Minggu, 29 Maret 2009

StarBoy Eps 3,4


STAR BOY
by: Prince Novel
=====================================
Aku tidak dapat menepis kenangan,
Tidak bisa menjadi lebih baik
Tidak bisa mengatakan kejujuran,
Juga tidak bisa membuatmu mengerti
Kesedihan yang kurasakan, tidak akan pernah berarti apa-apa bagimu
3.
StarBoy’s Locker
Flo dari tadi hanya melipat tangan dengan sebal. Hari sudah mulai gelap tapi Reon tidak datang-datang juga sesuai dengan perjanjian. Tadi juga Reon bolos dan tidak masuk pelajaran terakhir. Flo memukul meja dengan berang. Sial. Dia mau main-main denganku rupanya.
“Lebih baik kita pulang saja,” Alex memcahkan kesunyian sambil menutup buku yang dari tadi dia baca. “Percuma menunggunya disini. Dia tidak akan datang.”
“Benar. Padahal kuenya enak begini,” Zacky menyeka mulutnya yang penuh gula. Dari tadi dia sibuk makan kue seorang diri. Esar menghentikan aksinya menulis jawaban dari soal yang dia kerjakan. Aster melongok dari permainan caturnya bersama Andrean.
“Kita pulang Flo.”
Flo keluar terlebih dahulu sambil mengepalkan tangan. Dia sudah habis kesabaran sama sikap Reon. Dia tidak akan memaafkannya kali ini. Tidak akan.
Keesokan harinya, Reon absen.
“Baru dua hari dia sudah bolos. Apa, sih yang dia kerjakan?”
Hari berikutnya juga.
“Apa tidak ada kabar dari Reon?” Bu Risa yang memeriksa absen mengadahkan kepalanya. “Flo, bukankah dia nggota StarBoy? Apa kau tidak tahu dia ada dimana?”
“Ti-tidak.”
Flo hanya menatap bingung bangku disampingnya. Dia heran sendiri, apa anak itu sudah mulai membandel? Kalau mengingat kembali kata-kata Reon sewaktu dia masuk, sepertinya dia memang suka bolos.
“Apa yang terjadi dengannya, ya?” Andrean menggigit kuku jarinya dengan khawatir. “Dia sudah absen empat hari. Apa kita harus ke rumahnya? Bagaimana menurutmu?” dia mengadahkan kepala pada Aster.
“Aku tidak peduli.” Katanya enteng.
“Tapi aku merasakan hal yang buruk terjadi dengannya. Bagaimana kalau kita datang saja ke rumahnya?” kata Andrean lagi.
“Kalau aku datang ke rumahnya aku pasti akan melayangkan tinjuku padanya,” kata Flo sebal. Dia masih sakit hati. “Jadi lebih baik tidak usah.”
“Aku rasa Andrean dan Aster saja yang menjenguknya,” celetuk Zacky. “Aster bisa diandalkan kalau Reon mengamuk, tapi Reon juga tidak akan berani menyakiti Andrean, sih. Soalnya Andrean kayak perempuan. Aku yakin Reon tidak akan mau memukul perempuan.”
“Jangan mengatainya perempuan,” kata Aster dalam.
“Sori,” kata Zacky lagi sambil lalu.
Aster dan Andrean memang teman sejak kecil dan tugas Aster-lah untuk melindungi Andrean. Lagipula, orang tua Andrean merupakan atasan orang tua Aster. Jadi kewajiban untuk melindungi Andrean selalu ada pada Aster.
“Tidak. Kita ini StarBoy, maka kita harus pergi bersama. Flo aku minta kau menjaga sikapmu nanti. Tolong jangan melayangkan tinjumu,” kata Alex datar. “Aku akan mencari dulu alamat Reon di buku siswa.
“Percuma,” tiba-tiba Esar bericara. Dia memperbaiki kacamatanya sebelum melanjutkan. “Aku sudah datang lebih dulu ke rumahnya. Hasilnya nihil. Itu alamat palsu.”
“Apa? Kau mencarinya sendiri?” kata Zacky tidak percaya. “Kupikir kau tidak peduli sama anak baru itu.”
“Yah, awalnya…” kata Esar. “Tapi mau tidak mau ada yang membuatku tertarik pada pribadinya. Lagipula, jika melihat dari keadaannya saat bolos itu aku merasa ada yang aneh. Dia seperti mengkawatirkan sesuatu.”
“Eh? Esar melihat Reon sebelum kabur?”
“Hanya sekilas sewaktu di koridor.”
“Baiklah. Kalau Esar sudah datang ke rumah itu dan ternyata rumah itu palsu, kita tidak bisa mengetahui dimana Reon kan?” Flo menggaruk-garuk kepalanya. “Kita tunggu saja sampai dia datang sendiri ke sekolah.”
“Aku juga setuju. Kalau tidak ada kabar begini kita mau mencari dia dimana? Masa kita harus mencarinya di kota sebesar ini?” Zacky mengangguk-angguk.
Esoknya, Esar berlari melewati lapangan dengan terburu-buru. Dia menubruk beberapa siswi dan tidak berhenti untuk meminta maaf.
“Flo!”
Flo, yang sedang main basket dengan beberapa teman-teman berandalannya, hanya bisa terbengong melihat Esar berlari-lari panik. Dia berhenti bermain basket dan keluar lapangan. Alex yang sedang membaca buku di dekat lapangan juga mendatangi Esar, begitu juga dengan Andrean dan Aster yang sedang bermain kartu di bawah pohon.
“Ada apa?” kata Flo santai menyeka keringatnya.
“Kau harus membantu Reon, dia dikeroyok geng berandalan!” teriak Esar menarik tangan Flo. “Cepat! Kita harus menolongnya! Aku melihatnya mengucurkan darah!”
Flo hanya dapat mengerutkan dahinya saat Esar menariknya. StarBoy yang lain pun hanya bisa diam tanpa kata dan mengikuti Esar. Dikeroyok? Reon dikeroyok? Hal bodoh apa yang membuat anak dari Australia itu dikeroyok begitu cepat? Beberapa hari lalu dia tidak masuk dan tanpa kabar, sekarang dia malah dikeroyok geng berandalan. Benar-benar bikin susah!
“Itu. disana.” Esar yang ngos-ngosan menunjuk ke depan. Tidak jauh beberapa meter dari tempat mereka, mereka melihat kerumunan orang yang sepertinya sangat berbahaya. Mereka semua memegang balok kayu panjang atau besi dan benda-benda yang bisa dijadikan senjata. Dan ditengah-tengah kerumunan, mereka juga dapat melihat Reon. Dia kelihatannya berupaya untuk membela dirinya.
“Menyerah saja! Kau tidak akan bisa melawan kami!”
“Bunuh!”
“Ga—gawat sekali. Telepon polisi,” Andrean mengeluarkan ponselnya. Esar buru-buru mengambil ponselnya.
“Kau gila? Kalau kau menelepon polisi, Reon juga bisa ditangkap. Kita harus berpikir tenang disaat begini.” Kata Esar.
“Tidak perlu. Kelamaan!”
Flo berlari ke arah kerumunan, Aster dan Zacky juga menyusul dari belakang.
“Sebaiknya kita serahkan urusan ini pada orang yang bisa diandalkan. Contohnya mereka bertiga yang sangat hobi berkelahi,” kata Alex tenang.
“Kau ini benar-benar Ketua Osis tidak, sih?” kata Esar sebal. “Sebaiknya kita bilang sama sekolah. Sekolah pasti bisa mengatasi masalah ini.”
“Tidak mungkin. Mereka berempat bisa dikeluarkan dari sekolah dengan alasan membuat malu nama sekolah. Sebaiknya kita lihat keadaannya saja. Jika mereka tidak sanggup melawan geng itu baru kita mencari bantuan. Lagipula…”
“Lagipula…?” kata Andrean ketakutan.
“Lagipula mustahil berandalan itu tidak mengenal Flo.”
“Iya juga ya.”
Flo berteriak membuat kerumunan berandalan itu berhenti beraksi untuk beberapa waktu. Dengan gaya yang cool dan tanpa rasa takut sekalipun, dia berkata lagi. “Boleh ikutan main tidak? Satu lawan banyak nggak seru loh. Bagaimana kalau melawan kami juga?”
Reon menyeka darah dari pelipisnya. Flo…?
“Siapa kalian? Oang luar jangan ikut campur!”
Salah seorang dari kerumunan itu berjengit. “Bos… dia itu kan yang tahun lalu.”
“Ha?”
“Andres Floyan, Ketua berandalan yang menguasai empat sekolah.”
“Apa kabar?” kata Flo meremas jarinya. “Ternyata kalian yang tahun lalu, ya? Masih mau cari gara-gara? Itu temanku loh. Kalian bisa kuhabisi sekarang juga ditempat ini kalau tidak cepat pergi dari sini. Bagaimana?”
Barandalan-berandalan itu mundur selangkah. Mereka sepertinya mulai menyadari kalau mencari keributan dengan Flo sama sekali tidak efektif saat ini. Mustahil bagi mereka untuk melawan Flo yang punya anak buah siap tempur yang jumlahnya mungkin sekitar dua ratus orang.
“Baik. Kami mundur. Tapi katakan pada temanmu untuk tidak mencari keributan dengan geng kami lagi. Jika sekali lagi dia melakukannya, dia akan habis.”
Mereka pergi secara teratur, walaupun sempat mendorong jatuh Reon.
“Tuh, kan beres seketika.” Kata Alex enteng.
Andrean berlari kearah Reon yang cuma bisa diam tidak bergerak. Wajahnya penuh lebam, sepertinya dia sudah lama dikeroyok.
“Kau tidak apa-apa? Untung saja Flo berandalan, jadi dia bisa menolongmu, ya?” kata Andrean menolong Reon untuk berdiri.
“Andrean, jangan jujur begitu, dong,” kata Flo lagi. “Lukamu tidak parah kan?”
“Bukan urusanmu,” gumam Reon menyeka darah dari sudut bibirnya.
“Kau ini sudah ditolong masih saja sombong!” Flo berteriak sebal sambil menarik kerah baju Reon. “Harusnya kau mengucapkan terimakasih karena sudah ditolong olehku!”
“Aku tidak minta ditolong olehmu,” katanya lagi datar.
“Kau ini benar-benar mau dipukul, ya?” gumam Flo lagi mengangkat tinjunya dengan sebal. Andrean menghalangi Flo dan menyeruak ke tengah-tengah.
“Reon, jangan kasar! Kau masih mau melukai Reon yang terluka parah?”
“Kalau memukulnya bisa memperbaiki otaknya sama sekali tidak masalah bagiku!”
