Minggu, 28 November 2010

Ocepa Kingdom Eps 3

Tiga

Sejak awal Jendral Rodius tahu kalau Tabib Glenn bukan Pemuda yang biasa. Dari caranya berpakaian, berperawakan dan berbicara membuktikan bahwa dia seorang cendikiawan yang sangat jarang bisa ditemukan di Ocepa. Semua pemuda-pemuda cerdas dikirim keluar negeri untuk belajar dan sebagian besar dari mereka tidak kembali. Walaupun ada dari mereka yang kembali, mereka adalah sekumpulan Pemuda bodoh yang begitu berambisi pada harta, kekayaan dan jabatan, sangat berbeda dengan Pemuda yang ada disampingnya ini.

Dari tadi, ketika mereka menginjakan kaki di rumput istana, dia tidak berkomentar apa-apa dan mengikuti Jendral Rodius dengan tenang. Well, mungkin ini awalnya saja. Banyak pemuda polos yang bilang kalau dia tak tertarik pada tahta namun saat mereka sudah diberi sedikit kekuasaan dan uang, mereka menjadi serakah. Kita lihat saja apa Pemuda yang diberi sedikit perhatian ini adalah perkecualian.

“Ah! Jendral Rodius, kejutan! Sebuah kejutan!”

Hal yang ditakutkan Jendral Rodius muncul. Sang Tabib Istana baru keluar dari lorong seberang bersama dengan dua suster pelayannya. Dia menjabat Jendral Rodius dan matanya beralih pada Glenn dalam beberapa detik.

“Ini keponakanku,” kata Jendral Rodius menepuk punggung Glenn.

Glenn menunduk sedikit tanpa berkata apa-apa.

Tabib Istana mengerutkan dahinya. “Rasanya aku pernah melihatmu,” katanya.

“Dia Pelajar, Tabib Istana. Kerajaan kita mengirimkannya ke Axantos, tentu saja wajahnya sangat familiar,” kata Jendral Rodius lagi. Dia menatap Glenn yang masih belum bilang apapun. “Dia sudah lama di luar negeri, jadi aku ingin mengajaknya bertemu dengan Raja, siapa tahu dia punya bakat di mata Raja.”

Tabib Istana tampak mengerti. “Ah! Ya, ya, aku mengerti sekarang. Baiklah, Jendral, aku harus ke ruangan Istana Pangeran Louis, bekerja,” dia memainkan matanya dan berlalu dengan suara tawa yang menjijikan.

“Anda pernah bertemu dengannya, Tabib Glenn?” kata Jendral Rodius pelan ketika mereka berjalan beriringan melewati koridor.

“Ya, di Axantos. Saya mengalahkannya dalam pengetahuan obat-obatan dan fungsinya. Dia tak bisa membedakan mana jamur beracun dan mana yang tidak,” jawab Glenn pelan. “Raja sepertinya tak tahu kalau Tabib Istana yang satu ini bisa meracuni dia suatu hari nanti.”

“Kalau begitu kalian seangkatan?”

“Lebih tepatnya, saya hanya murid yang diangkat karena punya kemampuan oleh seorang guru yang melihat kemampuan saya,” jawab Glenn pelan. “Omong-omong, Jendral Rodius, apa benar kita akan bertemu dengan Raja? Saya rasa itu bukan ide yang bagus.”

“Oh, Raja akan senang. Kau tenang saja. Dia selalu menerima masukan. Terutama masukan dari sahabatnya,” kata Jendral Rodius enteng. “Lewat sini.”

Glenn dan Jendral Rodius terpaksa berhenti ketika Pangeran Charlie tiba-tiba muncul dari lorong yang akan mereka lewati.

“Ah, Jendral!” kata Pangeran Charlie tersenyum. Dia menatap Glenn dan menaikan alisnya. “Dan?” wajahnya penuh tanda tanya menatap Glenn.

“Ini sepupunya Alfred,” jawab Jendral Rodius.

Lagi-lagi Pangeran Charlie mengerutkan dahi. “Alfred pernah bilang kalau dia tak punya sepupu dan dia memakai pakaiannya Alfred. Anda tentunya tidak sedang berbohong dengan saya kan?”

Jendral Rodius meringis. “Ya, dia memang bukan sepupunya Alfred.”

Pangeran Charlie kelihatan tertarik dengan raut wajah Jendral Rodius yang tiba-tiba berubah. “Wow, lalu siapa? Apa yang membuat Anda membawanya kemari?”

“Saya dibawa kemari untuk memeriksa keadaan Pangeran Louis,” Glenn buka mulut. Tak ada gunanya mengarang kebohongan disaat seperti ini.

Pangeran Charlie menaikan alisnya. “Ayah sedang berbicara dengan Perdana Menteri dan sepertinya akan memakan waktu lama,” matanya beralih pada Jendral Rodius. “Dan Tabib Istana tak akan senang jika ada orang yang masih muda tiba-tiba menggantikannya.”

“Yang Mulia, saya hanya ingin dia memeriksa keadaan Yang Mulia Louis mengingat keadaan Pangeran Louis tidak berubah sejak dulu.”

“Apa ini karena Anda tak suka saya jadi Putra Mahkota?” kata Pangeran Charlie. “Saya cuma bercanda.” Dan dia tertawa. “Baiklah, ayo kita sama-sama ke kamarnya Kakak. Lagipula aku sudah bosan melihatnya terbaring disana terus. Tahun-tahun belakangan kami selalu bermain pedang, rasanya sedih sekali. Oh, iya, siapa tadi namamu?”

“Glenn Haistings,” Glenn membungkuk.

Pangeran Charlie menjentikan jarinya. “Kau Tabib yang diceritakan Alfred! Yang dia katakan memang benar, kau jauh lebih tampan dari yang aku bayangkan. Berapa usiamu?”

“Enam belas tahun, Yang Mulia.”

“Aku delapan belas tahun. Namaku Charlie bukan Yang Mulia, panggil Charlie saja kalau kau nyaman,” kata Pangeran Charlie meneuk-nepuk bahu Glenn. “Kurasa aku akan menyukaimu.”

***

Raja Joseph kaget melihat kedatangan Pangeran Charlie, Jendral Rodius dan pemuda tampan yang tak dia kenal tiba-tiba muncul ke kamar Pangeran Louis. Hari ini setelah rapat yang sengaja dia hentikan, dia segera menjenguk Putra Sulungnya beserta dengan Tabib Istana dan beberapa Menteri. Mereka bertiga membungkuk.

“Anda bilang kalau Raja sedang rapat,” gerutu Jendral Rodius dari sudut bibirnya.

“Tadi, saat aku meninggalkan mereka berdua di kamar Ayah dua jam lalu,” balas Pangeran Charlie dengan nada berbisik. “Ayahanda! Aku tak menyangka Ayah ada disini! Jendral Rodius tadi mencari Ayah!”

“Sahabat, ada perlu apa kau mencariku?” kata Raja Joseph melemparkan senyumannya pada Jendral Rodius tanpa beranjak dari tempatnya.

