Selasa, 19 April 2011

Ocepa Kingdom Eps 23

Dua puluh tiga

“Aku tidak bohong. Rofulus Haistings menukar kami berdua saat kami lahir.”

Kalimat itu berdengung di telinga Raja Joseph.

“Apa?” kata Raja Joseph.

“Aku akan menceritakan pada Anda apa yang sebenarnya terjadi disini, begitu juga pada Pangeran yang lain agar tidak ada kesalahpahaman lagi. Namun bisakah Anda keluar terlebih dahulu? Kupikir Guruku tak akan mengobati aku jika Anda masih bertanya.”

Glenn melirik Lourian yang mematung sedari tadi.

Raja Joseph berbalik dan keluar. Dia menutup pintu secara perlahan. Tak bisa berkata-kata.

“Apa kau mengatakan kebenaran?” kata Lourian. “Kau sedang menyangkal Ayahmu sendiri. Apa kau tak takut dengan hulum karma?”

“Aku tidak berbohong.”

Lourian menatap mata Glenn yang penuh keyakinan itu. Tidak ada kebohongan disana.

***

“Ayah,” Willy bangkit dengan cepat. Kekhawatiran tampak jelas dari wajahnya. “Ayah sudah tidak apa-apa? Kenapa keluar? Apa yang terjadi?”

“Mana Christian?” suara Raja Joseph bergetar.

“Itu. Disana.” Willy menunjuk ke gerbang. Christian duduk di gerbang, membelakangi mereka. “Memangnya ada apa, Ayah?”

“Sekarang aku benar-benar tak tahu lagi siapa putraku.”

“Maksud Ayah?”

Namun Raja Joseph tidak menjawab.

Mereka menunggu selama setengah jam sampai kemudian Lourian keluar dari ruangan itu. Mereka mengerubutinya dan menanyakan hal yang sama secara bersamaan membuat Lourian terkekeh beberapa saat.

“Dia tak apa-apa, tapi kuharap kalian tidak menyuruhnya bekerja keras untuk beberapa waktu terlebih dahulu seperti seseorang,” Lourian melirik Aries.

Dasar nenek sihir!

“Dan Glenn titip pesan kalau dia akan memberitahukan sesuatu pada kalian malam ini.”

“Kenapa harus malam ini? Kenapa tidak sekarang saja?” tuntut Aries.

“Karena aku menyuruhnya untuk istirahat. Aku sudah memaksanya minum pil tidur. Untuk sementara dia tak akan kemana-mana. Asal kau tahu saja, dia melakukan empat hari perjalanan dalam keadaan begitu, apa kau tak merasa kasihan padanya? Dia begitu mengkhawatirkan Negara ini sampai-sampai tidak mengkhawatirkan dirinya sendiri. Jadi kuharap kalian tidak mengganggunya.” Lourian merepet sambil menunjuk-nunjuk Aries. “Jeremy.” Kali ini dia menoleh pada Jeremy.

“Ya?” Jeremy refleks menjawab.

“Kau berjaga di luar. Aku melarangmu masuk. Jika kau masuk, aku bersumpah padamu kalau Glenn bangun, akan kusuruh dia berkata agar kau menjauh darinya, apa kau mengerti?”

Jeremy memaki.

“Aku tak dengar jawabanmu.”

“Aku mengerti,” Jeremy menjawab dongkol.

Lourian beralih kembali pada Aries. “Jadi, Guru Tidak Bertanggung Jawab dan Tidak Berbelas Kasihan, apa tak ada kamar untuk wanita?”

“Tidak.”

Lourian melipat tangan, lalu kembali melontarkan kalimat pedas. “Sudah tua, jelek, miskin, arogan, egois, emosian, pelit lagi.”

“Asal kau tahu saja, tidak ada wanita yang tinggal disini!” gerutu Aries.

“Pantas saja kau tidak terawat, mana ada yang tahan padamu dan tinggal di gubuk jelek begini.”

Lourian melenggang pergi, memberikan tatapan sengit pada Aries.

Wanita itu, padahal aku sudah lima tahun tak bertemu dengannya, namun sikapnya tidak pernah berubah. Dasar rubah betina!

***

Elvius melipat tangannya. Pemandangan malam dari luar jendela ruang kerja Raja memang sangat bagus. Elvius memberikan salut buat itu. Tidak ada lagi tumpukan dokumen di lantai seperti yang biasa terjadi saat Glenn masih hidup, namun sebaliknya, lantai itu bersih. Dokumen dan buku-buku tebal tersusun rapi di lemari.

Elvius menarik napas, memenuhi paru-parunya lalu tersenyum senang. Bau kemenangan. Seperti inilah rasanya.

Suara deritan pintu membuatnya berbalik, Erold memunculkan kepalanya dari balik pintu. “Ketua, kau memanggilku?”

“Ah, ya, kemarilah. Aku ingin memberi tugas padamu.”

Erold mengerutkan dahi, dia melangkahkan kaki mendekati meja kerja Elvius. Elvius mengambil sesuatu dari laci dan menyerahkan lembaran coretan padanya.

“Apa ini, Ketua?”

“Itu surat izin untuk bangsawan yang boleh keluar masuk Ocepa. Aku minta tolong padamu agar menyuruh orang membagikannya pada nama yang terdaftar disana. Lalu, jika kau tak keberatan, aku ingin kau mencari Jeremy dan bawa dia kembali kemari. Aku sangat membutuhkan dia saat ini.”

“Jeremy? Tapi bukannya dia bilang kalau dia tak mau kembali ke istana?”

Elvius mendengus. “Anak Muda itu sangat berpengaruh di negeri ini. Kau pasti tak tahu siapa dia kan?”

Erold mengerutkan dahi. “Jeremy? Dia pemuda biasa yang jago main pedang dan tak pernah ada sopan santun pada orang yang lebih tua daripadanya.”

Elvius tertawa mengejek.

“Kau selalu bertingkah anak-anak, makanya dia tidak pernah menganggapmu.”

Erold mengerutkan bibirnya. “Lalu, sebenarnya Jeremy itu orang yang berkuasa atau yang bagaimana?”

“Dia satu-satunya pewaris dari keluarga Kheilen—”

Erold terkesikap. “Tunggu. Kheilen? Bukan Kheilen yang kaya raya itu kan?”

“Benar. Dia. Mungkin Jeremy bersikap seolah-olah dia tak punya apa-apa, tapi Jeremy merupakan orang terkaya di Ocepa setelah Raja.”

