Kamis, 09 Desember 2010

Ocepa Kingdom Eps 4

Empat

Aleph menatap Glenn yang sejak tadi pagi menatap bengong ke luar jendela ruang prakteknya dengan dagu ditopang. Sejak Glenn pulang dari pantai dua hari yang lalu, tingkahnya agak aneh. Dia cuma menatap langit jika tak ada pekerjaan, padahal biasanya Glenn membaca atau membuat ramuan.

“Tuan Muda,” Aleph menjentikan jarinya di depan Glenn.

“Ya, Paman?” kata Glenn, kemudian matanya menoleh kearah pintu dan mendapati Alfred ada disana. “Ada perlu apa?”

“Ayahku menyuruhku untuk membawamu ke istana. Dia menyuruhku, kau tahu, kalau tidak aku tak akan sudi untuk ke sini lagi.”

“Kakimu sudah sembuh, kalau begitu?” sindir Glenn.

Alfred mencibir. “Ya, dan aku harus bilang terimakasih padamu kata Ayahku.”

“Kau sudah bilang. Ayo kita pergi.”

Glenn melewati Alfred dan membawa poci yang disodorkan Aleph. Dia melewati pekarangan, menuju Nheo yang terikat di gerbang kayu. Kuda cantik itu sibuk merumput, namun saat melihat majikannya datang ke arahnya, dia menghentak-hentakan kakinya dengan tidak sabar.

“Ya, ya… kita akan jalan-jalan,” kata Glenn lembut mengelus kepala Nheo dengan sayang. Dengan perlahan Glenn meletakan ramuan yang sudah dia rebus untuk sang Pangeran kesisi tubuh Nheo dan setelah dia yakin kalau poci itu aman, dia pun naik ke atas punggung Nheo. Alfred sudah naik terlebih dahulu, kudanya cantik berwarna coklat terang dan kelihatan sangat tangkas. Tapi sepertinya Alfred tidak berniat mengoceh tentang kudanya pada Glenn karena dia sudah terlebih dahulu berlari duluan.

“Dasar anak-anak,” gumam Glenn. “Ayo, Nheo. Chah!”

Nheo berjalan perlahan ketika menuruni bukit. Perintah yang diberikan Alfred tidak menyuruhnya untuk berlari cepat. Alfred terpaksa menunggu Glenn yang tertinggal jauh di belakang dan semakin jengkel.

“Oi! Bisa lebih cepat tidak sih? Kita harus sampai sebelum sore!” teriaknya dengan gigi gemertakan. Dan dia kembali melotot ketika Glenn berteriak mengajak Nheo supaya berlari lebih cepat. Sambil mencibir dengan nada tak sabar, Alfred menyusul dari belakang.

Dengan kecepatan seperti itu tidak butuh waktu tiga puluh menit bagi mereka untuk segera tiba di pintu gerbang istana. Alfred memberikan tanda masuk kerajaan miliknya dan Glenn menunjukan batu yang berlambang kerajaan Ocepa pada mereka.

“Apa isi ramuanmu itu kalau aku boleh tahu?” Alfred tampak tertarik dengan poci yang dibawa Glenn. Wanginya menggoda selera. Sangat manis, semanis buah mangga yang ranum. “Baunya tidak seperti obat.”

“Kau tak akan mau memakannya jika tahu apa isinya. Ini bukan urusanmu. Kau tenang saja, aku tak akan memberikan obat ini padamu,” jawab Glenn pelan.

Alfred memaki lagi dalam hati. Pemuda yang satu ini rasanya lebih parah daripada teman-temannya. Mungkin karena Ayahnya memberi perhatian yang berlebihan padanya. Rasanya menjengkelkan sekali mendengarkan perkataan Glenn yang sama sekali tak bisa dia balas.

Glenn memperhatikan lorong yang mereka lewati. Ada tiang-tiang tinggi yang terbuat dari batu-batu kokoh. Bagian atap kelihatan bersinar dan disepanjang dinding tampak lukisan-lukisan mahal, menambah keartistikan suasana ketika mereka lewat. Alfred memperhatikan Glenn menatap lurus keujung lorong, dimana di ujung satunya kelihatan sebuah kastil yang kelihatan kecil.

“Apa Pangeran Christian masih tinggal di Kastil Aclopatye?” Glenn bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari pemandangan di ujung ruangan. Kastil itu kelihatan berkilau-kilauan karena ditimpa sinar matahari. Kastil Aclopatye merupakan kastil paling kecil di istana itu daripada kastil yang lain tapi kastil itu lebih indah jika dibandingkan dari kastil-kastil yang lain bahkan Kastil Utama tak bisa menandingi keindahannya.

Kastil Aclopatye terlihat di istana bagian barat. Didirikan dengan menggunakan batu pualam yang diasah dan butuh dua puluh tahun untuk membangunnya. Atapnya meruncing dan ada bendera Ocepa di atas berwarna biru dengan gambar ombak di sudut kanannya. Kastil Acolpatye hanya memiliki tiga lantai dengan ruang tidur utama ada di lantai paling atas. Kabarnya pemandangan matahari terbenam hanya terlihat melalui Kastil Aclopatye yang berhadapan dengan lautan.

Namun seumur hidup Alfred tak pernah masuk kesana. “Tak ada yang namanya Pangeran Christian di Negeri ini. Kau ini warga Negara Ocepa tidak sih?,” sahutnya. “Akan kuberitahu, Raja Joseph hanya punya tiga orang Putra, Pangeran Louis, Pangeran Willy dan Pangeran Charlie. Kau sudah bertemu dua diantaranya. Pangeran Willy ada di bagian Selatan. Dia—well, kau tahu,” Alfred mengangkat kedua bahunya, sedikit merasa bersalah tentang apa yang akan dia katakan. “Sedikit bermasalah sehingga dihukum Raja Joseph kesana. Begitulah, kira-kira.” Alfred meneruskan ketika Glenn mengerutkan dahinya. “Aku rasa Pangeran Willy akan jadi orang baik disana. Aku yakin. Raja Joseph tahu apa yang dia lakukan.”

“Aku tidak bertanya,” kata Glenn.

Alfred, lagi-lagi, harus menerima perkataan Glenn. Dia memang tidak bertanya! Tapi, darimana dia tahu tentang Aclopatye?