“Ada sesuatu yang ingin saya usulkan pada Anda, sesuatu yang mungkin tak akan disukai oleh Tabib Istana,” Jendral Rodius melirik Tabib Istana yang ada disamping tempat tidur. Sang Tabib mengerutkan dahinya.

“Apa itu?” kata Raja Joseph. Dia sepertinya tak fokus dengan perkataan Jendral Rodius, tangannya memegang tangan Pangeran Louis yang kelihatan lemah.

“Pemuda yang ada disamping saya ini, mengerti tentang pengobatan—”

Seakan bisa membaca perkataan Jendral Rodius, Tabib Istana buka mulut, “Bisa pengobatan? Tentunya Jendral, kau tak bermaksud agar bocah kurang pengalaman itu memeriksa Pangeran Louis kan? Pangeran harus ditangani dengan orang yang profesional.”

“Ya,” Raja Joseph menjawab, “Itu benar, Sahabat. Putraku harus diobati dengan orang yang profesional.”

“Anda salah, Yang Mulia,” Glenn tiba-tiba berbicara.

Penolakannya yang tiba-tiba membuat salah seorang Menteri angkat bicara, “Lancang sekali!” dan diikuti oleh persetujuan yang lain.

“Yang dibutuhkan oleh seorang pasien bukan tabib profesional, melainkan orang yang benar dalam menghadapi penyakitnya,” Glenn melanjutkan dengan nada pelan yang membuat isi ruangan itu kembali heboh.

“Siapa pemuda ini, Jendral? Beraninya dia berbicara dengan Raja!”

“Kalau begitu saya ingin bertanya,” Glenn tetap bicara tanpa mempedulikan perkataan para Menteri itu. “Apakah Ibu Anda Yang Mulia, adalah seorang Profesional yang tahu apa yang dibutuhkan anaknya saat dia sakit, lapar dan lelah?”

Dalam sekejap, ruangan itu kembali hening. Raja Joseph akhirnya mampu mengalihkan pandangannya dari Pangeran Louis dan menatap Glenn. Dia terkesan pada Pemuda itu. Pemuda itu mengatakan hal yang benar. Bagaimana mungkin dia bisa melupakan hal itu? Selama ini dia selalu terfokus pada pendapat orang ahli tanpa memikirkan apapun.

“Jika Anda mengizinkan, saya hanya ingin memeriksa kondisi Pangeran Louis, Yang Mulia. Anda boleh mengusir saya setelah itu.” Glenn membungkuk rendah dengan gaya bangsawan terhormat.

Raja Joseph menatap Jendral Rodius yang balas tersenyum padanya.

“Kurasa tak ada salahnya mendengar hasil analisamu, Tabib Muda,” Raja Joseph berdiri dari sisi Pangeran Louis.

Glenn berjalan perlahan dan duduk disamping Pangeran Louis dan tersenyum kecil. “Maaf, Yang Mulia,” katanya sambil menyentuh telapak tangan Pangeran Louis yang dingin dan pucat. Glenn memperhatikan ujung-ujung kukunya yang membiru. Dia memeriksa nadinya yang berdenyut sangat lambat, lalu memperhatikan wajah Pangeran Louis yang pucat pasi dan bibirnya menguning dan matanya berair dengan sudut-sudutnya memerah dan pupil mata yang tidak focus.

Ah, sudah kuduga, batin Glenn.

“Tanganmu sangat hangat, siapa namamu?” kata Pangeran Louis perlahan seperti berbisik seolah-olah dia susah untuk berbicara.

“Panggil saja Glenn, Yang Mulia,” Glenn tersenyum menghangatkan dan memeriksa perut kanan Pangeran Louis. “Anda belum makan, Yang Mulia.”

“Ah… aku tak berselera,” gumam Pangeran Louis.

“Anda bisa makan bubur rumput laut jika Anda mau. Rasanya enak dan saya yakin Anda pasti suka.” Kata Glenn lagi, kali ini dia memeriksa pergelangan kaki Pangeran Louis dengan perlahan. “Apa Anda bisa merasakan sakit disini?” katanya menekan telapak kakinya.

“Tidak.”

“Disini?”

“Ah! Ya, sakit!” Pangeran Louis mengerang ketika Glenn memegang jari-jarinya. Teriakan Pangeran membuat Tabib Istana kaget.

“Kau menyakiti Pangeran!” katanya. “Jangan periksa lagi!”

“Bukannya saya bermaksud tidak sopan, tapi jika pasien tidak merasakan sakit, tentunya dia tidak butuh Tabib,” kata Glenn tenang dan membuat Tabib Istana terdiam seribu bahasa lagi. “Pangeran, saya ingin memeriksa punggung Anda, tidak keberatan kalau baju Anda saya buka kan?”

“Kelewatan! Tidak ada yang boleh melihat kulit keluarga Raja!” kata salah seorang Menteri.

Seakan tidak mendengar protesan, Glenn melanjutkan pembicaraan sambil menggulung lengan bajunya. “Saya rasa kalau punggung Anda pasti membiru, Pangeran. Saya cuma ingin memastikan supaya saya tak salah mengambil keputusan.”

“Ya… boleh. Tapi aku tak punya tenaga saat ini.”

“Akan saya bantu,” kata Glenn.

Jendral Rodius kali ini terkagum-kagum melihat cara Glenn bekerja. Pemuda itu sangat cekatan walaupun terlihat tenang. Tak ada yang bisa melawannya. Dengan mudahnya dia sudah mendudukan Pangeran Louis, yang terbaring selama beberapa tahun ini, tanpa adanya keluhan kesakitan dari Pangeran dan tangannya menelusuri punggung Pangeran Louis. Dan benar yang dia katakan, punggung sang Pangeran benar-benar membiru.

“Apakah Anda keberatan kalau saya sedikit meregangkan tulang punggung Anda, Pangeran?” kata Glenn meregangkan tangannya.

“Tidak, apakah rasanya akan sakit?”

“Sedikit. Saya yakin Anda masih bisa menahannya.” Kata Glenn, dia menekan barisan tulang punggung sang Pangeran. Wajah sang Pangeran meringis, dia kelihatan sakit, tapi dia tidak mengeluarkan suara.

“Hentikan! Apa kau tak melihat kalau Pangeran kesakitan?” si Tabib Istana yang tak tahan lagi segera kesamping tempat tidur dan menarik Glenn. “Kau bisa membuat punggungnya patah!”

Glenn menghela napas. Seluruh tubuh Pangeran Louis berkeringat dan napasnya ngos-ngosan menahan rasa sakit. Glenn bangkit dan memakaikan pakaian Pangeran Louis kembali, lalu menidurkannya dengan bantal yang menahan punggungnya.

“Apa Anda sudah merasa nyaman, Pangeran?”

Pangeran Louis mengangguk perlahan.

Glenn mencuci tangannya dan dengan perlahan kembali ke sisi Jendral Rodius. Raja Joseph yang sedaritadi diam, menatap Glenn. Dia belum pernah melihat cara pengobatan seperti itu sebelumnya. Biasanya Tabib Istana hanya memeriksa denyut nadinya saja lalu mengatakan penyakitnya. Jujur saja, hal itu membuatnya terkesan.

