Rabu, 21 Desember 2011

Philia - Chiko (Paper 4)

by: Prince Novel

Empat

Oh, tidak. Begitu Chiko melihat ekspresi Philia yang semangat membuat cowok itu yakin seratus persen kalau dia punya saingan baru. Selama ini Philia tak pernah membicarakan soal cowok, lalu sekarang?

Tapi, karena Philia tak pernah bilang apa-apa pada Shan maupun Septo, maka Chiko juga tak bisa menemukan informasi apapun.

Hal ini membuatnya jengkel setengah mati.

Sepanjang perjalanan pulang, Philia dan Gina nempel terus sambil cekakak-cekikik, membicarakan cowok brondong itu. Mereka berbisik-bisik semangat, membicarakan wajahnya yang tampan, atau gayanya yang keren, atau sifatnya yang baik hati dan murah senyum.

Haloooooooo, disini ada cowok yang sama persis seperti dekripsi mereka. Tapi kenapa mereka tidak membicarakannya? Menjengkelkan sekali.

“Terus,” Septo memotong pembicaraan Philia dan Gina yang masih membicarakan baju cowok sialan itu. “siapa nama cowok beruntung yang dapat perhatian dua cewek cantik ini?”

Alis Philia terangkat. “Kenapa? Kau mau tahu?”

Septo mengangkat kedua bahunya. “Nggak. Cuma mengherankan saja kalo sahabatku sama sekali tak pernah membicarakan apapun padaku. Apalagi soal cowok.

Mata Philia menyipit berbahaya. “Sori, ya, Septo, aku nggak akan membicarakan cowok apapun pada kalian para cowok,” katanya, lalu kembali mengobrol dengan Gina.

Septo tercengang, kelihatan sedikit tidak percaya kalau Philia akan bilang itu padanya. Dia menatap Shan setelah beberapa detik, meminta penjelasan. Shan cuma bisa mengangkat bahu sambil memberikan ekspresi tak mengerti.

“Dia tak pernah membicarakan soal cowok pada kalian ya?” gumam Chiko tanpa sadar.

“Philia pernah ngomong soal cowok. Dulu,” kata Shan.

“Oh, ya?” Septo terkejut, begitu juga dengan Chiko. “Kok kau tak pernah bilang apa-apa padaku sih, Shan? Siapa cowok itu? Aku mau ketemu dengan dia.”

Shan diam sejenak. Dia menatap punggung Philia yang masih ngobrol seru dengan Gina. “Aku nggak bakal bilang apa-apa karena cowok itu nggak membalas perasaan Philia. Cowoknya nggak perasa sih.”

Septo mendelik. “Yang bener? Bego bener sih cowok itu.” Dia menggerutu sambil melipat tangan. “Buta kali ya matanya sampai dia nggak bisa melihat cewek secantik Philia. Udah cantik, baik, pintar, lucu, menyenangkan, humoris lagi.” Dia geleng-geleng kepala. “Apa sih yang kurang dari Philia? Masa dia tak tahu kalau Philia suka dia. Bener-bener deh.”

Shan tergelak. “Ya, cowok itu emang bego, tapi tenang aja kali. Philia kayaknya udah lupa sama cowok itu. Buktinya si Philia sekarang udah dapat incaran baru. Si Brondong yang nggak kita tahu namanya itu.”

“Aku sih nggak keberatan Philia sama cowok mana aja, yang penting cowoknya baik dan sayang sama dia. Termasuk padamu, Chik,” kata Septo melirik Chiko.

Chiko nyengir. “Jadi kalian mengizinkan aku pacaran sama teman sejak kecil kalian yang manis itu?”

Shan mengangkat bahu. “Boleh saja sih, dengan satu syarat,” kata Shan cepat. “Jangan buat dia nangis, atau kau yang akan kukirim ke liang kubur.” Tambahnya memberikan tunjukan berbahaya ke dada Chiko dengan wajah garang.

“Pantas aja selama ini nggak ada cowok yang berani mendekati Philia,” kata Chiko melipat tangan, “kalian memberikan pagar besi berduri sama cowok yang baru muncul sih.”