“Sahabat, kau datang! Ah, apa kabar, Tabib Glenn?” Pangeran Charlie menyambut mereka dengan wajah merekah ketika mereka sudah dekat dengan kamar Pangeran. Glenn dan Alfred membungkukan badan. “Ah, jangan! Jangan begitu! Kita ini berteman. Aku tak suka temanku merendahkan diri. Itu apa?” dia menunjuk poci yang dibawa Glenn. “Wanginya harum.”

“Katanya kau tak boleh tahu,” jawab Alfred cepat sebelum Glenn sempat menjawab. “Dia bilang itu tadi padaku saat aku bertanya.”

“Oooke... kalau begitu,” Pangeran Charlie mengangguk-angguk keheranan. Dia sudah tahu kalau hubungan dua orang ini memang tidak akur, tapi dia tak menyangka bakal separah ini. “Aku harus berterima kasih padamu, Tabib Glenn. Berkat usulmu, Kakakku sudah sedikit lebih enak dipandang. Kau tahu, dia sekarang sudah bebas bergerak walau masih sedikit lemah dan dia lebih banyak makan. Itu bagus untuk badannya. Akhir-akhir ini aku merasa dia seperti kerangka hidup.”

Glenn tidak berkomentar. Tidak ada yang harus dia komentari dari perkataan si Putra Mahkota. Tapi kelihatan jelas sekali kalau Pangeran Charlie sangat menyayangi Pangeran Louis. Tampaknya Pangeran Charlie tidak terlalu berniat pada kekuasaan Raja. Dia membimbing mereka berdua dan tampak bersemangat sekali ketika membuka pintu kamar Pangeran Louis untuk mereka sambil mengatakan bahwa Ayahnya dan Petinggi Kerajaan sudah menunggu mereka.

“Saya membawa Tabib Glenn menghadap, Yang Mulia,” Alfred membungkuk rendah ketika berhadapan dengan Raja. Disana ada Raja Joseph dan Menteri-menterinya, kali ini jumlahnya lebih banyak; ada Menteri Pertahanan, Menteri Penerangan, Menteri Perpajakan, Menteri Pendidikan, Menteri Kesehatan, Menteri Hubungan Kerjasama Luar Negeri dan Penasehat Raja ditambahi dengan Perdana Menteri. Jendral Rodius yang ada disisi Raja Joseph tersenyum ketika matanya berhadapan langsung dengan mata Glenn.

“Ah, Tabib Glenn!” Raja Joseph bangkit dari tempat tidur Pangeran Louis dan menyambut Glenn secara langsung. Dia mengadahkan tangannya dan menepuk-nepuk bahu Glenn. “Selamat datang kembali. Bagaimana keadaanmu?”

“Saya sehat, Yang Mulia, seperti biasa memberikan sedikit pertolongan pada rakyat jelata,” jawab Glenn merendah.

“Rodius sudah menceritakan kisahmu padaku dan aku sungguh takjub. Kau ini pahlawan Negara. Pemuda sepertimu harusnya ada disini,” Raja Joseph menggiringnya ke sisi tempat tidur Pangeran Louis.

Raja Joseph mendesah bahagia.

“Kau lihat keadaan anakku? Sejak kau memeriksanya tiga hari yang lalu, kondisinya jauh lebih baik. Dia sekarang sudah bisa menggerakan tangan dan kakinya. Ini semua berkatmu, Tabib Glenn.”

“Anda terlalu berlebihan, Yang Mulia. Saya hanya menerapkan apa yang saya pelajari dan ketahui sedangkan Pangeran Louis yang berusaha.”

“Kau sangat rendah hati!” Raja Joseph kembali menepuk bahu Glenn. “Ayo, sekarang periksa dia. Aku ingin melihat keajaiban yang kau buat.”

Glenn melirik sekilas kearah Tabib Istana dan pelayannya yang kelihatan jengkel, lalu pada Pangeran Louis yang tersenyum padanya. Wajahnya tidak pucat kekuningan seperti dulu, kali ini merona kemerahan. Sepertinya mereka benar-benar mendengar perkataan Glenn.

“Aku tak mau kau meminta izin untuk menyentuh tubuhku. Kau Tabibnya dan kaulah yang paling mengerti tentang sakitku, Tabib Glenn,” kata Pangeran Louis ketika melihat Glenn agar ragu mendekatinya.

“Kalau begitu saya tak akan segan lagi, Yang Mulia,” kata Glenn. Dia meletakan poci yang dia bawa ke atas meja disisi tempat tidur Pangeran Louis dan mulai memeriksa kembali denyut nadi si Pangeran.

“Kemarin aku lupa bertanya padamu, siapa nama lengkapmu?” Pangeran Louis bertanya dengan nada lembut. Suaranya harmonis dengan wajahnya. Merdu dan dalam.

“Bukankah Anda sudah tahu, Yang Mulia? Kenapa bertanya kembali?” Glenn sengaja tidak menatap mata Pangeran Louis dan sibuk dengan pergelangan tangannya. Dia butuh konsentrasi tinggi untuk merasakan perubahan yang terjadi dalam denyutan nadi si Pangeran.

“Ya, aku mendengar kehebatanmu dari Jendral Rodius dalam kurun dua hari ini sewaktu kami jalan-jalan subuh. Tapi alangkah tidak sopannya jika kita tidak berkenalan secara langsung, padahal kau sudah mengobatiku.”

“Itu bukan masalah besar, Yang Mulia. Saya hanya seorang Tabib, rakyat jelata dan tugas sayalah membantu Anda.”

Pangeran Louis tertawa. “Kau memang pandai berkata-kata. Apakah begitu susah mengatakan namamu?”

Glenn menyerah. Setelah dia selesai memeriksa denyutan nada si Pangeran, dia kembali menatap si Pangeran dan tersenyum, “Nama saya Glenn Haistings, Yang Mulia. Senang bertemu dengan Anda.”

“Usiamu?”

“Enam belas tahun.”

Jawaban yang mengejutkan. Menteri-menteri itu kelihatan kaget dan terheran-heran, bahkan Raja Joseph sampai melotot tak percaya. Dia menatap Jendral Rodius, meminta penjelasan. Tapi rupanya Jendral Rodius cuma mengangkat bahu sambil tersenyum-senyum.

“Kau muda, tampan dan cerdas serta paham pengobatan. Darimana kau belajar pengobatan sebelumnya?” Pangeran Louis kelihatan tertarik dengan Pemuda yang ada di dekatnya.

