Minggu, 21 Agustus 2011

Amour Cafe Receipt Seventeen

by: Prince Novel

Receipt Seventeen

Hazel menghentikan mobilnya di sebuah bangunan pub. Aku melirik Hazel, sedikit bertanya dalam hati apakah anak sekolah bisa dibiarkan masuk kesana. Tapi Hazel sudah turun dan melemparkan jeketnya padaku dan menyuruhku memakainya. Aku tak bisa membantah dan cepat-cepat memakainya. Hazel, kuperhatikan, memakai kaos oblong dengan lambang tengkorak di sablon belakang punggungnya.

“A-lex, aku tak bermaksud menjelek-jelekan Hazel atau apa, tapi lebih baik kau menghindarinya berduaan di tengah malam. Dia berbahaya! Biarkan saja dia menyelidiki sesuatu sendirian. Kau tak perlu ikut campur!”

Perkataan Kian teringkat lagi. Hazel sudah jalan duluan, jadi aku cepat-cepat kesampingnya, sedikit bergidik dengan udara malam yang lebih dingin walau aku sudah memakai jaket Hazel. Aku jadi penasaran, apa Hazel tidak kedinginan dengan pakaian yang seadanya begitu?

Ketika kami menaiki anak tangga dan berdiri di depan pintu, dua penjaga botak dengan tubuh yang jauh lebih besar daripada Hazel menghalangi langkah kami. Mereka melotot, membuatku mundur selangkah dan memilih berlindung di belakang punggung Hazel.

“Kalian belum cukup umur untuk masuk ketempat begini,” kata salah seorang dari mereka. Mata mereka mengawasi Hazel dari atas sampai ke bawah.

“Oh ya? Kata siapa?” Hazel kelihatannya santai dengan sambutan tak menyenangkan itu.

“Kataku,” kali ini ada suara lain yang terdengar. Aku berbalik ke belakang dan menoleh milihat cowok dengan umur setengah baya dan jenggot di sekitar wajahnya yang tidak terpotong dengan rapi. Matanya yang kecil dan sedikit bengkak melihat Hazel, tapi bibirnya tersenyum.

“Halo, Hazel. Lama sekali aku tak pernah melihatmu berkeliaran disini. Kupikir kau sudah melupakan saat bersenang-senang. Kali ini kau tak mengajak temanmu yang tampan itu? Pelangganku pasti akan langsung bertambah banyak,” katanya melirikku dengan alis menaik. “Seleramu sedikit berubah.”

Hazel tersenyum, masih santai. “Aku datang bukan untuk main.”

Pria itu makin terheran. “Begitu? Lalu untuk apa?”

“Aku mendengar kalau Felix ada disini. Aku cuma ingin tahu kenapa,” kata Hazel. “Ah, dan tolong jangan melihat pacarku dengan pandangan begitu. Dia sedikit penakut.” Tambah Hazel dengan nada dingin.

Pria itu tertawa. “Maaf, Hazel. Dia tampan, memang, tapi aku merasa kalau anak laki-laki yang kemarin kau bawa lebih tampan,” dia menggosok dagunya. “Aku tak keberatan membawa kau masuk sih, hanya saja aku ingin memastikan kalau kau tak melakukan hal yang diluar kebiasaan.”

“Aku cuma akan duduk diam,” Hazel melipat tangan. “Aku cuma cari Felix disini.”

“Sumbermu benar-benar terpercaya ya,” kata pria itu. Dia memberikan kedipan, menyuruh kedua pria besar itu menyingkir. Hazel menarik tanganku dan kami masuk kedalam.

Ruangan itu gelap dengan lampu-lampu warna-warni dan musik yang berdentam-dentum tidak karuan. Hazel masih menarik tanganku melewati kerumunan orang-orang yang membuatku pusing. Sejauh yang bisa kulihat dalam kegelapan dan sedikitnya cahaya warna-warni, orang-orang yang ada di ruangan itu kelihatan menikmati musik, membawa gelas-gelas berisi minuman, ada yang merokok, berdansa dan—

“Alex,” Hazel memelukku ketika pelayan membawa nampan hampir menabrakku. “Hati-hati,” katanya lagi.

“Ah, thanks,” kataku. Sedikit pusing dengan hingar-bingar yang tak biasa ini.

“Kau belum pernah kemari, jadi aku takut kau tersesat. Apa tak sebaiknya kau tunggu di mobil saja?” Hazel menaikan alisnya, sedikit khawatir.

“Aku baik-baik saja,” kataku cepat.

Hazel sepertinya mencoba untuk percaya, karena itu dia kembali menarik tanganku dan mendudukkanku ke salah satu sofa empuk yang kosong. Aku mengerjapkan mata, merasa nyaman pada akhirnya setelah kebingungan yang terjadi.

“Felix ada disebelah,” kata Hazel, menunjuk ke samping. Aku memperhatikan satu celah kecil di belakang dan melihat Felix duduk berdua dengan Maggie.

Dahiku mengerut, “Kita tak akan mendengar apa-apa kalau berisik begini,” kataku.

“Tenang. Aku yakin mereka tak akan membicarakan apapun saat ini,” kata Hazel melipat tangannya, memperhatikan ke sekeliling.

“Kok begitu?”

“Felix cuma ingin sedikit menghancurkan imagenya di depan Maggie, jadi Maggie berpikir kalau dia berubah sehingga Maggie tak perlu lagi mengejar Felix. Aku yakin kalau Felix benar-benar tak ingin kembali lagi pada Maggie.”

“Apa kau yakin?”

“Tentu saja.”

Mataku mengawasi Felix: dia memesan minuman berbotol-botol. Maggie kelihatannya sedikit mengerutkan dahinya. Dia dan Felix tampak mendiskusikan sesuatu, dan aku tak bisa mendengar apa yang mereka katakan. Dari gerakan mereka, kelihatan sekali kalau Maggie sedikit tidak nyaman dengan tingkah Felix. Tentu saja, dari tadi Felix cuma menuangkan minuman dan kelihatan cukup mabuk untuk mencerna apa yang terjadi.

Tanganku mengepal, entah kenapa aku merasa jengkel. Kenapa Felix harus melakukan hal seperti itu untuk menyingkirkan Maggie? Kalau tidak suka katakan saja tidak suka!

“Hazel, apa tidak lebih baik kalau—” aku berhenti melanjutkan kalimatku ketika memperhatikan Hazel. Dia kelihatan tidak seperti dirinya sendiri. Dari tadi dia cuma memerhatikan lantai dansa dengan pandangan yang dingin sama seperti ketika bicara pada Ayahnya Maggie.

Dahiku kembali mengerut dan aku mengalihkan pandangan, lupa sama sekali dengan Felix dan melihat apa yang diperhatikan Hazel. Di bawah lampu warna-warni dan hingar bingar musik kelihatan cewek-cewek dengan pakaian minim berdansa gila-gilaan dengan cowok-cowok yang sama gilanya dengan mereka. Di tempat yang lebih tinggi—yang sepertinya menjadi tempat utama—ada tiga gadis yang berdansa. Tidak perlu didekripsikan seperti apa mereka berdansa karena mereka mulai melepaskan pakaian mereka satu per satu.

Aku menganga.

“Hazel!” aku menepuk kedua pipi Hazel.

Hazel terlonjak. “Ya?”

“Jangan lihat mereka!” kataku tegas. “Aku melarangmu!”

Hazel mengerjap kemudian tertawa. “Alex, aku cuma menikmati penampilan. Kau tenang saja.”

“Aku melarangmu melihat mereka!” aku mengulang dengan nada yang lebih tegas.

Hazel menatapku beberapa detik, lalu, “Baiklah. Kau menang. Aku tak akan melihat mereka. Tapi sepertinya kau salah sangka padaku, Alex, aku tak melihat gadis-gadis itu tapi DJ-nya.”

“Apa?” kali ini aku memperhatikan lebih teliti. Ada cowok yang sepertinya berkutat dengan meja-meja besar bersama dengan beberapa cewek yang menemaninya. “Memangnya itu siapa?”

“Sahabatnya Felix, mantan pacarnya Maggie,” kata Hazel lagi.

“Apa?” aku kaget. “Kok—”

“Ya, aku juga sama kagetnya sepertimu. Aku tak menyangka kalau dia juga bekerja disini. Aku ragu Felix tahu hal ini,” Hazel menatap lurus ke depan, memilih melihat bartender. “Kupikir masalah besar akan muncul kalau Felix tahu dia juga ada disini. Aku harap mereka tidak melihatnya.”

Dan aku merasa malu sekali karena sudah berpikiran yang tidak-tidak pada Hazel. Pipiku terasa panas. Ini karena Karel, Andre bahkan Kian ikut-ikutan berkata kalau Hazel berbahaya. Ugh, harusnya aku mempercayai Hazel. Dia bukan orang yang dengan gampangnya menikmati apa yang tidak seharusnya.

“Laki-laki yang ada didepan tadi siapa?” aku bertanya dengan suara yang lebih keras, mengatasi suara dentuman dari musik dan teriakan menggila para penikmatnya.

“Oh, namanya Ron, dia pemilik tempat ini,” kata Hazel menghela napas. Dia mengangkat tangan, membalas sapaan dari bartender yang melambai padanya. “Dan itu Fedrik, salah satu yang dulu jadi teman sekampusku sebelum dia kena DO karena lebih suka tidur dalam pelajaran.”

“Kenapa tadi Ron ngomong begitu?”

“Yang mana?”

“Caranya ngomong tadi seakan-seakan dia bilang kalau kau homo.”

“Oooh,” Hazel mengangkat bahu, bersandar di bangkunya. “Aku pernah sekali kesini bersama Kian.”