Erold menelan ludah. Dalam hati dia tak percaya pada apa yang dia dengar. Jeremy yang bersikap seolah dia orang paling miskin di dunia dan tak pernah menunjukan kesopanan pada orang yang lebih tua daripadanya dan bahkan tidak mengenal satupun bangsawan—adalah seorang… seorang… astaga…

“Lalu, apa yang ingin kukerjakan untukmu, Ketua?”

Evlius tersenyum. “Sebenarnya aku hanya ingin dia dekat-dekat padaku. Jujur saja, aku tak menyangka keberadaan Glenn akan begitu menguntungkan, dia benar-benar mengenal orang-orang berpengaruh di negeri ini. Kheilen satu-satunya keluarga di negeri ini yang tidak terpengaruh pada segala masalah di negeri ini, jadi aku ingin dia mendukungku. Ini akan memperkuat keberadaanku.”

Erold melipat tangan.

“Baiklah. Aku akan mencarinya untukmu. Tapi, Ketua, aku juga tidak yakin apakah dia mau kembali atau tidak. Jeremy itu sangat keras kepala, jadi kupikir akan banyak memakan waktu untuk menariknya ke istana kembali.”

Elvius tersenyum. “Dia akan kembali. Aku yakin.”

***

Glenn menyingkirkan selimutnya dan memaki. Sudah malam dan kamar tempat dia tidur gelap gulita tanpa cahaya. Terima kasih pada Gurunya, berkat Lourian, kepalanya sekarang ikut-ikutan sakit. Dia bangkit, meregangkan punggungnya. Dadanya sedikit lebih baik, namun nyeri di bahunya masih sedikit sakit.

“Kau sudah bangun?”

Glenn mendengar suara Jeremy dari balik pintu kamarnya.

“Kenapa kau ada diluar?” kata Glenn membuka pintu.

Ibu Angkatmu itu melarangku masuk dan memerintahkanku untuk menjagamu. Jika aku melanggar maka dia akan memaksamu mengatakan sesuatu yang aku tak suka,” jawab Jeremy masuk ke kamar Glenn. Dia menghela napas lega saat melihat Glenn setidaknya masih bisa bernapas.

“Seharusnya kau tidak mendengarkan kata-kata Guru. Kau tahu kalau aku tak akan mengatakan hal yang menyakitkan padamu,” kata Glenn, mengambil gelas. Jeremy mengambil ketel dan gelas dari tangan Glenn dengan cepat. “Aku bisa melakukannya sendiri.”

“Duduklah dengan tenang, Yang Mulia.”

Glenn menghela napas. Dia duduk perlahan, menonton Jeremy menuangkan teh untuknya.

“Silakan.” Jeremy menyodorkan gelas.

Glenn meneguk tehnya.

“Apa yang terjadi selama aku mati?” kata Glenn.

Jeremy menatapnya tajam. Matanya berbahaya sekali.

“Aku tak suka kata-katamu barusan,” kata Jeremy.

“Separuh rakyatku sudah tahu kalau aku mati. Apa aku sudah dimakamkan?”

“Tidak lucu,” gerutu Jeremy. “Aku lupa kalau kau jago bohong. Kenapa aku bisa mempercayaimu kalau kau tak terluka? Seharusnya aku sudah bisa menduga kalau kau akan ikut campur untuk menyelamatkan Raja dan Jendral. Ini tak akan terjadi lagi, aku bersumpah.”

Glenn tidak menanggapi, dia kembali meminum tehnya.

“Kau harus menceritakan masalah Christian. Apa kau sudah siap?” Jeremy kembali membuka pembicaraan.

Glenn meletakan cangkirnya. “Aku sudah siap bercerita padanya sejak aku berusia enam tahun, jadi sama sekali tak masalah.”

Jeremy mengerutkan dahinya. “Maksudmu? Kau mau menceritakan kebohongan? Kau ingin bilang kalau kau adalah Glenn Haistings?”

“Aku memang Glenn Haistings,” Glenn bangkit dari tempatnya. “Jeremy, katakan pada mereka kalau aku sudah bangun. Aku akan mengatakan yang sebenarnya pada mereka.”

Dahi Jeremy masih mengerut.

“Kali ini, kau bohong atau jujur?”

“Jeremy, laksanakan perintahku dan jangan banyak bertanya.”

Jeremy meneguk ludah. Dia membungkuk kecil dan keluar dari kamar Glenn dengan langkah terburu-buru.

“Aku menukar kalian saat lahir, Yang Mulia. Aku menukar kalian untuk mendapatkan permata itu. Aku menginginkan permata itu untuk memasukan Dominic sebagai keturunan Raja.”

Glenn memegang dadanya yang nyeri. Kata-kata Rofulus membuat napasnya sesak dalam beberapa saat.

“Apakah sangat penting bagimu? Baik Dominic dan Denmian, menurutku sama sekali tidak masalah asalkan bisa memimpin Negara ini dengan baik kan?”

“Benar. Dan aku baru menyadarinya sekarang, Yang Mulia.”

Glenn tersenyum. “Heh… apa maksudnya?”

***

Raja Joseph tampak tegang saat Jeremy memberitahu pada mereka bahwa Glenn sudah bangun. Mereka duduk mengelilingi meja makan; Raja Joseph, Jendral Rodius, Aries, lalu keempat pangeran dan Jeremy.

“Kau boleh keluar Jeremy,” kata Aries saat Glenn duduk di salah satu kursi kosong.

“Aku tetap disini.” Jeremy menjawab cepat.

“Ini masalah keluarga kerajaan,” kata Jendral Rodius.

“Lalu kenapa Anda juga ikut?” balas Jeremy.

Glenn mengangkat tangan, menghentikan Jendral Rodius menjawab Jeremy. Jendral Rodius seketika menutup mulut.

“Glenn, suruh Jeremy keluar. Ini bukan sesuatu yang boleh dia dengar.” Kata Aries melirik Jeremy. Jeremy menggertakan giginya.

“Tidak. Dia tetap disini,” kata Glenn.

“Tidak ada yang akan menyakitimu disini.” Jendral Rodius sepertinya tidak puas.

“Aku tidak yakin. Saat ini tenagaku belum pulih benar, jadi aku tak bisa mengatasi dengan pasti apa yang akan terjadi saat aku bercerita. Lebih baik ada yang menjagaku saat aku lemah,” Glenn melirik Christian.

Aries menyerah. “Terserahlah. Aku cuma ingin memastikan kalau yang akan kau katakan adalah kebenaran.”