“Otakmu yang perlu diperbaiki.” Kata Reon lagi datar. Matanya menatap ke bawah.
“Awas kau, ya!!” Flo hedak memukul Reon, tapi Aster dan Zacky segera memegangi tubuhnya. “Lepaskan aku! Biarkan aku memukulnya! Esar, kau salah menolongnya! Lebih baik kita membiarkannya saja! Orang seperti dia, kita tidak butuh!”
Anak sepertimu, Ayah tidak butuh!
“Bagus kalau begitu,” kata Reon berbalik pergi. “Jangan cari aku.”
“Hey, tunggu! Aku belum selesai bicara! Apa maksudmu memalsukan alamat rumahmu! Kenapa kau tidak datang pada—TUNGGU DULU!! KURANG AJAR!!”
Andrean menatap bergilir dari Flo dan Reon yang berjalan berlawanan arah dengan tidak peduli. Dia mengerutkan dahi saat melihat sosok Reon yang tidak berbalik sedikitpun. Rasanya ada yang aneh, Reon seperti menyembunyikan sesuatu.
“Anu, Reon,” Andrean mengejar Reon.
“Jangan ikuti aku.”
“Lebih baik kita rawat dulu lukamu. Kita bisa ke rumah sakit.”
“Nggak butuh.”
“Andrean, percuma saja kau perhatian sama makhluk batu kayak dia!” kata Flo yang masih berang. Dia masih dipegangi Aster dan Zacky, sepertinya mereka takut kalau Flo bakal menyerbu Reon.
“Kalau begitu ke rumahku saja. Rumahku tidak jauh dari sini, kita bisa mengobati lukamu. Kalau dibiarkan nanti bisa membekas loh.”
Reon berhenti. “Ha?”
“Tidak mau, ya? Kalau begitu ke rumahmu saja. Orang tuamu ada kan? Eh, tapi tidak bisa ya. Kalau mereka melihatmu dalam keadaan begini, mungkin kau bakal dimarahi.”
Reon menaikan alisnya. Bingung sendiri.
“Kau dengar kan dari tadi aku bilang apa?” kata Reon sebal. “Aku bilang jangan ikuti aku dan aku sama sekali tidak butuh dengan perhatianmu. Percuma saja. Jadi tinggalkan aku sendiri sekarang juga.”
“Tapi, bukankah orang terluka sebaiknya segera diobati?”
“Aku bisa melakukannya sendiri.”
“Kalau begitu mau kutemani?”
“A—Apa?” kata Reon lagi.
“Orang terluka sebaiknya ditemani. Soalnya pasti sakit sekali kan? Apa kau tidak mau ditemani?”
Orang ini… baru pertama kali aku melihat ada orang sepolos dia! Apa dia tidak menyadari kalau aku dari tadi tidak suka kalau dia mengikuti aku?
“Kau tidak keberatan kan?”
Tapi…
“Ada luka yang tidak bisa disembuhkan oleh diri sendiri loh.”
Dia benar…
“Yah… baiklah…”
“Cihuy!”
Reon hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya saat melihat senyuman Andrean. Alex hanya bisa menghela napas. Esar sendiri mengelus-elus dadanya. Flo cuma memasang tampang sebal, tapi dia tidak bisa melakukan apapun. Begitu juga dengan Zacky dan Aster.
“Andrean benar-benar seperti malaikat saja, ya,” kata Zacky meminum teh yang ditawari pembantu Andrean. “Reon sama sekali tidak bisa melakukan apa-apa saat berhadapan denganmu.”
“Eh, aku cuma tidak tega melihat Reon pulang dengan wajah babak belur,” kata Andrean merendah. Dia melirik kearah Reon yang memegang kompres. “Reon, perlu ditolong?”
“Tidak usah,” katanya pelan.
“Kubantuin, deh,” Flo mengambil kompres dari tangan Reon dan membersihkan luka Reon. “Dari tadi kau tidak membersihkan dengan benar tahu. Memangnya bisa dilihat sendiri?”
“Flo ternyata baik, ya,” kata Andrean lagi.
“A—? Jangan mengataiku begitu!” wajah Flo merah padam saat dia mengatakan hal itu sehingga tanpa sadar tangannya terlalu keras menekan luka Reon.
“Sakit tahu!! Bagian mana yang kau pegang!” gerutu Reon. “Lebih baik aku mengobatinya sendiri! Berikan kompresnya!”
“Ini gara-gara Andrean ngomong yang tidak-tidak!” kata Flo lagi. Dia menarik kompres yang diambil Reon.
“Aku tidak butuh bantuanmu! Berikan kompresnya!” Reon menarik kembali kompresnya.
“Aku mau mengobatimu, bodoh!”
“Idiot sepertimu tidak bisa melakukan apa-apa!”
“APA? HEH, NANTANG, NIH! Kau benar-benar tidak tahu berterima kasih! Sudah ditolongin juga!”
“Jadi kau mau apa?”
“Bilang terimakasih atau apa kek. Kau—”
“Baik. TERIMA KASIH!”
Flo terdiam beberapa saat. Reon kembali memeras kainnya dan meletakannya lagi di wajahnya. “Eh, kau bilang apa barusan?”
Reon tidak menjawab.
“HEY!! AKU BERTANYA PADAMU!”
“Kau ini benar-benar menyebalkan,” gumam Reon lagi. “Aku bilang terima kasih. Kau ingin aku mengulangnya berapa kali sampai kau puas, hah?”
“Seribu kali,” kata Flo sombong.
“Kau sudah gila,” gumam Reon cuek.
“AWAS KAU YA!!!”
***
Reon memarkir motornya di basement. Dia melepas helmnya dan mengeluh sedikit. Dia memegangi dagunya yang terluka dan mengeluarkan darah, sebelum kesini dia sempat berkelahi lagi dengan sesorang. Rasanya akhir-akhir ini dia jadi sering berkelahi. Gara-gara Dipo….
“Aku tidak akan melakukan apapun pada wali tersayangmu itu, tapi ada sayaratnya Reon. Bagaimana kalau kau bergabung dengan geng kami? Kami kekurangan orang, nih.”
Reon menghela napas sambil menyeka darah dari dagunya dengan ujung lengan jeket putihnya. Dia menarik tasnya dan berjalan menuju kelasnya. Sudah enam hari dia tidak masuk—rasanya lebih parah daripada sekolah yang dulu. Dalam seminggu, dulu, dia hanya masuk tiga kali, sekarang malah enam hari… padahal hari belajar kan ada lima hari.
“Pagi, Reon.”
“Pagi.”
Reon asal saja menjawab tanpa mempedulikan siapa yang menyapanya pagi ini. Dia menyeka darahnya lagi. Aduh, kok nggak berhenti, sih?
“Tumben datang,” kata Flo sebagai ucapan selamat paginya. Dia nyengir lebar di depan pintu. “Kupikir kau tidak datang, sedang istirahat mungkin atau—kenapa kau berdarah?”
Reon mendorong minggir Flo. Flo mengikutinya.
“Hey, kenapa kau berdarah?”
“Jatuh,” jawab Reon berbohong. Kalau dia jujur bisa-bisa Flo yang akan turun tangan. Reon sama sekali tidak suka ada orang yang suka ikut campur urusannya.
“Kau yakin? Sampai separah itu? Tapi kenapa rasanya wajahmu semakin parah saja? Coba lihat wajahmu, lebamnya semakin banyak.” Kaat Flo lagi menotol-notol lebam di pelipis Reon. Reon segera menyingkirkan tangan Flo.
“Bisa tidak sih kau tidak bertanya terus? Kau mengganggu,” kata Reon lagi. Dia mengambil sapu tangan dari kantong celananya dan menyeka darah dari dagunya.
“Nanti sepulang sekolah datang ke Loker, ya?”
“Buat apa?”
“Lho, tentu aja buat pesta kan?”
Reon menatap wajah Flo yang kelihatannya tenang-tenang saja. Dia sama sekali tidak mempersalahkan masalah minggu lalu ternyata.
“Baik. Aku datang.”
“Gitu, dong, Bro!” kata Flo meninju bahu Reon. Reon, secara refleks menyingkirkan tangan Flo. Flo baru saja menyentuh bagian tubuhnya yang luka. “Kenapa?”
“Nggak.”
Reon mengalihkan pandangannya kearah lain.
***
“Selamat datang Reon!!” anggota StarBoy berteriak seru sambil memecahkan beberapa petasan dan balon kearah Reon yang memasuki loker. Reon, rasaya seperti kejatuhan pita-pita dan seprihan yang berkilau-kilauan. Dia hanya tersenyum kecil saja saat mereka menepuk-nepuk punggungnya. Kau tahu kenapa? Karena punggungnya penuh luka.
“Kita makan kue!” Andrean merangkul tangan Reon—yang lagi-lagi segera disingkirkan dengan cepat oleh Reon. “Eh, kenapa?”
“Nggak apa-apa.” Jawab Reon cepat. “Kue apa?” tanyanya mengalihkan pembicaraan.
“Tart,” jawab Andrean pelan. Dahinya mengerut. “kau yakin kalau kau baik-baik saja, Reon? Kau seperti menahan rasa sakit.”
“Eh, ng-nggak apa-apa, kok,” kata Reon lagi.
“Tunggu sebentar. Aku juga merasakan hal yang sama,” kata Flo menepuk bahu Reon, yang langsung disingkirkan Reon. “Kenapa bahumu?”
Reon memegang bahunya. “Aku kan sudah bilang, aku jatuh, jatuh dari motor.”
“Kalau jatuh harusnya dibawa ke rumah sakit saja. Kalau ada tulang yang patah bisa gawat. Nanti kau bisa cacat loh,” kata Andrean lagi, kali ini dia menarik tangan Reon. “Tanganmu juga ya?” kata Andrean dengan dahi mengerut saat Reon menarik tangannya kembali. “Reon?”
“Iya. Nanti. Kau tidak perlu khawatir, aku baik-baik saja. Sudah biasa.” Kata Reon lagi.
“Sudah biasa? Maksudmu kau selalu jatuh dari motor?” kata Esar, dahinya mengerut.
“Reon, coba buka jeketmu. Aku mau lihat seberapa parah lukamu,” kata Alex pelan.
Reon menelan ludah saat anggota StarBoy menatapnya tanpa berkedip.
“Kalian tidak harus mencampuri urusanku kan?” kata Reon sebal. Dia melipat tangannya. “Kalau aku bilang bahwa aku baik-baik saja maka aku baik-baik saja.”
“Kenapa kau tidak menuruti perkataan Alex saja sih?” kata Aster lagi. “Jangan-jangan itu luka perkelahian?”
“Kenapa sih kau selalu berkelahi? Kau tidak punya hobi lain selain berkelahi?” kata Esar lagi dongkol. “Coba lihat lukamu.”
RRRR….RRRRR
Reon terlonjak kaget. Dia mengambil ponselnya dan mengangkatnya. “Halo?”
“Ada dimana?”
“Di sekolah.”
“Pulang sekarang. Ada yang mau kubicarakan.”
“Ya.”