“Apa?” aku makin kaget. Kian pernah ketempat begini?

“Waktu itu Kian dikerubuti cewek dan dia—harus kuakui—tidak terlalu berpengalaman dengan mereka, apalagi yang brutal. Aku membantunya dan bilang kalau dia pacarku sama seperti kau saat ini.”

Kupikir aku bisa menggelindingkan mataku keluar dari rongganya. “Apa? Dan Kian mau aja dikatai—”

“Kian akan aman jika dia menggunakan namaku,” kata Hazel lagi. Dia menguap, meregangkan tubuhnya. “Dengan begitu dia tak akan disentuh atau disakiti. Itu lebih baik kan?”

Aku manggut-manggut. Jika Kian saja tak bisa disentuh dengan nama Hazel, aku bisa menduga kalau Hazel cukup dikenal dikalangan para gangster. Aku merasa kalau dia justru lebih luar biasa dari dugaanku sendiri.

“Kau sering berkelahi disini?” kataku lagi.

“Oh, ya, kadang,” Hazel sedikit geli dan aku menduga ada kebanggaan dari ucapannya barusan. “Biasanya aku berkelahi karena teman-teman Ron sering mencari masalah dan bukan aku yang memulainya jadi Ron maklum dengan hal itu. Orang mabuk kadang tak tahu apa yang dia perbuat, Alex.”

“Dan kau selalu menang?”

“Um…” Hazel tak menjawab.

Bartender bernama Fedrik itu menghampiri kami. Dia laki-laki muda dengan rambut panjang diikat buntut kuda. Matanya yang tajam dan berwarna hitam memperhatikan kami berdua lalu dia meletakan dua gelas minuman pada kami.

“Aku bertanya-tanya kapan kau pesan minuman,” kata Fedrik pada Hazel. “Tapi kau terlalu asik sama pacarmu jadi kupikir aku harus mengantarkannya sendiri.”

“Makasih Fed, ini yang biasa kan?”

“Ya dan tak ada alkohol untuk dia.”

Fedrik melirikku dan tersenyum menenangkan.

Hazel mengambil gelasku, menggoyangnya sedikit, mengerutkan dahi dan mencium baunya. “Dia tak bisa minum ini, Fed. Apa kau tak punya jus jeruk atau limun saja?”

“Jus jeruk? Tak ada jus jeruk disini,” kata Fedrik geleng-geleng kepala. “Padahal aku sudah menghindari alkohol padanya, tapi kau masih saja—”

“Ya, ya,” Hazel kelihatan tak peduli. “Aku akan meminum keduanya untukmu. Tak keberatan kan, Alex?”

Kalau itu alkohol tentu saja aku tak keberatan. “Ya.”

“Tapi kau menyetir kan?” Fedrik makin mengerutkan dahi. “Jangan sampai kau kecelakaan lagi karena alkohol.”

“Oh, tenang saja, aku cuma hanya akan minum sedikit,” kata Hazel.

Fedrik memutar bola matanya. “Terserah padamu saja, Tuan Suka Tantangan dan Tidak Takut Mati.”

Hazel tertawa ketika Fedrik kembali menuju meja pekerjaannya. Dia mengambil kedua gelasnya, meminum minuman miliknya terlebih dahulu sampai habis hanya dalam sekali tegukan dan meminum yang lain.

“Ah, sudah lama aku tak minum yang begini,” komentar Hazel. “Ah, mereka pergi,” katanya lagi ketika Maggie dan Felix bangkit dari tempat mereka, melewati meja mereka tanpa melirik sedikitpun. “Ayo, Alex.”

Aku buru-buru bangkit, memegangi lengan Hazel sebelum aku benar-benar tersesat karena kerumunan manusia di kegelapan itu. Hazel memegangi tanganku, menarikku dengan paksa ketika terjepit di kerumunan yang membuatku sesak napas dan akhirnya bisa menghela napas lega ketika kami sudah di luar.

“Nggak apa-apa kan, Alex?”

“Aku tak akan mau datang ke tempat begini lagi,” gumamku.

“Keputusan yang bijak,” kata Hazel dan dia kembali tertawa.

Jeep Felix baru saja melintas di depan kami.

“Ayo cepat, jangan sampai kita kehilangan mereka,” Hazel kembali menarik tanganku. Kami berlari menuju mobil, memasang sabuk pengaman dengan terburu-buru dan Hazel menekan gas bahkan sebelum dia memasang sabuknya sendiri.

Hampir saja kami kehilangan jejak jeep Felix. Felix memang pengebut ulung. Mereka lewat dari lampu merah yang tiba-tiba menyala merah dan Hazel sendiri menerobos lampu merah lagi.

“Pelan-pelan!” aku berteriak frustasi, mencengkram dashboard, memelototi jalan yang sepertinya menghilang dalam sekejap.

“Kalau pelan-pelan, kita bisa tertinggal,” kata Hazel lagi, memindahkan kopling dan semakin menginjak gas.

Kami kebut-kebutan selama kurang lebih setengah jam. Hazel kelihatan begitu sulit menjaga jarak dengan Felix—entah Felix menyadari kalau dia diikuti atau tidak. Dan aku cuma bisa bergumam beberapa doa yang terlintas di kepalaku untuk menjaga keselamatan kami. Aku tak berani mengobrol dengan Hazel karena konsentrasinya pada jalan benar-benar penuh.

Pada akhirnya, mobil kami berhenti juga. Hazel menginjak rem, membanting setir dan roda ban berdecit keras sekali ketika mobil terparkir sejajar tanpa gores. Ini pertama kalinya aku bisa melihat cara parkir yang begitu cepat. Napas dan jantung seakan berhenti sejenak.

“Turun Alex, atau kau lebih baik di mobil saja?” kata Hazel membuka pintu.

“Turun,” kataku cepat, suaraku bergetar. Aku tak mau ditinggal di mobil.

Aku turun terburu-buru, mengikuti langkah panjang Hazel yang menaiki daerah perbukitan berbatu. Dengan susah payah aku naik, hampir tergelincir sampai kemudian Hazel mengulurkan tangannya, menyuruhku naik dengan cepat dan menarikku dengan mudah keatas.

“Ngapain kita disini?” kataku terengah, menunduk sedikit. Hazel menyingkirkan ranting panjang dengan dedaunan lebat.

“Sssh, nanti kedengaran,” bisik Hazel dengan suara rendah. Dia berjongkok dan menarik tanganku untuk ikutan dengan gayanya. Bertanya-tanya dalam hati dimana kami berada, aku memerhatikan dengan keremangan dan kegelapan yang menyelimuti kami dimana posisi kami.

Daerah disekitar kami gelap dengan pepohonan besar dan semak yang menimbun panjang, hampir menutupi seluruh tubuh kami. Bebatuan di tanah besar-besar dan tajam dengan ujung meruncing. Saat aku mengadah, cuma ada langit yang gelap dan berawan dan bisa kupastikan kalau hujan akan turun sementara angin cukup kencang bertiup.

Kesunyian di sekitar kami membuatku bisa mendengar semuanya. Hembusan angin dingin, gemersik dedaunan yang bergesek, suara jangkrik dan aku bergidik mendengar suara burung hantu.

“Aku sudah bilang lebih baik kau di mobil saja,” gumam Hazel menatapku dan dalam keremangan, dia mengerutkan dahinya, kelihatan khawatir. “Di mobil lebih hangat.”

Aku baru sadar kalau aku menggigil. “Jam berapa sekarang?”

“Hampir jam tiga pagi.” Hazel melirik arlojinya. Sinar temaram berwarna hijau dari arlojinya memberikan penerangan kecil. “Kita harus lebih dekat untuk mendengar pembicaraan mereka.”

“Apa?”

Hazel berjalan perlahan terlebih dahulu. Derik batu yang bergesek karena dia injak membuatku sedikit takut. Aku memegangi kaosnya dari belakang, tak mau ketinggalan. Menyingkirkan kemungkinan adanya binatang buas di tempat itu, aku lebih fokus pada apa yang ada di depanku. Hazel menyingkirkan semak secara perlahan, memberiku celah untuk mendekat kesampingnya dan aku baru sadar kalau kami dekat dengan Felix dan Maggie ketika mendengar suara mereka.

“Ini tak seperti yang kau pikirkan,” itu suara Maggie.

Hazel menutup mulutku, hampir saja aku terlonjak kaget dan berteriak melihat tokek besar melewati kakiku. Aku meringis, gemetaran, merasakan geli dari si tokek yang tak mau juga minggat.

“Oh, coba tebak apa yang ada dipikiranku kalau begitu,” kata Felix jengkel.

Tanganku menyikut perut Hazel. Dia meringis dan aku tak mau tahu. Aku menunjuk-nunjuk kakiku dan dia melihatnya. Untuk sejenak dia terheran, kemudian mengulurkan tangannya dan melempar tokek itu jauh-jauh. Aku melihat dia mengatakan “Ya ampun Alex” tanpa suara.

“Aku cuma ingin bicara berdua dengan tenang dan tanpa teriakan,” Maggie memilih untuk tidak mendengarkan kalimat Felix. Dia memperbaiki rambutnya dan aku melihat kalau dia mengenakan jaket Felix. Aku bertanya-tanya kapan Felix memberikannya jeket itu dan aku yakin kalau Felix masih memiliki rasa pada Maggie.

“Aku sudah cukup mendengarnya Maggie, setahun yang lalu. Kau ingin putus dan walau aku membujukmu untuk kembali dan memikirkan semuanya, kau tetap tak mau kembali. Kau sendiri yang bilang kalau kau tak akan menemukan jalan kembali padaku. Lalu kenapa tiba-tiba ingin bertemu denganku lagi?”