“Jadi, apa yang sebenarnya terjadi? Siapa yang sebenarnya adalah Christian?” Raja Joseph tidak mau berlama-lama lagi. Dia sudah lelah dengan permainan yang mereka rencanakan dan baginya ini sangat tidak lucu. “Aku ingin kejujuran, aku sudah dengar apa yang terjadi dari Willy dan Aries. Kuharap ini bukan kebohongan lagi.”

“Aku bersumpah kalau aku adalah Glenn Rofulus Haistings Dominic,” kata Glenn tenang. Willy melotot.

“Kapan tepatnya Rofulus Haistings menukar kalian?” kata Raja Joseph lagi.

“Sesaat sebelum pemberian permata Keturunan.” Glenn menatap Christian yang diam saja disisi Willy. “Waktu itu Panatua yang bertugas tidak menyadari bahwa Rofulus sudah menukar kami walaupun dia sudah memakaikan permata itu pada Pangeran Christian, karena itu aku juga bisa mendapat permata yang sama persis seperti milik Pangeran Christian.”

Christian mengepalkan tangannya.

“Tidak ada permata yang sama persis,” kata Jendral Rodius.

“Namun pada kenyataannya, permata itu ada dua.”

“Salah satu dari kalian pasti memiliki permata palsu.”

“Kalian bisa melakukan hal yang kalian suka, tapi akan kupastikan kalau permata itu hanya bisa keluar saat kalian mengiris daging kami.”

Raja Joseph berdiri.

“Kau memiliki mata yang sama persis sepertiku!”

“Salah satu dari nenek moyang Ratu Eva menikah dengan warga Negara Aragra yang dominan memiliki warna mata hijau pekat. Tentu saja warna itu akan diwariskan pada salah satu keturunannya. Anda bisa melihatnya di buku keturunan kerajaan nanti.”

Raja Joseph kehabisan kata-kata.

“Lalu, kenapa kau kembali ke istana?” Christian tiba-tiba buka mulut. “Kenapa waktu itu kita bertukar tempat? Kenapa aku harus menjaga rahasia yang ternyata adalah kebenaran?”

“Kau tak akan mengerti rasanya menjadi seorang Ayah, Christian,” kata Glenn. “Rofulus Haistings berusaha menyelamatkan aku, anaknya, yang saat itu menjadi salah satu Pangeran di Ocepa. Menurutmu apa yang akan dia lakukan jika ada pemberontak yang berniat membunuh seluruh anggota keluarga kerajaan?”

Louis menghela napas, memegangi kepalnya yang berdenyut. “Aku mengerti apa yang dipikirkan Rofulus, tapi—ini keterlaluan.”

“Waktu itu Rofulus harus berpikir cepat,” kata Glenn. “Perbandingannya lima puluh banding lima puluh. Dia membawaku keluar sebagai umpan kalau aku adalah Pangeran, kami juga dikejar-kejar saat itu. Namun setidaknya, Rofulus bersamaku, sehingga dia akan yakin kalau aku akan baik-baik saja walaupun pada akhirnya dia mati dan aku hilang di hutan. Dia meletakanmu di lemari juga sebagai umpan,” Glenn melirik Christian. “Jika kau selamat, maka kau akan jadi Pangeran kembali namun jika tidak—yah,” Glenn mengangkat bahu. “Rofulus saat itu hanya berpikir, salah satu dari kita harus selamat. Dia memintamu bersumpah karena ingin mengembalikanmu ke istana. Itu sebabnya sampai kapanpun aku tak akan pernah memanggilmu dengan sebutan Glenn

Charlie geleng-geleng kepala. “Rofulus itu gila. Dia bermaksud mengorbankan Pangeran begitu?”

“Glenn juga seorang Pangeran,” kata Jeremy.

“Dia Dominic.” Kata Jendral Rodius.

“Apa salahnya menjadi seorang Dominic?” Glenn memotong Jeremy yang hendak membalas. “Asal Anda tahu saja, Jendral, aku seorang Dominic yang mendapat perhatianmu bahkan Yang Mulia Raja Joseph berjanji memberiku tahta bahkan pada saat aku berusia enam tahun.”

Kau tahu, Raja yang baik adalah Raja yang takut pada tanggung jawab karena dengan begitu dia akan berusaha keras untuk memenuhi tanggung jawab itu. Kau memang sangat berbeda dari pada ketiga Pangeran yang lain. Di mataku, kau yang terbaik Putraku. Aku berjanji akan memberikan tahta padamu, suatu hari nanti

Raja Joseph menutup mata. Yang dikatakan Glenn memang benar. Bagaimana mungkin dia bisa lupa pada janjinya? Saat itu, entah apa yang dipikirkannya sampai mengatakan hal itu pada Glenn. Namun memang, pada saat itu hanya Pangeran Christian yang cemerlang di matanya.

“Asal kalian tahu, saat ini aku sudah tidak tertarik membahas masalah keturunan kerajaan lagi. Kupikir semuanya sudah jelas sekarang. Aku ingin melanjut ke topik berikutnya,” Glenn menatap Aries yang sedari tadi melipat tangan dan menatapnya dengan penuh kecurigaan.

“Apa?”

“Guru, apa langkah selanjutnya?”

Aries menghela napas.

“Kau membuatku jengkel. Aku ingin menunggu kau sembuh dulu baru melanjutkan misi berikutnya. Sejujurnya, kau membuat sedikit masalah. Jeremy tidak ingin kembali ke istana dan kita tak punya koneksi untuk mengetahui keadaan istana. Tak ada orang yang bisa kita tanyai mengenai keadaan istana jika—”

“Jeremy, kembali ke istana,” Glenn memerintah Jeremy.

“Tidak. Tidak mau.”

“Aku sudah tidak apa-apa.”

“Dan kau pikir aku akan percaya?”

“Kalau begitu kembali ke rumahmu.”

“Apa sekarang kau mengusirku?” suara Jeremy menaik. “Aku menguatirkanmu asal kau tahu saja.”

“Aku justru lebih menguatirkanmu.” Glenn melipat tangan. “Ini demi kebaikanmu, jadi lekaslah pulang.”

“Berikan aku alasan yang tepat.”

Glenn terdiam. Berpikir.

“Kau membenciku?”

“Tidak.”

“Lalu?”

“Aku cuma tak ingin mengatakan alasannya di depan mereka.”

Jeremy mengerutkan dahi. Tidak mengerti. “Jelaskan saja.”