Reon menutup teleponnya. “Aku harus pulang. Ayahku mencariku. Maaf aku tidak bisa ikut pesta.”
Reon menarik tasnya dan pergi tanpa ada yang menghalanginya.
“Apa-apaan, sih sikapnya itu?” kaat Flo sebal. “Dia lebih menyebalkan darimu Alex!”
“Apa maksudmu?” kata Alex tampak tidak terima. “Andrean, mau kemana?”
Andrean sudah ada di depan pintu. “Anu, aku mau mengikuti Reon. Aku mau tahu dimana alamat rumahnya.”
Alex dan Flo saling pandang.
“Kita ikut.”
***
4.
Reon’s life
Aster mengintip melihat Reon berjalan diantara gang kecil. Aneh sekali saat melihat Reon memarkirkan motornya kesalah satu rumah kosong tua dan dia sendiri berjalan lagi ke jalan raya. Mereka bersembunyi dengan cepat saat Reon berbalik ke belakang karena merasakan ada orang yang mengawasinya.
Reon menghela napas lagi. Karena sudak keluar dari kehidupan glamour seorang violis entah kenapa dia jadi paranoid terhadap sekelilingnya. Termasuk seakan merasakan adanya paparazzi yang membawa-bawa kamera.
Reon mengetuk pintu sebuah rumah kecil. Rudolph membuka pintu, wajahnya cemas.
“Reon, Ayahmu datang. Sebaiknya kau tidak pulang hari ini.”
Reon menggaruk-garuk kepalanya. “Dia tadi meneleponku, menyuruhku pulang. Mungkin ada yang mau dia bicarakan.”
Rudolph merangkul Reon dan menariknya keluar. Dia kelihatan khawatir sekali saat melihat sekali lagi kearah pintu. Dia berbisik dan kelihatan amat gelisah. “Kau gila? Kau sudah tahu alasan Ayahmu datang hanya untuk memukulimu. Sebaiknya kau pulang kemana saja, sudah cukup banyak luka di tubuhmu. Kemarin dia memakai sabuk, sekarang mungkin dia akan memakai rantai!”
“Aku tahu.”
“Lalu?”
“Walau bagaimana pun dia tetap Ayahku, Rudolph.”
Reon memperbaiki tas sampingnya dan berjalan menuju rumah itu. Rudolph menghalanginya. “Pergilah dari tempat ini sebelum terlambat. Aku akan bilang pada Ayahmu kalau kau punya urusan di sekolah.”
“Minggir, Rudolph.”
Reon mendorong minggir Rudolph. Dia memegang kenop pintu dan masuk ke dalam.
Aster, Esar, Alex, Flo dan Andrean keluar dari tempat persembunyian mereka. Walaupun tadi Reon berbicara dengan suara pelan yang amat pasrah, mereka dapat mendengar dengan baik kalau Reon sering dipukuli Ayahnya. Kalau begitu, luka yang ditubuh Reon tidak lebih karena ulah Ayahnya.
Andrean berjengit dan berlari kebelakang punggung Aster saat mendengar ada suara sabetan dari dalam rumah. Kemudian ada suara benda pecah.
“Cukup, Tuan Sagara! Akulah yang seharusnya Anda salahkan! Bukan dia!” terdengar suara Rudolph dari dalam.
“Minggir! Kau hanya guru biolanya! Kau tidak bisa mendidiknya sedikitpun!”
“Tapi cara Anda mendidik juga salah!”
“Aku tahu yang aku lakukan!”
Mereka mendengar suara sabetan lagi. Kali ini semakin parah saja.
“Apa Reon baik-baik saja?” kata Andrean lagi. Aster merasakan kalau tangan Andrean gemetaran.
“Kita harus menolongnya,” kata Alex. Dia memimpin mereka masuk ke dalam rumah. Dan dia berhenti saat melihat pamandangan di depannya.
“Ayah, jangan pukuli Waliku. Dia sama sekali tidak bersalah,” Reon merangkul Rudolph yang terjatuh di lantai. Wajah Reon sendiri penuh garis-garis merah. Ada darah keluar dari sudut bibirnya. Jeketnya sekarang lusuh dan memiliki bercak-bercak merah di beberapa sudut.
“Kau memang tidak tahu diri. Padahal kau sudah jadi violis hebat, berbakat, terkenal! Hanya karena orang ini…” laki-laki bertampang Eropa, yang sangat tampan andai saja dia tidak marah-marah, berteriak marah pada Reon. Dia memegang sabuk di tangannya.
“Aku punya alasan tersendiri untuk mundur,” kata Reon lagi.
Ayah Reon mengibaskan sabuknya lagi. Reon menutup matanya. Dia bahkan tidak bersuara saat menerima sabuk kulit itu menyentuk kulitnya dengan sangat cepat dan membuat bekas merah panjang.
“Ayah, sudah puas?” kata Reon lagi.
“Tidak tahu diri! Anak kurang ajar!”
Dia mengayunkan sabuk itu lagi. Beberapa kali sampai membuat air mata Andrean jatuh karena ngeri melihat adegan itu. Flo segera mengambil sabuk itu dari tangan Ayah Reon dan melemparnya ke ujung ruangan.
“Apa yang Anda lakukan? Apa salah Reon sampai Anda harus memukulinya?” Flo berteriak sambil mendorong Tuan Sagara merapat ke tembok.
“Kau siapa? Jangan ikut campur urusanku!” katanya balas berteriak.
“Kami teman-teman Reon!” kata Flo berang.
Flo…
“Kau tahu, karena Reon berteman-lah yang membuat dia tidak main biola lagi!”
“Tuan Sagara, hentikan—”
“Merokok! Alkohol! Polisi! Bahkan memakai barang haram yang seharusnya tidak digunakan remaja seperti dia!”
Rudolph menatap Reon yang hanya menatap lantai dengan tatapan kosong.
“Kau tidak tahu seperti anakku! Aku yang tahu!” kata Tuan Sagara mendorong jatuh Flo.
“Tuan Sagara, kumohon… Reon—”
“Diam, Rudolph! Aku belum selesai!” kata Tuang Sagara lagi. “Aku bahkan amat malu mengakuinya sebagai Putraku! Apa yang sudah dia lakukan selama ini sebaiknya tidak kau sembunyikan Rudolph! Aku jelas-jelas melihat dia memakai obat!”
Rudolph menggeleng lemah.
“Tuan Rudolph, obat itu nyawa Reon…” katanya pelan.
“Nyawa katamu? “ ulang Tuan Sagara berang. “Kau seharusnya melarang Reon memakai obat itu! Apa yang kau pikirkan hah? Kalau dia mati karena over dosis, apakau bisa bertanggung jawab?”
“Tapi—”
“Jangan bicara lagi! Kau minggir dari situ biar aku yang mengajarinya!”
“Tidak—”
“Rudolph, minggir…,” kata Reon pelan. “Ini masalahku.”
“Tapi, Reon, Ayahmu tidak tahu apa-apa. Kita harus menjelaskan padanya.” Kata Rudolph lagi. Reon menggeleng.
“Ayah adalah tipe orang yang tidak punya kuping. Percuma saja kau menjelaskan. Sampai mulutmu keringpun, dia tidak akan mau dengar. Sekarang minggirlah, kau bisa terluka nanti.”
“Tapi—”
Pak Guru, kumohon menyingkirlah…”
“Aku tidak akan membiarkanmu dipukuli!” Andrean menyeruak kearah Reon. Tubuhnya gemetaran dan dia berkeringat dengan sangat gelisah. “Kau idolaku. Seperti apapun kau aku tetap terima. Menurutku, tidak ada orang yang bisa memainkan musik begitu menyayat hati seperti permainanmu.”
“Andrean… kau orang luar…”
“Dan aku juga tipe orang yang tidak punya kuping!”
“Kami tidak akan membiarkan kau terluka lebih parah,” kata Alex membantu Reon berdiri. “Kau tenang saja. Sesama StarBoy harus saling menolong kan?”
“Kalian…”
“Tuan Sagara, kalau ingin menyentuh Reon, Anda harus melewati kami dulu.” Kata Aster maju di depan mereka. Esar membatu Flo berdiri.
Tuan Sagara tampaknya tidak bisa berbuat apapun saat melihat benteng perlindungan yang diberikan StarBoy terhadap Reon.
“Reon, Ayah pasti datang lagi!” dia melempar benda di tangannya dan keluar dengan berang. Dia sempat menerobos Alex dengan tatapan marah.
“Ayahmu cukup menyeramkan juga,” ujar Flo saat Reo didudukan ke sofa terdekat.
“Kau tidak apa-apa?” tanya Rudolph khawatir. “Lukamu yang kemarin belum sembuh, sekarang malah ditambahi luka yang lain.”
“Cuma luka kecil.”
Reon tersenyum menenangkan. Hal yang tidak pernah dilihat oleh StarBoy.
“Tapi—”
“Hanya luka kecil, kok, Rudolph,” kata Reon lagi. Senyumnya itu membuat anggota StarBoy bengong untuk beberapa saat. Wajah malaikat yang sekarang ditunjukan Reon sungguh tidak biasa. “Aku bisa mengobati lukaku sendiri. Apa kau tidak bekerja hari ini?”
“Aku akan mengambil cuti saja.”
Reon menggeleng. “Kau tidak boleh mengambil cuti. Pergilah bekerja. Aku sudah punya orang yang merawat serta menjagaku disini. Kau bisa mengandalkan mereka.” Reon menunjuk ke sekelilingnya.
Akhirnya Rudolph mengangguk dan menyerah.
“Aku minta tolong kalian menjaga Reon ya?” dia berkata pada Alex. “Dia satu-satunya anak didikku yang paling kusayangi.”
“Baik. Tidak perlu khawatir.”
Andrean dan Esar mengantar Rudolph ke depan pintu setelah mengucapkan terima kasih terlebih dahulu. Saat mereka kembali, tatapan Reon kembali lagi seperti biasa. Dingin dan tidak peduli. Bahkan senyum dan kehangatannya sama sekali tidak terasa.
“Wah, kau seperti punya dua kepribadian,” ujar Aster.
“Memang,” kata Reon setuju. Dia melepas seragamnya dan memperlihatkan tubuhnya yang penuh biru dan lebam. Ada yang berbekas lama dan ada yang masih baru. “Aku tidak punya alasan menghindari pertanyaan kalian sekarang. Berhubung aku sudah terjebak disini bersama kalian. Kalian sudah tahu dimana rumahku, ayahku, waliku, bahkan yang tidak kuharapkan sebelumnya, kehidupan pribadiku. Aku yakin sekali kalian akan bertanya.”
“Tantu saja kami akan bertanya,” kata Zacky setuju.
Reon mendesah. Dia bangkit dan mengambil es dari kulkas.
“Ya, sudah… bertanyalah.”
***