Hening sejenak dan aku mulai jengkel dengan dingin yang merambat di belakang leherku. Dinginnya udara menusuk tubuhku. Aku tak biasa keluar dalam keadaan selarut ini dan seharusnya aku tidur dengan tenang di kamarku.

“Felix, aku punya alasan untuk putus—”

“Oh, ya, kau jadian dengan sahabatku. Aku sudah mendengarnya dari mulutmu waktu itu. Kau menyukainya dan lebih memilihnya.”

Maggie kelihatan jengkel. Dia bangkit dan berteriak, “Aku sakit! Aku kena tumor dan cukup berbahaya untuk merenggut nyawaku!”

Aku terkejut, begitu juga dengan Felix.

“Ah, seperti sinetron saja,” gumam Hazel.

Yeah, benar, aku membalas dalam hati. Sinetron sekali….

“Kau sakit apa?” kata Felix setelah hening beberapa saat. Dia tidak bergerak di tempatnya dan tidak terlalu terkejut dengan pernyataan barusan.

“Tumor otak, stadium lanjut. Dokter memvonis kalau operasiku tak berhasil maka aku akan mati.” Maggie duduk lagi, suaranya terdengar bergetar dan dia mencoba menahan air matanya. “Waktu itu dokter cuma memberiku kemungkinan keberhasilan operasi sebesar sepuluh persen. Aku—aku cuma tak ingin kau kecewa kemudian—”

“Kau memilih meninggalkanku karena itu,” Felix menyelesaikan kalimat itu. Dia cukup tenang mengatakannya. “Apa kau benar-benar mencintaiku sampai melakukan hal itu?”

Dahiku mengerut. Sepertinya aku sudah menduga ending bahagia dari cerita cinta Felix.

“Iya. Aku tahu harusnya aku tak melakukan hal itu tapi—”

“Kalau begitu Maggie, aku semakin mantap ingin putus hubungan denganmu,” kata Felix dan kalimatnya barusan membuatku dan Maggie shock.

Apa? Aku bengong.

“Huh, sudah kuduga,” gumam Hazel di dekat telingaku.

“Felix, apa kau tak mengerti? Aku melakukannya untukmu! Aku berusaha untuk—”

“Maggie, setelah hal yang selama ini kita lalui bersama, kau tetap tak bisa memercayaiku, jadi bagaimana mungkin aku bisa bersamamu,” Felix memotong. Dia menatap sepatunya dan bisa kulihat kesedihan disana. “Aku menyukaimu, mengasihimu dengan sepenuh hatiku dan ingin menjagamu sekuat tenagaku, tapi kau meragukanku. Dan perkataanmu barusan tak akan mengubah apapun. Kita sudah berakhir.”

“Felix, tidak kau tahu kalau berat bagiku melakukannya—?”

“Aku tahu, tapi kau merusak semuanya. Kau… bahkan sahabatku,” Felix menghela napas. “Aku bukan laki-laki yang hanya ingin disampingmu saat kau senang. Aku ingin ada disampingmu selama kau membutuhkanku. Bahkan jika kau punya sakit sebesar apapun, aku ingin bisa menanggungnya bersamamu, tapi kau lebih memilih untuk menanggungnya sendiri,” Felix berhenti, menatap mata Maggie untuk pertama kalinya. “Aku kau tak merasa kalau kau mati di meja operasi tanpa menjelaskan ini semua, maka aku akan menyalahkan diriku sendiri dan menyesal pada semuanya atas apa yang terjadi. Kau tak memikirkanku. Kau hanya memikirkan dirimu.”

“Felix, bagaimana mungkin kau bisa memikirkan hal seperti itu? Aku melakukannya untukmu!”

“Benar,” Felix mengangguk. “Sekilas aku berpikir begitu. Tapi penyelamatku mengatakan padaku: Jangan mati! Kau masih punya alasan untuk hidup! Apa kau tak ingin melihat akhir ceritamu sampai pada akhirnya? Bagaimana mungkin kau bisa mati dalam keadaan begini?

“Apa—”

“Aku pernah hampir mati karenamu Maggie dan aku tak akan mengulangi kesalahan yang sama. Aku memaafkanmu dan aku masih mencintaimu bahkan sampai detik ini. Tidak mudah bagiku untuk melupakanmu. Tapi, untuk saat ini, aku bisa menegaskan kalau aku tak ingin kembali padamu.”

“Felix!” Maggie berdiri. “Kita sama-sama masih saling mencintai—”

“Berhentilah Maggie. Kau merusak hubunganku dengan sahabatku bahkan saat kau tahu dia menyukaimu. Kau memanfaatkannya, tidakkah kau merasa itu kejam?” Felix ikut-ikutan berdiri. “Aku sejak awal tak pernah dendam padanya karena dia memang mengaku padaku kalau dia menyukaimu bahkan sejak sebelum kita jadian, tapi kau memilihku. Sudahlah, Maggie, tak ada artinya kau melakukan ini. Aku sudah merasa cukup dengan semuanya. Aku bahagia dan puas dengan apa yang kurasakan saat ini.”

“Apa kau menyukai seseorang?”

Felix diam lagi. Dia memilih kata dengan sangat hati-hati, “Aku sudah bilang kan, aku masih menyukaimu, jadi ada tidaknya gadis di dekatku saat ini tak ada pengaruhnya sama sekali.”

“Kalau kau masih menyukaiku, apakah salah jika kita kembali bersama?”

“Tidak, Maggie. Ini sulit bagiku dan tolong jangan membuatku semakin sulit. Aku masih tersakiti bahkan tanpa kau disampingku dan jika kau berkeliaran disampingku bahkan dengan status pacaran, aku yang tak akan bisa bernapas. Kau akan menyiksaku.”

“Felix—”

“Kita sudah berakhir Maggie. Tak ada lagi alasan bagi kita untuk bersama. Kelak jika kita bertemu lagi, kuharap kau bisa menerima ini dengan lapang hati, sama seperti aku menerimamu yang dulu memilih sahabatku.” Felix tersenyum kecil, sedikit dipaksakan dan rasanya aku bisa mengerti alasannya. “Aku akan membawamu pulang, Maggie. Ini sudah hampir pagi. Tak baik bagimu yang masih dalam masa penyembuhan berkeliaran sampai pagi.”

Aku memerhatikan kalau Felix berjalan terlebih dahulu menuju jeep yang terparkir tak jauh dari tempat mereka bicara.

“Kupikir akan berakhir bahagia,” gumamku.

“Yah… Felix sudah mengambil keputusan yang bijak.” Kata Hazel menghela napas.

Aku mengerutkan dahi, menyadari kalau aku tak kedinginan lagi selama beberapa menit terakhir dan aku tahu kenapa. Hazel memelukku dari belakang dan aku bisa mendengar desahan napasnya dan hangat tubuhnya.

“Kau ini ngapain?” aku menyikutnya dan dia jatuh terjerembab.

“Kau menggigil kedinginan.” Hazel mengeluh, memegangi tangannya yang tergores batu dan berdarah. “Aku nggak tahan melihatnya. Harusnya tadi kita bawa jaket yang tebal.”

“Tanganmu…”

“Sekarang kau menyesal,” gumam Hazel memutar bola matanya. “Tidak apa. Cuma luka kecil. Ayo pulang. Kurasa tak ada kejadian lagi setelah ini. Felix sudah memutuskan apa yang terbaik baginya.”

Aku berlari kesampingnya. Dinginnya malam menusuk ke tulangku.

“Kau tak kedinginan?”

“Aku terbiasa keluar malam,” kata Hazel.

Suara deruman mobil Felix terdengar dan menjauh. Hazel dan aku saling pandang dan tersenyum. Misi terlaksana.

*** Amour Café ***

“Alex… Lex…. Alex….”

Aku mengucek-kucek mataku dan berusaha bangun dari mimpiku dan selimut tebal yang hangat. Badanku terasa pegal dan nyeri di waktu bersamaan. Aduh…. Siapa sih yang bangunin? Aku masih mengantuk!

“Alex… Alex…”

Kali ini aku merasakan goncangan di bahuku, aku mengeluh dan mengintip sedikit. Samar-samar aku melihat orang di depanku dan merasa mengenal suaranya sampai kemudian wajah di depan wajahku menunjukan wajah yang kukenal dan tak biasanya kutemui di pagi hari.

“Bos!”

Aku terbangun cepat, cepat-cepat mundur ke belakang dan kepalaku menghantam lantai. Aku mengeluh.

“Nggak apa-apa, Lex?” Kevin membantuku berdiri, mengusap-usap kepalaku yang rasanya benjol. Sekitarku kelihatan bergoyang. “Ya ampun, makanya hati-hati.”

“Bos, ngapain kau disini?” kataku setelah sadar sepenuhnya.

“Harusnya aku yang tanya begitu. Ngapain kau di kamar Hazel?”

Ha? Aku mencerna kalimat barusan. Kuperhatikan sekelilingku. Benar. Ini bukan kamarku. Kamar ini lebih luas tiga kali lipat dari kamarku. Ada sebuah tempat tidur besar dengan selimut tebal berwarna coklat, meja belajar, lembaran foto-foto yang ditempel disepanjang dinding, sebuah lemari besar yang diisi dengan buku-beku tebal dan panjang, canvas yang berisi dengan lukisan-lukisan indah, sebuah jendela besar yang terbuka lebar dan memberikan pemandangan yang indah di luar. Matahari sudah meninggi. Jam berapa sekarang?

“Erm… Hazel?” aku bingung.