Glenn tersenyum. “Baiklah kalau begitu. Sepertinya kau sudah lupa kalau kau adalah pewaris Kheilen. Jika Elvius tahu bahwa kau tidak kembali ke rumah itu dalam waktu lama sementara kau memutuskan keluar dari istana, kupikir mereka akan berpikir bahwa kau mulai masuk kelompok tertentu. Kau bisa membahayakan kami.”

Jeremy tampak kesal. “Kau tak harus menyebut nama itu kan?”

“Aku sudah bilang kalau aku tak suka mengatakannya.”

“Benar juga. Pantas saja aku pernah melihat wajahmu,” kata Raja Joseph. “Kau pewaris keluarga Kheilen. Kenapa aku bisa lupa?”

Jeremy tidak menggubris. “Aku tak ingin kembali ke rumah itu. Kau sendiri tahu apa yang terjadi apabila aku kembali ke rumah itu.”

“Kau harus kembali.”

“Mungkin saja Elvius berpikir kalau aku keluar negeri.”

“Seluruh imigran dan emigran harus mendapat tanda tangan Raja, apa kau lupa?”

Jeremy kehabisan kata-kata.

“Pulanglah. Demi kebaikanmu.”

“Aku akan berangkat besok.”

“Tidak. Malam ini juga. Aku punya firasat buruk kalau akan terjadi sesuatu.”

Jeremy mengepalkan tangannya, menahan emosinya untuk memukul Glenn.

“Aku tidak dengar jawabanmu, Jeremy.”

Jeremy mengambil napas.

“Baik. Aku berangkat malam ini, Yang Mulia.”

Dia menyerah.

Aries mengakui hanya Glenn yang dapat memberi perintah pada Jeremy. Setelah mendapat perintah, Jeremy mau tak mau segera membereskan semua perlengkapannya dan naik ke atas kudanya. Dia sempat memberikan tatapan memohon pada Glenn untuk mencabut perintahnya, namun Glenn pura-pura tidak melihat. Akhirnya, mau tak mau, Jeremy terpaksa pergi.

“Apa kau tak merasa keterlaluan?” Aries menepuk punggung Glenn ketika kuda Jeremy menghilang di balik bukit.

“Tidak,” Glenn menjawab pelan. “Sekali-kali dia harus mengetahui posisinya. Lagipula, dia keturunan Kheilen yang sebentar lagi akan menggantikan Ayahnya. Kalau dia tidak segera berhenti membuntutiku dan mencari jalannya sendiri, dia tak akan bisa menjadi dewasa.”

Aries mendengus, lalu mengacak rambut Glenn.

“Aku akan mengirim utusan untuk mencari tahu keadaan di kota. Sementara ini Jeremy tak akan bisa kita hubungi—”

Glenn menggeleng, menyingkirkan tangan Aries.

“Guru, kupikir kau harus berbaikan dengan Guru Lourian.”

Ekspresi Aries seketika berubah. “Dia ada disini saja sudah membuatku jengkel.”

“Aku tak tahu apa Guru Lourian pernah memberitahu hal ini padamu atau tidak tapi dia menemukan dimana anak kalian yang hilang.”

Aries melotot. “Dimana?”

“Guru harus bertanya langsung padanya. Yang aku tahu, anak kalian itu sekarang seusiaku.”

Aries mendecak. Dia membasahi bibirnya dan kembali mengacak rambut Glenn. “Hubunganku dengan wanita itu sudah berakhir. Kau tak perlu memikirkanku.” Lalu dia pergi.

Glenn mendesah. Matanya melihat ke langit yang gelap gulita. Angin malam berhembus lembut ke wajahnya. Sudah lama dia tidak merasakan udara luar seperti kali ini. Angin yang sangat berbeda, tidak seperti di istana. Inilah kehidupannya.

“Dulu aku iri padamu karena Ayahku lebih menyayangiku daripada aku.”

Glenn menatap Christian yang berdiri disampingnya.

“Kupikir itu merupakan hal yang biasa jika kau mendapat perhatian lebih dari siapapun karena kau adalah seorang Pangeran,” lanjut Christian. “Namun seiring dengan waktu ketika mengenal dirimu, aku mengerti kenapa kau bisa disayangi oleh Ayahku. Kau benar-benar cemerlang di matanya.”

“Apa yang ingin kau katakan?”

Christian menatap mata Glenn.

“Hidup selama dua belas tahun menjadi dirimu membuatku mengerti apa yang kau rasakan. Kau seorang Pangeran yang hidup dalam bayang-bayang pangeran lain yang jauh lebih tua dan memiliki kemampuan tinggi darimu. Seseorang yang tidak terlihat oleh rakyatmu, bahkan orang tuamu jarang menemanimu yang masih begitu belia dan tidak memberikan kasih sayang padamu. Hal itu membuatmu jadi penyendiri. Kau belajar dunia melalui hal yang kau ketahui, dari buku, dari gurumu dan kau begitu tertarik pada apapun yang ada di depan matamu. Ketertarikanmu membuka pikiranmu pada dunia, membuat jiwamu lebih bebas dari siapapun. Kau tidak tertarik pada politik, harta bahkan jabatan namun itulah yang membuatmu kelihatan cemerlang di mata orang lain yang mengenalmu.”

“Berhenti.”

“Guru-gurumu mengajari semua ilmunya padamu dan kau melahap semuanya.”

“Aku bilang berhenti.”

“Walau kau bilang kalau aku adalah Pangeran Christian, aku tak bisa menjadi Pangeran Christian.”

Glenn mendesah setelah beberapa saat mereka berdiri dalam diam.

“Tidak ada gunanya kita membalas masalah ini, Christian.”

“Seharusnya kita tidak pernah bertukar tempat.” Christian bergumam. “Akan lebih baik jika kau menjadi Pangeran Christian.”

“Kau membuat dadaku semakin sakit,” gerutu Glenn. “Tidak ada waktu yang bisa berputar kembali, jadi kau terima saja apa yang terjadi.”

Glenn melangkahkan kakinya, meninggalkan Christian.

***

Jeremy masuk ke gerbang putih yang terbuka lebar dan dijaga oleh empat orang pengawal di depan. Masing-masing dari mereka memberi hormat pada Jeremy. Kaki kudanya berbunyi saat melewati jalanan batu yang menuju ke rumah putih besar yang tampak seperti istana. Pohon-pohon cemara tertanam disepanjang jalan, ada air mancur besar di depan rumah besar, bunga-bunga tampak indah di pagi hari.

Jeremy turun dari kudanya tepat saat seorang pelayan melihatnya dan berlari masuk ke rumah dan berteriak, “Nyonya! Nyonya! Tuan Muda Jeremy pulang!”

