Rabu, 19 Oktober 2011

Philia Chiko (Paper 1)

by: Prince Novel

Satu

Chiko Handanamuda, begitulah dia dipanggil. Baru kembali dari Kanada karena bosan setengah mati di negeri orang sana dan sadar betul kalau tampangnya cakep. Selama di Kanada, tak habisnya cewek-cewek itu mengekorinya kemana-mana. Dia mulai suntuk dengan tingkah bebas disana.

Walau berat hati meninggalkan Kanada, dia toh berangkat juga. Awalnya dia merasa kalau Indonesia tak jauh beda dengan Kanada. Tapi ternyata dia salah.

Jika di Kanada tak ada cewek yang membuatnya tertarik, maka disini dia menemukan satu orang yang membuatnya penasaran setengah mati.

Philiana Anastasia, Chiko tak hentinya menyingkirkan nama itu dari pikirannya sejak dia bertemu gadis itu. Malah, semakin dia berusaha menyingkirkannya, wajah gadis mungil itu muncul terus seperti di depan matanya sendiri. Chiko masih bisa membayangkan wajah gadis itu: dia cantik, mungil, imut, matanya bulat berwarna hitam dengan bulu mata yang lentik, rambutnya tak pernah lepas dari bando putih, membuat gadis itu semakin manis di matanya.

Cewek itu tak seperti yang lain. Philia membencinya.

Pertama kali Chiko melewati gadis itu saat hari pertamanya masuk sekolah, Philia tidak memandangnya. Bahkan Chiko sempat mendengar pernyataan mengejutkan dari gadis itu mengenainya, “Siapa? Chiko siapa? Nggak tahu.”

Astaga. Chiko benar-benar tak percaya kalau gadis itu tak mengenalnya. Padahal kan dia sudah cukup terkenal pada semua gadis di sekolah itu. Dan Chiko semakin tertarik lagi begitu mengetahui kalau gadis yang satu itu hampir menolak seluruh lelaki yang nembak dia. Apaan sih? Emangnya dia begitu sombongnya sampai-sampai nggak tertarik sama cowok?

“Idih, Gina!” Philia kelihatan gemas pada Gina karena mengomentarinya menolak cowok super ganteng dari kelas tiga. “Nggak ada yang lebih ganteng daripada Albert Einstein.”

“Dasar gila!” gerutu Gina. “Albert Einstein itu udah beruban, tua, jelek lagi! Sadar dong, Li. Mau sampe kapan sih pacaran sama sains?”

“Sampe ada cowok yang lebih keren dari sains!”

“Mana ada cowok begituan.”

“Bodo!”

Chiko geli sendiri mendengar percakapan mereka di taman. Ya, ampun. Di dunia ini masih ada aja cewek yang ngidolain Einstein? Luar biasa!

Akhirnya karena penasaran, Chiko memberanikan diri untuk mengenal Philia. Kalau tak salah, waktu itu Chiko mengulurkan tangannya pada Philia di perpustakaan, menanyakan namanya dan meminta berteman dengannya. Jujur saja, Chiko belum pernah berkenalan dengan gadis terlebih dahulu dan endingnya benar-benar memalukan.

“Oh, hai. Bye,” kata Philia melenggang pergi, meninggalkan tangan Chiko yang masih menjulur.

Astaga, cewek itu sebenarnya terbuat dari apa sih? Emangnya aku kuman apa sampai-sampai dia bahkan tak mau menjabat tanganku?

“Aku ngeri ngeliat cowok yang nongol tiba-tiba, terus mengulurkan tangannya dan bertanya namaku. Gimana kalau dia orang jahat?” Philia curhat sama Gina sambil memeluk bukunya. Langkah kakinya cepat sekali.

“Dia itu Chiko,” kata Gina.

“Nggak kenal. Bodo amat deh.”