“Lalu, Pangeran Louis sakit apa?” kata Raja Joseph pada akhirnya.

“Keracunan makanan,” jawab Glenn tanpa ragu.

Jawaban yang tak terduga. Si Tabib mendengus dengan nada meremehkan. “Pangeran memang keracunan makanan. Boleh juga anak sepertimu bisa tahu.”

“Dan Pangeran semakin keracunan dengan obat yang Anda berikan,” Glenn melanjutkan. Pangeran Charlie menahan napas.

“Apa maksudmu?” kata Raja Joseph.

Glenn menghela napas. “Pangeran apa Anda pernah memakan moonseed?”

Moonseed?” Pangeran Louis mengerutkan dahi.

“Buah bulat seperti anggur yang warnanya merah.”

“Ah, ya. Kalau tak salah sejak aku makan itu, tubuhku jadi seperti ini. Jadi itu bukan anggur?” Louis menatap Tabib Istana yang gelagapan.

“Seperti yang sudah saya duga. Untung saja saat itu Anda bisa ditangani kalau tidak Anda pasti sudah mati. Moonsheet sangat berbahaya jika dikonsumsi dalam jumlah besar,” Glenn menatap Tabib Istana. “Dan sepertinya Anda ditangani secara berlebihan, jika saja Anda saat itu Anda dibiarkan minum susu dan bukannya diberikan obat jenis tertentu, Anda tak akan dalam keadaan seperti ini.”

“Jadi maksudmu aku salah memberikan obat?” tantang Tabib Istana.

“Ya,” jawaban yang cepat dan tegas. “Dan Anda memperparah keadaan Pangeran dengan membiarkannya terkurung di kamar tanpa sinar matahari dan tidak bergerak sedikitpun dari atas tempat tidurnya sampai membuat otot-otot kakinya kaku dan punggungnya menegang. Jika ini terus dibiarkan, Pangeran bisa lumpuh selamanya dan jika Anda masih memberikan obat yang sama, Pangeran bisa mati dalam hitungan bulan.”

Raja Joseph memberikan tatapan berang pada Tabib Istana yang diam terpaku. “Lalu, apa kau punya obat untuk menyembuhkan Pangeran?”

“Saran saya, untuk saat ini biarkan Pangeran makan bubur rumput laut. Pencernaan Pangeran sidikit bermasalah. Setidaknya biarkan Pangeran berjemur dibawah sinar matahari kurang lebih dua jam sejak jam enam. Embun pagi sangat bagus untuknya. Untuk mengusir kebosanan, Pangeran dapat berjalan-jalan ke taman tanpa alas kaki, itu baik untuk perderan darahnya. Mengenai obat untuk diminum Pangeran, Yang Mulia, saya butuh waktu untuk membuatnya.”

“Kenapa? Ada masalah dengan obatnya? Aku akan bayar berapapun jika kau takut tidak dibayar!” kata Raja Joseph.

“Bukan begitu, Yang Mulia. Obat Pangeran Louis ada didasar lautan dan itu butuh waktu untuk mengambilnya,” jawab Glenn dengan nada rendah.

***

“Kau sangat keren!” Pangeran Charlie menepuk punggung Glenn sambil tersenyum senang. “Anda pasti bangga sekali, Jendral. Dia membuat Tabib Istana tak berkutik. Sudah lama aku tidak menyukainya.”

Glenn berhenti ketika seorang Pemuda berdiri di depan mereka. Pemuda itu memiliki rambut coklat yang menutupi dahinya. Wajahnya tampan dengan mata coklat gelap dan kulit pucat. Pemuda itu menatapnya tanpa ekspresi. Selama beberapa detik suasana dilorong itu membeku, sampai kemudian Glenn membungkuk rendah dan kembali berjalan.

Jendral Rodius dan Pangeran Charlie mengerutkan dahi. Ada yang aneh.

***

Ocepa Kingdom Eps 2

Dua

Tabib Glenn bangun dengan mimpi buruk yang sama pagi ini bahkan sebelum ayam berkokok. Langit masih gelap ketika dia melihat kearah jendela yang ada disamping tempat tidurnya. Pantas saja dia merasa kedinginan. Rupanya jendela kamarnya belum ditutup.

Keringatnya bercucuran ke dahi. Dia menyekanya dengan lengan bajunya. Merasa percuma untuk tidur karena matanya tidak mengantuk dan badannya terasa sakit, Glenn memutuskan untuk menyingkirkan selimutnya dan bangkit dari tempat tidurnya.

Dia mengganti pakaiannya dengan pakaian yang lebih nyaman, mengikat dahinya dengan ikat kepala dan mengambil pedangnya yang ada di bawah tempat tidurnya. Mungkin aneh sekali, dia tak pernah menunjukan pedang itu sebelumnya, tapi ada orang yang dapat mengetahui kemampuannya.

Glenn menghela napas. Mungkin lebih baik dia gerak badan dulu, siapa tahu sakit di kepalanya lebih cepat sembuh daripada memkirkan mimpi yang tidak keruan. Dia berjalan turun dari kamarnya. Langkah kakinya seringan angin dan tidak menimbulkan suara sehingga tidak membangunkan anjing penjaga yang ada di depan pintu kamarnya.

Angin subuh menyentuh lembut kulitnya dan rasanya lebih nyaman jika dia berada di luar. Dia berjalan menuruni bukit. Seperti yang sudah dia ketahui, tak ada orang yang muncul ketika subuh menjelang. Semua orang sedang tidur lelap, tidak seperti dirinya.

Akhirnya dia sampai di lapangan berumput yang biasa dia gunakan untuk berlatih pedang sendirian. Mungkinkah sang Jendral melihatnya berlatih disini? Kalau begitu darimana dia mengawasi sampai tidak diketahui olehnya?

Ah, disana rupanya.

Glenn akhirnya menangkap tempat yang mungkin. Di atas bukit. Matahari muncul dari posisi itu, Glenn luput melihatnya. Lain kali dia harus berhati-hati. Glenn mengambil napas dan melakukan sedikit gerakan terhadap pergelangan tangannya. Setelah dia siap, dia kembali menarik pedangnya dari sarung.

Pedangnya berdesir. Suara yang sangat dia suka. Rasanya jauh lebih damai daripada menghadapi keluhan dari penduduk. Ini adalah hiburan untuknya.

“Kau akan kembali, setelah kau siap.”

“Aku tak mau kembali.”

“Kau harus kembali. Negeri ini membutuhkanmu.”

Suara-suara itu begitu dekat di telinganya.

“Pangeran Christian… aku akan datang…” gumamnya.

***

Alfred tahu kalau dia salah dalam masalah ini. Dia memang orang yang keras kepala, mudah marah dan tak suka ditentang. Tapi bukan berarti dia orang yang tidak mau minta maaf karena kata-katanya yang kasar. Pembicaraannya dengan Pangeran Charlie sedikit membuka matanya untuk melihat lebih jelas kalau dia masih banyak kekurangan. Ayahnya sudah lama melihat itu, tapi Alfred tidak mau mengakui. Pernyataan Ayahnya membuatnya sebal. Karena itu ia ingin melihat seperti apa orang yang sangat dikagumi Ayahnya itu dan kali ini dia merasa kalah.