Mendengus dongkol, Jeremy memperbaiki letak pedang di pinggangnya dan melangkahkan kakinya menaiki anak tangga. Dia mengacak rambutnya dan menyingkirkan pintu depan.

“Jeremy!”

Kakinya berhenti di depan tangga berlapis karpet merah. Dia mengadah, melihat ke atas. Ibunya ada di sana, rambutnya pirang diikat ketat dengan gaun panjang yang membuatnya tampak lebih gemuk. Ketika melihat Ibunya, Jeremy tersenyum kecil.

“Hai, Bu.”

Nyonya Kheilen turun secepat yang dia bisa, lalu menubruk Jeremy dan memeluknya sambil terisak-isak. “Putraku, Putraku yang Malang. Kau pulang! Putraku, akhirnya aku bisa melihatmu.”

Jeremy menyingkirkan pelukan Nyonya Kheilen. “Ibu, aku belum mati. Jangan menangisiku.”

“Putraku Yang Tampan setampan Raja Glenn—”

Jeremy melewatinya Ibunya. “Aku lelah. Mau tidur.”

“Kau belum boleh tidur sebelum Ayah mengetahui apa yang kau perbuat di istana.” Suara Tuan Kheilen di belakang punggung Jeremy membuat bulu kuduk Jeremy berdiri. “Kemarin malam ada utusan dari istana datang ke rumah ini. Kata mereka kau tak ada di istana sejak Raja Glenn meninggal. Ada dimana kau? Apa yang kau lakukan?”

Jeremy memutar tubuhnya secara perlahan. Dia menelan ludah.

“Kau tidak sedang ikut kelompok aneh kan?”

“Kenapa Ayah berpikir begitu?” Jeremy balik bertanya, menantang tatapan Ayahnya yang memiliki wajah yang sama dengannya.

“Aku hanya ingin tahu kalau kau harus lihat siapa dirimu, Jeremy. Kau seorang Kheilen—”

“Aku tahu,” Jeremy memotong dengan nada sinis. “Aku mengerti. Aku seorang Kheilen yang suatu saat akan mewarisi kekayaan Ayah, bangsawan terhormat dan tak ada seorang pun yang tidak mengenalku. Aku harus kuat dan pintar. Namun Ayah sepertinya kau lupa, aku paling tidak suka hidup atas namamu.”

“Anak kurang ajar!” Tuan Kheilen mencengkram kerah baju Jeremy.

“Sayang, sayang kumohon. Jangan sakiti dia. Cuma dia yang kita punya,” Nyonya Kheilen menyeruak ketengah-tengah.

“Kau harus belajar untuk lebih menghormati orang yang lebih tua darimu, Jeremy.”

Jeremy menyingkirkan tangan Tuan Kheilen. Dia berbalik dan naik ke atas kamarnya. “Aku ingin hidup atas usahaku sendiri!”

“Raja itu sudah mati, jadi sekarang hiduplah untuk Kheilen!”

Jeremy membanting pintu.

***

Glenn merebahkan tubuhnya ke tempat tidur, lalu menatap langit-langit kamarnya. Matanya menerawang sementara pikirannya kembali ke masa lalu. Dia tidak mengantuk, namun Lourian memerintahkannya untuk tidur. Bagaimana dia bisa tidur jika dia baru bangun selama dua jam setelah tidur selama lebih dari sepuluh jam sebelumnya?

Dia mengeluh karena tidak bisa berubah posisi selain tidur telentang. Dadanya sakit dan bahunya berdenyut. Sakit bukan pilihannya. Dia tak suka sakit. Sangat, sangat tidak suka. Namun dia berusaha menutup matanya dan kegelapan membantunya, tidak berapa lama kemudian dia tidur, memikirkan masalah yang dia jaga selama dua belas tahun. Dia sendiri juga tidak mengerti apakah yang dia katakan adalah kebenaran atau tidak. Dia tidak mengingat, atau pura-pura tidak mengingat atau malah berusaha melupakannya?

“Pangeran… Pangeran… kau harus hidup… kau mengerti? Kau harus kembali… aku sudah mengorbankan putraku untukmu… karena itu…”

“… aku tidak mau jadi Raja!...”

“… kau punya kemampuan untuk itu… aku salah… ini bukan masalah antara Dominic dan Denmian…”

***

Minggu, 17 April 2011

The Army of Earth Prolog

Prolog

Suara ledakan menggetarkan Pulau Papua. Semburat api terbang ke langit-langit Papua. Gumpalan asap tebal memenuhi daratan itu dan dalam hitungan detik, ledakan itu membuat separuh daratan Papua rata dengan tanah.

***

Laboratorium bawah tanah Diamond bergetar hebat. Sebahagian zat-zat kimia, tabung-tabung kaca dan selang-selang bergeser ke ujung meja dan pada akhirnya jatuh menghantam lantai. Bau belerang dan asap dalam berbagai warna bersatu, membuat laboratorium itu menjadi penat.

Para peneliti berhamburan dan berteriak-teriak panik. Langit-langit mengucurkan pasir-pasir dan dinding mulai retak. Lemari yang berisi zat berbahaya juga meramaikan suasana. Mereka jatuh dan menumpahkan zat-zat kimia yang mudah terbakar, sehingga selain zat kimia, bau menyengat kimia, juga muncul percikan-percikan api yang mudah menjalar dari satu tempat ke tempat lain sehingga suasana menjadi lebih kacau.

“Professor!”

Salah satu dari Tim Penyelamat masuk dan berteriak untuk mengatasi suara jeritan para peneliti yang ingin menyelamatkan diri. Dia berhasil menyingkirkan lemari yang jatuh supaya dia dapat masuk ke dalam ruangan yang terkunci.

“Professor! Professor Makedonia!”

Dia berteriak sambil menggedor pintu yang tak mau terbuka. Sambil memaki dalam hati, dia mengambil ancang-ancang untuk mendobrak pintu itu. Dia berhasil dan tanpa memburu waktu lagi dia masuk ke dalam. Untuk beberapa saat dia terbatuk. Bau di ruangan itu lebih parah daripada di tempat lain. Tempat itu hampir rubuh, bergetar dengan hebat dan sebahagian dinding sudah retak. Peralatan tergeletak dengan berantakan di mana-mana, buku dan meja terbalik bersamaan.

“Ah, Professor!”