Akhirnya Chiko sadar kalau Philia lebih tertarik pada cowok terpintar di dunia daripada cowok terganteng di dunia. Lihat aja, dia hapal nama Kunabalang dan segudang prestasinya di biologi padahal tampangnya aja bikin Chiko mau muntah. Atau Si Auna, anak A-1 yang kacamatanya aja lebih tebal dari pantat botol. Bahkan dia berteman dengan akrab pada Luka yang bahkan tak mau bicara kalo bukan soal Matematika melainkan dengan rumus-rumus belibet yang jelas-jelas bukan bahasa umum.

Benar saja, begitu Chiko mengambil peringkat pertama Philia dalam salah satu ujian, gadis itu langsung mengingat namanya dan—tentu saja dengan tambahan—rasa permusuhan. Gadis itu tak bisa melihatnya dengan ramah apalagi penuh kelembutan. Chiko lama-lama terbiasa dengan sikapnya dan malah merasa kalau tingkah Philia sangat menggelikan.

Ya, ampun, cewek satu itu benar-benar membuatnya ingin tertawa terus. Entah kenapa dia merasa senang sekali menggoda cewek itu. Apalagi melihatnya marah. Gadis itu semakin terlihat manis.

^^^***^^^

Philia melipat tangannya, terlihat jengkel.

“Ya ampun. Aku kan cuma nganterin ke sekolahmu. Jutek amat,” kata Shan melepas helmnya. Dia memperhatikan ke dalam gerbang sekolah. “Mana cowok yang namanya Chiko?”

“Shandy Rukianto,” gerutu Philia. “Aku bisa mengatasi masalahku sendiri.”

Shan masih melirik gerbang. Setengah berharap ada salah satu cowok yang dikerubutin cewek lalu memanggil Philia. Akhirnya, karena tak mungkin hal tersebut bakal ada, Shan memperbaiki letak gendongan tas biolanya dan tersenyum. “Iya, deh, aku percaya. Tapi, seperti yang kubilang tadi, Lia, kalau ada apa-apa kasih tahu aku oke?”

Philia menangguk cepat. “Udah, pergi sana! Entar telat lagi. Bukannya kau ada manggung?”

“Oh, ya, benar,” Shan memakai helmnya kembali. Dia menghidupkan mesin motornya dan seraya memberikan lambaian, motornya melaju pergi.

Philia geleng-geleng kepala. “Cowok satu itu benar-benar deh,” gumamnya.

“Ehem!” Gina nongol sambil menepuk bahunya dan kelihatan berbahagia sekali. Philia sampai melonjak sanking kagetnya.

“Ih, Gina! Ngagetin tahu! Gimana kalo aku tadi sakit jantung?” gerutu Philia.

Gina tak mendengarkan. Dia masih tersenyum penuh arti. “Siapa tuh?”

“Siapa apanya?” kata Philia bingung.

“Cowok super ganteng bak pangeran dengan motor keren dan seragam sekolah super elit. Cowok yang nganterin kau kesini,” kata Gina cepat.

Wah, kalau saja Septo dengar istilah itu, maka dia bakal ketawa ngakak. “Teman.”

“Yakin?” Gina kelihatan tak percaya. Philia menatapnya lekat-lekat lalu mengangguk mantap. “Tapi kok aku merasa dia sebagai cowok yang lebih dari teman ya?”

“Sahabat kalau begitu,” kata Philia cepat.

“Aduh, Lia. Aku serius. Cowok itu sebenarnya siapa sih?” gerutu Gina.

Philia masih melenggang. Ini bukan pertama kalinya ada cewek bertanya hal yang sama mengenai Septo ataupun Shan. Mereka berdua—walau Philia ogah jujur—emang ganteng dan menarik perhatian. Kalau Philia cerita, mereka berdua pasti sok keren. Apalagi Septo.

“Aku kan emang ganteng!” itu katanya dulu. Cuih. Amit-amit!

“Lia, itu cowok siapa sih?” kata Gina penasaran.

“Kenapa? Naksir?” kata Philia.

“Iya. Kalo dia emang belum punya cewek, kenapa nggak coba comblangin temanmu ini padanya? Kan jarang banget aku ketemu cowok keren,” kata Gina, lalu ketawa.