Love Love Love 10

Love for you Love for my family Love for my friend

written by: Glorious Angel

helped by: Prince Novel

10.

Penampakan, Kembang Api, Teriakan

Refan menarik risleting baju tanpa lengannya dalam diam sementara dia berjalan melewati koridor. Menurutnya pribadi, hotel ini sangat menarik. Suasananya tenang dan tidak glamour walaupun ada beberapa yang memiliki faslitias mewah yang tiada duanya—contohnya seperti cerita hantu yang diceritakan pelayan dari mulut ke mulut

Katanya ada hantu setiap jam dua belas malam pada saat malam bulan purnama. Hantu wanita berbaju putih panjang yang terbawa angin. Dan wanita itu selalu kelihatan jelas di antara batu karang di dekat pantai—tepatnya di kamar yang mereka pakai saat ini.

Dan anehnya, pengunjung amat menyukai penampakan itu. Dia heran sendiri, buat apa melihat sesuatu yang tidak penting itu? Masa mereka percaya pada hantu di zaman seperti ini? Benar-benar norak. Apalagi dari hal yang dia lihat, penampakan itu merupakan daya tarik hotel ini. Ya, ampun… orang-orang sekarang memang tidak normal.

“Kau sedang apa?” Refan bertanya pada Rachael yang mondar-mandir di depan pintu tertutup dengan raut wajah gelisah. Dia kelihatan kaget saat melihat Refan muncul. Refan melihat pintu yang ditunggui Rachael. Kamar mandi wanita.

“Buat apa kau ada disini? Mau mengintip, ya?” kata Refan sengit. Dia tidak menyangka orang seperti Rachael—yang dikatai Pangeran atau apalah—tega berbuat hal seperti itu.

“Jangan salah paham, ya.” Wajah Rachael bersemu merah. “Aku sedang berusaha memikirkan cara untuk mengambil kunci kamar yang jatuh di dalam sana.” Dia menujuk ke arah pintu.

Refan menatapnya tajam. “Bagaimana caranya kunci kamar kita bisa ada disana? Apa kau salah masuk kamar mandi atau sedang berusaha untuk mengganti jenis kelaminmu?”

Rachael sebal. “Tadi terjatuh waktu aku didorong cowok bule bertindik. Dia bahkan tidak meminta maaf saat menginjak tanganku tahu!”

Refan mengangkat bahu dengan tidak peduli. “Itu bukan urusanku.”

“Bantu aku dong, Fan.”

“Ogah.”

Refan berjalan menghindarinya tapi Rachael dengan sigap menangkap bahunya.

“Ada Grace yang sedang ganti baju di dalam sana, loh. Kau tidak keberatan kalau aku melihatnya kan?” kata Rachael menggodanya sambil memamerkan gigi-giginya yang putih dan berjejer rapi. “Siapa tahu dia tidak serata yag kau katakan.”

Refan mendelik sebal.

“Ya sudah. Kau mau aku membantu dengan cara bagaimana? Bukankah lebih baik menunggu mereka semua keluar dari sana atau kau panggil saja salah satu dari mereka untuk mengambilkan kunci itu?” kata Refan lagi. Solusi handal tapi rupanya Rachael tidak mau mendengarkan.

“Kita bisa diteriaki tukang ngutil nanti,” katanya cepat. “Kau tahu kan sangat berbahaya bagi cowok setampan kita berkeliaran di kamar mandi wanita dan—”

Refan menyela, “bukankah kau yang dari tadi berkeliaran tidak jelas disini?”

“Oh. Benar.”

Rachael mengangguk-angguk setuju. Dia menuju pintu kamar mandi dan berjongkok.

“Kalau begitu kupastikan saja dulu letak kuncinya.”

“Jangan mengintip, Bodoh!”

Refan menempeleng kepala Rachael. Rachael mengeluh.

“Sakit tahu! Kalau begitu lihat saja sana sendiri!” Rachael mendorong Refan dan Refan menabrak pintu. Pintu itu terbuka dan Refan jatuh.

Teriakan histeris terdengar saat Refan menutup wajahnya dan sebuah gayung terlempar melewatinya dan menghantam wajah Rachael. Rachael jatuh terjengkang.

“DASAR TUKANG NGINTIP!”

Refan melihat Grace dan kemarahannya.

“KYAAA!! REFAN!!” teriak orang dari kamar mandi. “RACHAEL!!”

Refan menutup matanya namun jari-jari tangannya terbuka lebar. “Aku tidak lihat apa-apa. Sumpah!”

Grace dengan marah dan masih memakai handuk mengambil gayung lagi.

“AWAS KAU YA!!!”

Refan buru-buru bangkit dan berlari keluar. Hampir saja dia terkena gayung yang dilemparkan Grace untuknya. Rachael juga melakukan hal yang sama. Dia bahkan lebih cepat dari Refan.

“AKU AKAN MENCEKIK KALIAN KALAU KETEMU!!”

Teriakan Grace terdengar sepanjang koridor. “DASAR PANGERAN-PANGERAN IDIOT!!!”

Grace merasakan akal sehatnya masih hilang walaupun Refan dan Rachael sudah menghilang di balik koridor. Saat dia menutup pintu, dia melihat teman-temannya memasang wajah senang yang luar biasa.

“Ternyata Pangeran kita hobi ngintip!” kata Ananda senang sambil melonjak-lonjak kegirangan. “Untung tadi aku pakai bikini seksi.”

“Iya. Aduh, senangnya dilihatin Refan dan Rachael.” Sambung yang lain.

Grace memandang tidak percaya teman-teman wanitanya. “Hey, harusnya kalian marah karena telah diintip mereka, bukannya senang. Kemana harga diri kalian itu?”

Tapi mereka rupanya tidak mendengarkan.

***

Rachael memegang wajahnya yang lebam. Refan sendiri mengorek-korek telinganya. Rasanya teriakan Grace masih kedengaran berdenging. Ini semua karena Rachael. Semuanya jadi serba salah paham. Bagaimana nanti dia menjelaskan pada Grace mengenai masalah ini? Dia pun kurasa tidak punya muka lagi menatap Grace. Malu.

Refan keluar dari hotel sementara dia tidak memperhatikan Rachael menghilang diantara kerumunan pelayan wanita yang mulai menggodanya. Dia berjalan-jalan sejenak dan akhirnya memutuskan untuk duduk di atas batu karang yang menghadap ke pantai. Dia melihat ombak di pantai dan merasa bahwa pantai ini benar-benar sangat indah.

Entah sudah berapa lama dia disitu sampai Grace duduk disampingnya dan membuatnya kaget. Dia pikir hantu.

“Kenapa?” kata Grace sebal saat melihat cara pandang Refan.

“Eh, nggak.” Refan menaikkan alisnya. “Sejak kapan kau disini?”

“Sejak dua belas detik lalu,” jawab Grace cuek. “Kau sudah lama disini. Kupikir kau akan segera minggat tapi ternyata tidak beranjak sedikitpun. Jadi kuputuskan untuk bergabung. Aku mau melihat sesuatu yang penting disini dan katanya disini tempat yang bagus.”

Dahi Refan mengerut. “Kau mau melihat apa?”

“Matahari tenggelam. Memangnya apa yang kau lihat dari tadi?” Grace menujuk kearah sinar oranye yang seakan ditelan horizon di lautan. Grace menatap tidak percaya kearah Refan sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya lagi. “Wah, cantiknya!”

Refan melihat kalau matahari itu sedikit demi sedikit masuk ke lautan. Angin dari arah laut membelai lembut wajahnya. Sinar oranye yang memuncrati mereka benar-benar terlihat luar biasa. Angin menghempaskan ombak dan samar-samar terdengar suara burung layang-layang dikejauhan.

“Cantik, ya, Fan!” kata Grace kegirangan.

Refan menatapnya tanpa berkedip. Dia menatap Grace yang diterangi sinar keemasan yang amat sangat sehingga dia kelihatan seperti putri yang sangat cantik.

“Fan?” Grace menatapnya dengan keheranan.

“Sangat… cantik…” desah Refan menatap mata Grace. Air laut terhempas dikarang mereka “Kau—cantik sekali.”

Wajah Grace memerah melihat tatapan Refan yang sangat berbeda.

“Maaf—kau tadi bilang apa?”

Refan menggeleng tidak percaya dan kembali ke dunia nyata. “Ampun, deh. Baru kali ini aku melihat ada cewek yang sangat tidak bisa mendengar perkataan orang di dekatnya.”

“Itu karena kau selalu berbicara saat suasana sedang ribut!” Grace menimpali. “Disini kan bising dengan suara ombak yang terhempas-hempas!”

“Aku tidak peduli. Gadis tidak punya kuping tetap saja gadis tidak punya kuping!”

“Kau tadi bilang apa rupanya?” Grace sebal. Dia mencengkram batu karang, berusaha untuk tidak memukul Refan. Apalagi mengingat perlakuannya setengah jam lalu.

“Aku bilang kau cantik, Bodoh!” kata Refan mengalihkan pandangannya kearah matahari yang tenggelam. Sinarnya sudah kelabu sekarang. “Huh, kenapa aku harus selalu mengulangi hal yang sama untukmu? Menyebalkan!”

Wajah Grace memerah dengan cepat. Dia sama sekali tidak menyangka dibilang ‘cantik’ oleh Refan. Tapi Refan kelihatan tidak menyadarinya.

“Aku pergi.”

Refan turun dari tempatnya. Dia sebal.

“Tunggu. Kau belum minta maaf soal kejadian tadi!” Grace melompat dengan sangat sukses. Refan sama sekali tidak menyangka dia membahasnya dan lebih tidak menyangka kalau Grace bisa melompat tanpa terjatuh.

“Untuk apa? Bukannya kau sudah memukul KO Rachael?” kata Refan tidak peduli.

“Tapi kau belum kupukul KO!”

“Rachael tadi hanya berupaya mengambil kuncinya. Aku sudah memberikannya solusi untuk meminta tolong dari cewek yang ada didalam. Tapi dia memilih untuk mengintip sendiri. Saat kularang dia malah mendorongku!”

“Tapi kau belum minta maaf.”

“Baik! Maaf kalau begitu!”

“Dengan tulus!”

Refan menggeram kesal. Dia menarik napas dalam-dalam, rupanya berupaya meredakan emosinya. Dia berusaha menarik-narik ujung bibirnya yang tidak berupaya dengan sukses, sepertinya dia berusaha untuk tersenyum.

“Baik… aku minta maaf…”

Dia mengatakan itu dengan gigi yang tertaut. Grace jadi agak takut melihatnya. Tapi daripada takut, Grace malah merasa kalau itu sangat lucu. Dia tertawa terbahak.

“Kenapa tertawa?”

“Kau tidak melihat wajahmu seperti apa?”

“Jangan mengejekku!”

Grace masih tertawa dan mengikuti langkah panjang Refan.

“Fan, kau tahu tidak kalau tadi kita duduk dimana?”

“Tidak.” Refan jujur. Dia sama sekali tidak tahu dia tadi duduk dimana.

“Kita tadi duduk di tempat yang biasa jadi tempat penampakan hantu wanita putih berambut panjang,” kata Grace, Refan bergidik sedikit, “Awalnya tadi kupikir kau kesambet sendirian disana, ternyata tidak. Bukankah hantu wanita itu kelihatan jelas dari kamar kalian?”

“Jangan bahas itu.”

“Ah… kau takut, ya?”

“Nggak. Aku hanya heran kenapa orang Indonesia begitu menyukai cerita-cerita hantu? Apa mereka tidak bisa mencari hobi lain selain menakut-nakuti diri mereka sendiri dengan cerita yang lebih masuk akal?”

Wah, kata-kata yang terlalu bijak untuk anak seusianya.

“Ngomong-ngomong dari mana kau tahu kisah itu?” tanya Refan lagi. Ah, ternyata dia tertarik juga, rupanya.

“Ini hotel keluargaku.”

“Ah. Begitu rupanya.” Refan mengerti. “Kau suka cerita hantu kalau begitu?”