Pagi ini dia pergi diam-diam untuk bertemu Tabib Muda itu lagi. Hendak berargumentasi kalau pernyataan Ayahnya salah. Namun saat dia melihat gerakan pedang Pemuda itu, seketika dia tak mampu berkata apa-apa.

Terpesona.

Permainan pedang Pemuda itu luar biasa. Gerakannya perlahan, tangkas dan tegas. Suara pedangnya berdesir dalam keheningan. Tubuhnya bergerak seluwes angin, ringan dan terkendali, seperti melodi.

Itu cuma jurus pedang dasar yang biasa digunakan dan sudah sering dia lihat dalam setiap pertandingan bahkan dia sudah bosan mempelajarinya. Namun, saat melihat pemuda itu berlatih dengan pedang yang berkilat-kilat ditimpa cahaya mentari pagi, Alfred tahu kalau pemuda itu bukan orang biasa.

Inilah alasan kekaguman Ayahnya. Entah kenapa dia merasa kalah dan malu. Hanya dengan gerakan sederhana, Glenn mampu membuktikan kalau dia seorang kesatria tangguh dan tak terkalahkan, bukannya dengan gerakan pedang yang super sulit.

“Apa yang kau lakukan disini?” kata Glenn. Dia memantulkan cahaya mentari dari pedangnya yang berkilat tepat ke wajah Alfred.

“Aku—” Alfred tiba-tiba mengurungkan niatnya untuk meminta maaf. Sesuatu dalam dirinya menuntutnya untuk diam dan tak mau kalah. “Hanya sedang jalan-jalan. Kau sendiri? Bermain pedang pagi-pagi begini.”

Glenn mengerutkan dahinya. Dia cepat-cepat menyarungkan kembali pedangnya dan berbalik menuruni bukit, sama sekali tak mau menjawab pertanyaan Alfred. Alfred mengejarnya. Dia hampir tergelincir karena rumput di bukit masih basah dengan embun pagi.

“Tunggu! Tunggu sebentar, Tabib Glenn.”

Glenn memilih untuk tidak mendengarkannya.

“Tunggu aku bilang! Aku ini bangsawan!” Alfred berteriak kesal. Dia tidak memperhatikan langkahnya dan pada akhirnya jatuh tergelincir sampai ke kaki bukit, melewati Glenn yang sempat berhenti. Pemandangan yang memalukan.

“Berhentilah menyebut dirimu bangsawan,” ucap Glenn pelan. Dia membantu Alfred berdiri. Alfred mengerang memegangi kakinya yang terasa nyeri. “Kau memang bangsawan yang patut dikasihani.” Gumamnya lagi membungkukan badannya. “Naik.”

“Apa? Buat apa?” Alfred memelototi punggung Glenn.

“Kau tak akan bisa jalan dengan kaki yang terkilir. Gubukku cukup jauh dari sini. Naik ke punggungku. Aku akan menggendongmu.”

“Aku tak sudi digendong rakyat jelata!”

“Gengsimu benar-benar menyedihkan,” Glenn geleng-geleng kepala. “Terserah padamu. Jika kau mampu berjalan sendirian, aku tak keberatan.” Glenn menegakkan tubuhnya dan berjalan meninggalkan Alfred—yang menganga tak percaya.

“Beraninya dia—” Alfred hendak mengumpat. “Tunggu! Hei! Baiklah kau menang! Bawa aku ke tempat busukmu itu dan obati lukaku ini!”

Glenn berhenti melangkah. Dia memutar bola matanya. Sesungguhnya dia sama sekali tak senang dengan perkataan Alfred barusan. Tidak sopan. Sangat tidak sopan. Namun kebaikan hatinya menang kali ini, maka dia pun berbalik dan kembali menyodorkan punggungnya.

Kali ini Pemuda Bangsawan itu tidak menolak lagi. Dia melingkarkan tangannya ke leher Glenn dan Glenn pun mengangkatnya melewati lapangan rumput. Glenn tahu bahwa Alfred tidak suka padanya, telihat jelas namun Glenn juga tak mau direpoti rasa bersalah atau sejenisnya agar pemuda itu mau menjadi lebih manis.

“Tuan Muda—kenapa dengan anak bangsawan ini?” Aleph menyambut mereka di depan gerbang dan terlihat panik saat melihat Glenn muncul sambil membawa orang di punggungnya.

“Dia cuma luka kecil. Terkilir.” Glenn berbicara dengan pelan. Dia menurunkan Alfred ketempat terdekat lalu menunduk untuk melihat luka Alfred. Dia menggulung celana Alfred dan melihat kakinya. Pergelangan kakinya membiru dan sedikit bengkak.

“Saya akan ambilkan minyak,” tanpa disuruh Aleph sudah pergi ke luar rumah.

Glenn menggulung lengan bajunya dan memegang kaki Alfred. Pemuda itu diam saja sejak Glenn membawanya bahkan dia tidak berkata apa-apa saat Glenn memegang kakinya.

“Kakimu tidak apa-apa. Kau cuma butuh dua hari tidak terlalu banyak bergerak dan pijatan ringan pada saraf yang tepat,” kata Glenn memijat kaki Alfred secara perlahan. “Hanya uratnya yang sedikit membengkak.” Glenn melanjutkan untuk mencairkan suasana beku di ruangan itu.

“Ini minyaknya, Tuan Muda.” Aleph memberikan mangkok kecil pada Glenn.

“Paman, hari ini aku akan ke kota. Jadi katakan pada penduduk bahwa aku akan buka saat matahari ada di atas kepala.”

“Buat apa Anda ke kota, Tuan Muda?”

“Mengantar Tuan Muda Bangsawan kita pulang ke rumahnya.”

“Maaf?” Alfred akhirnya buka mulut. “Apa yang barusan kau katakan?”

“Mengantarmu pulang, Tuan Muda.” Glenn mengulang dengan nada sabar. Dia tetap mengerjakan tugasnya tanpa terganggu dengan perkataan Alfred.

“Aku bisa pulang sendiri. Terima kasih atas perhatianmu.”

“Kurasa kakimu tak akan tahan jika kau berjalan sendirian menuju kota. Lagipula, kau tak bawa kuda.”

Alfred ingin membalasnya. Namun dia tak punya kata-kata yang tepat untuk membalas. Perkataan Glenn benar. Dia sama sekali tak bisa berbuat apa-apa. Akhirnya, dengan mengumpulkan sisa-sisa harga dirinya, Alfred menurut ketika dia didudukan di belakang kuda hitam milik Glenn.

“Aku tak menyangka akan berdiri sederajat dengan kaum rendahan,” gumam Alfred kesal.

“Berbahagialah, Tuan Muda sebab kau menemukan kaum rendahan sebaik aku yang tak begitu mengambil hati perkataanmu yang menjengkelkan,” kata Glenn dengan nada datar, “Kita pergi, Nheo! Hea!”

Kuda itu melompat ke atas dengan teriakan yang keras. Alfred sedkit kaget dan dengan cepat memegang pinggang Glenn. Hampir saja dia jatuh. Alfred tak punya waktu untuk menggerutu karena Nheo sudah melesat membawa mereka melintasi rerumputan.