Philia memutar kedua bola matanya. “Waduh, gimana ya?” kemudian tertawa. “Masalahnya kau harus antri dulu. Soalnya ada banyak cewek ngantriiiiiiiiiiiii jadi pacarnya.”

“Salah satunya kau?” mata Gina menyipit menggoda.

“Aku cuma suka Albert Einstein,” timpal Philia cepat. “Aduh, udah, ah, Gin. Aku mau siap-siap buat tes besok. Mau ke perpus dulu.”

“Ini masih pagi tahu!” Gina mempercepat langkahnya, mencegah cewek cantik itu masuk kembali ke perpustakaan. “Lagian tesnya besok. Mau sampe kapan memelototi buku terus? Lama-lama matamu bisa berubah jadi buku.”

“Bagus, dong, jadi waktu ujian otakku nggak perlu mikir lagi.”

Susah deh melawan Philia dan akhirnya Gina menyerah.

Saat Philia sudah menginjakan kaki ke perpustakaan ada satu sosok yang membuat keinginannya berubah total. Dengan cepat dia berbalik ke belakang dan buru-buru keluar dari perpustakaan sampai kemudian ada satu suara yang paling dibencinya menyapanya.

“Hai, Lia,” kata Chiko.

“Hai, bye,” kata Philia cepat.

Chiko belum menyerah. Cowok itu segera kesisi Philia dan tersenyum seperti orang gila. “Kok buru-buru sih? Bukannya tadi kau niat ke perpustakaan?”

Philia menggerutu. “Bisa nggak sih kau jangan ikuti aku terus?”

Alis Chiko terangkat. “Aneh, ini kan jalur menuju kelasku.”

Philia menggigit bibirnya. Perasaannya jengkel sekali menghadapi cowok yang satu ini. Kenapa dia tak menyerah saja dan segera enyah dari hadapannya? “Oke, kalau begitu silakan jalan duluan," kata Philia berhenti.

Chiko berhenti. “Lalu, kau mau kemana?”

“Perpustakaan.”

“Ah, aku juga mau ke perpustakaan. Gimana kalau kita sama-sama belajar?”

IIIIIH! Philia benar-benar kehabisan akal menghadapi cowok yang satu ini. Sabar. Philia menarik napas dalam-dalam. Melihat wajah menyebalkan Chiko—yang kelihatan begitu puas menggodanya—membuat Philia harus menahan keinginan untuk meninju cowok itu.

“Aku berubah pikiran. Aku mau ke kelas dan nggak mau dekat-dekat kau.”

Chiko tertawa. “Memangnya kenapa sih? Jangan bilang kau masih marah karena aku mengambil peringkat satumu lagi.”

“Aku—”

“Lia!”

Philia berhenti membalas karena mendengar namanya dipanggil. Segera saja rahangnya jatuh dan matanya melotot melihat siapa cowok yang baru saja memanggilnya. Septo. Ngapain anak itu ada disini?

“Siapa itu?” kata Chiko mengerutkan dahinya.

Philia tak menjawab. Cepat-cepat dia berlari menuju Septo yang memanggilnya dari gerbang. Septo benar-benar menarik perhatian. Lihat saja, murid-murid yang ada disekitarnya mulai meliriknya. Septo punya wajah yang tampan, baby face sekali dengan matanya yang jenaka, senyumnya yang tulus dan rambutnya yang coklat. Apalagi hari ini dia bawa motor sport bike-nya yang baru.

“Ngapain kau datang kesini?” desis Philia mengecak pinggang.

“Jahat ih, aku kan cuma mengantar pesanan Mamamu,” kata Septo. Dia mengambil tasnya, mengaduk-aduk isinya dan mengeluarkan sebuah buku ekstra tebal padanya. “Nih, katanya buku biologimu ketinggalan di ruang depan. Bukannya hari ini kalian ada praktikum?”

“Oh, iya!” Philia memukul kepalanya sendiri. “Bego bener deh.” Kemarin dia ketiduran dan meninggalkan buku itu di ruang depan. “Makasih, ya.”