“Tidak. Cerita hantu itu tidak seram kalau kau dan abang-abangku yang bercerita, kecuali Bang Evan. Dia selalu membuatku ketakutan tidak keruan.”

Refan tersenyum kecil.

“Aku harus mengatakan hal ini padamu. Menurutku Choki itu penakut, aku tidak yakin kau bisa mengatasinya. Tapi dia selalu mempengaruhi orang disekelilingnya untuk takut akan hal yang ada dipikirannya.”

Refan sebenarnya ingin bilang kalau itu omong kosong. Tapi ketika dia melihat reaksi Choki saat memasuki kamar mereka dan cara dia mendengar kisah hantu itu. kelihatannya tidak mustahil kalau Choki tipe pengecut. Tipe banci.

“Sudah ya.”

Refan melambai kecil dan kembali ke kamarnya. Saat dia sudah sampai di depan pintu kamar 444 itu Refan bergidik sedikit ketika mengingat kembali cerita Grace. Huh, ya ampun. Dia masuk dengan ogah-ogahan dan mendapati Rachael sudah ada disana dengan Choki—tepatnya Choki sedang memeluk erat Rachael.

“Kalian sedang apa?” kata Refan agak heran melihat pemandangan yang tidak biasa ini.

“Tahu, nih. Si Choki meluk-meluk aku terus. Lepasin Chok!” Rachael mendorong Choki menjauh darinya sampai membuat Choki terjerembab dari tempat tidur. “Aku nggak sudi dipeluk cowok kecuali cewek cakep seksi.”

“Tapi aku takut!!”

“Aku juga nggak sudi dipeluk olehmu.”

Refan mendorong Choki secara otomatis yang sedang melompat untuk memeluknya.

“Kalian nggak tahu sih. Tadi aku sendirian disini. Mengerikan banget! Aku mendengar suara-suara! Suara nyanyian!” kata Choki histeris.

“Kusarankan kau ke Dokter THT,” kata Refan datar. Ah, Grace juga perlu disarankan untuk kesana. Penyakitnya kan sama dengan Choki.

“Jahat!” kata Choki lagi.

“Kalau takut ngapain sendirian di kamar ini?” kata Rachael tidak peduli. “Udah ah, aku mau mandi. Badanku penuh garam.”

Rachael masuk ke kamar mandi dan Choki langsung menyambar baju Refan. Dia berkata dengan nada ketakuatan dan suaranya bergetar. “Refan, kau harus percaya! Ada hantu sungguhan disini! Kita harus minta ganti kamar!”

“Tidak ada kamar lagi kan?” kata Refan cuek. “Kau mau tidur di gudang?”

“Setidaknya di gudang lebih aman daripada disini!”

“Dasar gila. Kalau kau merasa lebih enak disana tidur saja di sana jangan disini.”

“Tapi, Fan—”

“AAAARRGH!!!”

Teriakan Rachael terdengar dari dalam. Choki melompat dan memeluk Refan erat-erat sampai Refan sesak napas.

“Lepasin!” Refan mendorong Choki dengan susah payah. Dia berdiri dan mengetuk pintu kamar mandi. “Rachael, ada apa?”

Rachael keluar dari kamar mandi dengan tubuh yang penuh dengan bercak-bercak merah. Semua tubuhnya penuh air yang berwarna merah. “Kamar mandinya rusak, Fan!” kata Rachael sebal. “Coba lihat, nih! Tubuhku penuh air merah!”

“I—it—itu darah!” kata Choki, wajahnya pucat dan dia bersembuyi di balik selimut dengan tubuh gemetaran.

“Jangan pedulikan Ketua Osis sial itu,” Refan bergumam dan Rachael balas menggumam setuju. “Terus, kok bisa warna merah begitu?”

“Mana aku tahu!” kata Rachael sebal. “Aku jadi nggak bisa mandi, deh!”

“Kita minta diperbaiki saja. Fasilitas disini payah banget, deh. Aku akan minta Grace memberitahu keluarganya kalau pelayanan hotel ini sangat buruk.”

“Eh? Ini hotel keluarga Grace?” kata Rachael tidak percaya. Refan mengangguk. “Nggak usah deh, Fan. Mana mungkin aku bilang kalau pelayanan disini jelek sama Grace yang secantik itu. Aku tidak mau dia kecewa.”

Refan merasa sebal. “Memangnya kau bisa memperbaiki sendiri?”

Rachael masuk lagi ke kamar mandi. Terdengar suaranya dari dalam. “Airnya udah normal kok, Fan!”

Mereka bergantian mandi, walau Choki ogah-ogahan akhirnya dia mau mandi juga. Soalnya Refan dan Rachael sepakat jika Choki tidak mandi maka Choki tidak boleh tidur di tempat tidur.

Choki ada ditengah-tengah tempat tidur besar itu. Rachael ada disebelah kiri. Dia memunggungi Choki dan tidur dengan lelap menghadap kearah jendela yang tertutup. Refan sebenarnya hampir saja tertidur andai saja dia tidak mendengar suara Choki yang ketakutan.

“Hantu… ada hantu… hu… takut…”

Bulu kuduk Refan meremang setiap kali Choki berbisik begitu dengan suara bergetar. Jujur saja dia menakutkan lebih daripada hantu. Sedangkan suara dengkuran Rachael yang keras justru membuatnya makin tidak bisa tidur.

Detik demi berlalu, Refan sudah berulang kali mencoba menutup matanya dan berulang kali itu pula dia terganggu. Ingin rasanya dia mencekik Choki saat itu juga supaya dia diam. Namun sayang Refan masih berpikir jernih dan ingat tentang Papanya yang menunggunya pulang dan undang-undang terhadap pembunuh. Mana mau dia hidup di penjara.

Refan merasakan kalau kepalanya melayang dan pencahayaan di kamar itu berkurang. Choki bilang lampu kamar tidak boleh dimatikan—dan itu juga salah satu alasan Refan tidak bisa tidur. Refan berpikir dia benar-benar sudah tidur sampai Choki terduduk dan menguncang-guncangkan tubuhnya sampai dia terjatuh.

“Apa sih, Chok?” kata Refan sebal. Dia memegang kepalanya yang terantuk meja disisi tempat tidur. “Mengganggu saja!”

“L-la-lam—lamp—lampunya, Fan!” katanya gemetaran hampir menangis.

Refan melihat kalau lampu di kamar mereka berkelap-kelip tidak karuan. Mirip kayak di film-film horror ya? Refan membatin berdiri. Rachael masih tidur dengan tenang.

“Biar saja!” kata Refan balik duduk. “Jangan ketakutan begitu!”

BLAK!

Choki melonjak kaget dan melompat memeluk Refan lagi. Refan otomatis segara mendorongnya dan menimpa Rachael yang langsung terbangun.

“Aduh! Ngapain sih kalian berdua?” gerutu Rachael terbangun dari tidurnya. “Chok, minggir dari tubuhku!” dia mendorong minggir Choki.

Angin kencang masuk ke kamar mereka dari jendela yang terbuka sendiri. Rachael merapatkan selimutnya dengan tubuh menggigil karena kedinginan.

“Aduh, siapa sih yang buka-buka jendela. Kan dingin! Angin darat masuk semua tahu!” Rachael menggerutu. Dia menatap galak kearah Refan dan Choki.

“Jendelanya terbuka sendiri.” Kata Refan datar dan Choki mengangguk setuju.

Lampu berkelap-kelip lagi.

“Siapa sih yang mainin lampu?” kata Rachael polos.

“Nggak ada.” Jawab Refan lagi. “Lampunya berkelap-kelip sendiri.”

“Keren!” kata Rachael bersemangat. “Persis di film horor Indonesia! Lampu berkelap-kelip! Jendela terbuka sendiri! Air berwarna merah! Setelah ini apa? Apa hantunya bakalan muncul?”

“K-kau nggak takut, Rachael?” kata Choki bengong. “Nanti kita bisa dibunuh! Kayak kuntilanak dan hantu sejenis lainnya… itu… mengerikan…”

“Nggak, tuh,” Rachael melipat tangan dengan enteng. “Waktu aku berusia tujuh tahun di London, aku ketemu sama hantu tanpa kepala. Tapi karena waktu itu hallowen, aku nggak terlalu menanggapin. Semua kan pake kostum.”

“Hantu Indonesia nggak seram, kok, cuma jelek,” kata Refan dengan entengnya. “Aku nggak suka sama hantu jelek.”

“Aku setuju. Hantu di London cantik-cantik loh. Apa lagi ada hantu kerajaan gitu, belum lagi penyihir-penyihir cantik. Iya nggak Fan?” kata Rachael bersemangat.

“Aku nggak berminat dengan tukang santet,” kata Refan lagi.

“Mereka penyihir, bukan tukang santet.”

“Dukun kalau begitu.”

“Bukan. Penyihir.”

“Sudahlah. Sama saja bagiku.”

Choki heran melihat Refan dan Rachael masih bisa berbicara hantu dengan santainya dalam keadaan begini. Harusnya mereka, menurut hukum manusia normal, ketakutan sepertinya halnya Choki. Ternyata perbedaan antara Pangeran dan manusia amat berbeda ya.

Bip bip

Lampu di kamar mereka mati dan memunculkan kegelapan yang pekat.

“Wah, lampunya mati beneran,” terdengar suara Rachael dari kegelapan.

Suasana hening saat mendengar ada suara lain yang berbeda.

“Choki, jangan nyanyi!” kata Rachael.

“Aku nggak nyanyi!” kata Choki otomatis.

Suara nyanyian lembut yang merdu semakin kedengaran.

“Kalau gitu kau yang nyanyi, Fan?” kata Rachael lagi.

“Aku nggak bisa nyanyi,” Refan menggumam datar.

“Kalau gitu siapa yang nyanyi?” kata Rachael heran.

Mereka terdiam beberapa saat dan mendengar lebih teliti. Itu bukan suara nyanyian tapi suara seseorang yang merdu dan berbisik. Suara lembut yang seakan-akan menghilang terbawa angin. Refan melihat kearah luar jendela. Bulan purnama kelihatan sangat kontras.

Tiba-tiba ada sinar muncul dari jendela mereka. Sinar terang yang kebiruan. Rachael dan Refan bangkit. Mereka menuju kearah jendela. Choki ikutan-ikutan dari belakang dengan ragu. Dia takut ditinggalkan sendirian ditempat itu. Refan, Rachael dan Choki menganga melihat hal yang mereka lihat.

Di batu karang, tepat di depan di bawah mereka. Beberapa meter dari tempat mereka, diantara bebatuan karang yang besar. Ada seorang gadis berambut panjang dengan memakai pakaian putih panjang. Tubuhnya disinari cahaya putih dan kebiruan yang pekat. Kainnya terbawa angin dan melambai-lambai, begitu juga dengan rambut hitamnya. Gadis itu membelakangi mereka dan tangannya kelihatan melipat, dia sedang berdoa. Dan yang lebih parahnya, mereka melihat dengan jelas pemandangan pantai menembus tubuh gadis itu.

“Ha—ha—ha…”

“Hantu sungguhan,” Rachael menyelesaikan kalimat Choki. “Hantu cantik!!”

