat sama anak laki-laki. Lagian, isi di rumah ini rasanya laki-laki semua.”

“Kau mau kucincang?” kata Harry lagi.

“Oom, Putra Anda seram sekali,” kata Drew.

“Sudah. Jangan bertengkar.” kata Geon. “Ayo semua, kita ke kantor.”

***

Grace masuk ke perpustakaan untuk mencari topik kerja kelompok. PR yang tadi baru diberikan Guru Kewarganegaraan. Dia melihat ada buku yang dbituhkannya diatas rak. Dia mencoba mengambilnya namun tidak terjangkau. Tiba-tiba ada tangan yang mengambilnya.

“Nih,” kata Refan. Dia memberikan buku itu pada Grace.

“Eh, makasih,” kata Grace.

“Nggak masalah. Kamu kan pendek,” kata Refan

“Dasar judes!” gumam Grace sebal. “Nggak bisa ngomong lebih baik apa?”

“Jangan berisik di perpustakaan,” kata Refan lagi.

UUUGH!!!

“Kepada seluruh pengurus Osis, harap segera datang ke ruang Osis,” suara Choki terdengar diseluruh penjuru sekolah melalui radio panggil sekolah.

“Dasar Ketua Osis berisik,” gumam Refan.

“Kau sendiri mencela melulu,” gumam Grace. Dia berjalan keluar perpustakaan. Refan mengikutinya. “Ngapain ngikutin aku?”

“Loh? Aku kan pengurus Osis. Lagian, jalan ini yang menuju ke ruang Osis.” kata Refan melewati Grace begitu saja. Grace mensejajarkan langkahnya dan mengikuti Refan tanpa bicara apa-apa.

“Kok nggak ngomong?” kata Refan lagi. “Biasanya kau berisik seperti burung.”

“Yang burung itu sekarang kau kan?” timpal Grace. Dia memalingkan wajahnya dan masuk ke ruang Osis. Anak-anak Osis sudah ngumpul. Ada Rachael juga.

“Ngapain dia disini?” kata Refan agak heran melihat Rachael. “Sebaiknya yang bukan anggota Osis segera keluar dari ruangan.”

“Kita butuh dia sebagai pembantu urusan Grace,” kata Choki.

“Oh, dia jadi babu sekarang?” kata Refan. Grace menginjak kakinya. “Aduh! Dasar cewek kasar! Punya mata dipake dong, itu kakiku!”

Grace menjulurkan lidahnya dan duduk disamping Rachael.

“Duduk,” perintah Choki. “kita mulai rapat.”

Refan duduk disamping Grace, menghindari Pecinrai—yang merupakan anggota Osis juga. Dia bersandar dan membuka bukunya. Membaca.

“Ini ruang rapat bukan perpustakaan,” bisik Grace.

“Aku tidak peduli.”

“Semuanya,” Choki mengambil alih kekuasaan. “kita akan melakukan Pensi dua bulan lagi. Kata Bu Lyla, guru bahasa Indonesia kita, sekolah kita akan melakukan drama. Nah, kali ini judulnya Putih Salju.” kata Choki. “Kita akan mengambil pemerannya dari semua anak. Kecuali Pangerannya, Refan.”

“Apa?” kata Refan mengadahkan kepalanya. “kau saja.”

“Kau harus ikut berpartisipasi dan itu diluar tanggung jawabku. Bu Sora sudah meminta secara khusus tahu,” kata Choki.

“Tapi—”

“Keberatan ditolak. Tidak ada bantahan.” kata Choki. “Nah, kita harus mengambil dana dari mana? Grace akan dibantu oleh Rachael soal urusan mengumpulkan siswa yang mau berpartisipasi. lalu—”

Sura ringtone hape terdengar saat Choki bicara. Ternyata hapenya Refan.

“Bisa dimatikan tidak? Kita sedang rapat,” kata Choki.

“Halo, Pa?” kata Refan mengangkat telepon dan tidak memedulikan Choki. “Masih di sekolah. Ada rapat. Iya, nanti aku datang.”