Septo tergelak. “Itulah gunanya punya teman cowok super pelindung seperti kami, Chik.”

Mendengar itu, Chiko ikutan tertawa begitu juga dengan Shan.

^^^***^^^

Philia mendelik jengkel pada Chiko. Cowok itu dengan sengaja bertengger di depan kelasnya, membuatnya jadi ogah untuk masuk kelas. Gimana dia bisa masuk kalo cowok sialan itu berdiri tepat di tengah-tengah pintu?

“Hai, Philia,” sapanya.

“Hai, minggir,” kata Philia.

Chiko tersenyum lagi, membuat Philia yakin dia akan mengatakan sesuatu yang bakal membuat Philia jengkel.

“Aku sengaja menunggumu disini,” kata Chiko.

“Bisa kulihat,” kata Philia mencoba tenang. “Kau memang anjing penjaga yang setia.”

Anehnya, Chiko tak tersinggung sama sekali. Dia malah tertawa mendengar perkataannya. “Tadi aku ngobrol sama Gina soal cowok brondong idolamu itu.”

“Bisa kulihat kau sekarang jadi Detektif sok penting buat sahabatku,” kata Philia lagi, menggertakan gigi. Kenapa cowok ini selalu mencampuri urusannya sih? “Nah, sekarang bisa kau minggir dari pintu? Lebih baik kau kembali ke kelasmu. Ini bukan kelasmu!”

Cowok itu melangkah mendekat, membuat Philia ikutan mundur sambil mengadah melihat wajah cowok jangkung itu dengan tatapan menantang.

“Aku nggak suka sama cowok brondong itu,” kata Chiko lambat-lambat. “Apa tak ada saingan yang lebih oke lagi selain melawan junior yang jelas-jelas nggak ada apa-apanya?”

Mata Philia menyipit. “Dengar ya. Aku suka sama siapa itu bukan urusanmu. Lagian, dia nggak seburuk dugaanmu. Kenapa sih kau selalu ikut campur urusanku?”

Mata Chiko menatapnya sejenak dalam beberapa detik. “Itu karena aku suka padamu,” katanya pelan.

Philia bengong. “Apa?” katanya.

“Aku suka padamu,” kata Chiko lagi.

“Kau sinting.”

“Aku tak sinting. Aku sadar sepenuhnya, Philia,” kata Chiko lambat-lambat. “Dan aku tak mau kau dekat-dekat sama cowok lain siapapun dia.”

Philia mengerutkan dahinya. Dia merinding mendengar perubahan sikap cowok itu. Chiko pasti bercanda! Yang benar saja. Ini semua mimpi.

“Dengar, Chik. Aku sama sekali tak mau diajak bercanda. Ada tes sebentar lagi dan aku tak mau konsentrasiku pecah hanya karena pembicaraan tak penting denganmu. Sekarang, jika kau tak keberatan, bisakah kau minggir dari jalanku?”

Chiko mendekat lagi. Wajah cowok itu penuh percaya diri, membuat Philia semakin takut saja padanya.

“Kau tahu aku nggak bercanda, Philia,” katanya pelan. “Jadi, jangan anggap aku tak serius. Aku tertarik padamu sejak pandangan pertama. Tentunya, kau tak keberatan kan punya cowok sepertiku?”

Philia menatap Chiko dengan pandangan tak percaya. Cowok itu benar-benar sudah sinting. Apa yang membuatnya berpikir kalau Philia bakal senang punya cowok super nyebelin sepertinya? Philia tak pernah berpikir bakal punya imajinasi berbahaya tentang cowok itu. Nah, sekarang Chiko berharap kalau dia bakal jadi tipe cowoknya Philia? Jangan berharap.

“Kau sudah tahu jawabannya, Chik,” kata Philia dengan gigi gemertakan. “Aku nggak tertarik padamu dan nggak bakal pernah tertarik padamu. Kusarankan kau kempiskan saja kepercayaan dirimu yang tinggi itu dan menyerah soalku. Aku sudah punya cowok yang kusuka dan bisa kupastikan dia lebih oke darimu.”