“Hanya dari seorang Guru Pengobatan biasa, Yang Mulia.”

“Dimana?”

“Axantos.”

“Axantos? Kau bisa bahasa Axantos?” Pangeran Louis terkaget-kaget lagi. Tapi itu bukan pertanyaan yang akan dia utarakan, “Siapa nama Guru-mu?”

“Loerian Moustiqe, Yang Mulia.”

Alfred melotot ketika mendengar nama itu. Itu bukan nama biasa. Loerian Moustiqe terkenal sebagai Guru Pengobatan Terbaik di .Axantos. Banyak yang meminta menjadi muridnya tapi rupanya dia lebih suka memilih murid sendiri. Jika Glenn terpilih, berarti Glenn memiliki sesuatu yang tidak ada pada kandidat yang lain. Dan ternyata bukan hanya Alfred yang terkaget-kaget, tapi juga Raja Joseph, para Menteri dan Jendral Rodius, Ayahnya sendiri.

“Berapa lama kau belajar darinya?” Raja Joseph begitu penasaran dan melangkah cepat kesamping Pangeran Louis. Begitu mendengar kalau Glenn ada murid dari Loerian Moustiqe, tanpa bisa dibendung lagi, harapannya mengalir pada anak muda itu. Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa anak muda itu sudah mencuri perhatiannya sejak pertemuan pertama. Perkataan yang sopan dan santun, wajah yang tampan dan tenang, perawakan yang bersih dan berwibawa, tak ada yang bisa menandinginya bahkan bangsawan yang ada disekelilinya. Baginya anak muda itu kelihatan lebih bersinar, apalagi begitu dia mengetahui kalau anak muda itu adalah cendikiawan muda yang sangat berbakat tanpa rasa takut.

“Saya belajar pengobatan selama lima tahun sejak berusia delapan tahun. lalu beliau meminta saya untuk kembali kesini. Katanya, menghadapi banyak orang akan menambah pengetahuan saya sendiri. Masih banyak yang harus saya pelajari. Dia berpesan pada saya kalau pengalaman lebih baik daripada buku yang dibaca.”

Perkataannya benar-benar membuat seisi ruangan itu terkesan.

“Pangeran,” Glenn mengalihkan tatapannya pada Pangeran Charlie. “Saya memberikan kepercayaan kepada Anda untuk memberikan obat yang ada di poci itu pada Pangeran Louis tiga kali sehari setelah makan. Pastikan Pangeran Louis meminum anggur segelas setelah meminum obat itu, efeknya akan lebih mujarab.”

Pangeran Charlie yang tiba-tiba diberi tugas seperti itu mengerjap-kerjapkan matanya karena kaget.

“Kenapa harus Pangeran Charlie? Aku bisa melakukannya,” kata Alfred sebal.

Glenn tersenyum lagi.

“Dari tanggung jawab yang kecil dapat membawa Pangeran Charlie ke tanggung jawab yang besar. Lagipula,” kali ini dia menatap Pangeran Charlie. “Apa salahnya jika Adik memberikan obat pada Kakaknya?”

Alfred menarik napas, berusaha menahan amarahnya.

“Baiklah, akan kulakukan.” Pangeran Charlie setuju. “Lalu, apa yang akan terjadi jika pocinya sudah habis?”

“Jangan khawatir Pangeran, saya akan datang ke sini Minggu depan untuk melihat efeknya, siapa tahu minggu depan Pangeran Louis sudah sembuh.” Glenn tersenyum lagi. “Saran saya sebelumnya juga harus dijalankan. Sinar matahari sangat baik untuk tulang Anda yang melemah, Pangeran.”

“Akan kuingat. Kurasa aku harus berkunjung ke rumahmu, Tabib Glenn, untuk mengucapkan terima kasih jika aku sudah sehat nanti.”

“TIdak perlu, Yang Mulia. Anda cukup memberikan yang terbaik saja untuk rakyat dan itu sudah cukup bagi saya.” Kata Glenn. “Lagipula, rumah saya yang kecil dan kotor sama sekali tak cocok untuk Anda datangi.”

“Ah… kau terlalu merendah.”

***

Bulan sabit sudah muncul di balik awan gelap. Glenn melewati lorong bertiang yang berbayang-bayang dengan cepat. Ini diluar dugaannya, dia dipaksa untuk bercakap-cakap dengan Raja dan dipaksa diam disana lebih dari dua jam. Aleph pasti sudah mencemaskannya, tidak biasanya dia pulang setelat ini kecuali mengurusi orang sakit yang sekarat.

Ada kecemasan lain yang dia rasakan, jika ada penduduk yang sekarat dan dia tak ada disana, maka kacaulah semuanya.

“Kau belum akan kembali?”

Langkah kaki Glenn berhenti. Dia menoleh ke belakang dan mendapati anak laki-laki yang waktu itu ada disana, bersandar di dinding yang diliputi kegelapan sambil memeluk buku besar. Glenn begitu terburu-buru sampai tidak menyadari kalau ada orang disana.

Anak laki-laki itu menatap Glenn yang tidak menjawab pertanyaannya. Dengan bibir gemetar dia berkata, “Ini sudah sepuluh tahun tapi Permaisuri mungkin masih mengenalimu.”

Glenn menelan ludah. Tidak mungkin…

“Aku cuma mau bilang itu,” dan dia berbalik pergi menerobos kegelapan.

***

Minggu, 28 November 2010

Ocepa Kingdom Eps 3

Tiga

Sejak awal Jendral Rodius tahu kalau Tabib Glenn bukan Pemuda yang biasa. Dari caranya berpakaian, berperawakan dan berbicara membuktikan bahwa dia seorang cendikiawan yang sangat jarang bisa ditemukan di Ocepa. Semua pemuda-pemuda cerdas dikirim keluar negeri untuk belajar dan sebagian besar dari mereka tidak kembali. Walaupun ada dari mereka yang kembali, mereka adalah sekumpulan Pemuda bodoh yang begitu berambisi pada harta, kekayaan dan jabatan, sangat berbeda dengan Pemuda yang ada disampingnya ini.