“Kita lanjutkan,” kata Choki seakan Refan tidak mengganggu. “Soal acara akan diatur seksi Pecinrai. Oke? Nah, yang lain akan mengatur perlengkapan dan pentas. Jangan lupa musik dan hal-hal yang berhubungan dengan itu ya? Ada pertanyaan?”

Tidak ada yang menjawab.

“Oke, semua melakukan kegiatan masing-masing,” kata Choki. “Grace dan Rachael, umumin ke seluruh sekolah agar ngumpul di aula ya?”

“Tenang saja. Grace aman ditanganku kok,” kata Rachael. “yuk, Grace.”

Grace, Rachael dan Refan bangkit.

“Mau kemana, Fan?” kata Dony.

“Mau ngembaliin buku.” jawabnya datar.

Grace berjalan beriringan dengan Rachael sementara Refan mengikuti dari belakang.

“Grace nanti pulangnya sendirian? Mau kuantar?” kata Rachael ramah.

“Nggak usah, deh. Kita kan berlawanan arah,” kata Grace.

“Bentar lagi jadi searah kok,” kata Rachael tersenyum ramah. “Omong-omong,” Rachael berbalik, “Jalan ke perpustakaan nggak dari sini loh, Refan. Tapi disana.” kata Rachael menunjuk ke belakang.

“Aku mau ke toilet dulu.” katanya datar. “Salah kalau aku lewat sini?”

“Nggak sih,” kata Rachael. “Aku pikir kau cemburu.”

“Sori. Cewek kayak dia, aku tidak berminat. Dia beringasan.” kata Refan melewati mereka. Grace melempar kertas yang tadi dia pegang. “Aduh! Apaan, sih?”

“Cowok nggak mutu!” gerutu Grace melewati Refan. Huh! Dasar nyebelin!

***

“Selamat siang, Anak-anak,” kata Bu Lyla berdiri di depan aula. Dia diapit Choki dan Refan, yang dipaksa untuk naik diatas panggung.

Geng Pecinrai-lah yang menjawab paling keras.

“Nah, kita akan melakukan drama Putih Salju. Disini sudah ada Pangerannya,” kata Bu Lyla menunjuk Refan dengan semangat.

Refan, sementara itu, cuma memasang tampang datar.

“Ibu sudah mengambil secara acak siapa yang bakal menjadi pemeran-pemerannya. Ehm, dan itu sudah diacak. Saksinya adalah Refan dan Choki.” kata Bu Lyla mengambil catatannya. “Nah, ini dia. Evol menjadi Ratu.”

Murid-murid bertepuk tangan.

“Lalu yang jadi tujuh kurcaci adalah: Rachael, Rati, Rita, Yani, Ananda, Stevani, dan Choki. Selamat, ya?”

Murid-murid bertepuk tangan lagi.

“Nah yang jadi Putri adalah Ester dari kelas IX-3.”

“BU!” terdengar suara dari ujung. “Esternya di rumah sakit, tuh! Baru kecelakaan! Belum sadar!!”

Murid-murid heboh. Sayang banget membuang kesempatan bareng Refan.

“Yah baiklah. Choki, ambil kertas lain,” perintah Bu Lyla. Choki nurut. “Refan Sayang, ambil satu kertas yang bakal jadi pendampingmu di drama nanti.” katanya menyuruh Refan mengambil salah satu kertas dari sekian banyak kertas di dalam botol kaca.

Refan mengambil satu dan memberikannya pada Bu Lyla.

“Baiklah. Disini tertulis Gracelia Natalie,” kata Bu Lyla membaca kertas yang diberi Refan.

Ha?

“Siapa yang namanya Grace?” kata Bu Lyla.

Grace, yang bengong tidak percaya, mengangkat tangannya dengan perlahan.

Oh, jadi namanya Grace, batin Refan.

“TIDAAAAK!” teriak Evol. Dia histeris, begitu juga dengan Pecinrai. “Saya tidak setuju, Bu! Masa' upik abu kayak dia jadi Snow White? Nggak cocok!”

“Mending gue!” kata Ananda.