Chiko tersenyum tenang. “Cowok brondong itu bukan apa-apa bagiku. Aku cukup percaya diri untuk mendapatkanmu darinya.”

Philia memutar kedua bola matanya lalu tertawa, “Tenang saja, Chik, cowok brondong itu bukan apa-apa. Aku cuma berteman dengannya. Aku memang sedikit tertarik padanya tapi aku tak suka padanya.”

Chiko tertawa kecil.

“Apa kau mau bilang kalau kau masih suka pada cinta pertamamu itu? Cowok yang bakal tak membalas perasaanmu itu?”

Philia melotot. Jantungnya berdegup kencang. “Dari mana kau tahu?”

Chiko kembali tertawa lagi. “Buat apa sih menunggu cowok yang nggak membalas perasaanmu? Dia itu idiot tahu.”

Oke. Philia jengkel sekarang. Giginya gemertakan. Dengan ganas dia menarik dasi cowok itu sehingga cukup dekat dengan wajahnya. Dia berusaha menahan amarahnya untuk tidak meninju cowok itu saat bilang, “Aku paling benci kalau dia dibilang idiot. Aku suka padanya dan itu bukan urusanmu.”

Chiko kelihatan terkejut. Untuk sejenak dia tak bisa bilang apa-apa. Andai saja bel tak berdering, mungkin saja Philia akan memakinya, bukannya masuk ke kelasnya setelah menyingkirkan tubuhnya dengan ganas ke pinggir dengan kaki terhentak. Wajahnya penuh amarah.

^^^***^^^

Shan menaikan alisnya.

“Hai, Shan, aku perlu bicara denganmu,” kata Chiko.

Shan tercengang sejenak. “Aku tak sangka kalau kau bakal datang ke sekolahku. Ini pertama kalinya ada orang yang berkunjung ke sekolahku, disaat aku sedang sibuk pula.”

Chiko kelihatan tak mendengarkan. “Dimana kita bisa bicara?”

“Aku tak mau makin menarik perhatian, Chik,” kata Shan tenang. “Teman-temanku akan berpikir kalau orang yang berada di sekitarku semuanya punya tampang keren.”

“Taman oke juga,” kata Chiko memasukan tangannya ke kantong celananya.

Shan tertawa kecil. Dia bisa mengerti alasan kenapa Philia tak menyukai cowok ini. Chiko suka sekali memaksa. Pantas saja Philia sering dibuat jengkel. Philia anak yang bebas dan tidak suka keterikatan.

“Ya sudah,” Shan menyerah dan memilih menerima Chiko menjadi tamu di sekolahnya. Seperti dugaannya, Chiko memang menarik perhatian. Selagi mereka berjalan menuju taman, cewek-cewek di sekolah itu meliriknya dengan pandangan ingin tahu.

“Ada masalah apa?” tanya Shan duduk di bangku taman.

“Ini mengenai Philia,” kata Chiko langsung.

Shan masih tetap tenang. “Aku bisa menduganya. Tapi tentang apa?”

“Aku mau tahu siapa cowok yang disukai Philia. Cinta pertamanya.”

“Kenapa?”

“Karena aku mau tahu.”

Shan menatap Chiko. “Bukan jawaban itu yang aku mau tahu, Chik. Tapi kenapa kau tiba-tiba tertarik pada cowok itu? Bukannya cowok itu nggak penting banget dalam masalahmu?”

Putus asa, Chiko akhirnya menceritakan semuanya. Shan mendengarkan dengan baik, tanpa memotong dan mengangguk-angguk perlahan.

“Nah, kau sudah dengar semuanya. Dia kelihatan benar-benar membenciku,” kata Chiko tak sabar. “Aku tahu aku memang salah menjelek-jelekan cowok itu di depannya. Tapi, bukannya cowok itu tak suka padanya? Kenapa juga Philia harus mengharapkannya? Setidaknya, aku tahu apa yang harus kulakukan untuk membuat Philia tak terlalu memikirkannya kan?”

Shan menimang-nimang.