Akhirnya dia menemukan sosok tubuh yang tergeletak tak berdaya terhimpit diantara lemari-lemari kaca. Dia melompati meja dengan mudah. Dia panik sementara pikirannya sudah melantur kemana-mana. Dia mengangkat lemari yang menghimpit Pemuda berambut coklat yang pingsan dengan dahi berlumuran darah.

Masih hidup, batinnya memegang tangan Pemuda itu.

Dia menggendong Pemuda itu dipunggungnya dan cepat-cepat pergi sebelum ruangan itu benar-benar rubuh.

***

Markas Pusat The Army of Earth, Finlandia

Yakhin Putioli berlari dengan terburu-buru melewati koridor panjang. Dia baru saja mendapat surat panggilan resmi dari Jendral Utama. Sebenarnya, Kapten-nyalah yang mendapatkan surat itu. Namun, Sang Kapten menghilang entah kemana sejak tujuh hari yang lalu. Entah apa yang dia lakukan. Tapi yang pasti tingkah Kapten-nya itu membuatnya kalang kabut dan selalu sibuk tidak karuan. Jadi saat ini, Yakhinlah yang berkewajiban mengganti tugas Kapten.

“Lapor, Jendral!” dia memasang tubuh tegap dengan dada membusung sambil memberi hormat. “Yakhin Putioli, Wakil Kapten Pasukan Garuda menghadap!”

Yakhin melihat ada beberapa orang di ruangan itu. Jendral Utama The Army of Earth, Ishack Childlose, yang duduk di belakang mejanya dengan seragam yang dipenuhi dengan pangkat bintang tak jelas. Kemudian, ada Komandan dari tiga devisi. Komandan Utama Angkatan Darat, Ben Stuart, dengan seragam coklat. Komandan Utama Angkatan Laut, Juli Airmata dengan seragam biru laut dan Komandan Utama Angkatan Udara, Angel Wingzengheart. Lalu ada dua orang lagi laki-laki yang tidak dia kenal. Yang satu tampak lebih tua dengan kacamata yang bertengger di hidung bengkoknya dan yang satunya terlihat seperti Pemuda militer.

“Mana Kapten Garuda?”

Yakhin menurunkan tangannya sambil menelan ludah. Bagaimana dia dapat mengatakan kalau Kapten Garuda tidak ada di markas selama tujuh hari dan tidak memedulikan sepuluh juta prajuritnya tanpa ada pesan?

“Kapten Garuda sedang tidak ada di tempat, Jendral!” jawabnya.

Sang Jendral mengangkat kedua alisnya.

“Kebiasan jelek Kapten Garuda saat aku masih ada di pasukan inti bersama dengannya empat tahun lalu adalah kalau dia selalu menghilang tanpa pemberitahuan,” Komandan Angkatan Darat tiba-tiba bicara. Dia tersenyum pada Yakhin.

Yakhin tidak tahu harus berkata apa karena perkataan Komandan Ben memang benar. Namun ada hal yang membuat Yakhin berpikir, Komandan Ben yang dari angkatan darat bisa seangkatan dengan Kapten Garuda yang berasal dari angkatan udara?

“Anda tentu tidak lupa, Jendral,” sambung Komandan Ben lagi, “ketika Anda menjadi Komandan Angkatan Udara, Kapten Garuda pernah menghilang selama sebulan dan saat dia kembali...”

“Dia membawa Komandan Utama Angkatan Perang Planet Fosfo,” sambung Jendral Ishack.

Yakhin menahan napas. Suasana membeku.

“Jadi itu bukan gosip?” kata Komandan Juli sambil melipat tangan. Wajahnya yang cantik kelihatan tak percaya. “Kapten Garuda membawa pulang Komandan Perang Musuh? Luar biasa!”

“Lalu kenapa,” Komandan Angel buka mulut, “dia tidak mendapat kenaikan pangkat? Seorang prajurit yang berhasil membawa Komandan Perang seharusnya bisa dinobatkan menjadi Jendral.”

“Dia ditawari,” gumam Komandan Ben. “Tapi dia menolak.”

“Alasannya?” tanya Komandan Juli.

“Karena aku masih empat belas tahun,” jawab Jendral Ishack kalem. “Alasan yang sederhana tapi dia menampar para komandan dengan kata-katanya itu.”

Mendengar pembicaraan Jendral Ishack dan para komandan kelihatannya Kapten Garuda memiliki kemampuan yang luar biasa. Yakhin tidak tahu sejauh mana kehebatan Kapten Garuda. Yang dia tahu dari sosok sang Kapten hanya wajah tanpa ekspresi, tatapan dingin dan tidak berperasaan pada siapapun. Entahlah. Sosok Kapten Garuda kelihatan sangat kejam. Dia memiliki kepribadian yang hebat, tidak banyak bicara, cerdas dan bijaksana dalam mengambil keputusan disaat yang tepat dan cepat. Tetapi Yakhin sama seperti orang lain, dia sama sekali tak pernah tahu isi hati Kapten Garuda karena Sang Kapten tak pernah mau membicarakan dirinya sendiri.

“Lalu, sudah berapa lama Kapten Garuda tidak ada ditempat?” tanya Jendral Ishack.

“Sudah tujuh hari, Jendral!”

Jendral Ishack menghela napas.

“Apa boleh buat,” katanya, “dia bahkan bisa menghilang lebih lama lagi,” tambahnya. “Seorang Professor dari Laboratorium Diamond baru saja didaratkan disini. Dia masih belum sadarkan diri akibat menghirup bahan kimia yang terlalu banyak saat ledakan di Papua terjadi. Aku minta tolong agar Pasukan Garuda menjaga Professor itu dengan baik sampai dia sadar.”

“Professor?” ulang Yakhin. Dia masih belum mengerti kenapa seorang Professor justru didaratkan ke Markas Kemiliteran Bumi dan bukannya ke rumah sakit.

“Ya. Professor,” Jendral Ishack menganggukan kepalanya. “Professor itu adalah aset berharga bagi Bumi. Dokter Olophus Chen adalah dokter yang akan mengurus Professor itu sampai keadaannya benar-benar pulih,” kata Jendral Ishack. Dokter Olophus Chen yang memakai jas putih hanya menggangguk kecil. “Dan pria disampingnya adalah Ketua Felo Maximilian dari Agen Kemiliteran Bumi. Kami sungguh berterima kasih atas pertolongan Anda yang menyelamatkan nyawa Professor Makedonia.”

“Itu kewajiban saya, Jendral,” kata Ketua Felo merendah.