“Eh, jangan cuma makasih aja dong. Imbalannya mana?” kata Septo lagi. Dan saat Philia memelototinya, cowok itu tertawa dan buru-buru pamit. “Nggak jadi deh. Aku takut dicakar.”

Philia hendak menimpuk Septo dengan buku itu. Gagal. Septo sudah pergi duluan sambil tertawa terbahak.

^^^***^^^

Chiko menguap, matanya memandangi whiteboard dengan tatapan kosong. Hari ini kelas kosong, gurunya sedang berangkat ke Semarang dan anak-anak sedang berpesta pora.

“Chik,” Steave, sang Ketua Kelas duduk di mejanya setelah menimpuk kepalanya dengan buku absensi. “kenapa lo? Bengong mulu dari tadi.”

“Elo sendiri ngapain gangguin gue mulu, Steave?” gerutu Chiko. Matanya kembali melirik buku matematika yang menampilkan gambaran grafik yang menyebalkan.

“Ah, elo nggak usah pura-pura deh,” Steave menyingkirkan buku itu ke seberang meja. “Bilang aja lo lagi stres mikirin cowok yang tadi pagi nganterin buku buat si Philia, iya kan? Tebakan gue bener kan?”

“Sok tahu lo,” gerutu Chiko.

Anehnya, Steave tersenyum-senyum sendiri kayak orang goblok. “Ya iyalah, soalnya gue kan kenal sama cowok itu.”

Oke, perhatian Chiko teralih. “Oh, ya? Siapa?”

Steave nyengir lebar. “Nah, kan, bener dugaan gue? Elo stres mikirin cowok itu.”

“Rese lo!” Chiko mengumpat. “Nggak usah berbelit-belit napa? Itu cowok siapa sih? Kok kayaknya super lengket gitu sama Lia?’

“Itu Septo. Sobatnya si Philia sejak lahir. Anak SMK Dermaga jurusan Elektro dan Robotika. Payah lo, nggak usah saingan sama dia,” kata Steave lagi dan karena Chiko nggak ngerti maka dia melanjutkan. “Soalnya dilihat dari segi manapun, Septo tetap lebih oke dari elo.”

“Oh ya?” Chiko tak terkejut. “Kok gue ngerasa nggak kayak gitu? Kalo dilihat dari tampang, jelas-jelas gue lebih cakep dari Septo.”

Steave ngakak. “Pede banget sih lo! Lo kan tahu sendiri kalo Philia nggak pernah lihat cowok dari tampang! Ngaca dong lo.”

“Tapi gue kan jelas-jelas cerdas, kalo nggak mana mungkin Lia sampe sebegitu bencinya sama gue,” kata Chiko dan Steave semakin ketawa. “Eh, nyamuk! Jangan ketawa aja dong lo!”

“Nyerah aja lo, Chik, kalo nggak elo bakal terlibat cinta segiempat,” kata Steave lagi. “Gue aja nggak mau lagi naksir betulan sama si Lia.”

Dahi Chiko mengerut. “Cinta segiempat? Kan cuma gue, Septo ama si Lia kan? Ngaco lo, itu segitiga, bukan segiempat!”

Steave tersenyum lagi. “Ups, gue lupa bilang yang satu lagi. Ada satu lagi cowok super cakep disamping si Lia. Namanya Shandy, anak Seni dari Sekolah Music Gliendy. Wah, Sob, waktu gue ketemu cowok itu, langsung ciut gue.”

Chiko menegakan badannya. “Emangnya dia kenapa? Setan?”

“Setan? Parah lo! Dia kayak malaikat tahu!” Steave kembali tertawa. “Auranya, kharismanya, belum lagi dia bijaksana! Wah, elo sih kayak segumpalan debu di pantai. Nggak berarti!”

Hum… Chiko nggak pernah tahu ada cowok yang begitu disamping Philia. Selama ini Chiko cuma tahu kalau Philia berteman sama cowok-cowok super udik, super jelek dan super tidak terlihat, jadi jelas-jelas Chiko merasa kalau dia punya kesempatan. Siapa sih yang nolak cowok pintar yang ganteng? Tapi, kalau mendengar cerita dari Steave, mungkin saja itu benar.