“Philia tak pernah bilang kalau dia suka cowok itu padaku, Chik. Aku cuma menebak,” kata Shan melipat tangan.

“Apa? Jadi kau juga tak yakin siapa cowok itu?”

“Tentu saja aku tahu,” kata Shan lagi. “Kau bisa lihat dari mata dan bahasa tubuh Philia kalau dia suka sama cowok itu. Aku sudah berteman dengan Philia selama bertahun-tahun, Chik. Bagaimana mungkin aku tak sadar kalau temanku tergila-gila pada seseorang? Hanya saja cowok itu memang tidak sensitif dan Philia sendiri cukup tertutup, jadi mereka cuma jalan di tempat.”

Chiko mengerutkan dahi.

“Separah itukah?” katanya tak percaya. “Philia pasti sudah menderita sekali.”

“Ya, dia cukup menderita bertahun-tahun,” kata Shan mengangguk mantap. “Tapi karena Philia tak mau merusak persahabatannya dengan cowok itu dan merasa bahagia disamping cowok itu, aku bisa yakin kalau Philia cukup tulus dengan cintanya.”

Dahi Chiko mengerut dalam.

“Bertahun-tahun?” gumam Chiko. Persahabatan? Tak perasa dan tak sensitif?

Tiba-tiba saja terbayang satu wajah yang tak ingin muncul dalam kepala Chiko. Dia mengangga.

“Masa sih?” katanya tak percaya.

Shan mengangguk perlahan. “Benar. Philia suka pada Septo.”

Astaga. Ini diluar dugaannya.

^^^***^^^

Septo melonjak kaget saat Philia menyerbu masuk ke kamarnya sambil membawa Terry bersamanya. Dia mengangga sejenak melihat Terry melompat naik ke tempat tidurnya dan menjilati wajahnya.

“Lia, aku lagi bersantai!” gerutu Septo menyingkirkan Terry.

Dengan cepat Philia naik ke atas tempat tidur. “Aku mau kau singkirkan Chiko dari hidupku!”

Septo menganga. “Kenapa?”

“Karena aku membencinya!” Philia menjerit frustasi.

Septo mengerjap. “Kau diapain sama dia sampai stres begini?”

“Dia bilang kalau dia suka padaku!”

Lagi-lagi Septo mengerjap. Namun bukannya berkomentar, Septo malah tertawa. “Oh, jadi dia udah bilang kalau dia suka padamu? Kau tak suka padanya?”

Gigi Philia gemertakan. “Aku kan sudah bilang kalau aku benci benci benci benciiiiiiiiiii banget padanya.”

Alis Septo terangkat. “Dia cowok yang cukup oke, menurutku.”

Philia mencubit Septo sehingga cowok itu meringis.

“Dia kan cuma mengalahkanmu dalam ujian, Philia. Bukan karena dia begitu pintar, kau jadi benci banget sama dia.”

Philia menggerutu, “Aku nggak suka ada orang yang mengalahkanku!”

Septo memutar kedua bola matanya. Kemudian dia mengalihkan pandangannya pada Maltesa dan Terry yang sibuk menggigit tulang mainan.

“Kau mau aku melakukan apa?” kata Septo pada akhirnya. Hatinya luluh melihat raut kesal yang terpampang di wajah cantik Philia.

“Usir dia. Ancam atau apapun deh. Aku tak mau dia dekat-dekat lagi.”

Septo merebahkan tubuhnya. “Suatu hari kau akan dapat pacar juga, Philia.”

“Aku tak mau punya pacar kayak dia.”

Septo menaikan alisnya. “Memangnya kau mau pacar yang bagaimana biar aku carikan.”

Untuk sejenak, Philia menatap Septo, lalu memalingkan wajahnya ke jendela. “Aku akan cari sendiri. Yang penting sekarang itu adalah, kau usir si Chiko itu supaya dia jangan dekat-dekat.”

“Kau tahu dia keras kepala kan?” kata Septo lagi.

Philia menatapnya dengan jengkel, lalu mendorong Septo sampai jatuh dari tempat tidur kemudian melompat turun dan membanting pintu kamarnya.