***

Alfred dapat melihat api kemarahan yang berkobar dari balik punggung Ayahnya. Anaknya menghilang sejak kemarin malam dan pulang dengan kaki terkilir dan diantar dengan seorang Tabib Muda yang baru dikenalnya kemarin, benar-benar memalukan.

Glenn memberi hormat kecil pada Jendral Rodius.

“Apa dia menyusahkanmu?” kata Jendral Rodius melirik anaknya dengan sebal.

Glenn tersenyum kecil. “Sebenarnya dia adalah Pemuda yang manis jika ditangani dengan orang yang tepat.”

“Ah, begitu rupanya,” Jendral Rodius seperti merasakan ada tongkat baja yang menghantam perutnya “Kurasa aku tak mendidiknya dengan baik.”

“Dia hanya butuh perhatian ekstra dari Anda,” kata Glenn lagi. Alfred menganga.

Beraninya dia berkata seperti itu pada Ayahku!

Nyonya Aldianivus menggigit bibirnya dengan sebal. Menurutnya Pemuda yang ada dihadapannya sangat tidak sopan. Tidak tahukah dia kalau dia berhadapan dengan siapa? Namun saat Jendral Rodius tersenyum, Nyonya Aldianivus tak bisa berbuat apa-apa.

“Apakah hari ini Anda punya waktu bebas, Tabib Glenn?” Jendral Rodius berbicara dengan nada sopan yang membuat para pelayannya saling lirik. Kesopanan itu biasanya hanya ditujukan pada Raja Joseph.

“Saya punya waktu bebas sampai siang nanti, Jendral. Tapi saya saat ini belum berminat menjadi Kesatria jika itu pembicaraan kita saat ini.”

Ah, pemuda ini… penjagaan dirinya tak mudah ditembus, dia sudah bisa membaca pikiranku, batin Jendral Rodius. Dia benar-benar Pemuda cerdas.

“Saya ingin Anda ikut dengan saya ke istana. Saya ingin Anda melihat kondisi Pangeran Louis.” Tiba-tiba saja dia mengeluarkan kalimat yang mengejutkan.

“Saya rasa Tabib Istana tak akan senang melihat kehadiran saya yang tiba-tiba,” Glenn menolak dengan nada halus. Saat ini dia belum siap ke istana.

“Ah, dia akan senang, apalagi jika saya bilang kalau Anda berhasil membuat seorang anak kecil yang digigit ular bisa hidup sampai saat ini.”

Glenn tahu kalau dia tak bisa membatah dalam kondisi begini. Jendral Rodius benar-benar tahu bagaimana cara membawa dia ke istana. Dia tak punya pilihan.

“Tapi, Jendral, seperti yang Anda tahu, tidak boleh sembarang orang menyentuh tubuh keluarga kerajaan,” kata Glenn lagi.

“Hal itu digampangkan saja, Tabib Glenn. Aku akan bilang kalau kau adalah keponakanku yang tinggal jauh dari Ocepa dan saat ini sedang liburan. Kau punya kemampuan dalam mengobati orang dan belum ada yang bisa mengalahkanmu.”

“Itu terlalu berlebihan,” kata Glenn lagi.

“Ayah, apa-apaan ini?” Alfred berbisik sebal pada Ayahnya. “Dia mana mungkin diizinkan masuk ke kamar Pangeran Louis semudah itu.”

“Aku akan pikirkan caranya,” kata Jendral Rodius enteng. “Saat ini aku hanya ingin tahu apa yang terjadi dengan Pangeran Louis, Pemuda itu sudah terlalu lama tidur di atas tempat tidur.” Dia menatap mata Glenn.

Glenn menyerah. “Saya akan ikut dengan Anda, Jendral.”

Jendral Rodius tersenyum. Dia tahu kalau Glenn tak akan bisa membiarkan orang sakit begitu saja. Kebaikan hatinya begitu besar. “Pinjamkan pakaianmu, Alfred.”

Alfred melotot. “Apa?”

“Kau tentunya tak pelit pada sepupumu kan?”

Alfred memaki dalam hati. Sial.

***

Ocepa Kingdom Eps 1

Satu

Jendral Perang Rodius Aldianivus terkagum-kagum melihat gerakan pedang dari salah satu anak laki-laki yang berlatih sendirian di lapangan rumput sebuah pemukiman pertanian. Gerakan tangannya sangat lincah, terlihat perkasa dan memesona. Ini pertama kalinya ada seseorang yang bisa membuatnya terpaku beberapa saat.

“Siapa anak itu?” dia bertanya pada salah satu prajurit berkuda.

“Dia Putra dari salah satu Petani miskin di daerah ini.”

Jendral Rodius tersenyum ketika melihat si pemuda memberikan gerakan menusuk yang tajam. “Aku ingin bertamu ke rumahnya.”

***

“Tidak biasanya ada seseorang yang bisa membuat Ayah terkesan sampai-sampai berniat bertamu ke rumahnya,” Putra Jendral Rodius, Alfred Antixius Aldianivus berkomentar pedas ketika mereka bersama-sama menuju rumah pemuda yang tadi siang diceritakan Ayahnya padanya. “Bahkan aku pun tak pernah Ayah puji. Dia bahkan orang miskin, Ayah dan aku yakin kemampuannya berpedang tidak lebih tinggi dariku.”

“Aku tak pernah menyuruhmu ikut kan?” kata Jendral Rodius jengkel.

“Aku cuma mau tahu seperti apa wajah orang yang membuat Ayah terkesan,” kata Alfred.

“Ah, kalau begitu kau cuma iri kalau dia mendapat perhatian dariku.”

Alfred tidak membalas. Ayahnya memang sulit dilawan.

Mereka akhirnya sampai disebuah rumah kecil dengan lapangan besar yang kumuh. Ada atap-atap kecil yang dijadikan lumbung dan tempat ternak sapi. Kelihatannya semua dijadikan satu. Dan masalahnya disana bau sekali.

Alfred menutup hidungnya. Ini pertama kalinya dalam hidupnya dia menginjakan kaki ke rumah yang sejelek ini.

Lampu di gubuk itu menyala temaram. Salah satu prajurit mengetuk pintu dan mengumumkan bahwa Jendral Rodius datang. Tak berapa lama kemudian, pintu itu terbuka dan seorang laki-laki yang cukup tua dengan wajah tegas menatap mereka beberapa saat dengan dahi mengerut.

“Ada apa ya?” katanya heran.

“Selamat malam,” kata Jendral Rodius sopan. “Saya Rodius Aldianivus, Jendral Ocepa. Saya datang untuk bertamu.”

Laki-laki tua itu mengerutkan dahinya. “Sepertinya Anda salah tempat. Disini bukan tempat yang pantas untuk menjamu bangsawan seperti Anda. Kami sama sekali tak punya apa-apa.”

Anehnya, Rodius masih bisa tersenyum. “Saya kemari karena terkesan dengan kemampuan pemuda yang tinggal di rumah Anda.”