“Hey, sudah! Tadi sudah jelas kalau Refan-lah yang memilih pendampingnya sendiri,” kata Lyla. “Tadi itu kan diambil secara acak.”

Grace mengangkat tangan. “Bu, kalau mereka semua tidak setuju. Saya digantikan saja dengan Evol. Saya tidak keberatan kok.”

Evol mengibaskan rambutnya. “Bagus kalo kamu nyadar.”

“Bu, saya tidak mau jadi Pangeran kalau bukan Grace yang jadi Putih Saljunya!” kata Refan tegas. “Kalau Grace tukar peran, lebih baik Choki saja jadi Pangerannya.”

“Apaan, sih? Kok aku dibawa-bawa?” kata Choki sebal. “Aku selalu menggantikanmu!”

“Maumu apa, sih?” kata Grace pada Refan. “Evol kan lebih cantik dari aku! Setidaknya lebih baik untuk jadi pendampingmu.”

“Masalahnya,” kata Refan, “Aku tidak suka dekat-dekat cewek centil kayak dia!”

“Centil? Jahat, ih!” gerutu Evol.

“Refan, diakan cocok denganmu!” kata Grace masih bersikeras.

“Aku maunya cuman samamu saja! Aku nggak mau yang lain! Titik!”

Aula hening beberapa saat. Grace bengong. Dan saat Evol berbicara, “Refan kok bersikeras kayak gitu, sih?” barulah suasana heboh.

“Wah! Refan naksir Grace!”

“Suit... suit... jadi panas, nih!”

“Cie... Grace, kemek-kemek ya?”

“Bilang kalo Refan udah nembak ya? Eksklusif loh!”

“Maumu apa, sih?” kata Grace mengatasi suara gemuruh aula. “Bukannya kamu nggak suka sama cewek beringasan dan kasar kayak aku?”

“Justru karena itu aku ja—” Refan menutup mulutnya. Dia melihat keatas, kekiri ke kanan. “Kamu kan cewek beringasan yang bisa diandalin kalo ada cewek mendekat untuk dijadiin tameng.”

“DASAR KURANG AJAR!!!”

***

Huh! Cowok nyebelin! Nggak punya hati! Nggak dididik! Setan alas! Manusia Iblis! Terkutuk kau!

Grace memaki dalam hati sambil memasukan buku-bukunya ke dalam tas.

Kau pasti kubalas! Lihat saja! Menyebalkan! Dasar ular!

“Grace, kau baik-baik saja?” kata Rachael agak takut. “Sejak meninggalkan aula wajahmu seram sekali.”

“Aku nggak apa-apa!” katanya menggandeng ranselnya. Dia keluar dan menabrak Refan yang baru saja lewat.

“Cieee,” kata anak-anak lain yang melihat. “Panas... panas...”

“Minggir jelek,” kata Grace. “Kau buat semak tahu!”

Dahi Refan mengerut. Bahaya, nih.

“Apa? Kau mau bilang apa?” tantang Grace.

“Yang jelek itu kau tahu,” kata Refan dan dia langsung ngacir.

Uuuuuuuuuuuhg!!!!!!!!!!!!!!!!

Grace menggigit bibir bawahnya dan berjalan melewati koridor. Dia keluar melewati lapangan basket. Dimana Refan sudah ngumpul dengan anak-anak basket.

Honey!

Grace berhenti melangkah ketika melihat cowok memakai kaca mata hitam dan topi bowler bersandar di mobil BMW merah. Itu Mark. Mark segera kearahnya.

“Abang ngapain kesini?” kata Grace heran. Dia melihat ke kiri dan ke kanan. Panampilan Mark sungguh menarik perhatian. Bahkan Refan. “Nggak takut dikenali?”

“Nggak. Aku kan mau ngajak kamu pulang, Cinta,” kata Mark.

“Eit, nanti dulu. Aku yang akan mengantar Grace,” kata Evan menarik Grace.

“Siapa bilang? Aku yang akan mengantar dia,” kata Daniel merangkul Grace.

“Enak aja,” kata Kim. “Lebih baik sama aku, dong.”