“Lia, sakit tahu!” gerutu Septo memegangi pinggangnya.

^^^***^^^

Sabtu, 26 November 2011

Philia-Chiko (Paper 3)

Tiga

Ada banyak hal mengenai Shan yang membuat cewek-cewek terhipnotis padanya: cakep, baik, ramah, pintar ditambah lagi bisa main alat musik dan anak orang kaya. Tak ada yang bisa menolak kharismanya itu. Ketika dia tersenyum, bew… cewek-cewek itu nyaris pingsan kayak disapu angin. Kalau dia ngomong, sssssing… sunyi dan terhipnotis dengan perkataannya. Dan kalau dia main musik, maka hanya ada satu suara ketika dia selesai: KYAAAAAAA—beginilah suara teriakan kalau ada di komik-komik.

Dan begitulah juga hari ini.

Philia dan Gina segera menutup kedua telinga mereka ketika Shan mengakhiri permainan biolanya. Melindungi gendang telinga mereka yang berharga dari suara-suara cewek mengerikan, yang bahkan nggak cukup teriak-teriak untuk menunjukan kekaguman mereka melainkan juga sambil bertepuk tangan dan membawa papan berisi nama Shan—kayak mau nonton konser.

Shan tersenyum, memberikan bungkukan paling sederhana dan paling sopan untuk para penonton, lalu menghilang di balik pentas. Seketika si Pangeran berubah kembali menjadi rakyat biasa.

“Fuh,” Shan menghembuskan napasnya, menghampiri Philia dan Gina yang menunggu di depan aula. “Untung selesai, aku pikir aku nyaris mati sanking gugupnya.”

“Penampilanmu oke,” kata Philia menunjukan kedua jempolnya, lalu melirik cewek-cewek yang melewati mereka sambil menunjuk-nunjuk Shan dengan mata penuh kekaguman.

Shan melihat arah pandang Philia lalu tertawa, “Mereka teman sekelas, Li. Kurasa mereka heran melihat aku bareng dua cewek cantik.” Dia melirik Gina. “Hai, aku Shandy. Shan, panggil begitu saja. Makasih udah datang ke pensi sekolahku.”

Gina menyambut tangannya. “Aku Gina.”

“Septo tadi SMS, dia datang waktu sore. Jadi, kalian mau kemana? Biar aku temanin.”

“Memangnya kau tak ada kegiatan lagi?” kata Gina heran. “Apa kau tak ikut bantu-bantu di Osis misalnya?”

Shan menggeleng. “Aku nggak suka ikut campur di organisasi. Repot dan ribet.” Katanya. “Jadi, kalian mau kemana? Mau makan siang dulu, atau main dulu?”

Rasanya nggak asik kalau main tanpa Septo. “Kita makan siang dulu aja, deh sekalian nungguin Septo.” Kata Philia. “Gimana, Gin?”

Gina mengangkat kedua bahunya. “Aku nggak keberatan.”

Akhirnya mereka setuju untuk makan di salah satu stan yang dimiliki oleh anak Osis. Restoran dadakan yang unik: Restoran Musik. Dengan alunan musik jazz yang oke, ditambah dengan permaian piano yang menarik perhatian. Meja-mejanya tertata dengan sangat apik dan cantik.

Masalahnya, saat mereka masuk bersama dengan Shan, pelayanannya tidak memuaskan. Masa cewek-cewek itu melirik ganas pada Philia dan Gina cuma karena mereka bareng Shan sih? Tapi saat Shan melirik pelayan itu, mereka kembali menunjukan wajah penuh kegenitan pada Shan.

“Aku jadi ngeri kalo mau jalan denganmu,” gerutu Philia.

“Memangnya kenapa?” Shan tertarik, membuka menu makanannya.

“Soalnya, cewek-cewek itu, akan menghabisiku,” jawabnya.

Shan tertawa. “Ya ampun, Philia, nggak ada yang istimewa selain kau kali. Jadi tenang aja. Tak ada yang bisa mengganti posisimu. Aku jamin.”