“Ha?” laki-laki tua itu mengerutkan dahi. “Disini tak ada siapa-siapa. Hanya saya sendiri. Saya juga tak punya anak.”

“Tolong jangan berbohong. Tadi siang saya melihat pemuda berambut coklat memainkan pedang dengan sangat tangkas di halaman pertanian Anda.”

Laki-laki tua itu menelan ludah. “Ada perlu apa dengan Tuan Muda kami?”

“Kami cuma ingin bertemu dengannya,” jawab Alfred cepat. “Lagipula, kami juga tak terlalu berniat mengambil apapun dari rumah yang tak ada isinya begini. Disini seperti sampah.”

“Alfred!” Jendral Rodius menegurnya dengan tatapan menyuruhnya untuk diam.

“Tidak ada yang meminta kalian datang kemari.”

Ada suara dari belakang. Seseorang baru saja masuk melewati pagar yang dipenuhi dengan prajurit bertombak. Jendral Rodius tersenyum melihat pemuda yang dicarinya sudah muncul.

Dia pemuda bertubuh tinggi yang langsing dengan tubuh yang atletis dan tegap. Matanya berwarna biru safir. Rambutnya coklat panjang menutupi dahi dan telinganya. Ada ikat kepala putih terlilit di kepalanya. Wajahnya tampan. Bibirnya mungil dan merah. Ditubuhnya terlilit pakaian biasa yang bersih, sama seperti pakaian yang tadi dilihat oleh Jendral Rodius. Dilihat dari penampilannya yang sangat berkharisma, Rodius memberikan nilai plus lagi.

“Siapa kalian? Ada perlu apa mencariku?” kata Pemuda itu.

Alfred tampak tak senang ketika Pemuda itu terlihat tak sopan kepadanya. “Kau cuma rakyat jelata! Kau tak tahu kalau kami bangsawan?”

“Oh? Bangsawan?” dia melirik Alfred. “Kalian salah tempat untuk mencari tempat menginap. Disini sama sekali tak ada tempat untuk menampung orang kaya.” Kali ini dia melirik Jendral Rodius.

“Tuan, mereka datang untuk bertamu,” kata laki-laki tua yang sedari tadi berdiri di depan pintu. “Kata Tuan ini, dia sangat terkesan dengan kemampuan berpedang Anda.”

Pemuda berambut coklat itu menatap Jendral Rodius. Selama beberapa detik dia diam sampai kemudian dia menatap laki-laki tua itu dan berkata, “Siapkan tempat bagi mereka, Paman. Aku ke kamar dulu, ada yang harus kubereskan. Tidak keberatan kalau aku tinggal sejenak?”

“Tentu saja tidak. Aku sama sekali tak keberatan jika kau benar-benar menepati janjimu itu,” kata Jendral Rodius.

“Kalau begitu, lewat sini, Tuan,” kata laki-laki tua itu saat dia bertemu pandang dengan mata Pemuda itu. Dia mengulurkan tangannya sejenak dan menyuruh Jendral Rodius beserta anaknya untuk masuk terlebih dahulu.

Ini diluar dugaan Alfred. Tempat itu tak seburuk perkiraannya. Ruangan itu begitu rapi, sederhana dan berkesan. Setidaknya lebih baik daripada diluar dan anehnya tempat itu wangi. Wangi Lavender.

“Silakan duduk, Tuan. Maaf kalau tempatnya jelek,” laki-laki tua itu memberikan kursi kayu yang diberikan alas kain pada mereka berdua. “Anda mau minum apa?” kelihatannya laki-laki tua itu menjadi lebih ramah ketika pemuda itu memerintahnya untuk menjamu mereka dengan baik.

“Ah, tidak perlu. Kalau boleh saya tahu, Tuan. Siapa nama Anda?” Jendral Rodius kelihatan sangat sopan ketika menanyakan itu.

“Saya Aleph Moccabilly,” jawab laki-laki tua itu membungkuk rendah.

“Tuan Moccabilly punya hubungan apa dengan Pemuda itu? Sepertinya Anda sangat menghormatinya,” kata Jendral Rodius lagi.

“Semua orang di kampung ini sangat menghormati Tuan Muda saya, Tuan. Dia pemuda yang luar biasa. Banyak sekali gadis yang menyukainya,” kata laki-laki tua itu. Matanya berbinar. Dia sepertinya sangat bangga dengan Tuan Mudanya. Jendral Rodius tidak perlu bertanya kenapa karena laki-laki itu sudah melanjutkan dengan nada menggebu-gebu.

“Tuan Muda saya adalah seorang Tabib, Tuan. Dia sangat hebat dan dermawan. Tidak pernah sekalipun dia meminta bayaran dengan penduduk. Dia juga sangat baik dan perhatian pada anak-anak. Dia juga mengajari penduduk kami membaca sehingga hampir delapan puluh persen penduduk desa ini sudah bisa membaca, Tuan.”

Jendral Rodius mengangguk-angguk untuk menanggapi cerita Aleph Moccabilly. Pantas saja desa itu sedikit lebih baik daripada desa lain, rupanya ada seorang pahlawan ditempat ini.

“Tuan Muda kami datang ke desa sekitar dua tahun lalu. Dia sudah menarik perhatian. Anda tahu sendiri kan kalau wajahnya itu sangat tampan. Awalnya dia tak bisa bergaul dan dimusuhi oleh warga. Namun saat itu ada seorang anak perempuan yang digigit ular dan dia berhasil menyembuhkan anak perempuan itu. Sejak saat itu sikap penduduk di desa ini berubah seratus delapan puluh derajat pada Tuan Muda kami. Kami menjadi sangat baik pada Tuan Muda dan Tuan Muda juga membalas kebaikan kami dengan memberikan kami pengobatan gratis, pendidikan gratis, memberikan kami pengajaran tentang cocok tanam dan bahkan menjadi pelindung desa ini, Tuan.”

“Pelindung desa?” Alfred mengerutkan dahi.

“Iya. Sebelum kedatangan Tuan Muda ke desa kami, banyak perampok luar yang datang ke desa dan mencuri hasil panen bahkan anak perempuan kami. Kami sudah melapor pada pihak keamanan negeri ini dan membawa masalah ini sampai ke pihak istana tapi tidak ada respon. Kabarnya prajurit juga takut pada perampok itu. Apalagi mereka juga sadis dan suka membunuh. Namun, Tuan Muda kami berhasil mengusir mereka dari desa seorang diri. Kejadiannya begitu cepat dan luar biasa.

Tuan Muda kami berjalan ke depan Bos Perampok dan bertanya mereka mau apa. Dan saat mereka berniat mencuri, Tuan Muda kami mengambil pedangnya dan melawan mereka semua seorang diri. Kami pikir dia akan kalah waktu itu, tapi ternyata tidak. Dengan cepat dia berhasil membuat bos perampok itu tak berkutik dan membuat perjanjian di atas kertas kalau mereka tak akan berani mengusik desa kami, kalau tidak mereka akan dalam bahaya. Saat itu benar-benar hebat!”

“Ya, Tuan Muda Tuan benar-benar sangat hebat dan pemberani. Apakah karena itu Anda tinggal bersamanya?”