“Di ruang tamu. Dia tidur di sofa. Kalian kok bisa disini sih? Kenapa kau memakai kaosnya Hazel?” Kevin memperhatikan kemeja coklat besar, celana jens melorot dan kaos kaki yang semuanya milik Hazel.

“Oh… ini… em, Bos darimana?” aku lebih baik mengalihkan pembicaraan.

“Aku dari rumah orang tuaku. Mereka memaksaku menginap semalam,” Kevin menunduk, mengambil selimut yang terjatuh di lantai. “Kau belum jawab pertanyaanku. Kenapa kau bisa ada disini?”

“Um… aku kehilangan kunci rumahku dan Andre tak ada di rumah, jadi kata Hazel daripada aku menginap di mobil, lebih baik aku menginap di rumahnya.”

Kevin makin mengerutkan dahinya. “Kok bisa? Bukannya kau langsung pulang? Kian ada di rumahmu untuk mengajari Andre kan?”

“Aku juga tak tahu kemana mereka tapi—” akhirnya aku menceritakan semuanya padanya. Tentang mengikuti Felix dan kegilaan Hazel. Kemudian ketika kami hendak pulang dan sudah sampai di depan pintu rumahku, rumah itu kosong walau aku sudah berteriak.

“Nomor adikmu tidak aktif. Ini sudah hampir jam tiga. Kau mau menunggu mereka atau bagaimana?” Hazel memasukan kembali ponselnya.

“Kau pulang saja biar aku menunggunya,” kataku cepat.

“Kau gila? Kau bisa mati kedinginan dan Andre akan membunuhku kalau aku tak bisa menjagamu. Ya, sudah, kita pulang ke rumahku saja. Ada Kevin disana, jadi kau tak perlu takut.”

Tapi ternyata Kevin tak ada di rumah. Sejujurnya itu malam yang paling lama yang kurasakan. Hazel menyuruhku mandi, mengganti pakaian dengan yang lebih hangat dan aku sadar kalau aku tidur di atas tempat tidurnya tanpa izin saat dia sendiri pergi membeli makanan.

“Oh begitu,” Kevin manggut-manggut. “Baiklah, kurasa memang tak ada yang terjadi,” dia bangkit dan mengacak rambutku. “Mandilah, aku akan membeli sarapan. Hazel belum bangun dan kupikir dia tak ada mood untuk masak.” Kevin menutup pintu kamar dan keluar.

Aku diam beberapa saat, meregangkan tubuhku dan kembali merebahkan diri ke atas tempat tidur. Tempat tidur Hazel nyaman sekali. Kamarnya cantik dan wangi terlebih lagi sangat bersih. Dia memang tipe pembersih kalau tidak dia tak akan bisa memegang dapur.

Setelah golek-golek sejenak, aku bangkit, berkeliling memeriksa kamar Hazel. Foto-foto yang ditempeli di sepanjang dinding kamar Hazel memberikan warna tersendiri. Kuperhatikan kalau kebanyakan foto-foto itu terdiri dari foto anak-anak The Angel Music, bersama Felix dan Kevin serta beberapa anggota keluarga yang lain dan ada satu foto yang istimewa—karena fot itu satu-satunya yang diwarnai dengan tinta merah—yaitu foto Hazel dengan salah satu orang tua yang duduk di kursi roda. Itu foto Hazel dan Kakeknya. Hazel kelihatan terlihat bahagia, memeluk Kakeknya dengan penuh kasih sayang.

Kali ini aku beralih pada kanvas yang tertumpuk di sudut. Kanvas besar dengan lukisan yang indah. Aku menarik satu lukisan, mengamati dari satu lukisan lembut lautan yang terasa membuatku terhanyut dalam ketenangan, lukisan malam penuh bintang, pemandangan taman bunga yang sejuk dan sebuah keluarga yang makan bersama di ruang keluarga.

“Howah… luar biasa,” gumamku takjub melihat salah satu lukisan malaikat. Lukisan itu begitu lembut dengan sayap merpati besar dan cahaya dari balik-balik awan. Terlihat begitu nyata.

Ting tong… ting tong…

Aku terkejut, bel rumah berbunyi membahana di seluruh ruangan. Aku diam sejenak, menunggu orang membukan pintu.

Ting tong ting tong ting tong ting tong ting tong ting tong ting tong

Kali ini aku melotot karena suara bel itu lebih keras dan cepat. Buru-buru aku bangkit, keluar kamar, melewati Hazel yang tidur di sofa—dia menggeliat sejenak, kemudian menutup kembali kepalanya dengan selimut tebal berwarna biru—kemudian menyebrangi ruangan dan membuka pintu.

“A-lex!”

Aku mundur ke belakang, mencoba menahan berat tubuh Kian yang baru saja menuburukku bahkan sebelum aku bisa melihat siapa yang ada di luar.

“Kau gila! Kami mencarimu semalaman!” tambah Kian melepas pelukannya. Aku bisa melihat Andre, Ariel dan Felix di luar. Tampang mereka bertiga kelihatan tak senang.

“Apa? Kok bisa?” dahiku mengerut.

“Mana Hazel?” Felix menyingkirkanku dan masuk sebelum dia melepas sepatunya. “Hazel, bangun! Ini sudah siang! Kebiasaan burukmu harus diubah!” katanya lagi. Dia menarik selimut Hazel dan menyingkirkannya jauh-jauh.

“Felix…” gumam Hazel masih dengan suara mengantuk. “Kapan kau datang?” dia masih belum sadar sepenuhnya dan kembali membalikan tubuhnya dan tidur.

“Baru saja. Ya, ampun anak ini! Bangun!” Felix menimpuk Hazel dengan bantal, keras sekali. Aku mendengar suara Hazel yang mengeluh.

“Kalian dari mana aja sih semalaman?” Andre buka mulut. Dia duduk di sofa, tangannya melipat. “Kami mencari kalian sampai ke seluruh pelosok Jakarta. Gue heran, kemana sih kalian sampai nggak bisa ditemuin?”

“Kami—” aku sebenarnya ingin menceritakan apa yang terjadi, tapi ada Felix disini, jadi aku tak mungkin bilang kalau kami membuntutinya, maka aku mengalihkan pembicaraan menjadi, “memangnya kalian sendiri kemana? Aku pulang dan kalian tak ada di rumah jadi Hazel—”

“—mengambil inisiatif untuk tak membiarkanmu tinggal di luar dan menyuruhmu menginap semalam disini. Bisa dimengerti,” kata Felix menyambung jawabanku. Dia kembali menimpuk Hazel dengan bantal, “Hazel, bangun! Apa jadinya jika kerjamu cuma tidur?”

Ariel geleng-geleng kepala. Dia masuk ke dapur bersama Kian dan suara Kian terdengar dari sana, “Tak ada apa-apa di kulkas.”

“Memangnya kalian mau masak?” tukas Felix.

“Kian yang bakal masak,” jawab Ariel.

“Kok jadi aku yang kena?” kata Kian lagi.

“Ah, nggak perlu repot-repot, Kevin bilang dia mau beli makanan. Kenapa kalian tak minta dia tambahin pesanan saja?” kataku lagi.

“Ide bagus,” kata Felix. Dia mengambil ponselnya dan menghubungi nomor Kevin. Dia menunggu beberapa detik sampai kemudian dia berkata, “Ini aku. Aku di rumahmu bersama yang lain dan kami kelaparan—kami, anak-anak Amour—”

“Ngapain kalian berkumpul di rumahku?” suara Kevin terdengar di telepon, Felix terpaksa harus menjauhhan telinganya dari telepon.

“Nanti saja ceritanya, pokoknya kau bawa saja makanan,” dan Felix menutup teleponnya. Felix memainkan matanya, sedikit puas dengan tingkah rajanya, kemudian dia kembali menggerecoki Hazel lagi.

Lima belas menit kemudian, Kevin muncul, membawa bungkusan besar plastik dan meletakannya di atas meja. Hazel sudah bangun, masih mengantuk dan menyandarkan kepalanya ke bahu Ariel. Gelas-gelas berisi teh sudah disediakan Kian dan Andre menyambut bahagia makanan Kevin.

“Kalian semua,” Kevin duduk di lantai, menerima piring yang disodorkan Ariel. “Kalau kalian mau mampir, setidaknya minta izinku sebagai pemiliki tempat ini, bukannya sembarangan masuk sesuka kalian.”

“Ini rumahku,” kata Hazel.

“Ini juga rumahku walau namanya masih sepenuhnya milikmu,” kata Felix lagi. Tidak peduli. Kevin terlihat jengkel. Tapi aku tersenyum geli, jadi beginilah mereka bertiga kalau ngumpul bersama. Saling mengatakan hal-hal yang menjengkelkan dan tak mau kalah. Aku bisa mengerti tingkah mereka.

“Jadi, apa saja yang kalian lakukan semalaman?” Ariel tiba-tiba bertanya dengan nada menyelidiki. Aku pikir dia sudah lupa sama sekali tentang pembicaraan ini!

“Well,” Hazel mengangkat bahu. “Kami ke pub, kebut-kebutan sampai pagi dan menghabiskan waktu sampai siang di rumah ini. Ada masalah, Ariel?”

“Tidak. Hanya saja aku merasa kencan di Malam Minggu sampai pagi bukan ide yang bagus untuk Alex yang tak tahu dunia luar.”

Hazel menyipitkan matanya dan Kevin melihatnya.

“Dia akan mengingat hal itu,” kata Kevin. Sepertinya dia merasa kalau Hazel sedikit jengkel. “Dan aku harus bilang Ariel, Hazel punya perilaku yang buruk jika dia baru bangun tidur, jadi lebih baik kau tidak membuatnya jengkel.”