Gina menaikan alisnya. Entah kenapa dia memiliki prinsip kalau dia sekarang menjadi kambing conge diantara Shan dan Philia. Tapi karena Philia tak menanggapi perkataan Shan dan memilih untuk memberikan menu pesanannya, Gina membuang jauh pikiran itu. Siapa tahu, sebagai sahabat, mereka memang sering ngomong begituan.

Kan ada juga sahabat yang paling “honey-honeyan” bahkan tanpa ada ikatan pacaran dan jatuh cinta. Banyak lagi contohnya.

“Ada berapa banyak jurusan musik di sekolahmu ini?” Gina bertanya, berusaha sekuat tenaga mengusir kecanggungan antara mereka bertiga. Uhm, mungkin cuma Gina aja yang melihat aura penuh permusuhan dari cewek-cewek yang ada di resto ini karena baik Philia dan Shan kelihatannya nggak memberikan perhatian mereka pada orang-orang itu.

“Kami tak punya jurusan yang mengikat. Hanya saja cuma satu prinsip, kalau murid lebih ahli dengan salah satu alat musik maka para guru bakal membantu mereka sekuat tenaga,” jawab Shan menatap mata Gina.

Aduh, nggak kuat! Gina membatin. Cakep banget sih cowok satu ini! Nggak nyangka kalo selama ini Philia berteman sama cowok beginian. Pantesan aja si Chiko nggak kelihatan oke di matanya.

“Kau ahli main apa?” tanya Gina lagi, suaranya sedikit bergetar.

“Biola,” jawab Shan cepat. “Tapi karena sejak kecil aku suka musik dan kebetulan kedua orang tuaku juga main musik, aku bisa main piano dan cello juga.”

Gina manggut-manggut.

“Septo nggak bilang apa-apa soal kapan dia nyampe? Masa anak itu lebih suka berlama-lama ngurusin seminar daripada main sih? Kenapa dia bisa berubah jadi serius begitu?”

Shan menaikan alisnya. Keheranan. “Loh? Emangnya Septo nggak cerita padamu ya?”

Kali ini Philia menggeleng sambil mengerutkan dahi. “Dia nggak ngomong apa-apa. Memangnya ada apa? Dia bikin ulah atau bagaimana?”

“Seminar kali ini dia dapat kehormatan bertemu dengan Menteri Komunikasi dan Teknologi sekaligus juga dapat penghargaan karena membuat alat pendeteksi gempa sederhana. Kau tak lihat beritanya di koran dua hari lalu?”

Philia menganga. “Aku nggak tahu apa-apa soal itu,” desah Philia. “Tapi kenapa dia sendiri nggak cerita sih? Rumah kami kan bersebelahan. Bukan hanya itu, jendela kamar kami juga bersebelahan! Jahat banget Septo nggak cerita begituan.”

“Mungkin dia lupa,” kata Shan.

Philia jengkel. Septo nggak pernah lupa akan apapun sebelumnya. Biasanya dia selalu melapor pada Philia. Sekecil apapun itu. Masa berita tentang munculnya dirinya di koran tak diketahui Philia sama sekali sih? Oh, come on. Kita sedang membicarakan Septo. Satu-satunya manusia di dunia ini yang paling susah diam.

Sepanjang makan siang, Philia memakan hidangannya sambil mendesis jengkel. Gina memerhatikan kalau Shan sekali-kali melirik padanya dan tersenyum sendiri sambil geleng-geleng kepala. Tidak salah lagi. Kali ini Gina benar-benar menangkap adanya sinyal-sinyal dari cinta.

Cupid kurang kerjaan! Masa dia nggak lihat masih ada satu cewek cantik yang nggak diperhatiin disini?

“Oi, ternyata disini!” suara Septo mengagetkan Gina. Philia sampai menjatuhkan garpunya.

“Septo!!” seru Philia jengkel. “Jangan ngagetin napa? Dasar jelek!”