“Jangan sembarangan,” kata Harry. “Grace akan pulang bareng aku.”

Grace bengong melihat ke lima abang-abangnya ngumpul secara tiba-tiba dan menarik perhatian yang tidak perlu.

“Mau apa kalian semua berkumpul disini?” kata Grace cemas.

“Mau jemput kamu, dong, Cinta!” kata mereka bersamaan.

“Jangan seenaknya, Grace itu cuma satu doang,” kata Harry. “Aku...”

“So pasti aku yang mengantarnya,” kata Evan pede.

Impossible. Grace mana mau jalan sama orang macam kau,” kata Mark.

“Mending sama aku, deh,” kata Daniel bangga.

“Sama abang saja ya Grace,” kata Kim tersenyum.

“Kim, jangan asal main serobot!” kata Evan kesal.

“Ng...,” Grace tak tahu harus bilang apa. Soalnya kalau menyangkut tentangnya. Abang-abangnya tak pernah mau mengalah. Baik itu Kim.

“Yuk, kuantar pulang.”

“Eh?”

Grace bengong saat Refan menarik tangannya dan menerobos kerumunan abang-abang Grace. “Rumah kita searah, jadi aku bisa mengantarmu.”

“Tunggu! Hei! Siapa kau?” kata Evan kesal. Refan tidak peduli. Dia tetap menarik Grace. “Yah... dia dibawa pergi...”

“Dari mana kau tahu kalau rumah kita searah?” kata Grace heran.

“Bukan urusanmu,” kata Refan masih menariknya.

“Heh! Lepaskan tanganmu! Aku bukan sapi yang bisa kau tarik-tarik!”

“Aku tidak bilang kau sapi, kau yang bilang.”

“Lepasin!”

Refan melepas pegangannya sehingga Grace jatuh kebelakang.

“Wah,” kata Refan. “kau ini ceroboh sekali.” dia membantu Grace berdiri. “tidak luka kan? Ada yang sakit? Perlu dibawa ke rumah sakit nggak?”

“Aku cuma jatuh ke jalan, bukan jatuh ke jurang,” kata Grace melihat Refan dan bengong sendiri melihat wajah Refan dari dekat.

“Apa?” kata Refan.

“Ng—nggak,” kata Grace gugup. Dia baru sadar kalau ada warna biru di sekeliling mata hitamnya. “Makasih.”

“Yuk jalan lagi,” kata Refan menarik tangan Grace lagi.

“Eh, tung—”

“Apa lagi?” kata Refan. Grace diam, bingung harus bilang apa. “oh, iya, kita belum kenalan.”

“Ha?” kata Grace bengong.

“Aku Refan.” kata Refan mengulurkan tangannya.

“Grace.” kata Grace.

Kalau dipikir-pikir kami emang belum pernah kenalan ya?

“Ayo jalan. Aku ada urusan sebentar lagi,” kata Refan, lagi-lagi, menarik tangan Grace.

Grace melihat tangannya yang ditarik Refan. Lalu ke punggung Refan. Bingung sendiri. Aku ini ngapain sih? Kok mau-maunya ditarik sama dia?

“Tunggu, woi!” kata Grace. “Jalanmu cepat sekali!” katanya kesulitan mengikuti Refan.

“Kau harus banyak minum susu biar tinggi,” kata Refan lagi.

“Maksudmu apa, sih?” gerutu Grace sebal. “Jangan menarikku! Aku bisa jalan sendiri!” kata Grace lagi. “Dengar tidak sih?”

“Nanti kau jatuh lagi,” kata Refan.

Din din, sebuah mobil berjalan perlahan disamping mereka. Seorang laki-laki tua memunculkan wajahnya dari jendela mobil.

“Tuan Muda, Refan, tidak naik mobil?” katanya.

“Aku ngantar dia dulu,” kata Refan datar.

“Tapi Tuan Muda, Tuan Besar butuh Anda sekarang. Tuan Muda harus ikut rapat perusahaan kan?”

“Bilang pada Papa kalau aku bakal telat. Ada yang lebih penting dari rapat.” kata Refan.