Dari tadi, ketika mereka menginjakan kaki di rumput istana, dia tidak berkomentar apa-apa dan mengikuti Jendral Rodius dengan tenang. Well, mungkin ini awalnya saja. Banyak pemuda polos yang bilang kalau dia tak tertarik pada tahta namun saat mereka sudah diberi sedikit kekuasaan dan uang, mereka menjadi serakah. Kita lihat saja apa Pemuda yang diberi sedikit perhatian ini adalah perkecualian.

“Ah! Jendral Rodius, kejutan! Sebuah kejutan!”

Hal yang ditakutkan Jendral Rodius muncul. Sang Tabib Istana baru keluar dari lorong seberang bersama dengan dua suster pelayannya. Dia menjabat Jendral Rodius dan matanya beralih pada Glenn dalam beberapa detik.

“Ini keponakanku,” kata Jendral Rodius menepuk punggung Glenn.

Glenn menunduk sedikit tanpa berkata apa-apa.

Tabib Istana mengerutkan dahinya. “Rasanya aku pernah melihatmu,” katanya.

“Dia Pelajar, Tabib Istana. Kerajaan kita mengirimkannya ke Axantos, tentu saja wajahnya sangat familiar,” kata Jendral Rodius lagi. Dia menatap Glenn yang masih belum bilang apapun. “Dia sudah lama di luar negeri, jadi aku ingin mengajaknya bertemu dengan Raja, siapa tahu dia punya bakat di mata Raja.”

Tabib Istana tampak mengerti. “Ah! Ya, ya, aku mengerti sekarang. Baiklah, Jendral, aku harus ke ruangan Istana Pangeran Louis, bekerja,” dia memainkan matanya dan berlalu dengan suara tawa yang menjijikan.

“Anda pernah bertemu dengannya, Tabib Glenn?” kata Jendral Rodius pelan ketika mereka berjalan beriringan melewati koridor.

“Ya, di Axantos. Saya mengalahkannya dalam pengetahuan obat-obatan dan fungsinya. Dia tak bisa membedakan mana jamur beracun dan mana yang tidak,” jawab Glenn pelan. “Raja sepertinya tak tahu kalau Tabib Istana yang satu ini bisa meracuni dia suatu hari nanti.”

“Kalau begitu kalian seangkatan?”

“Lebih tepatnya, saya hanya murid yang diangkat karena punya kemampuan oleh seorang guru yang melihat kemampuan saya,” jawab Glenn pelan. “Omong-omong, Jendral Rodius, apa benar kita akan bertemu dengan Raja? Saya rasa itu bukan ide yang bagus.”

“Oh, Raja akan senang. Kau tenang saja. Dia selalu menerima masukan. Terutama masukan dari sahabatnya,” kata Jendral Rodius enteng. “Lewat sini.”

Glenn dan Jendral Rodius terpaksa berhenti ketika Pangeran Charlie tiba-tiba muncul dari lorong yang akan mereka lewati.

“Ah, Jendral!” kata Pangeran Charlie tersenyum. Dia menatap Glenn dan menaikan alisnya. “Dan?” wajahnya penuh tanda tanya menatap Glenn.

“Ini sepupunya Alfred,” jawab Jendral Rodius.

Lagi-lagi Pangeran Charlie mengerutkan dahi. “Alfred pernah bilang kalau dia tak punya sepupu dan dia memakai pakaiannya Alfred. Anda tentunya tidak sedang berbohong dengan saya kan?”

Jendral Rodius meringis. “Ya, dia memang bukan sepupunya Alfred.”

Pangeran Charlie kelihatan tertarik dengan raut wajah Jendral Rodius yang tiba-tiba berubah. “Wow, lalu siapa? Apa yang membuat Anda membawanya kemari?”

“Saya dibawa kemari untuk memeriksa keadaan Pangeran Louis,” Glenn buka mulut. Tak ada gunanya mengarang kebohongan disaat seperti ini.

Pangeran Charlie menaikan alisnya. “Ayah sedang berbicara dengan Perdana Menteri dan sepertinya akan memakan waktu lama,” matanya beralih pada Jendral Rodius. “Dan Tabib Istana tak akan senang jika ada orang yang masih muda tiba-tiba menggantikannya.”

“Yang Mulia, saya hanya ingin dia memeriksa keadaan Yang Mulia Louis mengingat keadaan Pangeran Louis tidak berubah sejak dulu.”

“Apa ini karena Anda tak suka saya jadi Putra Mahkota?” kata Pangeran Charlie. “Saya cuma bercanda.” Dan dia tertawa. “Baiklah, ayo kita sama-sama ke kamarnya Kakak. Lagipula aku sudah bosan melihatnya terbaring disana terus. Tahun-tahun belakangan kami selalu bermain pedang, rasanya sedih sekali. Oh, iya, siapa tadi namamu?”

“Glenn Haistings,” Glenn membungkuk.

Pangeran Charlie menjentikan jarinya. “Kau Tabib yang diceritakan Alfred! Yang dia katakan memang benar, kau jauh lebih tampan dari yang aku bayangkan. Berapa usiamu?”

“Enam belas tahun, Yang Mulia.”

“Aku delapan belas tahun. Namaku Charlie bukan Yang Mulia, panggil Charlie saja kalau kau nyaman,” kata Pangeran Charlie meneuk-nepuk bahu Glenn. “Kurasa aku akan menyukaimu.”

***

Raja Joseph kaget melihat kedatangan Pangeran Charlie, Jendral Rodius dan pemuda tampan yang tak dia kenal tiba-tiba muncul ke kamar Pangeran Louis. Hari ini setelah rapat yang sengaja dia hentikan, dia segera menjenguk Putra Sulungnya beserta dengan Tabib Istana dan beberapa Menteri. Mereka bertiga membungkuk.

“Anda bilang kalau Raja sedang rapat,” gerutu Jendral Rodius dari sudut bibirnya.

“Tadi, saat aku meninggalkan mereka berdua di kamar Ayah dua jam lalu,” balas Pangeran Charlie dengan nada berbisik. “Ayahanda! Aku tak menyangka Ayah ada disini! Jendral Rodius tadi mencari Ayah!”

“Sahabat, ada perlu apa kau mencariku?” kata Raja Joseph melemparkan senyumannya pada Jendral Rodius tanpa beranjak dari tempatnya.

“Ada sesuatu yang ingin saya usulkan pada Anda, sesuatu yang mungkin tak akan disukai oleh Tabib Istana,” Jendral Rodius melirik Tabib Istana yang ada disamping tempat tidur. Sang Tabib mengerutkan dahinya.