“Baru kali ini aku melihat hantu yang menakjubkan begitu,” bisik Refan.

“HAAAAAAAAAAAAAAAANTUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUU!!!”

Choki berteriak memekakan telinga. Refan dan Rachael memegang telinga mereka yang baru saja memasukan gelombang suara secara penuh. Hampir saja gendang telinga mereka pecah. Choki mencengkram lengan baju Refan erat-erat. Seiring dengan itu, Refan juga mendorong Choki.

“Ada apa?” terdengar suara ketokan dari pintu. Itu suara Bu Lyla. “Refan sayang. Ada apa? Buka pintunya, Sayang. Siapa yang berteriak?”

Ketika Refan menoleh kembali kearah batu karang itu, hantu wanita itu sudah tidak ada lagi dan lampu di kamar mereka menyala kembali. Rachael menggeleng-geleng sejenak sebelum akhirnya beranjak dan membuka pintu. Bukan hanya Bu Lyla yang ada disana, tapi juga murid-murid lain.

“Ada apa, Rachael?” kata Bu Lyla.

“Nggak ada, Bu. Choki aja tuh yang kesambet.” Kata Rachael asal.

“Aku nggak kesambet! Jahat banget, sih! Bu, aku lihat hantu! Penampakan asli, Bu!”

Murid-murid panik.

“Benar begitu, Refan?” Bu Lyla menatap Refan.

“Nggak terlalu jelas karena jauh.” Katanya datar.

“Bu, saya mau pindah!!” kata Choki histeris.

“Nggak bisa. Satu kamar untuk tiga orang,” kata Bu Lyla lagi.

“Kalo gitu, San. Aku mau tukeran!” dia melihat kearah Sandy yang bengong.

“Enak aja! Mana mau aku lihat hantu begituan!” kata Sandy menolak mentah-mentah.

“Hantunya nggak bakalan muncul lagi, kok,” celetuk Grace tiba-tiba. “Hantunya cuma muncul setiap bulan purnama pertama jam dua belas malam pas.”

“Kok tahu?” kata Faldo bingung.

“Eh, eng—aku dengar dari pelayan.” Kata Grace gelagapan. Bisa gawat kalau mereka tahu kalau ini hotelnya. Jangan-jangan minta nginap gratis entar.

Akhirnya malam ini diselesaikan dengan tidak adanya pergantian kamar. Choki benar-benar tidak bisa tidur dan Refan juga ikut-ikutan tidak tidur.

“Choki sialan!” Refan menggerutu sambil mengucek-kucek matanya. “Aku benar-benar tidak bisa tidur semalaman!”

“Pagi, Fan!” sapa Rachael meregangkan tubuhnya. Hanya dia yang tidur dengan nyenyak semalaman. Benar-benar orang yang tidak peduli apapun.

“Sarapan yuk, Fan.” Dia mengajak dengan wajah berbinar.

Mereka menuju kearah restoran hotel. Disana masih sepi kecuali ada seorang cowok bule dengan tiga orang cewek disisinya. Refan dan Rachael duduk di tempat yang kosong. Cowok bule itu bangkit dari tempatnya dan keluar meninggalkan teman-teman wanitanya. Refan merasakan ada sesuatu yang tidak beres ketika cewek-cewek itu melirik kearah mereka dan firasatnya terbukti karena cewek-cewek itu menuju meja mereka.

“Hey,” kata salah seorang dari mereka. “Can we join?

Refan ingin bilang tidak tapi Rachael sudah menyambar duluan, “Sure.”

Refan segera melipat tangannya dengan sebal dan menatap marah pada Rachael yang tidak paham perasaannya saat ini. Kurang tidur dan sekarang malah harus meladeni cewek-cewek bule nggak penting! Salah seorang pelayan datang dan membawakan menu.

“Pesan apa, Tuan?” pelayan itu menatap Refan tanpa berkedip.

“Roti saja,” gumam Refan.

“Sama.” Kata Rachael. Pelayan itu juga tidak bisa berkedip saat melihat Rachael.

Tentu saja, dua makhluk paling ajaib di muka bumi dengan ketampanan yang luar biasa. Sungguh tidak bisa diduga-duga seberapa berubah daya tarik mereka dimasa depan kelak. Tentu saja mereka akan menarik perhatian gadis lebih banyak dari yang mereka inginkan. Contohnya tiga cewek bule yang sekarang menggoda mereka.

Refan tidak menanggapi satupun perkataan cewek-cewek itu. Biar saja Rachael menangani mereka sendirian.

So, what is your name?” salah seorang dari mereka bertanya sambil memelintir rambut pirangnya—mengingatkan Refan sama Evol. Refan menopang dagunya dan melihat kearah lain. Dia tidak mempedulikan perkataan cewek itu. “Em… your hobbies?

Dasar cowok Iblis, batin Rachael sambil geleng-geleng kepala.

Pesanan mereka datang. Ingin rasanya Refan kabur dari tempat ini. Masalahnya kakinya tidak mau beranjak. Dia melihat Grace dan Stevani memasuki restoran dan melihat cowok bule bertindik di dekat mereka, segera saja Refan mengalihkan wajahnya.

“Kenapa, Fan?” tanya Rachael heran melihat tingkah Refan.

“Nggak apa-apa,” kata Refan cepat. Ngapain sih anak itu disini?

Rachael melihat Grace dan Stevani yang melambai pada cowok bule. Rachael tersenyum. Oh, rupanya Refan dari tadi ngeliatin cewek toh.

“Gimana menurutmu, Grace? Cakep kan?” Stevani bertanya dengan nada yang menggebu-gebu. Grace menimpali dengan malas.

“Iya, cakep.” Ujarnya setuju. Emang cowok bule bertindik yang dimaksudkan Stevani cakep. Ramah dan baik lagi. Terlalu ramah sampai dia memberi mawar lagi untuk mereka berdua.

“Kira-kira tuh bule udah punya pacar belum ya?” desah Stevani dengan mata berbinar.

“Kayak tuh bule mau aja pacaran samamu,” gumam Grace.

“Jahat banget, sih!”

Grace duduk di meja terdekat. Tiga meja dari tempat Refan dan Rachael duduk bareng.

“Rachael!” Stevani melambai pada Rachael yang tersenyum manis. “Ugh! Kenapa sih cowok cakep suka sama cewek bule. Tiga cewek bule itu bikin sebal.”

Grace melirik sekilas ke arah Refan yang duduk diam—dia kelihatan jengkel sekali.

“Kayaknya nggak juga,” Grace menggumam. “Mau pesan apa, Stev?”

“Nasi goreng aja, deh.”

Grace memesan nasi goreng dua pada sang pelayan yang mendatangi mereka. Tidak lama kemudian pesanan mereka datang. Stevani makan dengan tergesa-gesa sambil mengomel beberapa kali. Dia sama sekali tidak suka sang Pangeran Rachael mendekati cewek lain.

“Ya, ampun. Dia kan cakep,” Grace menimpali.

“Memangnya cewek di SMP Harapan Bangsa kurang cantik?” timpal Stevani.

“Hm… kalau gitu yang paling cantik Evol dan Ananda dong.”

“Aku nggak setuju. Memangnya kau dan aku nggak cantik apa?” Stevani masih kesal. “Coba deh polling, kau lebih disukai cowok SMP Harapan Bangsa ketimbang mereka.”

“Jangan bawa-bawa aku, dong.”

Can I join?

Grace dan Stevani terdiam saat ada suara asing di dekat telinga mereka. Seorang cowok bule ganteng—mungkin nilai seratus bisa dia dapatkan—tersenyum pada mereka. Rambutnya coklat kegelapan, matanya biru indah—menggugah selera, kulitnya putih bersih dan berotot, hidungya lurus dan bibirnya kecil.

“Eh, eng-ap.” Stevani gelagapan melihat sosok bule yang kelihatan seperti dewa itu.

I need place to eat. That’s full anywhere. Can I? Am I disturb you?” dia bertanya ramah.

Grace hanya mengangguk dalam diam. Cowok ini membuatnya tidak bisa berkata apapun. Ramah, ganteng, baik, senyumnya menawan, bule, entah apa lagi yang dia punya sehingga membuat jantung Grace berdegup kencang.

Thank you.”

Dia duduk diantara Grace dan Stevani yang menatapnya dengan kaku.

You are Indonesian, aren’t you?” dia bertanya ramah pada Grace.

Yes, we are,” desah Grace tidak mampu mengalihkan pandangannya pada bule itu.

Oh, nice. Sorry, I can’t speak in Indonesia. Ehm… and you?

I can speak in Indonesia very well cause it’s my mother tounge.”

Bule genteng itu terpaku sesaat sebelum dia tertawa. Tawanya merdu sekali, seakan dia bernyanyi. Tawa menyenangkan yang rasanya terngiang terus di otak Grace.

You’re funny. I don’t mean that. I just wanna know that you can be speaking in English or not. But I think you can speak English very well too. You’ve shown before.”

Grace tertawa kecil. Dia tidak sanggup tertawa, bahkan mengalihkan pandangannya sedkitpun dari mata si Bule Ganteng.

So, Indonesian is eating rice. Is it everyday?” dia bertanya dengan nada penasaran. “You’re eating in breakfast, lunch, and dinner. Didn’t you feel boring?

Grace menggeleng. Cowok bule itu mengangguk-angguk.

Where you come from?” Stevani akhirnya bisa bicara setelah tidak mampu bernapas beberapa saat.

London, that’s in UK.

What do you think about Indonesia?” Grace tidak mampu menahan rasa penasarannya terhadap cowok itu. akhirnya dia mampu mengalihkan pandangannya dari mata si cowok dan melihat apa yang dikenakan cowok itu: kaos biru tipis, celana pendek besar dan sandal. Biasa sekali. Tapi dia kelihatan luar biasa di mata Grace.

Indonesia is so beautifull. I never meet ghost before and I saw it last night. That was wonderfull! Amazing! I like that, that ghost I mean.”

You didn’t scare?” Stevani bertanya dengan nada menyelidik.

Cowok bule itu menggeleng.

Dia melihat kearah luar jendela dan tiba-tiba menyadari sesuatu. “Oh. I must go. Surfing. It’s my last day here.

Oh, bye.”

Stevani sebenarnya ingin melarang si Bule pergi tapi Grace menginjak kakinya. Si cowok bule hanya tersenyum ramah sebelum dia bergabung dengan teman-teman bulenya yang lain.

“Tuh cowok, cakep banget, Grace.”

“Aku setuju.”

Stevani menatapnya tidak percaya. Ini pertama kalinya Grace setuju tentang cowok bule.

“Grace, kau suka sama tuh cowok ya?”

“Apaan, sih!”

“Wajahmu merah tuh!”

“Makan aja nasi gorengmu!”

Grace menopang dagunya. Dia melihat kearah si cowok bule itu menghilang beberapa detik lalu. Ada satu hal yang lupa dia tanyakan. Namanya.

Refan yang melihat arah tatapan Grace mengepalkan tangannya dengan sebal.