“Tuan Muda, Cah Ayu itu pacar Tuan Muda, ya? Cantik loh.”

“Siapa? Dia? Dia sih bukan Cah Ayu, tapi Cah Garang,” komentar Refan.

Plak!

“Aduh,” Refan menarik tangannya yang baru saja dipukul Grace. “Cewek kasar!”

“Manusia batu! Mulut ular! Manusia Topeng! Bocah Iblis! Tidak berperikemanusiaan! Dasar sadis! Huh!”

Grace berjalan melewatinya dengan tidak peduli. Refan bengong sejenak.

“Tuan Muda,” kata sopir. “Kisah cinta Anda mirip sama kisah Tuan Besar dulu loh. Tuan Besar juga dulu dibenci Almarhum Nyonya.”

“Cerewet.” kata Refan. “Oi, cewek! Tunggu!”

“Kau nggak bisa manggil namaku apa?” kata Grace sebal.

“Kau mau kupanggil 'rumput'?”

“Kau mau kupanggil dewa?”

“Ha?” dahi Refan mengerut.

“Refan-kan salah satu nama Dewa yang dibenci Tuhan.”

“Ap—apaan, sih!” kata Refan. Wajahnya yang pucat merah padam. “Setidaknya namaku lebih bagus darimu!”

“Geer banget!”

“Harusnya kamu berterima kasih karena bisa main drama samaku.”

“Aku nggak sudi tahu! Lagian siapa tadi yang maksa supaya aku yang main? Kamu kan? Apa salahnya sih main sama Evol?”

“Siapa itu Evol? Sudahlah. Nggak penting. Aku mau main sama kamu soalnya aku su—” Refan menutup mulutnya lagi.

“'Su' apa? Tadi 'Ja' sekarang 'su'! Apa, sih? Ngomong yang jelas! Memangnya berapa kilo sih kalo bicara?”

“Su—paya kamu nggak udik lagi, makanya kamu kupaksa ikut,” kata Refan melihat ke kanan. “Ja—jadi aku mau cuman kamu saja. Lagian, aku nggak su—sudi juga main bareng kamu. Kamu ja—jangan salah sangka gitu, dong.”

Grace bengong. Heran. Takjub.

“Pantas saja kau dapat nilai Bahasa Indonesia yang tinggi. Jago ngarang ternyata.”

“Apa maksudmu?” kata Refan tersinggung. “Dengar ya, aku sendiri nggak minat buat ikutan tapi Lyla menyuruhku.”

“Bu Lyla.”

“Apalah.”

“Jadi gara-gara itu. Kamu takut nilai bahasa Indonesia-mu hancur?”

“Bukan. Aku nggak bisa kalau dipaksa.”

“Oooo,” kata Grace baru tahu. “Jadi kamu harus dipaksa ya?”

Refan menutup mulutnya lagi. Sial!

“Aku punya refrensi bagus, nih. Aku bisa nyuruh Pecinrai untuk memaksamu membeberkan rahasiamu, dong.”

“Dasar Pengadu,” kata Refan. “Baru kali ini aku ketemu cewek keras kayak kamu.”

“Loh, selama ini kemana aja?” kata Grace. “Bukan aku aja yang cewek keras. Pecinrai juga 'iya'.”

“Siapa itu Pecinrai? Dari tadi kamu ngomong nggak jelas. Aku tidak kenal siapa yang kau katakan.”

Ini orang benar-benar di sekolah nggak, sih? Pecinrai yang selalu nempel aja dia nggak kenal. Apalagi yang nggak dekat.

Grace geleng-geleng kepala. “aku udah mau nyampe nih. Pergi sana.”

“Cowok sejati harus mengantar sampai rumah.”

“Cowok sejati?” ulang Grace heran. “kau itu kan bocah!”

“Ayo, jalan!” Refan menarik tangan Grace lagi. Grace menarik tangannya lagi.

“Aku bisa jalan sendiri! Tanganku sakit dipegang-pegang!”

“Nggak mungkin. Tanganku halus!”

Nih, cowok... pede banget, sih?