“Jadi begini, karena Professor itu adalah orang yang begitu berharga bagi Bumi, maka sampai saat Professor itu sadar yang boleh memasuki ruangan itu hanya Dokter Chen saja. Prajurit Garuda akan menjaga pintu ruangan Professor selama dua puluh empat jam. Dan aku minta saat Kapten Garuda kembali, tolong sampaikan kesepakatan ini padanya.”

“Baik,” kata Yakhin. “Tapi sebelum itu, Jendral, ada hal yang ingin saya tanyakan. Itu pun jika Anda tidak berkeberatan.”

“Tentu saja kau boleh bertanya,” kata Jendral Ishack tersenyum ramah.

“Kenapa tugas ini diberikan pada Pasukan Garuda? Bukankah masih banyak Pasukan hebat lain yang dapat dipercaya dalam menjalankan tugas ini?”

Sang Jendral diam beberapa saat. Dan seakan memikirkan kata-kata yang akan dia ucapkan, dia mendecakan lidah dan berkata, “Itu karena Kapten Garuda adalah satu-satunya Kapten terhebat yang dimiliki Laskar Bumi saat ini.”

Yakhin mengerutkan dahinya. Eh? Kapten? Kapten Garuda yang selalu menjadi bahan ejekan di kelompok mereka adalah Kapten Terhebat?

Entah apa kehebatan Kapten Garuda yang bisa membuat dia mendapatkan pujian dari Jendral Ishack. Yakhin sudah setahun menjadi wakil dan tak pernah sekalipun Kapten Garuda berniat menghabiskan waktunya untuk melatih pasukan. Malah Kapten Garuda dengan sengaja menyerahkan semua urusan pada Yakhin.

Apapun kehebatannya, Yakhin ingin tahu.

***

Lapangan Militer Kenya

Kapten Pasukan Elang, Christoper Rimble melipat tangannya saat melihat ke bawah. Di lapangan rumput terbuka, pasukannya kelihatan berlatih bela diri. Beberapa pesawat tempur melintas di atas kepala mereka, meninggalkan bunyi menderu yang luar biasa. Sinar matahari menyengat kulitnya yang gelap.

“Lapor Kapten!” salah seorang dari pasukannya datang dan memberi hormat dengan gagah. “Ada orang yang ingin bertemu dengan Anda.”

“Siapa?” kata Christoper dengan nada datar.

“Dia... dia tidak mau mengatakan namanya, Kapten.”

Christoper melirik prajuritnya dengan tajam. “Kau tahu kan kalau tidak boleh ada orang yang masuk ke camp kita tanpa izin?”

“Dia—dia menunjukan tanda di atas kepala prajurit, Sir.”

Christoper menyipitkan matanya. Dia tahu siapa orang yang biasa melakukan hal itu.

Dia melangkahkan kakinya dengan terburu-buru sementara prajurit yang melapor mengikutinya dengan sedikit takut. Sesungguhnya Christoper amat tidak suka dengan orang itu. Dia selalu saja bertingkah. Menjengkelkan. Karena harus menahan emosinya yang kadang suka meledak-ledak, Christoper bahkan tidak menjawab sapaan dari beberapa prajurit wanita.

“Itu dia, Kapten,” kata Prajuritnya menunjuk ke salah satu ujung koridor yang gelap.

“Kau tunggu disini,” kata Christoper. Dia berjalan mendekati laki-laki yang diteramangi sinar di kegelapan. Wajahnya tidak kelihatan karena ditutupi dengan topi yang rendah sementara di kaki orang itu ada sesuatu yang besar, bayangan gelap.

“Apa yang kau lakukan disini?” ucap Christoper tanpa perlu basa-basi.

“Aku hanya mau pinjam pesawat,” jawab orang itu tanpa menoleh. Matanya menatap lurus keluar jendela.

“Kau pikir pesawat-pesawat itu murah?” tukas Christoper.

Orang itu diam beberapa saat. Lalu dia menoleh pada Christoper dan seakan bisa memertimbangkan kata-kata yang dia lontarkan, dia menjawab dengan nada pelan, “Aku sudah banyak berjasa.”

Christoper menggertakan giginya. Dia menunduk dan melihat apa yang ada dibawah kaki orang itu. Dahi Christoper mengerut dan ketika dia tahu kalau yang ada di kakinya adalah manusia, Christoper menatapnya dengan tatapan tak percaya.

“Dari mana kau dapat dia?” kata Christoper.

“Dari tempat yang jauh,” jawabnya tenang.

Christoper membuka mulutnya. “Dan dia siapa?”

“Eren Martindar, Kolonel Pulau Olm dan Berten di Planet Fosfo. Bisa dikatakan kalau dia adalah Fosfon yang paling berpengaruh di Fosfo setelah Raja dan Jendral Perang mereka.”

“Pergi diam-diam merupakan keahlianmu bukan, Kapten Garuda?” kata Christoper kesal. “Aku tak tahu apa yang kau kerjakan di planet musuh kita itu, tapi sepertinya kau selalu bisa membawa pulang Fosfon dalam keadaan hidup. Apa ini karena kau satu-satunya manusia di Bumi yang bisa bahasa mereka? Apa yang kau rencanakan?”

“Tidak ada,” kata Kapten Garuda. “Lagipula kau tenang saja, aku sama sekali tak berniat bekerja sama dengan Planet Fosfo, aku terikat dengan Bumi. Lagipula ini tugasku.”

“Tugasmu? Ada begitu banyak manusia di Bumi ini dan satu-satunya orang yang diutus keluar masuk Fosfo cuma kau. Apa kau tak sadar?”

“Aku sama sekali tak mau memperdebatkan apa yang ditugaskan padaku oleh atasan, Kapten Elang, jadi percuma saja kau marah-marah padaku.”

Christoper menggertakan giginya dengan kesal. Dia menatap makhluk asing berwujud manusia yang tertidur lemas di kaki Kapten Garuda. Ada banyak rembesan darah di jubahnya yang berkilat, sementara rambutnya yang panjang dan berkilau biru terlihat berantakan. Kupingnya yang runcing berdarah. Menjijikan sekali.

“Baiklah. Akan kuberikan kau pesawat,” kata Christoper.

Kapten Garuda menganggukan kepalanya sejenak. Dia menunduk dan menarik tangan Fosfon yang masih tidur itu.

“Kau bisa mengangkatnya sendirian?” kata Christoper lagi.

“Tenang saja. Dia masih hidup,” kata Kapten Garuda. Dia membuka mulutnya dan Christoper mendengar Kapten Garuda mengeluarkan suara yang tampaknya seperti desahan yang merdu.