“Itu…” Aleph menjadi sedih. “Putraku meninggal karena wabah dan terlambat diobati walaupun Tuan Muda sudah berusaha dan tidak tidur selama tiga malam. Untuk membalas jasanya aku meminta tinggal padanya dan mengabdi padanya. Dia menolak.”

“Lalu kenapa sekarang Anda tinggal dengannya?” Alfred mengerutkan dahi.

“Rumahku dibakar habis oleh para perampok itu dan aku sama sekali tak punya apa-apa. Jadi Tuan Muda mengangkat kami sebagai orang tuanya.”

“Tuan Muda Anda benar-benar berhati malaikat,” kata Jendral Rodius. Kelihatannya aku tidak salah pilih orang untuk masalah ini.

Pintu rumah itu terbuka. Si Tuan Muda masuk bersama dengan anak perempuan yang membawa-bawa poci kecil di tangannya. Dia tidak melihat Jendral Rodius dan Alfred dan berbicara seolah-olah mereka tidak ada disana.

“Nanti katakan pada Ibumu untuk memberikannya banyak minum daun teh,” katanya melewati ruangan dan membuka lemari kayu disudut ruangan. “Berikan pocinya. Lalu katakan pada Ayahmu untuk merebus isi poci ini ya? Dalam dua jam demam Kakakmu akan sembuh. Katakan padanya jika isi pocinya sudah habis, Kakakmu dibawa kemari lagi untuk diperiksa. Kau bisa mengerti kan?” dia melanjutkan sambil mengisi poci itu dengan berkerat-kerat akar kering dan daun tak jelas.

Anak perempuan itu mengangguk dengan mata berbinar ketika dia memberikan poci itu padanya.

“Terima kasih, Tabib Glenn, nanti aku akan datang lagi untuk membalas jasa Anda,” Anak perempuan itu menatap mata sang Tabib yang tersenyum padanya.

“Tidak perlu. Kau belajar saja yang baik,” kata Pemuda itu mengacak rambut anak kecil itu. Dia berbalik pada Aleph. “Paman, tolong antar nona kecil ini.”

“Baik, Tuan Muda,” Aleph buru-buru bangkit dan menggiring gadis kecil itu keluar dari rumahnya.

Pemuda itu menatap Alfred dan Jendral Rodius bergantian. Dia duduk menghadapi mereka dan membuka pembicaraan, “Namaku Glenn Haistings. Maaf tidak dapat menyambut Anda berdua di gubuk saya yang kecil.”

Alfred sedikit kaget melihat perubahan aura dari Glenn secara tiba-tiba. Dia tampak lebih berkharisma daripada bersama anak-anak itu. Jendral Rodius tersenyum senang.

“Aku Jendral Ocepa, Rodius. Panggil begitu saja. Dan ini putraku, Alfred.”

Alfred tidak mengatakan apa-apa.

“Kami kesini karena aku begitu berkesan dengan kemampuan berpedangmu.”

Glenn tersenyum kecil.

“Jendral, saya seorang Tabib, bukan seorang Kesatria.”

“Ah, jangan merendah, saya sudah banyak mendengar kehebatan Anda di desa ini. Tuan Aleph baru saja menceritakan semua kebaikan hati Anda padanya dan kepada penduduk desa ini.”

Glenn menghela napas. “Apa yang Anda inginkan dari saya?”

“Well, langsung saja, ini sebenarnya masalah yang cukup penting,” kata Jendral Rodius dengan nada dalam. “Seperti yang sudah kita ketahui, Negara kita sedang dalam masa sulit, apalagi saat ini Putra Mahkota juga mengalami banyak masalah. Anda pasti sudah mendengar gosip tentang perebutan tahta kekuasaan kan?”

Glenn tidak menjawab. Dia memilih diam. Ada masalah dan itu bukan masalah yang gampang. Dia tahu itu.

“Ayah, jangan menceritakan masalah di istana pada orang awam!” Alfred menatap Ayahnya dengan marah. “Mana dia tahu tentang masalah istana.”

“Aku tahu apa yang aku bicarakan, Alfred. Aku yang punya urusan dengannya bukan kau, jadi kau duduk saja dengan tenang dan dengarkan.” Jendral Rodius melirik Alfred dan berbicara dengan nada penuh ancaman.

“Saya belum bisa menangkap maksud Anda,” Glenn buka mulut.

“Saya ingin Anda menjadi Kesatria Putra Mahkota, Pangeran Charlie Antonius.”

Perkataan Jendral Rodius membuat suasana di ruangan itu menjadi panas. Alfred berdiri dengan cepat dan terlihat marah. Dia menatap Ayahnya dengan tatapan tak percaya dan berbicara dengan nada tinggi. “Ayah, apa-apan ini?”

“Alfred, berapa kali harus kukatakan kepadamu kalau ini urusanku,” kata Jendral Rodius mulai jengkel dengan tingkah Alfred.

“Ini bukan urusanmu saja!” Alfred menggertakan giginya. “Apa kau lupa kalau aku adalah kesatria Pangeran Charlie? Kenapa kau tiba-tiba menyuruh seorang rakyat jelata menjadi kesatria bagi seorang calon raja?”

“Alfred, duduk! Kita bicarakan ini di rumah,” kata Jendral Rodius.

“Aku tak mau! Jelaskan padaku apa maksudmu!” Alfred menatap marah pada Ayahnya lalu pada Glenn. “Aku tak tahu seberapa hebat Tabib Glenn ini sampai membuatmu begitu menginginkannya menjadi kesatria Pangeran Charlie, tapi sepertinya kau lupa kalau Pangeran Charlie itu sahabatku dan dia yang meminta aku jadi kesatrianya!”

“Alfred, akan kujelaskan kalau kita ada di rumah,” Jendral Rodius menghela napas.

“Kenapa Pangeran Charlie tiba-tiba menjadi Putra Mahkota? Bukannya Pangeran Louis adalah Putra Mahkota Ocepa?”

Glenn tiba-tiba buka mulut dan itu menghentikan pertengkaran antara Jendral Rodius dan Alfred untuk sementara.

“Ya, memang.” Jendral Rodius memutuskan untuk menyawab pertanyaan Glenn. “Namun saat ini Putra Mahkota tak bisa memimpin. Dia sakit keras dan saat ini penyakitnya belum dapat disembuhkan oleh Tabib Istana. Pangeran Kedua, Pangeran Willy saat ini diasingkan ke Pulau Selatan karena melakukan kesalahan besar. Itu sebabnya kedudukan Putra Mahkota saat ini diberikan kepada Pangeran Ketiga, Pangeran Charlie.”

“Kalau bisa aku tahu, Putra Mahkota sakit apa? Mungkin aku bisa membantu.”

“Mungkin saja, tapi Tabib Istana bukanlah orang yang suka mengalah, lagipula Istana punya peraturan sendiri. Tidak ada seorangpun yang dapat menyentuh tubuh keluarga Raja kecuali pihak bagsawan yang sudah mendapat ijin resmi.”

Glenn kembali berpikir. Apakah ini ada hubungannya dengan perebutan kekuasaan? Siapa yang merencanakan?