“Apa itu?” kata Raja Joseph. Dia sepertinya tak fokus dengan perkataan Jendral Rodius, tangannya memegang tangan Pangeran Louis yang kelihatan lemah.

“Pemuda yang ada disamping saya ini, mengerti tentang pengobatan—”

Seakan bisa membaca perkataan Jendral Rodius, Tabib Istana buka mulut, “Bisa pengobatan? Tentunya Jendral, kau tak bermaksud agar bocah kurang pengalaman itu memeriksa Pangeran Louis kan? Pangeran harus ditangani dengan orang yang profesional.”

“Ya,” Raja Joseph menjawab, “Itu benar, Sahabat. Putraku harus diobati dengan orang yang profesional.”

“Anda salah, Yang Mulia,” Glenn tiba-tiba berbicara.

Penolakannya yang tiba-tiba membuat salah seorang Menteri angkat bicara, “Lancang sekali!” dan diikuti oleh persetujuan yang lain.

“Yang dibutuhkan oleh seorang pasien bukan tabib profesional, melainkan orang yang benar dalam menghadapi penyakitnya,” Glenn melanjutkan dengan nada pelan yang membuat isi ruangan itu kembali heboh.

“Siapa pemuda ini, Jendral? Beraninya dia berbicara dengan Raja!”

“Kalau begitu saya ingin bertanya,” Glenn tetap bicara tanpa mempedulikan perkataan para Menteri itu. “Apakah Ibu Anda Yang Mulia, adalah seorang Profesional yang tahu apa yang dibutuhkan anaknya saat dia sakit, lapar dan lelah?”

Dalam sekejap, ruangan itu kembali hening. Raja Joseph akhirnya mampu mengalihkan pandangannya dari Pangeran Louis dan menatap Glenn. Dia terkesan pada Pemuda itu. Pemuda itu mengatakan hal yang benar. Bagaimana mungkin dia bisa melupakan hal itu? Selama ini dia selalu terfokus pada pendapat orang ahli tanpa memikirkan apapun.

“Jika Anda mengizinkan, saya hanya ingin memeriksa kondisi Pangeran Louis, Yang Mulia. Anda boleh mengusir saya setelah itu.” Glenn membungkuk rendah dengan gaya bangsawan terhormat.

Raja Joseph menatap Jendral Rodius yang balas tersenyum padanya.

“Kurasa tak ada salahnya mendengar hasil analisamu, Tabib Muda,” Raja Joseph berdiri dari sisi Pangeran Louis.

Glenn berjalan perlahan dan duduk disamping Pangeran Louis dan tersenyum kecil. “Maaf, Yang Mulia,” katanya sambil menyentuh telapak tangan Pangeran Louis yang dingin dan pucat. Glenn memperhatikan ujung-ujung kukunya yang membiru. Dia memeriksa nadinya yang berdenyut sangat lambat, lalu memperhatikan wajah Pangeran Louis yang pucat pasi dan bibirnya menguning dan matanya berair dengan sudut-sudutnya memerah dan pupil mata yang tidak focus.

Ah, sudah kuduga, batin Glenn.

“Tanganmu sangat hangat, siapa namamu?” kata Pangeran Louis perlahan seperti berbisik seolah-olah dia susah untuk berbicara.

“Panggil saja Glenn, Yang Mulia,” Glenn tersenyum menghangatkan dan memeriksa perut kanan Pangeran Louis. “Anda belum makan, Yang Mulia.”

“Ah… aku tak berselera,” gumam Pangeran Louis.

“Anda bisa makan bubur rumput laut jika Anda mau. Rasanya enak dan saya yakin Anda pasti suka.” Kata Glenn lagi, kali ini dia memeriksa pergelangan kaki Pangeran Louis dengan perlahan. “Apa Anda bisa merasakan sakit disini?” katanya menekan telapak kakinya.

“Tidak.”

“Disini?”

“Ah! Ya, sakit!” Pangeran Louis mengerang ketika Glenn memegang jari-jarinya. Teriakan Pangeran membuat Tabib Istana kaget.

“Kau menyakiti Pangeran!” katanya. “Jangan periksa lagi!”

“Bukannya saya bermaksud tidak sopan, tapi jika pasien tidak merasakan sakit, tentunya dia tidak butuh Tabib,” kata Glenn tenang dan membuat Tabib Istana terdiam seribu bahasa lagi. “Pangeran, saya ingin memeriksa punggung Anda, tidak keberatan kalau baju Anda saya buka kan?”

“Kelewatan! Tidak ada yang boleh melihat kulit keluarga Raja!” kata salah seorang Menteri.

Seakan tidak mendengar protesan, Glenn melanjutkan pembicaraan sambil menggulung lengan bajunya. “Saya rasa kalau punggung Anda pasti membiru, Pangeran. Saya cuma ingin memastikan supaya saya tak salah mengambil keputusan.”

“Ya… boleh. Tapi aku tak punya tenaga saat ini.”

“Akan saya bantu,” kata Glenn.

Jendral Rodius kali ini terkagum-kagum melihat cara Glenn bekerja. Pemuda itu sangat cekatan walaupun terlihat tenang. Tak ada yang bisa melawannya. Dengan mudahnya dia sudah mendudukan Pangeran Louis, yang terbaring selama beberapa tahun ini, tanpa adanya keluhan kesakitan dari Pangeran dan tangannya menelusuri punggung Pangeran Louis. Dan benar yang dia katakan, punggung sang Pangeran benar-benar membiru.

“Apakah Anda keberatan kalau saya sedikit meregangkan tulang punggung Anda, Pangeran?” kata Glenn meregangkan tangannya.

“Tidak, apakah rasanya akan sakit?”

“Sedikit. Saya yakin Anda masih bisa menahannya.” Kata Glenn, dia menekan barisan tulang punggung sang Pangeran. Wajah sang Pangeran meringis, dia kelihatan sakit, tapi dia tidak mengeluarkan suara.

“Hentikan! Apa kau tak melihat kalau Pangeran kesakitan?” si Tabib Istana yang tak tahan lagi segera kesamping tempat tidur dan menarik Glenn. “Kau bisa membuat punggungnya patah!”

Glenn menghela napas. Seluruh tubuh Pangeran Louis berkeringat dan napasnya ngos-ngosan menahan rasa sakit. Glenn bangkit dan memakaikan pakaian Pangeran Louis kembali, lalu menidurkannya dengan bantal yang menahan punggungnya.