Septo tertawa, lalu duduk disamping Shan yang juga ketawa. Melihat cowok ganteng duduk berdua benar-benar membuat kesan tersendiri bagi Gina. Ya ampun, mereka berdua benar-benar seperti model yang cocok banget. Serasi. Yang satu tipe pangeran dan yang satu lagi tipe anak nakal yang energik.

“Ini siapa?” Septo menatap Gina.

“Oh, ini teman sekelas Philia, Gina namanya.” Shan menjawab cepat.

“Hai, Gina. Aku Septo,” Septo menyapa sambil melambai kesenangan, lalu beralih pada Philia, “Coba tebak aku bawa siapa?”

Philia mengerutkan dahinya dan belum lagi dia mencerna apa yang terjadi terdengar suara yang nggak ingin dia dengar.

“Hai, Philia. Hai, Gina,” kata Chiko dan duduk disamping Septo.

Philia melotot dan Gina ternganga, bahkan Shan sampai mengerutkan dahinya.

“Kenapa dia ada disini?” Philia nyaris menjerit. Dia menatap jengkel Septo. “Kau ngajak dia kemari? Buat apaan?”

“Kami kebetulan ketemu di seminar,” jawab Septo cepat, tidak menggubris pelototan Philia. “Terus dia menyapaku dan bertanya kenapa aku begitu terburu-buru pamit padahal ada sesi tanda tangan. Terus, waktu aku bilang kalau aku ada janji dengan kalian berdua, dia minta ikutan. Menurutku sih oke-oke aja. Lagian, ini kan pensi. Siapapun bebas datang. Bukannya semakin banyak semakin baik. Ya kan, Shan?”

Shan mengerjap sejenak, menghela napas dan detik berikutnya geleng-geleng kepala bersamaan dengan gumaman, “Anak ini…”

“Kenapa? Salah kalau aku mengajaknya?” Septo bertanya keheranan.

“Idiot,” gumam Shan lagi.

“Tenang saja, Philia, aku nggak bakal merusak suasana,” kata Chiko enteng. “Kalian berdua tahu nggak, Philia mengalahkanku dalam tes Kimia dua hari lalu. Dia keren sekali.”

“Dia memang keren,” Shan setuju. “Kau satu-satunya orang yang bisa mengalahkannya.”

“Aku tak yakin,” kata Chiko kalem. “Aku yakin waktu SMP salah satu dari kalian pernah mengalahkannya dalam sains.”

Shan dan Septo berpandangan, lalu sama-sama menjawab, “Tak pernah.”

“Aku membenci sains seumur hidupku,” kata Septo.

“Dan aku lebih suka musik lebih dari apapun, jadi aku lebih suka belajar sejarah walau nilai sainsku nggak buruk-buruk amat,” kata Shan.

Chiko mengerutkan dahi. Jadi, pada intinya mereka berdua tak pernah mengalahkan Philia. Hal itulah yang membuat cewek itu nempel terus pada mereka, begitu kan? “Aku sungguh salut pada kalian berdua,” kata Chiko melirik Philia. “Bisa bertahan sama cewek sejenis Philia.”

Philia mencibir.

Septo tertawa.

“Begitulah. Kalau kita udah bersama-sama sejak kecil, maka kita bisa beradaptasi dengan lingkungan kita,” kata Shan lagi. “Lagian Philia nggak buruk-buruk amat. Dia cewek yang oke kok. Seenggaknya, bukan tipe cewek yang langsung berbinar melihat cowok cakep lewat.”

Dan mereka bertiga tertawa lagi. Tak menggubris Philia bahkan meliriknya.

“Oi,” kata Philia lagi. “Apa kalian tak malu bergosip di depan orangnya? Kalian ini sedang membicarakan aku tahu!”

Mereka tidak mendengarkan—atau mungkin lebih tepatnya pura-pura tidak mendengarkan—karena mereka sibuk bertukar cerita. Membicarakan masalah-masalah yang tak dimengerti Philia dan Gina. Dan entah bagaimana, dari segi Philia dan Gina memperhatikan mereka: tembok permusuhan itu terhapus menjadi sebuah aliran persahabatan.

Mencair dan hangat.