“Maaf mengecewakan Anda, Jendral, tapi sepertinya saya tak bisa mengambil posisi sebagai Kesatria Putra Mahkota.”

Alfred kelihatan lega, tapi Jenderal Rodius kelihatan tak puas.

“Kenapa?”

“Ini masalah perebutan kekuasaan. Saya cuma orang biasa, bukan bangwasan. Namun jika Anda meminta saya untuk mengobati orang, maka saya akan membantu.” kata Glenn pelan.

Jendral Rodius kelihatan kecewa. “Apa kau takut?”

“Masalah ini bukan masalah yang gampang.” Glenn mengutarakan pendapatnya. “Setiap orang bisa menjadi binatang hanya karena dibutakan oleh kekuasaan, saya tak ingin melihat itu. Saya tak ingin terseret menjadi bagian dari orang-orang yang dibutakan oleh kekuasaan dan uang. Hidup dengan cara seperti ini sudah cukup bagi saya.”

Lagi-lagi Jendral Rodius terkesan. “Kau punya prinsip hidup yang tinggi. Siapa yang mengajarimu?”

“Pengalamanlah yang mengajari manusia, Jendral.”

Jawaban yang sangat luar biasa. Jendral Rodius menyerah.

“Baiklah. Jika itu keputusan yang sudah kau ambil, aku tak punya hak untuk memaksamu. Sayang sekali, padahal kupikir kau dapat membantu. Sulit sekali menemukan orang hebat yang dapat dipercaya dalam masa kristis begini. Namun, jika aku membutuhkanmu sebagai Tabib, kau mau datang ke istana kan? Aku akan coba bertanya pada Raja siapa tahu kau dapat mengobati penyakit apa yang menimpa Pangeran Louis.”

“Aku akan datang.”

Jendral Rodius bangkit dari tempatnya. Glenn mengantarkan mereka ke depan pintu rumahnya. Sebelum Jendral Rodius pergi, dia berbalik lagi dan menyerahkan sebuah bandul emas berikatkan benang merah pada Glenn.

“Ini untukmu. Jika kau berubah pikiran dan membutuhkan sesuatu, kau boleh datang ke istana.”

Glenn menerima benda itu dan mengamatinya. Bandul emas yang dililit dengan naga perak. Lambang Negara Ocepa.

***

Pangeran Charlie memiliki rambut emas panjang yang selalu diikat rapi. Dia punya wajah tampan yang selalu menarik perhatian para putri manapun. Perkataannya selalu manis dan menyanjung orang, sangat berbeda dengan Pangeran Willy yang sombong dan cuek. Dia tidak secerdas Pangeran Louis tapi selalu dapat mengambil hati rakyat karena dia baik hati.

“Wajahmu tidak cerah sepeti biasa, Sahabat. Ada sesuatu yang membuatmu gusar?” kata Pangeran Charlie saat melihat Alfred masuk kedalam kamarnya. Pangeran Charlie memakai mahkotanya yang kecil di dahi dan kembali memperhatikan wajah Alfred yang ditekuk. “Ada masalah di istana?”

“Sebenarnya lebih banyak masalah di rumahku,” jawab Alfred duduk di salah satu kursi lembut. Dia melipat kakinya dan memperhatikan Pangeran Charlie yang sibuk menata rambutnya. “Kau mau pergi?”

“Ayah memintaku untuk datang ke Pesta Menteri Pertahanan. Aku sudah menolak tapi katanya itu bagus untukku.”

Alfred kembali memerhatikan penampilan dari Pangeran Charlie. Dia memakai pakaian kerajaan berwarna biru dengan sepatu panjang tanpa tumit. “Apa menurutmu kau tidak terlalu biasa? Kau itu Pangeran yang sudah jadi Putra Mahkota. Kau bahkan memakai mahkota biasa.”

Pangeran Charlie menghembuskan napas. Dia berbalik dari cermin perak dan mengecak pinggang. “Lalu aku harus bagaimana? Mendandani wajahku kayak merak? Kau tahu aku tak suka datang ke pesta. Tempat itu membuatku sesak napas padahal masih banyak rakyat yang kurang makan. Aku heran kenapa para bangsawan lebih suka menghabiskan uangnya cuma untuk pesata daripada membantu orang miskin.”

...Setiap orang bisa menjadi binatang hanya karena dibutakan oleh kekuasaan, saya tak ingin melihat itu. Saya tak ingin terseret menjadi bagian dari orang-orang yang dibutakan oleh kekuasaan dan uang...

Alfred jadi mengingat kata-kata Glenn.

“Masih ada ya Pangeran sepertimu, yang lebih suka berlama-lama pada rakyat miskin daripada berpesta.” Alfred geleng-geleng kepala.

“Yang Mulia Raja mendidikku untuk jadi seperti itu. Mementingkan rakyat, mendengarkan perkataan rakyat, dan bla bla. Walaupun kupingku panas mendengar perkataannya tapi kata-katanya memang benar.” Pangeran Charlie meniru Raja Joseph setelah itu tertawa geli.

“Menurutmu aku sombong?”

Pertanyaan itu mengagetkan Pangeran Charlie.

“Kenapa kau tiba-tiba bertanya begitu?”

Alfred menghela napas. “Sore ini Ayahku membandingkanku dengan seorang tabib rakyat jelata dan mengatakan kalau aku tak ada apa-apanya dibandingkan dia dan juga bilang kalau anak itu jelas lebih hebat dariku. Tak ada yang bisa dibanggakan dariku kecuali kesombonganku.”

Tangan Pangeran Charlie yang hendak menukar mahkotanya dengan yang lebih kecil berhenti di udara. “Jendral Rodius berlebihan, tapi aku mengakui kalau yang dia katakan memang benar.”

Alfred menatapnya. “Jadi menurutmu aku benar-benar sombong?”

“Sedikit.”

“Apa maksudnya dengan sedikit?”

Pangeran Charlie mengerutkan dahinya ketika melihat dirinya di depan cermin tanpa mahkota. “Begini lebih bagus. Kupikir aku tak perlu memakai mahkota cuma untuk membuktikan bahwa aku anak Raja. Semua orang sudah tahu kalau aku Putra Mahkota negeri ini.”

“Sombong,” gerutu Alfred.

“Itu maksudku,” kata Pangeran Charlie menjentikan jari. “Kau selalu saja membesar-besarkan nama Jendral Rodius dan berulang kali mengatakan kalau kau adalah bangsawan. Lalu apa? Apa itu membanggakanmu? Walaupun kau ini hebat tapi jika kau cuma membanggakan apa yang kau miliki maka semua orang akan mengatakan bahwa kau sombong, tak heran Jendral Rodius berkata begitu.”

“Maksudnya sekarang aku harus rendah diri seperti dirimu begitu?”

“Tidak ada salahnya jika begitu kan?”

“Huh.”

Tidak ada yang bisa diandalkan darimu kecuali kesombonganmu. Kau tak lihat bahwa Pemuda itu lebih baik darimu? Kau bukan apa-apa.

Kurasa memang benar, Ayah... aku bukan apa-apa...

***