Kevin benar-benar mengenal Hazel, batinku. Aku mengawasi Hazel, aura gelapnya yang sempat keluar sedikit berkurang saat Felix menyodorkannya jus.

“Lalu, apa yang terjadi setelah kau bicara berdua dengan Maggie?” Kevin mengalihkan pembicaraan. Walau dia sudah tahu semunya dari ceritaku, tapi aku yakin Kevin tak mungkin ingin tahu lebih detail lagi.

“Kami tidak membicarakan hal yang banyak. Dia minta kembali dan aku menolaknya. Kupikir dia akan datang lagi untuk membujukku, dia bukan tipe orang yang mudah menyerah—”

“—dan kau juga bukan tipe orang yang tidak gampang dibujuk. Suatu saat kau pasti akan menerimanya kembali.”

“Mungkin,” Felix mengangguk dengan penjelasan Kevin. “Tapi kupikir, aku tak akan menerimanya. Aku akan cari gadis lain yang lebih baik.” Dia bersandar, mengerutkan dahi pada Hazel. “Hazel, kau benar-benar pacaran dengan Alex ya?”

“Kenapa memangnya? Kau mau merebutnya dariku?” kata Hazel tak peduli.

“Bukan begitu maksudku. Pada dasarnya kau memang orang yang mengiyakan pendapat orang lain dan tak memedulikan sekitarmu, jadi kupikir akan merasa lega jika mengatakan dengan jelas bahwa dia pacarmu. Lagipula, kau akan memploklamirkan dulu jika dia pacarmu kan?”

Hazel mengerutkan dahi. “Ah, ya, kami akan pacaran sampai Alex bilang—”

Aku buru-buru bangkit dari tempatku dan menutup mulut Hazel. Mataku melotot padanya dan mulutku memberikan ancaman padanya. Yang lain mengerutkan dahi. Kelihatannya mereka cukup heran melihat caraku memperlakukan pacarku.

“Apa?” Felix mengerutkan dahinya.

“Kau akan mati jika kau berani mengucapkan sepatah katapun. Kau mengerti?” kataku tanpa suara pada Hazel. Hazel mengerjap beberapa kali, kemudian mengangguk tanpa suara. “Nggak ada apa-apa, Felix. Kau tak perlu khawatir. Kami bahagia sekali. Ya kan, Hazel?”

Hazel bergidik sedikit lalu mengangguk cepat.

Fuh… jika aku tak cepat-cepat mengatakan perasaanku pada Kian, maka Hazel-lah yang akan membocorkannya!

*** Amour Café ***

Amour Cafe Receipt Sixteen

Receipt Sixteen

Seminggu kemudian, kakiku sudah merasa lebih baik. Setidaknya aku tak terpincang-pincang lagi dan kakiku memang masih mengilu. Tapi memang sakit bukan sesuatu yang bisa dibanggakan. Selama seminggu Kevin menjemputku dan nongol di depan rumah, tersenyum dengan gaya bodoh dengan mobilnya yang berkilat setiap hari. Dan pulangnya selalu dengan anak-anak Amour, mereka selalu saja bisa mencari alasan “kaki” yang pantas untukku agar bisa menurut.

Dan ketika pada hari Sabtu aku bisa berjalan sendiri tanpa pincang dengan kaki tanpa perban dan bekas luka, mereka mengerutkan dahi dan sedikit kecewa.

“Aku bisa melakukan semuanya sendirian. Jadi kalian tak perlu repot-repot lagi,” kataku bangga. Mereka menghela napas berbarengan dan kembali sibuk dengan pekerjaan mereka.

“Alex, jika kau sudah bisa bergerak bebas maka ini,” Felix muncul, membawa sebuah kotak kardus yang masih tertutup dan memberikannya padaku. “Bawa ini ke gudang di atas dan simpan di atas lemari. Hati-hati, isinya cukup berat dan jika jatuh maka akan repot menyusunnya lagi.”

“Ini apa?” aku berusaha bisa melihat Felix yang tertutupi pandangan kardus. Felix mengerutkan dahinya.

“Seluruh bahan catatan dan menu penyelidikan makanan yang dibuat Hazel. Catatan keuangan milik Kevin dan seluruh informasi karyawan. Sudahlah, jangan banyak tanya. Bawa saja benda itu keatas.”

Felix menghela napas dan masuk ke dapur. Aku bisa mendengar suaranya yang memerintah Hazel, “Zel, pesanan hari ini jangan lama seperti kemarin ya. Entar aku yang dimarahi Kevin lagi.”

Menggerutu dan memaki Felix dalam hati, aku bersusah payah melangkah naik ke atas tangga. Satu per satu. Secara perlahan.

“A-Lex, kau bawa apa?” Kian mencul dari atas tangga. “Biar aku bawa.”

“Nggak usah. Benar. Aku bisa bawa sendiri.”

Kian tidak mendengarkan dan mengambil kardus di tanganku.

“Kian—”

“Ini mau dibawa kemana?” Kian melihatku dengan nada penuh perintah. Aku diam. “Kalau kau tak mau kasih tahu padaku, setidaknya tunjukan tempatnya.”

Aku menghela napas. Menyerah. Dia tak akan mau mendengarkan. Sejak kapan anak-anak Amour saling mendengarkan? Dan aku baru sadar kalau aku juga menjadi salah satu bagian dari mereka yang tidak mendengarkan apa kata orang.

Langkahku kupercepat untuk membuka pintu gudang yang jauh lebih padat dari seluruh ruangan yang ada di Amour. Kotak-kotak kardus tersusun merapat hampir di setiap sudut. Kebanyakan adalah kertas kardus kosong. Awalnya tempat itu ingin dijadikan kantor, tapi Kevin menolak dan berkata, “Sejak kapan Manager CafĂ© butuh kantor? Sudahlah. Aku tak butuh kantor yang memusingkan itu. Aku lebih suka berkeliaran.” Jadi, dia tak memiliki ruangan khusus.

Lemari usang tempat Kevin biasanya menyimpan arsip kini sudah penuh dan hanya ada ruang kosong di atas lemari. Sepertinya Kian juga sudah menyadari hal itu. Dia menarik kursi terdekat dengan kakinya mendekati lemari dan naik ke atas.

Kuperhatikan dia mengangkat kardus dengan kedua tangannya dan meletakannya dengan mudah ke atas. Untuk sejenak dia menunduk memandangku dan berkata dengan alis menaik, “Itu saja?”

“Itu saja,” kataku cepat. Tapi tiba-tiba aku ingat, “Kian, kapan ultahmu?”

Dia turun sambil melompat, “Kenapa?”

“Aku hanya ingin tahu,” ya, aku cuma ingin tahu karena dia terlalu pendiam dan sepertinya sulit sekali untuk mengatakan apa yang ada di dalam kepalanya.

“Ulang tahunku sudah lewat sekitar enam bulan yang lalu. Bulan September tanggal empat. Kau mau membelikanku hadiah ulang tahun ya?”

“Ya. Membalas cincin yang waktu itu kau beri,” kataku acuh, berniat menggodanya dan bisa kulihat wajahnya merah padam.

“Ah… eh… um…”

Kian tergagap dan buru-buru kabur keluar. Suara gedebuk tak lama kemudian memecahkan kesunyian. Aku buru-buru keluar dan mendapati kalau Kian ada di dasar tangga, terjatuh dengan kepala mendarat terlebih dahulu. Kevin tertawa, membantunya berdiri sambil berkomentar.

“Ya, ampun, Kian. Hati-hati turunnya.”

Felix menepuk punggung Kian dan bergumam, “Heran, kalau matamu tak berfungsi dengan baik, kau kan bisa pakai kacamatamu.”

“Alex,” Hazel mengacak rambutku, “Jangan menggodanya berlebihan. Kau tahu sendiri kalau dia digoda sedikit saja dia akan kacau seharian.” Belum lagi Hazel menyelesaikan kalimatnya, Kian menabrak meja lagi, menumpahkan jus ke kepalanya.

Aku menganga, melirik Hazel dengan perasaan sedikit bersalah.

“Alex, rasanya aku melihatmu berubah menjadi Kevin,” gumam Hazel lagi-lagi mengacak rambutku. “Jangan dekat-dekat Kian ya? Aku takut dia akan semakin aneh.”

Aku cuma bisa nyengir, melirik Kian meminta maaf pada tamu dan masuk ke kamar mandi dengan terburu-buru. Beberapa detik kemudian, aku malah tertawa dan tak menyesal melakukannya.

“Ya ampun, anak ini benar-benar sudah ketularan Kevin,” Hazel geleng-geleng kepala. Dia merangkulku dan berbisik di telingaku, “Apa kau sebegitu inginnya melihat wajah malu-malu cowok yang kau sukai?”

Mataku melotot, “Kok kau—”

“Ah, ternyata benar!” Hazel melepas rangkulannya, matanya berbinar, “Kian, Alex su—”

Aku buru-buru menutup mulut Hazel, menahannya sekuat tenaga untuk tidak mengatakan apapun. Kian muncul, keluar dari kamar mandi dengan terburu-buru dan berkata, “Apa?”

Rambutnya masih basah dan beberapa cewek melihatnya menahan napas, termasuk aku.

“Nggak ada apa-apa,” aku buru-buru menjawab, tak memedulikan tangan Hazel yang menggapai-gapai di udara. “Kami pergi dulu.” Aku menyeret paksa Hazel, tidak memedulikan wajah kebingungan mereka.

“Ada apa dengan mereka hari ini?”

“Kian, ganti bajumu. Kau terlalu menarik perhatian.”

“Yeah, rambut basah, wajah tampan dan tubuh yang bagus.”