“Apa Anda sudah merasa nyaman, Pangeran?”

Pangeran Louis mengangguk perlahan.

Glenn mencuci tangannya dan dengan perlahan kembali ke sisi Jendral Rodius. Raja Joseph yang sedaritadi diam, menatap Glenn. Dia belum pernah melihat cara pengobatan seperti itu sebelumnya. Biasanya Tabib Istana hanya memeriksa denyut nadinya saja lalu mengatakan penyakitnya. Jujur saja, hal itu membuatnya terkesan.

“Lalu, Pangeran Louis sakit apa?” kata Raja Joseph pada akhirnya.

“Keracunan makanan,” jawab Glenn tanpa ragu.

Jawaban yang tak terduga. Si Tabib mendengus dengan nada meremehkan. “Pangeran memang keracunan makanan. Boleh juga anak sepertimu bisa tahu.”

“Dan Pangeran semakin keracunan dengan obat yang Anda berikan,” Glenn melanjutkan. Pangeran Charlie menahan napas.

“Apa maksudmu?” kata Raja Joseph.

Glenn menghela napas. “Pangeran apa Anda pernah memakan moonseed?”

Moonseed?” Pangeran Louis mengerutkan dahi.

“Buah bulat seperti anggur yang warnanya merah.”

“Ah, ya. Kalau tak salah sejak aku makan itu, tubuhku jadi seperti ini. Jadi itu bukan anggur?” Louis menatap Tabib Istana yang gelagapan.

“Seperti yang sudah saya duga. Untung saja saat itu Anda bisa ditangani kalau tidak Anda pasti sudah mati. Moonsheet sangat berbahaya jika dikonsumsi dalam jumlah besar,” Glenn menatap Tabib Istana. “Dan sepertinya Anda ditangani secara berlebihan, jika saja Anda saat itu Anda dibiarkan minum susu dan bukannya diberikan obat jenis tertentu, Anda tak akan dalam keadaan seperti ini.”

“Jadi maksudmu aku salah memberikan obat?” tantang Tabib Istana.

“Ya,” jawaban yang cepat dan tegas. “Dan Anda memperparah keadaan Pangeran dengan membiarkannya terkurung di kamar tanpa sinar matahari dan tidak bergerak sedikitpun dari atas tempat tidurnya sampai membuat otot-otot kakinya kaku dan punggungnya menegang. Jika ini terus dibiarkan, Pangeran bisa lumpuh selamanya dan jika Anda masih memberikan obat yang sama, Pangeran bisa mati dalam hitungan bulan.”

Raja Joseph memberikan tatapan berang pada Tabib Istana yang diam terpaku. “Lalu, apa kau punya obat untuk menyembuhkan Pangeran?”

“Saran saya, untuk saat ini biarkan Pangeran makan bubur rumput laut. Pencernaan Pangeran sidikit bermasalah. Setidaknya biarkan Pangeran berjemur dibawah sinar matahari kurang lebih dua jam sejak jam enam. Embun pagi sangat bagus untuknya. Untuk mengusir kebosanan, Pangeran dapat berjalan-jalan ke taman tanpa alas kaki, itu baik untuk perderan darahnya. Mengenai obat untuk diminum Pangeran, Yang Mulia, saya butuh waktu untuk membuatnya.”

“Kenapa? Ada masalah dengan obatnya? Aku akan bayar berapapun jika kau takut tidak dibayar!” kata Raja Joseph.

“Bukan begitu, Yang Mulia. Obat Pangeran Louis ada didasar lautan dan itu butuh waktu untuk mengambilnya,” jawab Glenn dengan nada rendah.

***

“Kau sangat keren!” Pangeran Charlie menepuk punggung Glenn sambil tersenyum senang. “Anda pasti bangga sekali, Jendral. Dia membuat Tabib Istana tak berkutik. Sudah lama aku tidak menyukainya.”

Glenn berhenti ketika seorang Pemuda berdiri di depan mereka. Pemuda itu memiliki rambut coklat yang menutupi dahinya. Wajahnya tampan dengan mata coklat gelap dan kulit pucat. Pemuda itu menatapnya tanpa ekspresi. Selama beberapa detik suasana dilorong itu membeku, sampai kemudian Glenn membungkuk rendah dan kembali berjalan.

Jendral Rodius dan Pangeran Charlie mengerutkan dahi. Ada yang aneh.

***

Ocepa Kingdom Eps 2

Dua

Tabib Glenn bangun dengan mimpi buruk yang sama pagi ini bahkan sebelum ayam berkokok. Langit masih gelap ketika dia melihat kearah jendela yang ada disamping tempat tidurnya. Pantas saja dia merasa kedinginan. Rupanya jendela kamarnya belum ditutup.

Keringatnya bercucuran ke dahi. Dia menyekanya dengan lengan bajunya. Merasa percuma untuk tidur karena matanya tidak mengantuk dan badannya terasa sakit, Glenn memutuskan untuk menyingkirkan selimutnya dan bangkit dari tempat tidurnya.

Dia mengganti pakaiannya dengan pakaian yang lebih nyaman, mengikat dahinya dengan ikat kepala dan mengambil pedangnya yang ada di bawah tempat tidurnya. Mungkin aneh sekali, dia tak pernah menunjukan pedang itu sebelumnya, tapi ada orang yang dapat mengetahui kemampuannya.

Glenn menghela napas. Mungkin lebih baik dia gerak badan dulu, siapa tahu sakit di kepalanya lebih cepat sembuh daripada memkirkan mimpi yang tidak keruan. Dia berjalan turun dari kamarnya. Langkah kakinya seringan angin dan tidak menimbulkan suara sehingga tidak membangunkan anjing penjaga yang ada di depan pintu kamarnya.

Angin subuh menyentuh lembut kulitnya dan rasanya lebih nyaman jika dia berada di luar. Dia berjalan menuruni bukit. Seperti yang sudah dia ketahui, tak ada orang yang muncul ketika subuh menjelang. Semua orang sedang tidur lelap, tidak seperti dirinya.

Akhirnya dia sampai di lapangan berumput yang biasa dia gunakan untuk berlatih pedang sendirian. Mungkinkah sang Jendral melihatnya berlatih disini? Kalau begitu darimana dia mengawasi sampai tidak diketahui olehnya?