Fosfon bernama Eren terbangun, mengangguk-angguk dan berdiri, mengikuti Kapten Garuda menjauhi Christoper.

Memang cuma Kapten Garuda satu-satunya manusia yang bisa menggunakan bahasa Fosfon, batin Christoper.

***

Markas Pusat The Army of Earth, Finlandia

Pesawat tempur dengan tulisan Kenya di badan pesawat itu menarik perhatian Yakhin ketika benda terbang itu berputar-putar dan beratraksi di udara, tepat di atas landasan pesawat Markas Besar. Beberapa prajurit berseragam melihat ke atas sambil menunjuk-nunjuk pesawat yang hendak menabrakan diri ke landasan namun dengan cepat menukik naik ke atas. Beberapa prajurit mendesah takjub ketika melihat atraksi mencengangkan itu.

“Kenapa ada pesawat Kenya datang tanpa pemberitahuan?” Yakhin bertanya pada salah satu bagian Informasi Penerbangan.

Gadis yang memakai earphone itu menggeleng dan menjawab dengan cepat sambil mengotak-atik komputernya. “Pesawat itu muncul tanpa pemberitahuan dan sekarang kami sedang berusaha untuk bisa masuk ke transmisi pesawat tersebut. Tapi tampaknya, pilotnya menolak untuk dihubungi.”

Gadis itu mengotak-atik komputer di depannya, Yakhin sendiri menatap lurus ke arah pesawat Kenya yang masih berputar-putar dan beratraksi di udara. Pesawat bahkan sempat mencontohkan adegan dimana dia hendak menabrakan diri ke markas penerbangan, sebelum akhirnya dia naik keatas dengan sangat cepat, meninggalkan bunyi zing yang memekakan telinga.

“Tidak bisa, Wakil Kapten Yakhin.”

Yakhin menggigit bibir. “Coba lagi.”

Yakhin berjalan mondar-mandir. Jika melihat dari cara si pilot yang beratraksi tidak karuan, Yakhin yakin sekali kalau pilot itu bukan orang biasa. Dia bisa saja mata-mata, entah dari Negara mana. Yang paling mengawatirkan adalah kalau pesawat itu mata-mata Fosfon.

“Jangan menggangguku.”

Yakhin dan orang-orang di bagian Informasi tercengang ketika melihat wajah Kapten Garuda muncul di layar kaca yang tertempel di dinding.

“Kapten?”

“Kau tidak lihat aku sedang latihan?”

Salah seorang prajurit dari Angkatan Udara berdiri saat melihat Kapten Garuda Menaikan kecepatannya dan berputar-putar seperti jet coaster di langit, membuat awan-awan bergerak dengan cepat.

Oh my God!” kata prajurit itu. “Wakil Kapten Yakhin, memangnya Kapten Garuda dapat mengendarai pesawat jet secepat itu? Luar baisa!”

Yakhin terpesona. Jujur saja, yang dia tahu Kapten Garuda hanya memiliki kemampuan di darat seperti menembak, bela diri atau yang lainnya. Dia tak pernah menunjukan kemampuan yang lain.

Pembicaraan dari para Komandan dan Jendaral Ishack terus terngiang-ngiang di telinganya.

Ketika pesawat itu mendarat dengan mulus, prajurit bersorak kagum. Mereka memanjangkan leher untuk melihat siapa sebenarnya pilot pesawat yang luar biasa itu. Dan Yakhin melihat bahwa para prajurit itu begitu terkejut ketika mengetahui bahwa Kapten Garuda adalah sang pilot.

“Ada masalah?” Kapten Garuda bertanya tepat saat Yakhin memberi hormat padanya. Suaranya datar, tak berekspresi. Dia berjalan mendahului Yakhin melewati barisan prajurit yang ikut-ikutan memberikan hormat padanya.

“Salah seorang Professor yang merupakan aset kebanggaan Bumi dipindahkan dua hari yang lalu dari Papua. Kondisinya masih belum sadar. Menurut Dokter Chen yang merupakan dokter pribadi professor itu, dia akan memberitahu kita kondisinya jika dia sudah sadar. Jendral Ishack meminta kita menjaganya dua puluh empat jam berturut-turut dan kita dilarang untuk melihat si Professor sampai dia sadar. Professor itu memiliki Penjaga Pribadi, Ketua Felo Maximillian.”

Langkah Kapten Garuda terhenti.

“Nama Professor itu?” katanya.

“Sampai Professor itu sadar dan membaik keadaannya, segala hal mengenai dirinya akan dirahasiakan untuk sementara waktu.”

Kapten Garuda tidak bertanya lagi, karena itu dia langsung masuk ke dalam markas. Di dalam masih banyak lagi anggota pasukan yang memerhatikannya dengan antusias.

“Maaf, Kapten.”

“Apa lagi?”

“Kalau boleh aku tahu…” Yakhin bertanya dengan nada hati-hati. “Berapa usia Anda?”

Kapten Garuda berhenti melangkah, dia menatap Yakhin lekat-lekat. Prajurit yang mendengar pembicaraan mereka pun kelihatan heran saat Yakhin bertanya hal seperti itu.

“Ada masalah dengan usiaku?” Kapten Garuda bertanya lagi, kali ini nadanya sedikit heran dan tidak biasa.

“Ti-tidak. Hanya saja, aku penasaran.”

Kapten Garuda geleng-geleng kepala dan berjalan lagi.

“Komandan berbagai devisi dan Jendral Ishack membicarakan Anda seakan Anda bukan orang biasa dan—”

“Mereka tidak punya kerjaan lain selain menggosipi orang,” gumam Kapten Garuda tidak peduli.

“Tapi…”

“Delapan belas.”

Yakhin mengerutkan dahinya. “Eh?”

“Usiaku delapan belas tahun. Lebih muda dua atau tiga tahun dari usiamu.”

Yakhin mengerjapkan matanya, begitu juga prajurit lain yang mendengarkan pembicaraan mereka.

“Apa Jendral mencariku?” tanya Kapten Garuda tidak memerhatikan ekspresi Yakhin.

“I—tidak.”

“Oh. Di pesawatku ada Fosfon yang masih hidup. Perlakukan dia dengan baik, beri dia makan dan obati lukanya. Masih ada yang ingin kutanyakan padanya.”

Yakhin makin terbengong. “Fosfon?”

“Ya. Jangan bertanya lagi.”

Kapten Garuda pergi, seperti biasa, tanpa mendengarkan perkataan Yakhin yang ingin bertanya terus-terusan.

***