“Heh, kita buat perjanjian aja. Jika kamu berani menyentuhku saat drama nanti. Kamu harus dihukum.” kata Grace mengecak pinggang.

“Apa untungnya buatku? Aku kan sama sekali tidak rugi atau untung!” kata Refan.

“Pokoknya, jika kamu berani menciumku, kau harus dihukum!”

“Tapi kan—”

“Titik! Tidak ada bantahan!” kata Grace berjalan lebih dahulu.

Refan mengerutkan dahinya. Yah... sudahlah...

***

Grace memeluk Refan dengan perasaan galau. Tubuh Refan yang hangat berhasil mengusir dinginnya malam.

“Dek, nggak makan?” Kim muncul dari balik pintu. “Ngapain, sih meluk Refan terus? Nanti Refannya manja loh.”

Guk, guk, Refan menggonggong.

“Dia selalu menyahut kalau dipanggil Refan, ya?” komentar Kim. Refan menggonggong lagi. “Ada masalah, Dek?”

“Kenapa, sih Bang, Grace nggak boleh mudah jatuh cinta sama cowok keren?” kata Grace. Kim bengong. “Habis... Kak Harry bilang kayak gitu.”

Kim hanya tersenyum lalu merangkul Grace. “Mungkin karena kebanyakan cowok keren itu cuman tahu menyakiti hati cewek aja.”

“Berarti Bang Kim sering banget nyakitin cewek, ya?” kata Grace.

“Nggak. Aku kan dari dulu cuman cinta sama pacarku saja,” kata Kim mengelus rambut Grace. Grace mengerutkan dahinya.

“Bang Kim punya pacar? Siapa?”

“Namanya Lo—eh, nggak penting!” kata Kim, wajahnya merah padam. “Abang masuk dulu, ya, dingin, nih. Jangan lupa makan malam.”

Grace hanya tersenyum-senyum saja melihat Kim yang salah tingkah seperti itu. Ternyata Bang Kim sudah punya pacar, toh. Lo... kayak nama cowok, deh. Tapi, mustahil ah kalau Bang Kim pacaran sama cowok.

Grace mempererat pelukannya pada Refan. “Kita masuk yuk, Fan.”

Grace menggendong Refan dan membawanya masuk ke dalam. Saat dia memasuki ruang depan, dia melihat ada yang beda disitu. Ada Rachael.

“Ini dari Mummy, Kak,” kata Rachael memberikan sebuah kotak kado pada Harry. “Katanya sebagai tetangga baru harus ada oleh-oleh, gitu.”

“Oooh, makasih, ya.” kata Harry ramah. “Siapa namamu?”

“Rachael? Ngapain kau ada disini?” kata Grace heran. “Apa itu?”

“Puding.” jawab Rachael.

“Loh? Grace kenal sama tetangga baru kita ini, ya?” kata Evan heran.

“Kami satu kelas, Kak,” kata Rachael ramah. Grace heran. Tetangga baru?

“Grace, rumahku ada di depan rumahmu, tuh. Mulai hari ini kita tetanggan.” katanya.

Pantas saja tadi dia bilang akan searah!!

“Kau tinggal sendirian di rumah itu?” kata Daniel membuka isi kotak dan puas sekali. Dia jadi lapar.

“Iya. Mummy ada di Paris dan Papi ada di Mesir. Jadi aku cuma tinggal sendirian.”

Ha? Kasihan banget hidupnya.

“Kalau ada apa-apa datang aja kesini ya?” kata Kim ramah. Rachael hanya mengangguk.

Dan esok harinya, Rachael mampir ke rumah Grace.

“Grace!! Ayo berangkat!”

Abang-abangnya hanya mengangkat bahu saat Grace keluar rumah.

“Kayaknya tetangga baru kita itu menyukai Grace,” kata Mark.

“Kelihatannya begitu.” kata Kim lagi.

“Mungkin Grace bisa jatuh cinta sama dia.” kata Evan lagi.

“Mustahil. Grace sudah punya orang yang dia sukai,” kata Harry memakan rotinya.

“Eh? Siapa?” kata Daniel.

“Refan.”



***