Ah, disana rupanya.

Glenn akhirnya menangkap tempat yang mungkin. Di atas bukit. Matahari muncul dari posisi itu, Glenn luput melihatnya. Lain kali dia harus berhati-hati. Glenn mengambil napas dan melakukan sedikit gerakan terhadap pergelangan tangannya. Setelah dia siap, dia kembali menarik pedangnya dari sarung.

Pedangnya berdesir. Suara yang sangat dia suka. Rasanya jauh lebih damai daripada menghadapi keluhan dari penduduk. Ini adalah hiburan untuknya.

“Kau akan kembali, setelah kau siap.”

“Aku tak mau kembali.”

“Kau harus kembali. Negeri ini membutuhkanmu.”

Suara-suara itu begitu dekat di telinganya.

“Pangeran Christian… aku akan datang…” gumamnya.

***

Alfred tahu kalau dia salah dalam masalah ini. Dia memang orang yang keras kepala, mudah marah dan tak suka ditentang. Tapi bukan berarti dia orang yang tidak mau minta maaf karena kata-katanya yang kasar. Pembicaraannya dengan Pangeran Charlie sedikit membuka matanya untuk melihat lebih jelas kalau dia masih banyak kekurangan. Ayahnya sudah lama melihat itu, tapi Alfred tidak mau mengakui. Pernyataan Ayahnya membuatnya sebal. Karena itu ia ingin melihat seperti apa orang yang sangat dikagumi Ayahnya itu dan kali ini dia merasa kalah.

Pagi ini dia pergi diam-diam untuk bertemu Tabib Muda itu lagi. Hendak berargumentasi kalau pernyataan Ayahnya salah. Namun saat dia melihat gerakan pedang Pemuda itu, seketika dia tak mampu berkata apa-apa.

Terpesona.

Permainan pedang Pemuda itu luar biasa. Gerakannya perlahan, tangkas dan tegas. Suara pedangnya berdesir dalam keheningan. Tubuhnya bergerak seluwes angin, ringan dan terkendali, seperti melodi.

Itu cuma jurus pedang dasar yang biasa digunakan dan sudah sering dia lihat dalam setiap pertandingan bahkan dia sudah bosan mempelajarinya. Namun, saat melihat pemuda itu berlatih dengan pedang yang berkilat-kilat ditimpa cahaya mentari pagi, Alfred tahu kalau pemuda itu bukan orang biasa.

Inilah alasan kekaguman Ayahnya. Entah kenapa dia merasa kalah dan malu. Hanya dengan gerakan sederhana, Glenn mampu membuktikan kalau dia seorang kesatria tangguh dan tak terkalahkan, bukannya dengan gerakan pedang yang super sulit.

“Apa yang kau lakukan disini?” kata Glenn. Dia memantulkan cahaya mentari dari pedangnya yang berkilat tepat ke wajah Alfred.

“Aku—” Alfred tiba-tiba mengurungkan niatnya untuk meminta maaf. Sesuatu dalam dirinya menuntutnya untuk diam dan tak mau kalah. “Hanya sedang jalan-jalan. Kau sendiri? Bermain pedang pagi-pagi begini.”

Glenn mengerutkan dahinya. Dia cepat-cepat menyarungkan kembali pedangnya dan berbalik menuruni bukit, sama sekali tak mau menjawab pertanyaan Alfred. Alfred mengejarnya. Dia hampir tergelincir karena rumput di bukit masih basah dengan embun pagi.

“Tunggu! Tunggu sebentar, Tabib Glenn.”

Glenn memilih untuk tidak mendengarkannya.

“Tunggu aku bilang! Aku ini bangsawan!” Alfred berteriak kesal. Dia tidak memperhatikan langkahnya dan pada akhirnya jatuh tergelincir sampai ke kaki bukit, melewati Glenn yang sempat berhenti. Pemandangan yang memalukan.

“Berhentilah menyebut dirimu bangsawan,” ucap Glenn pelan. Dia membantu Alfred berdiri. Alfred mengerang memegangi kakinya yang terasa nyeri. “Kau memang bangsawan yang patut dikasihani.” Gumamnya lagi membungkukan badannya. “Naik.”

“Apa? Buat apa?” Alfred memelototi punggung Glenn.

“Kau tak akan bisa jalan dengan kaki yang terkilir. Gubukku cukup jauh dari sini. Naik ke punggungku. Aku akan menggendongmu.”

“Aku tak sudi digendong rakyat jelata!”

“Gengsimu benar-benar menyedihkan,” Glenn geleng-geleng kepala. “Terserah padamu. Jika kau mampu berjalan sendirian, aku tak keberatan.” Glenn menegakkan tubuhnya dan berjalan meninggalkan Alfred—yang menganga tak percaya.

“Beraninya dia—” Alfred hendak mengumpat. “Tunggu! Hei! Baiklah kau menang! Bawa aku ke tempat busukmu itu dan obati lukaku ini!”

Glenn berhenti melangkah. Dia memutar bola matanya. Sesungguhnya dia sama sekali tak senang dengan perkataan Alfred barusan. Tidak sopan. Sangat tidak sopan. Namun kebaikan hatinya menang kali ini, maka dia pun berbalik dan kembali menyodorkan punggungnya.

Kali ini Pemuda Bangsawan itu tidak menolak lagi. Dia melingkarkan tangannya ke leher Glenn dan Glenn pun mengangkatnya melewati lapangan rumput. Glenn tahu bahwa Alfred tidak suka padanya, telihat jelas namun Glenn juga tak mau direpoti rasa bersalah atau sejenisnya agar pemuda itu mau menjadi lebih manis.

“Tuan Muda—kenapa dengan anak bangsawan ini?” Aleph menyambut mereka di depan gerbang dan terlihat panik saat melihat Glenn muncul sambil membawa orang di punggungnya.

“Dia cuma luka kecil. Terkilir.” Glenn berbicara dengan pelan. Dia menurunkan Alfred ketempat terdekat lalu menunduk untuk melihat luka Alfred. Dia menggulung celana Alfred dan melihat kakinya. Pergelangan kakinya membiru dan sedikit bengkak.

“Saya akan ambilkan minyak,” tanpa disuruh Aleph sudah pergi ke luar rumah.

Glenn menggulung lengan bajunya dan memegang kaki Alfred. Pemuda itu diam saja sejak Glenn membawanya bahkan dia tidak berkata apa-apa saat Glenn memegang kakinya.