***

Refan berjalan sendirian menyusuri garis pantai. Dia masih sebal melihat cara Grace menatap cowok bule itu. Harus dia akui kalau cowok itu emang tidak biasa. Tapi tetap aja dia kesal. Dia heran kenapa perlakuan Grace sangat berbeda terhadapnya. Dia ketus sama Refan, tapi baik dan bisa tersenyum ramah sama cowok lain—bahkan Choki sekalipun. Padahal kan jika dilihat secara spesifik, Choki sama sekali bukan tipe cowok bermutu.

Refan duduk di batu karang—tempat penampakan hantu yang kemarin. Rasanya dia tidak merasakan aura mistis apapun disitu. Masih sama seperti kemarin saat dia duduk disini bareng Grace, seakan tidak ada apapun. Refan melihat ada gitar disana. Dia mengambilnya dan memetik-metiknya. Tanpa sadar dia sudah memainkan satu lagu walaupun tidak bernyanyi.

“Permainanmu bagus.”

Refan kaget saat Grace sudah ada disampingnya.

“Kau—apa yang kau lakukan disini?”

“Kau sendiri?”

“Aku—itu bukan urusanmu,” Refan melihat kearah lain. “Kenapa kau tidak bersama cowok bule itu lagi?”

Dahi Grace mengerut tidak mengerti. “Ngapain? Aku kan nggak kenal dia. Lagian dia cuma numpang sarapan kok.”

“Tapi dia tidak makan apapun.”

Dahi Grace benar-benar mengerut dalam sekarang. Apa coba maksud Refan bersikeras begitu? Namun benar juga yang dikatakan Refan, bule tadi nggak makan apapun.

“Itu tadi lagu apa?” Grace mengalihkan pembicaraan.

“Nggak tahu.”

“Kau karang sendiri?”

“Anggap saja begitu.”

“Wah, keren! Kau ada bakat jadi Bang Mark.”

“Aku nggak berniat jadi dia!”

Dia mengalihkan pandangannya lagi. Ternyata Refan bad mood, ya? Dari tadi bawaannya marah-marah mulu. Lihat aja mukanya, jadi bengis begitu.

“Kemarin hantu kayak mana yang kalian lihat?” Grace mencari topik lain.

“Hantu cewek.”

“Kau nggak takut?”

“Aku bukan Choki.”

Grace sebal. Habis kesabarannya. Nggak bisa diajak bicara baik-baik apa?

“Aku tahu kau bukan Choki. Lagian buat apa takut, itu kan emang sengaja dibuat dengan teknologi bukan hantu sungguhan.”

“Gimana caranya?”

Hahaha! Ternyata berhasil juga menarik rasa sebal Refan. Lihat dia tertarik dengan masalah hantu dan teknologi pembuatannya!

Grace melompat dari tempatnya. Dia menunjuk ke bawah kaki Refan. “Di bawah kakimu ada Slide yang sengaja dibuat. Jadi setiap malam bulan purnama, sinar bulannya akan masuk ke celah slide dan memancar menunjukan hantu wanita.”

“Oh.”

“Karena pergerakan bulan selalu berganti, hantu itu cuma ada dalam beberapa detik doang. Makanya ada yang lihat ada yang nggak.”

Refan agak kaget melihat teknologi hotel ini.

“Jadi kalian sengaja membuat rumor itu untuk menarik perhatian, ya? Cara licik untuk mencari pengunjung!”

“Jangan salah paham dulu, ya. Dari awal tidak ada yang bilang kalau itu hantu! Hanya penampakan.”

“Sama saja. Kalian malah menyebarkan kamar hotel yang berhantu.”

“Itu juga bukan kamr hantu. Tapi kamar yang paling digemari pengunjung.”

Dahi Refan mengerut tidak mengerti. “Apa?”

Grace menghela napas. “Kamar 444 lantai 13 memang sengaja untuk kamar melihat penampakan. Karena hanya dari kamar itu terlihat jelas penampakan dengan unsur pencahayaan maksimal.”

Refan jadi mengingat sinar putih kebiruan itu. Benar-benar efek yang bagus.

“Lalu, soal jendela?”

“Kamar kalian kan menghadap ke pantai wajar saja anginnya kencang. Salah sendiri tidak mengunci jendela rapat-rapat.”

“Air merah?”

“Karena kamar itu jarang dipakai, airnya jadi merah karena karat.”

“Lampu yang berkelap-kelip?”

“Ya ampun… orang-orang begitu antusias melihat penampakan itu jadi tidak tidur dan menghidupkan lampu. Hotel ini penuh setiap malam bulan purnama, jadi arusnya berkurang dan terkena imbasnya pada lampu di kamar kalian.”

“Soal nyayian?”

Grace menghela napas. “Itu karena angin berhembus dari celah-celah jendela terbuka, jadi kedengaran seperti nyanyian. Efek itu sudah diatur. Akan lebih bagus kalau jendelanya tertutup sebelah. Nyanyiannya justru lebih bagus.”

Refan melipat tangannya, kembali berpikir. Ada benarnya juga.

“Tapi kau bilang kamar itu jarang dipakai.”

“Ya ampun, Fan. Kamar itu tidak berhantu,” kata Grace sebal. “Justru karena posisi yang strategis dan efek yang luar biasa dari kamar itu, para pengunjung berebut untuk mendapatkan kamar itu. Akhirnya Kak Harry dengan sangat bijaksana menutup kamar itu supaya adil. Kamar itu dibuka karena kamar kalian tidak mengalirkan air kan?”

Refan menghela napas. Lega rasanya mengetahui kalau Choki tidak perlu takut lagi soal hantu itu.

“Tapi, Fan, jangan bilang siapa-siapa ya.”

“Kenapa?”

“Penampakan hantu itu kan daya tarik hotel kami.”

Refan nyengir. Senyum menyebalkan bagi Grace.

“Itu curang namanya.”

“Mengetahui kelemahan lawan lebih curang lagi.”

“Aku kan nggak minta kau menceritakannya padaku.”

“Habis kau memasang tampang menyedihkan, sih.”

“Aku tidak menyedihkan.”

“Kau menyedihkan sekali. Sungguh.”

“Itu karena ulah Choki, aku jadi kurang tidur!”

“Aku turut prihatin.”

“Sialan!”

Rachael yang lewat di belakang mereka menatap dingin.

***

Rachael memain-mainkan jari-jarinya sementara dia bersandar di dinding. Dia melipat tangannya dengan sabar dan beberapa kali melihat kearah luar jendela dengan tenang. Malam sudah kelihatan dengan bintang-bintang yang berkelap-kelip di langit gelap. Sesekali terdengar suara ombak dan angin yang berhembus sepoi-sepoi membuat rambutnya berterbangan.

“Eh, Rachael, ngapain sendirian disini?” Sandy datang bersama dengan Sammy sambil berangkulan—agak membuat jijik Rachael.

“Menunggu seseorang,” kata Rachael singkat.

“Siapa? Cewek?”

“Iya.”

Sandy dan Sammy tidak mengganggu lagi saat melihat Rachael yang diam saja. Mereka melangkah pergi dan ikut bergabung dengan anak-anak basket yang lain.

Rachael melakukan kembali aksinya yang melihat kearah luar. Langit terang benderang. Dia tersenyum. Kelihatannya rencananya akan berjalan sangat lancar.

“Rachael, nggak ikut pesta?” Ananda merangkul tangannya.

Rachael menggeleng. “Duluan aja. Entar aku nyusul.”

Ini hari terakhir mereka di hotel ini. Dan satu-satunya rencana yang harus dilaksanakan dengan sukses.

“Ada apa, Rachael?”

Akhirnya suara yang ditunggu-tunggunya datang juga. Disampingnya berdiri Grace yang memakai jeket gelap menutupi tubuhnya, celana jeans longgar dan sepatu sport. Tidak terlalu biasa untuk anak cewek seperti Grace.

“Hay, Grace. Ada yang mau aku tunjukin. Kau mau melihat kembang api di dekat batu karang diperbatasan lautan?”

Grace mengerutkan dahi. Baru kali ini dia mengetahui ada daerah begituan.

“Memangnya ada tempat begitu?”

“Tentu saja ada. Kalau kau tidak keberatan ikut.”

“Oke, deh. Kelihatannya seru.”

Rachael tersenyum puas. Dia memegang tangan Grace dan menariknya keluar hotel menerobos kegelapan di pesisir pantai.

Tampaknya dalam pesta itu, hanya Choki yang menyadari kehilangan Rachael dan Grace secara barengan. Dia mencari mereka diantara anak-anak Osis.

“Tadi, sih, Rachael ada dipuntu hotel. Katanya menunggu cewek. Ya kan, Sam?” kata Sandy memakan ayamnya saat ditanya Choki. Sammy sendiri hanya mengangguk.

“Memangnya kenapa?” Refan bertanya dengan nada datar dan tidak peduli.

“Habis, kata Stevani, Grace juga nggak ada. Dia pusing nyariin Grace.”

Aak-anak Osis melotot.

“Jadi mungkin aja mereka berduaan gitu?” kata Yani tidak percaya.

“Pangeran Rachael dan Grace?” ulang Rati shock.

“Mending sama gue!” celetuk Rita sebal.

“Kita cari mereka,” Refan menerobos kerumunan anak-anak Osis. Dia mengambil alih kepemimpinan. Ada sesuatu yag membuat dia panas saat mengetahui kalau Grace barengan dengan Rachael. Emang, sih, Rachael tidak terlalu masuk hitungannya tapi tetap saja berbahaya membiarkan Grace bersama cowok kayak Rachael.

Sementara itu, Grace masih ditarik oleh Rachael menerobos semak sementara mereka mulai menanjak diantara bebatuan. Rachael membantunya naik.

“Kita sudah sampai,” kata Rachael puas.

Grace bergumam melihat pemandangan didepannya. Pemandangan yang keren sekali. Angin malam berhembus memasuki rambutnya dan membelai lembut wajahnya. Langit cerah oleh bintang, laut terlihat sangat tenang. Sementara di kejauhan ada suara.

“Itu suara apa?” tanya Grace.

“Katanya, sih nyanyian lumba-lumba.”

Grace benar-benar tidak menyangka ada tempat seperti ini.

“Ini—wow! Rachael, ini keren banget!” kata Grace takjub. “Aku tidak tahu ada tempat begini. Bagaimana kau bisa tahu?”

“Aku menjelajahi tempat ini. Akhirnya aku menemukan tempat yang indah untuk kupersembahkan bagi orang yang telah merebut hatiku.” Kata Rachael pelan. Dia menatap dalam mata Grace. “Indah kan?”

Wajah Grace merona merah saat Rachael menatapnya.

“Sangat indah.”

Rachael tersenyum tulus. Berbeda sekali dengan senyum yang biasa dia berikan pada setiap anak cewek.

“Aku nggak bawa senter karena ada yang beda, nih.” Kata Rachael lagi.

“Apa?”

“Tunggu sebentar lagi.”

Beberapa menit berlalu, Grace menunggu dalam diam. Tapi tidak ada apapun. Grace jadi bingung dengan kondisi yang seperti ini. Ada hal yang membuat Rachael tampak berebda malam ini. Rasanya Grace baru menyadari pesona Rachael malam ini.