“Felix, kau tak perlu menjelaskan hal itu sebegitu detail.”

Aku memaksa Hazel masuk kembali ke gudang, menutupnya rapat-rapat dan memojokannya. Dia kelihatan santai—penuh kemenangan—dan tersenyum seperti orang bodoh.

“Aku melarangmu—”

“Kejamnya. Kau menyembunyikan perasaanmu tentang cowok yang kau sukai dari sahabatmu,” Hazel melipat tangan, geleng-geleng kepala. “Tapi aku sedikit kecewa dengan pilihanmu.”

Aku mengerutkan dahi. “Siapa yang aku suka itu tak ada urusannya denganmu.”

“Memang,” Hazel manggut-manggut. “Jadi, kapan kau akan bilang suka pada Ki—”

“Ngapain sih kalian berdua disini?” Kevin membuka pintu gudang, tepat ketika aku menutup mulut Hazel untuk menghentikannya melanjutkan kalimat terakhir. Kevin terdiam sejenak, menatap kami dengan alis menaik dan berkata dengan suara yang cukup keras, “Dilarang pacaran di jam kerja!”

Ha?

“Maaf, Kevin,” Hazel merangkulku dan mencium dahiku dengan mesra. “Aku nggak tahan sih.”

Kevin menatap Alex. “Alex, aku tak keberatan kau pacaran dengan Hazel, tapi jangan berduaan dengannya saat jam kerja apalagi di gudang. Mengerti?”

Kevin membanting pintu. Dahiku mengerut, mataku menatap Hazel dengan kesal.

“Apa maksud kalimat barusan?” kataku jengkel.

“Tidak ada maksud apa-apa. Aku cuma ingin menggodamu.” Hazel tertawa. “Ki—” aku kembali menutup mulutnya.

“Aku mengerti, aku akan mengatakannya.”

“Kapan?” Hazel menyingkirkan tanganku.

“Secepatnya.”

“Oke. Aku tunggu.”

Aku baru menggali liang kuburku sendiri.

*** Amour Café ***

“Boleh aku tahu, sejak kapan kalian pacaran?”

Aku menyemburkan jusku ketika Felix bertanya di saat santai sepulang kerja kami.

“Darimana kalian dapat kabar itu?” Hazel tampak santai menanggapi kalimat barusan. Dia memakan cupcake apple dengan perlahan, menikmati setiap rasa yang lumer di mulut.

“Suara Kevin terdengar hampir di sepanjang cafĂ©,” kata Ariel, meminum kopinya. “Dilarang pacaran di jam kerja! Alex, aku tak keberatan kau pacaran dengan Hazel, tapi jangan berduaan dengannya saat jam kerja apalagi di gudang. Mengerti?” Ariel mengulang.

“Trims, Ariel,” Kevin mendesis jengkel. “Daya ingatmu sungguh luar biasa.”

“Aku peringkat satu di sekolah di angkatanku, Bos.” Ariel lagi-lagi membalas, memotong cakenya dan memakannya seakan tidak terjadi apapun.

“Kian, katakan sesuatu tentang kejutan yang tak biasa itu,” kata Kevin pada Kian.

Kian menatapku, lalu beralih pada Hazel, “Aku harus bilang apa? Mereka pasangan yang serasi. Raja Iblis dan Ratu Ngatur. Cocok sekali.”

Hazel yang ada disebelahnya menempeleng kepalanya. “Aku bukan Raja Iblis,” gumam Hazel.

“Yah, baiklah, terserah,” kata Kian tidak peduli. “Selamat, A-lex, harusnya kau bilang-bilang dulu pada kami.”

“Kenapa aku harus pakai pengumuman untuk hal tak penting begitu?” gumamku jengkel. Jujur saja aku kesal melihat ketidakpedulian Kian. Apa dia tidak menyukaiku? Aku mulai merasa kalau tingkahnya yang manis bukan karena dia suka padaku, tapi karena dia tak tahan pada perempuan. Tapi, dia tak pernah bertingkah aneh di depan cewek lain.

Lonceng pintu café berbunyi. Kami semua menolehkan kepala kearah pintu yang terbuka. Kevin segera berdiri.

“Maaf, cafĂ© kami sudah tutup,” kata Kevin melangkah dan berhenti ketika seorang wanita masuk ke cafĂ©. “Maggie.”

Gadis itu cantik, dengan tubuh langsing tinggi mengenakan pakaian sederhana dan rok yang manis. Sepatu high heelsnya memperlihatkan kakinya yang cantik dan jari-jari kakinya yang dihiasi. Rambutnya panjang lurus, wajahnya manis dan kelihatan seperti gadis baik-baik. Dia seperti putri.

“Apa yang kau lakukan disini, Maggie?” kata Kevin dengan nada suara yang sangat berbeda jika menyambut gadis yang biasa dia lakukan. Suaranya dingin, penuh nada ketidaksukaan dan ekspresinya berubah jadi kesal.

“Aku datang untuk bertemu dengan Felix.” Suara gadis itu lemah lembut.

“Pulanglah. Hubunganmu dengannya sudah berakhir,”

“Tapi—”

Kevin menendang kursi terdekat. “Pergi,” katanya tak lebih dari sekedar bisikan. “Kau sudah cukup menyakitinya. Apa kali ini kau ingin membunuhnya setelah dia gagal melakukannya?”

Aku cepat-cepat bangkit, “Bos, tak biasanya kau galak pada cewek,” aku mendatangi gadis itu dan tersenyum padanya. “Maafkan dia ya.”

“Alex, dia cewek yang membuat Felix melompat ke jalan,” kata Kevin jengkel. Kemarahan terlihat jelas di matanya. “Dia mantan pacarnya Felix.”

Aku terkejut. Gadis ini mantan pacarnya Felix. Pacar Felix sejak SMP dan menghianatinya karena lebih memilih sahabat Felix. Aku tak menyangka atau membayangkan kalau dia begitu cantik. Pantas saja Felix sempat frustasi.

“Aku cuma ingin bertemu Felix,” kata Maggie dengan suara bergetar. “Aku hanya ingin bertemu dengannya. Tak bisakah—”

“Kau keras kepala seperti biasa, Maggie.” Felix mau tak mau bangkit dari tempatnya.

“Felix—”

“Aku akan bicara padanya,” kata Felix, dia tersenyum kecil, menepuk bahu Kevin. “Aku akan baik-baik saja. Tak perlu khawatir.” Felix membuka pintu, menyuruh Maggie keluar terlebih dahulu seperti gantleman sejati dan selanjutnya dia keluar. Kami memperhatikan kalau mereka naik ke jeep Felix lalu menghilang tak lama kemudian diiringi suara mesin yang menjauh.

“Jeez, cewek itu pasti akan melakukan hal yang buruk lagi pada Felix,” gerutu Kevin jengkel. “Hazel, bukannya kau sudah memperingatkan gadis itu untuk tidak muncul lagi, tapi kenapa dia justru datang ke cafĂ© kita?”

Hazel masih saja makan dan tak terganggu sedikitpun. “Sudah.”

“Lalu?”

“Dia keras kepala.”

“Tapi—”

“Tak perlu khawatir, Kevin. Felix harus belajar untuk menghadapi Maggie. Kalau Felix tak bisa menolaknya dengan tegas, maka dia sendiri yang akan mengalami masalah.” Hazel meminum jusnya. “Dan kupikir, Felix pasti tahu hal itu. Kita tak bisa selamanya melindungi Felix kan?”

Kevin memegang kepalanya, sedikit stres menghadapi tingkah tak peduli Hazel. “Cepat bawa Alex pulang. Ini sudah malam.”

Hazel bangkit. “Ayo, Alex, pulang.”

Untuk keselamatan Hazel, Kevin melarang Hazel naik motor dan membelikannya mobil: jaguar. Aku bertanya-tanya dalam hati seberapa kaya Kevin sampai bisa menghadiahkan Hazel jaguar, seminggu yang lalu. Kurasa dia bahkan tak perlu bekerja hanya menjual satu mobil saja.

Masalahnya, pemberiannya itu membuat Hazel jengkel. Mereka sempat adu mulut selama lima menit ketika Kevin melemparkannya kunci mobil.

“Apa ini?” itu kata Hazel waktu itu. Memperhatikan kuncinya dengan lebih seksama.

“Mobil.”

“Aku tak mau mobil. Aku mau motor.”

“Kau akan tetap naik mobil, anak muda! Sudah berapa kali motormu rusak karena cara ngebutmu yang tak terkendali!”

“Jakarta sudah cukup macet tanpa kau tambahi mobil lagi!”

“Paman memarahiku karena membiarkanmu naik motor dan Ayahku juga melakukan hal yang sama. Sekarang tak ada alasanmu untuk menolaknya. Aku sudah cukup pusing mendengar mereka mengeluh tentang Felix, tak perlu ditambahi kau lagi!”

Jadi, seperti itulah ceritanya makanya ada tiga mobil, satu motor dan satu sepeda terparkir rapi di Amour. Aku sudah mulai memilih untuk mencari kendaraanku sendiri. Pengennya naik sepeda, tapi kok rasanya nggak kreatif—masa aku niru Kian sih? Dan aku nggak tertarik naik motor, apalagi membeli mobil.

Menyedihkan….

Hazel membukakan pintu untukku dan memasang sabuk pengaman sebelum dia memutar dan masuk ke mobil. Dia mengomel sesaat tentang jaguarnya, lalu memindahkan kopling dan menginjak gas.

“Sudah berapa motor yang kau rusak?” kataku penasaran melihat tingkah Hazel yang tak senang dengan mobilnya.