Gina menyenggol Philia.

“Apa?” desis Philia.

“Gimana kalo kita berdua menyusup pergi dan cari cowok oke?” Gina berbisik. Sebenarnya dia nggak mau mengusulkan ini. Tapi, daripada manyun nggak jelas menunggui tiga cowok yang terobsesi pada mesin, musik dan sains, lebih baik mereka bersenang-senang sendiri.

Philia setuju. Dengan cepat dia mengangguk dan menyusup keluar dari restoran.

Tak ada satupun dari tiga cowok itu yang menyadari kalau mereka kehilangan mereka berdua karena mereka sibuk menceritakan tentang pedalaman antartika.

“Chiko sialaaaaaaaaaaaaaan!” Philia menggerutu sebal. “Dia udah berniat mengambil peringkat satu aku di sekolahan dan sekarang dia mengambil dua sahabatku begitu gampangnya! Menyebalkan! Dasar cowok jelek!”

Gina terkekeh sejenak. “Ya jelas ajalah mereka lebih nyaman sama Chiko. Mereka kan sama-sama cowok. Kan nggak mungkin banget Shan dan Septo ngbrolin soal cowok padamu. Bisa keki mereka berdua.”

Philia memberikan tatapan menyuruhnya diam. Benar-benar salah pilih topik.

“Kita main itu yuk,” Gina cepat-cepat menyudahi pandangan Philia dengan menarik gadis itu ke salah satu permaian “Pukul Tikus Tanah”.

Dengan cepat Philia menyambar palu kecil dan memukul tikus-tikus yang muncul di lubang sambil sesekali mengutuki Chiko. “Jelek! Chiko! Jelek! Chiko!”

Gina benar-benar pusing mengurusi Philia. Entah gimana cara Septo dan Shan bisa menenangkannya kalo dia ngamuk begini. Ampun deh. Capek banget!

Selanjutnya mereka foto berdua di foto-box buatan. Hasilnya oke banget. Kemudian melanjutkan perjalanan sambil makan gulali dan mencoba asesoris yang dijual dipinggiran. Gina cukup berani meramal dirinya pada salah satu peramal yang memakai bola kristal berembun yang mirip dengan bola kristalnya Harpot waktu pelajaran Ramalan bersama Prof. Trelewney. Masalahnya, sama seperti Hermione, Philia nggak percaya sama sekali dengan tipuan seperti itu.

Mereka juga membeli sepasang gelang yang sama. Tanda persahabatan baru dari dua jomblowati yang bahagia. Lalu tertatih-tatih mencoba sepatu tinggi yang kesempitan dan akhirnya cukup lelah untuk keliling dan memutuskan untuk duduk sebentar di pondok kecil penjual es kelapa muda.

Benar-benar pondok yang oke. Bahkan pelayannya aja pake jas dan tampangnya oke punya. Gina yang tertarik bertanya cowok itu kelas berapa dan dia menjawab kalo dia masih kelas satu. Iiiih… brondong imut! Begitulah mereka berdua putuskan.

“Kalian darimana sih?” Chiko terlihat jengkel. Kedua tangannya sudah di pinggang. Shan dan Septo yang ada di belakangnya juga kelihatan khawatir. “Kami dari tadi mencari kalian tahu. Hape nggak aktif. Perginya nggak pamit lagi.”

Philia dan Gina saling pandang.

“Kalian duluan yang cuek pada kami. Kami kan cuma keliling stan doang,” kata Gina cepat. “Lagipula, ide itu bagus juga kan, Li. Jalan berdua terus ketemu cowok oke lagi!”

“Benar banget! Brondong!!” Philia terkekeh melihat Gina juga ikutan ketawa. “Goodbye hari-hari jomblo. Welcome, cinta!”

“Apa?” kata Chiko, Shan dan Septo bersamaan..

Philia merangkul Gina dan berbisik penuh misteri, “Kami nggak akan cerita pada kalian berdua. Ini masalah cewek. Yuk, Gin, kita lihat stan yang lain.”

Dan mereka meninggalkan tiga cowok itu.

^^^***^^^