Maksudnya, siapa sih yang bisa benci sama cewek semanis Philia? Oke, mungkin aja mulutnya berbisa, tapi tetap aja dia manis. Buktinya Steave pernah naksir sama Philia. Padahal jelas-jelas Steave cukup punya tampang untuk memecahkan kategori cowok ganteng di sekolahan.

“Darimana lo tahu soal Septo sama Shandy?” kata Chiko.

“Gue kan dulu satu tempat les sama mereka bertiga,” kata Steave. “Gue berteman sama Philia. Nah, selang dua minggu, dua pengawalnya muncul. Philia, Septo dan Shan—ya, ampun, mereka nggak terpisahkan. Kemana-mana selalu bertiga. Elo pasti tahu kan kayak apa serasinya mereka bertiga kalo jalan?”

Chiko manggut-manggut. “Elo tahu dimana rumah Philia?”

Dahi Steave mengerut. “Elo mau ke rumahnya? Mau cari mati? Elo kan nggak punya urusan apa-apa ke rumahnya. Apalagi elo sama Philia kan beda kelas.”

Chiko tersenyum penuh arti. “Alasan kan bisa dibuat.”

“Dasar sinting lo!”

^^^***^^^

Rabu, 12 Oktober 2011

Philia Chiko (Prolog)

by: Prince Novel

Prolog

“Dasar cowok sok pintar!” Philia menggerutu sebal. Dia mondar-mandir di depan kelas yang kosong sambil melipat tangannya. Kemarahan terpancar jelas di wajahnya. Sobatnya, Gina hanya bisa duduk dengan tenang di salah satu meja sambil melipat tangan.

“Udahlah, Li, si Chiko kan emang begitu. Buat apa ditanggepin,” Gina berusaha untuk menenangkan sahabatnya dan sedikit merasa prihatin pada cewek itu.

Sebenarnya beberapa menit lalu, mereka baru saja melewati papan pengumuman nilai yang terpampang jelas di depan ruang guru. Hari ini ada nilai Fisika yang keluar dan sayangnya bukan nama Philia yang ada diperingkat pertama, tapi Chiko, si anak A-4. Begitu mengetahui kalau namanya ada di peringkat pertama, Chiko sengaja mengeraskan suaranya pada mereka padahal ada banyak murid disitu.

“Sayang sekali, ya, hari ini aku yang ada di peringkat satu.”

Lalu meledaklah kemarahan Philia. Kalau saja Gina tak segera menarik Philia untuk segera mengungsi, mungkin cewek manis itu bakal maju ke depan dan memaki-maki Chiko di depan guru yang kebetulan lewat.

“Masalahnya bukan itu, Gina,” tukas Philia masih marah-marah. “Kenapa dia sengaja bilang itu padaku? Padahal ada banyak orang disana dan guru! Cowok yang satu itu benar-benar nggak tahu terima kasih. Jangan harap lain kali aku bakal membiarkan namanya ada di peringkat pertama. Kalo nggak dia bakal besar kepala—”

Gina memutar bola matanya. Dia udah tahu apa yang akan dikatakan Philia karena selama dua tahun berteman dengannya, Gina sudah hapal semua pidatonya.

Sesungguhnya Gina mengenal Philia sejak SMP dan kebetulan aja waktu itu mereka satu kelas hanya saja Gina tak pernah ngobrol dengan Philia. Menurutnya Philia itu tak cocok berteman dengannya karena Philia kelihatan seperti sosok cewek tempramental yang lebih suka menghabiskan waktu mengerjakan soal-soal fisika dan matematika. Lalu berakhirlah masa SMP itu dengan sedikit ketenangan. Masalahnya di SMA tidak bisa seperti itu lagi karena Philia adalah satu-satunya orang yang dia kenal waktu itu.

Di luar dugaan, mereka cocok berteman. Philia tak seperti sosok gadis yang dipikirkan Gina waktu SMP, justru sebaliknya. Philia itu asyik. Dia gampang diajak kemana-mana, pengetahuannya luas sehingga PR selalu bisa dikerjakan dengan baik, juga tipe humoris. Hanya satu saja kelemahannya: dia tak suka kalah.