“Eh, Rachael…”

“Ssst… sebentar lagi. Sabar…”

Rachael berbisik sambil menempelkan telunjuknya pada bibir Grace.

Dan tiba-tiba saja dari kejauhan, terdengar sesuatu. Grace melihat ada lumba-lumba yang melompat keatas permukaan. Bukan hanya satu tapi banyak.

“Wow!!” Grace ternganga menutup mulutnya. Pemandangan yang sangat langka melihat ada lumba-lumba melompat dengan bergerombol seperti itu. “Ini hebat sekali, Rachael! Baru kali ini aku melihat yang sungguhan begini! Keren!”

Rachael tersenyum hangat melihat wajah Grace yang terseyum sampai membuat wajahnya memerah.

“Wajahmu merah karena terlalu bersemangat, tuh,” kata Rachael terkiki geli menunjuk pipi Grace. Wajah Grace bersemu merah. “Kau lucu ya, manis lagi.”

Grace menyadari ada kejutan lain. Tepat dugaannya, saat dia mencoba melihat wajah Rachael yang seakan hilang dikegelapan, ada sebutir cahaya muncul di dada Rachael. Lalu cahaya itu terbang. Makin banyak lagi butir-butiran cahaya terbang disekeliling mereka.

“O-oh!!” Grace berseru takjub.

“Kunang-kunang,” kata Rachael santai. “Hadiah tambahan untukmu.”

Grace tidak tahu harus berkata apa. Ini terlalu indah. Kejutan yang sangat indah baginya. Ini pertama kalinya dia mendapatkan kesempatan seperti ini. Sebuah kehormatan yang luar biasa mendapatkan keindahan yang tidak disangka-sangka. Kejutan yang…

“Sudah lama kupersiapkan untukmu, Grace. Kau suka tidak?”

Wajah Rachael yang tersenyum diantara butir-butiran cahaya kunang-kunang membuat Grace merasa silau. Membuat Rachael seakan pangeran yang utuh.

“Su—suka sekali. Terima kasih, ya?”

“Apapun untukmu,” kata Rachael.

Kata-katanya sugguh membuat Grace tersanjung.

“Kau tahu Grace, sudah lama aku mencari gadis sepertimu,” kata Rachael serius. Wajahnya sendu dan membuat Grace seakan meleh. “Sebenarnya aku juga tidak tahu bagaimana terjadinya. Tapi—em… yah, mungkin aku cuma ingin membuat wajahmu tersenyum. Aku yang tidak pernah merasakan bagaimana rasanya hidup nyaman bersama keluargaku… aku merasakannya di Indonesia….”

Grace terpaku.

“Dan itu kutemukan di rumahmu. Walaupun abang-abangmu agak aneh… tapi aku menyukai mereka… keluargamu sangat hangat… rumahmu benar-benar bisa dijadikan tempat untuk berlindung…”

Grace menelan ludah. Dia sudah mengira-ngira keadaan yang terburuk. Dia sudah menyadari arah pembicaraan ini.

“Aku benar-benar berterima kasih.”

“Eh?” Grace bingung. “Terima kasih?”

“Kau membuatku belajar untuk menyayangi orang disekelilingku.”

Grace menunduk malu. Tidak tahu harus bilang apa.

“Aku tidak punya hadiah untuk kuserahkan padamu, Grace,” kata Rachael tertawa renyah. “Kalau aku ngasih bunga nanti malah layu. Kalau ngasih coklat nanti meleleh. Kalau ngasih barang takutnya malah rusak dan akhirnya dibuang sepertiku.”

“Rachael…?”

“Aku iri padamu,” Rachael berbisik. “Kenapa kau punya keluarga yang begitu hangat sementara orang tuaku saling menerbangkan piring setiap mereka bertemu. Aneh, ya?”

Grace bersimpati pada kehidupan Rachael. Tapi walaupun begitu, dimata Grace Rachael anak yang hebat. Dia masih bisa berprestasi walaupun orang tuanya begitu.

Rachael tertawa sedih. Dia menatap mata Grace. Lalu memegang tangannya.

“Grace, kau orang yang terpenting dalam hidupku.”

Wajah Grace merona merah. Kakinya gemetaran. Dia nggak salah dengarkan?

Rachael melepas tangannya dari tangan Grace. Dia mundur perlahan, membelakangi laut. “Ada yang ingin kuberitahu padamu. Kuharap kau senang dan tidak kabur saat melihatnya.”

Rachael mengangkat kedua tangannya sambil tersenyum dan berkata, “Show time!!”

DUAR DUAR!!

Grace menganga tidak percaya saat kembang api meluncur dari belakang Rachael dan meledak keatas. Bunga api merah terbang ke langit dan menghias langit dengan sangat sempurnya. Barulah Grace menyadari saat melihat langit, ada tulisan di kembang api itu.

I love you, Grace.

Grace terpaku saat melihat tulisan di langit. Dia mendekap mulutnya dengan tidak percaya. Itu terlalu indah. Terlalu indah untuk dia dapatkan dan terlalu indah untuk dia hancurkan.

“Gracelia Natalie Richard, maukah kau menerima cintaku?” kata Rachael mengulurkan tangannya.

Grace menatap tangan Rachael. Bingung. Apa yang harus dia lakukan? Dia tidak tahu bagaimana perasaannya saat ini. Yang dia tahu adalah kalau dia hanya menganggap Rachael sebagai temannya. Teman yang baik. Tapi, kejutan ini… harapannya…

Refan yang melihat hal itu dibalik pohon, mencengkram batang pohon dan kulit pohon itu terkelupas. Bukan hanya dia yang menonton, anak-anak SMP Harapan Bangsa, pengunjung dan beberapa bule, pelayan, bahkan Bu Lyla juga ikut menonton. Hanya saja mereka pandai sekali bersembunyi sehingga tidak ketahuan. Jujur saja, acara penembakan itu membuat beberapa cewek kagum sekali. Terlalu sempurna.

“Grace?” Rachael menunggu.

“Ah…” suara Grace serak. “Ng… jujur saja, aku…”

GUBRAK!

“AAAAW!!”

Rachael dan Grace melonjak kaget. Kunang-kunang berterbangan panik. Bu Lyla mengumpat, beberapa peonton mengeluh, Refan menatap sisinya dengan tidak percaya mendapati Choki ada disampingnya sambil memegangi kakinya dan mengeluh kesakitan. Dia baru saja jatuh dari pohon.

“Ada apa?” secara refleks Rachael dan Grace segera mendatangi arah suara itu.

“Kalian?” kata Rachael tidak percaya. Penonton nyengir bersalah pada keadaan Choki yang merusak semuanya. Rachael menepuk dahinya. “Sial!”

“Fan! Kakiku patah!” keluh Choki menarik-narik jeket Refan.

“Tidak ada yang menyuruhmu naik pohon,” Refan menggumam sebal. Dia melirik Rachael dengan tajam dan penuh kemarahan.

“Bantuin aku, Rachael!” Choki merengek.

“Kau tidak perlu menjawab sekarang,” kata Rachael pelan pada Grace. Dia membantu Choki berdiri sehingga dia punya kesempatan untuk kabur dari tempat itu. Refan memegang Choki disisi yang lainnya.

“Grace, apa jawabanmu?” tanya Bu Lyla penasaran. “Aduh, enaknya jadi remaja.”

“Keren banget, sih cara Rachael menembak elo,” kata Ananda sebal. “Beruntung banget lo. Lo terima ato nggak?”

“Pasti diterima dong…,” ujar Faldo.

“Ng… pesta…”

Grace ngacir pergi.

Setelah mengantar Choki ke hotel dan mendapatkan pengobatan disana. Refan dan Rachael kembali untuk pesta terakhir. Hotel itu sudah menyewakan band untuk yang berjiwa muda katanya. Bisa diketahui karena musiknya beraliran rock screaming.

“Menurutmu Grace akan menerimaku, Fan?” Rachael bertanya saat mereka berjalan berduaan menuju pesta.

“Bukan urusanku.”

“Kau cemburu?”

“Tidak.”

“Masa? Kau mencengkram kulit pohon sampai lepas, itu berarti kau sangat kesal. Kalau kau merasa kalah, kenapa tidak naik saja ke atas panggung? Kita selesaikan disana berdua.”

Rachael melewati Refan dengan senyum tersungging di bibirnya.

Refan mengepalkan tangannya dengan sebal. Giginya menggertak. Dia berjalan ke bagian dekat panggung dimana orang-orang sudah mulai pesta sambil melompat-lompat tak jelas. Refan menutup kupingnya saat mendekati loudspeaker. Rasanya loudspeaker itu membuat telingaya hampir pecah, belum lagian penyanyinya yang tidak jelas.

“YEEEEEEEEEEEEEEEEEIIIIIIIIII!”

Refan ditarik penyanyi di atas panggung—penyanyi itu turun dan berteriak di depan wajah Refan dan menyemburkan hawa naga yang membuatnya hampir pingsan. Penyanyi itu sendiri berteriak-teriak tidak jelas, membuat telinganya berdenging—ditambah lagi dengan loudspeaker di dibelakangnya, dan pakaian yang dia kenakan membuat Refan hampir muntah. Oh, ya ampun. Tidak ada penyanyi bagus untuk disewa apa?

Setelah beberapa menit diteriaki, Refan akhirnya dilepaskan juga. Refan memegang telinganya, mengeluh betapa dia akan segera kehilangan kemampuan pendengarannya jika dia bergaul dengan orang seperti itu.

“Minum?” Grace menyodorkan segelas limun pada Refan yang langsung diteguknya sampai habis. “Kau baik-baik saja?”

“Ya!” katanya marah saat melihat wajah Grace. Dia mengambil gelasnya yang lain dan berjalan menghindari Grace. Grace mengikutinya.

“Kau yakin kalau kau baik-baik saja?” kata Grace cemas.

“Ya! Jangan ikuti aku!”

“Seharian ini kau bad mood terus.”

“Itu bukan urusanmu! Kenapa kau tidak mengurus pacarmu saja?”

“Siapa?”

“Rachael!”

“Dia bukan pacarku,” kata Grace kalem.

“Tapi sebentar lagi!”

“Aku menolaknya tadi.”

Refan berhenti melangkah. Dia berbalik dan menatap Grace. “Eh? Apa?”

“Tadi aku bertemu dia, beberapa menit sebelum bertemu kau. Aku minta maaf kalau aku tidak bisa jadi pacarnya dan aku berterima kasih atas hadiahnya. Itu sangat indah, kunang-kunang, lumba-lumba dan kembang api.”

“Oh,” ada kelegaan dari suara Refan. Dia memanjat dan duduk di atas karang. “Baguslah.”

“Apa aku rasanya mendengar kata ‘baguslah’ darimu?” goda Grace.

“Tidak. Indera pendengaranmu salah. Kau perlu ke Dokter THT.” Kata Refan. Wajahnya merona merah. Dia meneguk gelas jusnya dan menyemburkan airnya.

“Kenapa?” kata Grace heran.

“Ini jus sirsak. Aku tak suka sirsak!”

Grace tertawa. Rasanya dia merasakan kalau Refan tidak akan bad mood lagi.

***