“Setahun ini sudah empat yang kurusak,” jawab Hazel tak acuh.

Empat motor, aku mengulang dengan nada tak percaya. Dan aku yakin sekali jenis motor yang mahal. Pantas saja Kevin marah-marah tak jelas. Kalau dia kecelakaan naik motor, dia bisa tergeletak dimana saja.

Hazel melirikku sekilas, “Hey, kau tak marah tentang salah paham ‘pacar’ ini, Alex?”

Itu pertanyaan yang tak terduga. “Apa kau peduli?”

“Sejujurnya tidak sih,” jawab Hazel mengangkat bahunya. Aku sudah menduga jawaban itu. “Tapi aku sedikit menguatirkan Kian. Dia kan cinta mati padamu. Kok bisa ya Kevin berpikir kalau aku pacaran denganmu?” dia mengurutkan dahi.

Itu karena dia memergoki kita dengan gaya yang sedikit berbeda, jawabku dalam hati tapi tak berani mengatakannya. “Apa Felix akan baik-baik saja?” aku bertanya lagi.

“Aku tak yakin,” jawab Hazel kalem. “Aku sedikit menguatirkannya. Dari antara kami bertiga, Felix-lah yang paling sensitif.” Dia mengambil jeda. Mobil kami melewati beberapa mobil yang melaju dengan kecematan sama. “Aku akan mengeceknya setelah mengantarmu pulang dulu, Alex.”

“Aku mau ikut,” kataku cepat.

“Kau serius?” Hazel mengerutkan dahi. “Ini sudah tengah malam. Kau mau jalan-jalan denganku berduaan tengah malam begini? Bisa sampai pagi kita menguntit mereka nanti.”

“Besok hari Minggu dan Mamaku ada di rumah temannya. Tidak ada sekolah dan tak ada kerjaan,” kataku cepat. Aku begitu penasaran tentang Felix dan cewek itu. Aku juga begitu khawatir, melihat kecemasan Kevin yang sedikit berlebihan, aku takut masalah yang besar akan segera terjadi. Lebih baik aku mengetahui dulu masalahnya sebelum menghadapinya.

Hazel menatapku sejenak. Alisnya menaik.

“Alex, kau benar-benar nggak takut jalan berdua denganku ya?”

Aku menggeleng cepat.

Herannya, Hazel tertawa. “Okelah. Kita akan menyusul Felix, tapi gayaku akan sedikit berbeda dari yang biasa, jadi jangan khawatir ya?”

Kalimat itu agak sedikit aneh. Tapi aku mengangguk lagi, kepercayaan diriku sedikit luntur. Gaya yang sedikit berbeda, aku mengulang dalam hati. Aku merasa akan melihat sesuatu yang baru lagi dari Hazel.

Aku melihat Hazel kembali menginjak gas dan kulirik lagi speedometer—dimana jarumnya makin lama makin menunjukan angka yang membuatku melotot. Aku tak berani berkata apapun, tapi kupegang tepi tempat dudukku sambil berdoa dalam hati agar tidak ada sesuatu yang tiba-tiba melintas sehingga kami tidak menabrak apapun. Tapi Hazel memang sudah terbiasa dengan kecepatan tinggi, dia begitu santai membawa mobilnya, tidak memberikan kesan kalau dia sedang mempermainkan nyawanya.

“Apa nggak lebih baik kau hubungi Andre? Dia ada di rumah kan?” kata Hazel lagi. Lampu-lampu di jalanan berkelebatan dengan cepat, mobil kami kembali menyalip, tidak menghiraukan lampu merah.

Aku tersadar. Andre ada di rumah hari ini, jadi cepat-cepat kuambil ponselku dan menghubunginya.

“Lo ada dimana sih? Kok lama banget? Gue lapar.” Suara Andre merengek diseberang di telepon. Kenapa setiap kali aku meneleponnya, cuma kata ‘lapar’ yang keluar.

“Masak sendiri. Aku nggak pulang malam ini sepertinya.”

“Apa?” Andre terkejut. “Kenapa? Elo ada dimana sekarang?”

“Aku sama Hazel.”

“Sama Hazel?” Andre lebih terkejut lagi. “Lo gila ya? Ngapain lo sama Hazel tengah malam begini? Cepat pulang.”

“Aku ada sedikit urusan,” kataku cepat. “Pokoknya, kalau kau lapar, kau makan saja apa yang bisa kau makan—”

“A-Lex, ini aku,” tiba-tiba terdengar suara Kian di seberang.

“Kian? Ngapain—kok—” aku terbengong-bengong.

“Aku ada di rumahmu, mengajari Andre—itu nanti saja. Mau apa kau sama Hazel berduaan?” suara kepanikan Kian tak terbendung. “A-lex, lebih baik cepat suruh dia mengantarmu pulang.”

“Apaan sih? Ada yang harus kami selidiki,” kataku cepat. “Kau masak sesuatu untuk Andre ya, jangan kau biarkan dia kelaparan—”

“A-lex, aku tak bermaksud menjelek-jelekan Hazel atau apa, tapi lebih baik kau menghindarinya berduaan di tengah malam. Dia berbahaya! Biarkan saja dia menyelidiki sesuatu sendirian. Kau tak perlu ikut campur!”

Itu kepanikan. Aku tahu. Karel juga pernah mengatakan hal yang sama. Tiba-tiba aku ingat lagi. Kulirik Hazel—matanya masih melihat jalan. Aku tak tahu ide gila yang membuat pikiranku tidak memercayai itu sehingga aku berkata, “Aku akan baik-baik saja!” pada mereka dan mematikan ponselku.

“Apa kata mereka?” Hazel bertanya, tidak melihatku. Dia kembali memindahkan kopling, melewati jalanan sepi.

Dahiku mengerut. “Kita mau kemana?”

“Bertemu teman,” jawab Hazel singkat.

Aku merasakan firasat jelek.

Sekarang yang kami lewati bukan jalan rapi, tapi terowongan dengan jalan berbatu. Hazel menurunkan kecepatannya. Lampu sorot menyala menerangi jalan dan aku mulai merasakan bulu kudukku merinding.

“Alex bisa melihat makhluk halus kan?” kata Hazel lagi, ada senyuman di bibirnya. Aku bengong. “Aku juga bisa lihat dan disini tidak ada yang berbahaya kok.”

Aku tak tahu apa maksudnya. Dari jendela aku bisa melihat pohon-pohon besar dan gelap dan area sawah. Pikiranku sudah melantur kemana-mana, ketika mobil Hazel berhenti di depan sebuah rumah bergerbang tinggi yang bersinar dengan lampu-lampu di sekitarnya.

“Mau apa kita kesini?” aku mengerutkan dahi, terheran. Kuperhatikan ada banyak mobil dan motor yang terparkir di dalam gerbang. Aku juga bisa mendengar secara samar-samar suara musik dari dalam rumah itu.

“Kau tunggu disini ya, Alex, aku kedalam dulu,” kata Hazel. Dia melepas sabuk pengamannya dan keluar. Sebelum dia menutup pintu, Hazel kembali menunduk dan memperingatkan dengan nada serius, “Apapun yang terjadi, jangan keluar sampai aku sendiri yang datang. Kau mengerti?”

Aku mengangguk perlahan. Takut dengan auranya yang berubah menjadi lebih kuat dan mengancam. Hazel tersenyum menenangkan, menutup pintu dan berjalan dengan langkah cepat menuju gerbang. Dia tidak memencet bel ataupun membuka gerbang, tapi melompati gerbang dan masuk ke dalam rumah. Sejujurnya, tingkahnya barusan membuatku terheran. Dia masuk ke rumah orang tanpa permisi dan kelihatan begitu percaya diri.

Cari ribut… aku menduga. Akan ada perkelahian…

Dia berandalan. Wajahnya boleh saja bertampang malaikat begitu, tapi dia hobi berkelahi. Tak ada berita kejahatannya karena dia cuma mematahkan tangan mereka dan ada pengacara yang membelanya

Ucapan Karel teringat lagi dan ditambahi dengan kecemasan Kian dan Andre membuatku semakin merasa kalau kepribadian ganda Hazel sepertinya hanya muncul ketika malam muncul.

Musik di dalam masih terdengar. Pastilah tidak terjadi apapun. Tapi ada suara-suara. Dahiku mengerut. Suara-suara orang. Teriakan kah? Kaca pecah? Dalam beberapa menit aku cuma mendengar suara musik semakin kencang dan berganti dengan musik yang lebih gila dan lebih banyak teriakannya.

Ah, tidak, bukan penyanyinya yang berteriak!

Aku terkesikap, menegakan tubuh dan memanjangkan leherku ke jendela untuk melihat lebih jelas. Dua cewek dengan pakaian mini keluar dari rumah itu dan berteriak-teriak histeris, memegangi kepala mereka dan memegangi sepatu mereka. Tak lama kemudian teriakan lelaki terdengar lagi.

“AKU NGGAK TAHU!”

Kemudian suara kaca pecah. Aku panik. Terjadi sesuatu pada Hazel. Kupegang pintu dan membukanya. Kakiku baru melangkah separoh jalan ketika peringatan Hazel teringat lagi.

“Apapun yang terjadi, jangan keluar sampai aku sendiri yang datang. Kau mengerti?”

Tapi aku cemas! Kepanikanku lebih besar daripada ketakutanku pada peringatan Hazel. Karena itu kubanting pintu mobil di belakangku dan berlari cepat masuk ke gerbang. Teriakan-teriakan semakin jelas terdengar ketika aku mendekat.

“Sumpah! Sumpah! Ampun! Aku nggak tahu! Nggak tahu!”