“Kakimu tidak apa-apa. Kau cuma butuh dua hari tidak terlalu banyak bergerak dan pijatan ringan pada saraf yang tepat,” kata Glenn memijat kaki Alfred secara perlahan. “Hanya uratnya yang sedikit membengkak.” Glenn melanjutkan untuk mencairkan suasana beku di ruangan itu.

“Ini minyaknya, Tuan Muda.” Aleph memberikan mangkok kecil pada Glenn.

“Paman, hari ini aku akan ke kota. Jadi katakan pada penduduk bahwa aku akan buka saat matahari ada di atas kepala.”

“Buat apa Anda ke kota, Tuan Muda?”

“Mengantar Tuan Muda Bangsawan kita pulang ke rumahnya.”

“Maaf?” Alfred akhirnya buka mulut. “Apa yang barusan kau katakan?”

“Mengantarmu pulang, Tuan Muda.” Glenn mengulang dengan nada sabar. Dia tetap mengerjakan tugasnya tanpa terganggu dengan perkataan Alfred.

“Aku bisa pulang sendiri. Terima kasih atas perhatianmu.”

“Kurasa kakimu tak akan tahan jika kau berjalan sendirian menuju kota. Lagipula, kau tak bawa kuda.”

Alfred ingin membalasnya. Namun dia tak punya kata-kata yang tepat untuk membalas. Perkataan Glenn benar. Dia sama sekali tak bisa berbuat apa-apa. Akhirnya, dengan mengumpulkan sisa-sisa harga dirinya, Alfred menurut ketika dia didudukan di belakang kuda hitam milik Glenn.

“Aku tak menyangka akan berdiri sederajat dengan kaum rendahan,” gumam Alfred kesal.

“Berbahagialah, Tuan Muda sebab kau menemukan kaum rendahan sebaik aku yang tak begitu mengambil hati perkataanmu yang menjengkelkan,” kata Glenn dengan nada datar, “Kita pergi, Nheo! Hea!”

Kuda itu melompat ke atas dengan teriakan yang keras. Alfred sedkit kaget dan dengan cepat memegang pinggang Glenn. Hampir saja dia jatuh. Alfred tak punya waktu untuk menggerutu karena Nheo sudah melesat membawa mereka melintasi rerumputan.

***

Alfred dapat melihat api kemarahan yang berkobar dari balik punggung Ayahnya. Anaknya menghilang sejak kemarin malam dan pulang dengan kaki terkilir dan diantar dengan seorang Tabib Muda yang baru dikenalnya kemarin, benar-benar memalukan.

Glenn memberi hormat kecil pada Jendral Rodius.

“Apa dia menyusahkanmu?” kata Jendral Rodius melirik anaknya dengan sebal.

Glenn tersenyum kecil. “Sebenarnya dia adalah Pemuda yang manis jika ditangani dengan orang yang tepat.”

“Ah, begitu rupanya,” Jendral Rodius seperti merasakan ada tongkat baja yang menghantam perutnya “Kurasa aku tak mendidiknya dengan baik.”

“Dia hanya butuh perhatian ekstra dari Anda,” kata Glenn lagi. Alfred menganga.

Beraninya dia berkata seperti itu pada Ayahku!

Nyonya Aldianivus menggigit bibirnya dengan sebal. Menurutnya Pemuda yang ada dihadapannya sangat tidak sopan. Tidak tahukah dia kalau dia berhadapan dengan siapa? Namun saat Jendral Rodius tersenyum, Nyonya Aldianivus tak bisa berbuat apa-apa.

“Apakah hari ini Anda punya waktu bebas, Tabib Glenn?” Jendral Rodius berbicara dengan nada sopan yang membuat para pelayannya saling lirik. Kesopanan itu biasanya hanya ditujukan pada Raja Joseph.

“Saya punya waktu bebas sampai siang nanti, Jendral. Tapi saya saat ini belum berminat menjadi Kesatria jika itu pembicaraan kita saat ini.”

Ah, pemuda ini… penjagaan dirinya tak mudah ditembus, dia sudah bisa membaca pikiranku, batin Jendral Rodius. Dia benar-benar Pemuda cerdas.

“Saya ingin Anda ikut dengan saya ke istana. Saya ingin Anda melihat kondisi Pangeran Louis.” Tiba-tiba saja dia mengeluarkan kalimat yang mengejutkan.

“Saya rasa Tabib Istana tak akan senang melihat kehadiran saya yang tiba-tiba,” Glenn menolak dengan nada halus. Saat ini dia belum siap ke istana.

“Ah, dia akan senang, apalagi jika saya bilang kalau Anda berhasil membuat seorang anak kecil yang digigit ular bisa hidup sampai saat ini.”

Glenn tahu kalau dia tak bisa membatah dalam kondisi begini. Jendral Rodius benar-benar tahu bagaimana cara membawa dia ke istana. Dia tak punya pilihan.

“Tapi, Jendral, seperti yang Anda tahu, tidak boleh sembarang orang menyentuh tubuh keluarga kerajaan,” kata Glenn lagi.

“Hal itu digampangkan saja, Tabib Glenn. Aku akan bilang kalau kau adalah keponakanku yang tinggal jauh dari Ocepa dan saat ini sedang liburan. Kau punya kemampuan dalam mengobati orang dan belum ada yang bisa mengalahkanmu.”

“Itu terlalu berlebihan,” kata Glenn lagi.

“Ayah, apa-apaan ini?” Alfred berbisik sebal pada Ayahnya. “Dia mana mungkin diizinkan masuk ke kamar Pangeran Louis semudah itu.”

“Aku akan pikirkan caranya,” kata Jendral Rodius enteng. “Saat ini aku hanya ingin tahu apa yang terjadi dengan Pangeran Louis, Pemuda itu sudah terlalu lama tidur di atas tempat tidur.” Dia menatap mata Glenn.

Glenn menyerah. “Saya akan ikut dengan Anda, Jendral.”

Jendral Rodius tersenyum. Dia tahu kalau Glenn tak akan bisa membiarkan orang sakit begitu saja. Kebaikan hatinya begitu besar. “Pinjamkan pakaianmu, Alfred.”

Alfred melotot. “Apa?”

“Kau tentunya tak pelit pada sepupumu kan?”

Alfred memaki dalam hati. Sial.

***