Kubuka pintu dan terkejut melihat kondisi rumah itu lebih kacau dari bayanganku. Meja dan kursi terbalik. Sekitar sepuluh orang laki-laki pingsan, tergeletak di lantai ataupun merosot di dinding—wajah mereka babak belur. Tiga cewek lagi meringkuk di sudut, gemetaran dengan wajah ketakutan. Botol-botol alkohol, rokok, gelas-gelas berjatuhan dan berserakan dengan posisi membingungkan. Musik dari tape yang ada di tengah ruangan masih menyala keras.

Kututup hidungku merasakan bau yang tak biasa, memabukan sekaligus membuatku mual. Bau apa ini?

Dan aku lebih terkejut lagi melihat Hazel yang sepertinya menyudutkan seorang cowok besar dan satu-satunya orang yang masih sadar di ruangan itu. Cowok itu lebih tua, dengan otot besar dan wajah seram, tapi melihat wajahnya yang ketakutan dan memohon-mohon dengan tubuh gemetaran dan gigi gemertakan, aku tahu kalau Hazel baru saja melakukan sesuatu yang buruk.

“Kutanya sekali lagi. Dimana Maggie?”

Suara Hazel dan sosoknya membuatku ketakutan.

Hazel berdiri di depan lelaki tua itu. Wajahnya tidak berekspresi dan aku bisa melihat tatapannya yang tidak peduli dan kelihatan dingin. Kakinya menginjak bahu kanan lelaki tua itu. Suaranya lebih dalam, menunjukan perintah yang tidak bisa ditentang. Tinju di tangan kanannya berdarah dan ada noda darah pada kaosnya.

Itu bukan Hazel yang dikenal Alex.

“Sumpah, Tu-Tu-Tuan. Aku tak tak tahu,” kata laki-laki itu.

“Jangan berbohong padaku,” gumam Hazel. “Kau Ayahnya Maggie, bagaimana mungkin kau tak tahu dimana Putrimu?”

“M-M-Maggie tak tinggal disini lagi sejak dua bulan lalu.”

Hazel tak langsung merespon. Dia memberikan tekanan pada kakinya, membuat lelaki itu merintih.

“Dia kabur. Dia pergi. Katanya dia ingin mencari kebahagiaannya sendiri. Aku Ayah yang tak berguna, Tuan.”

Tuan? Dahiku mengerut.

“Apa sekarang dia tinggal bersama pacarnya?” Hazel bertanya lagi.

“T-t-t-tidak tahu. Laki-laki itu… laki-laki itu menghianti putriku. Dia bilang kalau Maggie p-p-penyakitan.” Suara laki-laki itu bergetar. “M-M-Maggie bilang kalau dia masih mencintai F-F-Felix.”

Rahang Hazel mengeras.

“Kalian benar-benar tidak tahu bagaimana rasanya berterima kasih,” kata Hazel jengkel. “Mendiang orang tuaku memberi kalian tempat, membesarkan Maggie seperti keluarga sendiri dan dia menghianati Felix kemudian kau kabur membawa satu milyarku, lalu sekarang kalian ingin kembali pada kami dan berkata kalau semuanya baik-baik saja?”

“Tu-Tu-Tuan Muda—aku menyesal—aku sungguh-sungguh menyesal.”

Hazel tersenyum licin. “Aku sudah capek. Bisnis narkobamu berakhir disini. Aku sudah mengatakan padamu untuk hati-hati padaku kan? Tapi rupanya kalian tidak mengerti apa itu peringatan.”

“T-T-T-Tuan. Mohon jangan penjara. Kumohon padamu. Maggie—” laki-laki itu terisak. “Maggie—maafkanlah aku untuk Maggie.”

“Jangan bercanda. Dia sudah kuanggap mati sejak Felix mencoba bunuh diri karenanya.”

Hazel mengangkat kakinya dan menendang kepala laki-laki itu. Aku ternganga, menahan napas melihat tingkah anarkisnya yang tak berperikemanusiaan. Laki-laki itu pingsan, darah mengucur dari hidungnya.

“Kalian benar-benar membuatku marah,” gerutu Hazel jijik. Dia merogoh kantongnya, menelepon seseorang dan berkata, “Halo, kantor polisi? Aku menemukan ada pesta narkoba disekitar rumahku. Ya, ya,” Hazel berjalan ke kanan, tidak melihatku, dia mengambil bungkusan pil terdekat, memperhatikannya dan mengerutkan dahi, “Mungkin ekstasi, ganja dan sabu-sabu. Ah, ada juga jarum suntik.”

Setelah memberitahu alamatnya, dia kembali menelepon seseorang lagi. Aku tak perlu bertanya siapa dia karena Hazel berkata cepat, “Cari jeep Felix.” Lalu menutup teleponnya.

“Felix benar-benar membuatku repot,” gerutunya jengkel, menendang botol terdekat dan menghantam dinding sampai pecah. Cewek-cewek yang masih berkumpul berteriak tertahan. “Kalian, cepat pergi dari sini!”

Gemeteran, cewek-cewek itu bangkit dan lari terbirit-birit.

“Alex?” Hazel akhirnya melihatku. “Apa yang kau lakukan? Aku sudah larang kau keluar kan?” katanya keras.

Aku melonjak kaget. “Aku khawatir. Kupikir kau bakal dikeroyok,” jantungku deg-degan melihat cowok-cowok besar yang pingsan itu. “Tapi sepertinya—er… aku khawatir tanpa sebab yang jelas…”

Hazel menghela napas, mengecak pinggang. “Alex,” kali ini nadanya lebih lembut. Suaranya kembali seperti semula. “lain kali kau harus mendengarkanku. Aku cuma tak ingin kau terluka.”

“Aku kesunyian di mobil sendirian.”

Hazel tersenyum, sedikit geli. Perbuatannya semenit lalu terlupakan begitu saja. Dia merangkulku dan menarikku keluar.

“Kita lebih baik keluar dari sini sebelum polisi datang daripada terlibat,” kata Hazel pelan.

“Apa kau yakin akan mepenjarakan Ayahnya mantan pacar sepupu?”

Hazel menghela napas. “Alex, kadang kala kita harus sedikit kejam untuk melakukan hal yang benar,” jawab Hazel sok bijak. Dia membuka pintu mobil, menyuruh Alex masuk terlebih dahulu dan kembali memasang sabuk pengaman untukku.

“Apa kau sebegitu tak menyukai Maggie?” aku tahu aku bertanya sesuatu yang sedikit pribadi, tapi kupikir aku harus meyakinkan diriku sendiri bahwa aku masih menganggap Hazel sebagai orang baik. Aku tak mau kehilangan prinsip itu.

“Aku menyukai Maggie,” mobil kami melewati jalanan gelap dengan perlahan. Suara batu yang terinjak memecah kesunyian sementara diantara kami. “Dulu,” katanya lagi. “Jika dia tak menyakiti Felix.”

“Kau membenci semua orang yang menyakiti saudaramu ya?”

“Tidak,” kata Hazel lagi. “Waktu Maggie berpisah dengan Felix, aku mengerti saat dia bilang kalau perasaannya berubah. Namun, aku tak tahu apakah Maggie sengaja atau tidak tapi dia sepertinya mengatakan sesuatu yang membuat Felix seperti kehilangan harapan untuk hidup. Karena itu aku jadi sebal padanya. Apalagi Ayahnya punya sifat begitu.”

“Sebenarnya apa yang terjadi pada Felix?”

“Aku tak tahu secara pasti, Felix tak mau cerita secara detail. Aku hanya mendengar ceritanya dari teman-teman dekat Felix,” akhirnya mobil kami masuk ke jalan raya. “Maggie itu anak supir keluarga kami. Dulu sih. Dia sudah kuanggap seperti keluargaku sendiri, apalagi aku anak tunggal, dan Felix suka padanya. Katakan saja mereka saling jatuh cinta dan mulai pacaran sejak SMP.

Lalu setahun yang lalu tiba-tiba Maggie memutuskan hubungan, dia suka sama sahabat Felix. Mereka sudah cukup lama bersama jadi kupikir ada saatnya Maggie mungkin bosan pada Felix. Aku tak bisa menyalahkannya kan? Ada banyak lelaki di dunia ini dan dia berhak menentukan sendiri apa yang terbaik untuknya. Kupikir Felix tidak menerima hal itu dan bicara dengannya baik-baik. Tapi setelah kejadian itu, dia malah melemparkannya dirinya ke jalan dan kalau kau tak ada saat itu, dia pasti sudah mati.

Tapi Ayahnya Maggie melakukan hal yang salah. Dia membawa lari uang yang diwariskan Kakek padaku. Aku tak dendam dan kupikir dia pasti ingin melakukannya untuk membiayai pengobatan isterinya yang waktu itu sedang sakit. Tapi ternyata uang itu justru dipakainya untuk foya-foya. Kesabaranku sudah habis melihat tingkahnya itu, karena itu aku tak tahan lagi. Aku tak berharap dia mengembalikan uang itu, tapi aku juga tak ingin mereka dekat-dekat lagi dengan keluargaku.”

Hazel bercerita dengan nada datar dan bisa kurasakan emosi di dalamnya.

Ponsel Hazel bordering tak lama kemudian. “Halo?” dia mengangkatnya dan karena keadaan cukup sunyi aku bisa mendengar suara dari orang di telepon.

“Felix ditemukan.”

“Oke, kami kesana sekarang. Thanks ya?” Hazel mengantongi ponselnya dan melirikku. “Alex, saatnya beraksi.”

“Itu tadi siapa?” dahiku mengerut.

“Orang-orang kepercayaanku.”

Hazel benar-benar orang yang luar biasa.

*** Amour Café ***