Gina udah tahu dari dulu mengenai itu. Gina pernah dengar kalau Philia selalu nomor satu hampir di semua pelajaran. Dan kedatangan Chiko merusak semuanya.

Chiko Handanamuda, anak dari pemilik yayasan mereka yang baru saja pindah dari Kanada, masuk saat awal semester dua. Bisa ditebak seperti apa reaksinya. Dia seorang tuan muda dengan wajah tampan, dari luar negeri—cewek-cewek itu menjerit dan nyaris pingsan karena ini—lagi, otaknya pintar dan orang kaya. Tiba-tiba saja jadi banyak cewek cantik di sekolah mereka.

Philia sudah menduga kalau Chiko bakal merebut posisinya. Benar saja belum lagi si Chiko itu sekolah disini, dia udah mendapat peringkat dua di Tes Kimia waktu itu. Sejak saat itu secara permanen nilai Chiko dan Philia jadi saling memperebutkan angka pertama.

Ironis sekali.

“Akui ajalah, Li, kalau Chiko emang jago Fisika,” tukas Gina memotong perkataan Philia. “Kau kan tak pernah menang dengan dia kalo udah masuk Tes Fisika.”

“Kok kau jadi belain dia sih?” Philia berapi-api. Ups, salah pilih kalimat!

“Aku nggak belain, cuma—”

“Jadi kalian menggosipi aku nih ceritanya?”

Mata Philia melotot, nyaris saja menggelinding keluar dari rongganya. Gina tidak lebih parah, dia menganga melihat Chiko ada di depan pintu. Cowok itu melipat tangannya, menopangkan bahunya ke sisi pintu sehingga tubuhnya tampak miring. Wajahnya yang tampan dengan pipi kurus, hidung lurus, bibir yang mempesona, rambut hitam dipotong pendek dan disisir rapi, tubuhnya tinggi dan ramping dengan kaki-kaki yang panjang, terlihat sangat mempesona.

Tapi tidak bagi Philia. Segera saja cewek mungil itu membalas pedas, “Suka-suka kami, Tuan Nguping. Ini kelas kami. Ngapain kau nongol disini? Mau pamer?”

Chiko tersenyum. “Nggak baik kalau kau marah-marah terus, Lia. Nanti kau cepat tua.”

Gigi Philia menggertak, kakinya segera melangkah melewati ruangan dan menuju Chiko. Tangannya memegang dasi cowok itu dengan ganas. “Aku nggak mau lihat tampangmu saat ini. Jadi enyah secepatnya, oke?”

Chiko masih saja tersenyum. Heran juga kenapa cowok yang satu ini masih saja bisa tenang menghadapi singa betina seperti Philia. “Ah, Lia, apa kau memperlakukan semua cowok yang mendapatkan ranking satu dengan cara begini? Harusnya kau bilang selamat padaku.”

Gina memperhatikan dengan was-was. Chiko baru saja menarik salah satu bom pemusnah massal yang akan meledak setiap saat. Philia bisa sewaktu-waktu menonjok Chiko tanpa peringatan. Chiko nggak tahu kalau Philia jago karate.

“Kami pulang dulu, Chik dan selamat,” Gina buru-buru bangkit, mengambil tas Philia dan tasnya sekaligus kemudian menarik Philia. Dia mendorong Chiko cukup keras untuk membuat cowok itu minggir.

Philia masih sempat memberikan pelototannya pada Chiko. Tapi Chiko hanya bisa tergelak-gelak. Dia benar-benar menganggap Philia badut!

^^^***^^^

Terry tak memberikan reaksi ataupun komentar walau Philia menghabiskan separuh napasnya cuma untuk menceritakan kejadian hari ini.

“Terry, dia benar-benar menyebalkan. Iya kan?” kata Philia.

Terry menggonggong, keras sekali.

“Ngomong sama anjing nih yeee?” kata suara yang dikenal Philia dan meledaklah tawa di dekatnya. Segera saja Philia mengangkat kepalanya dan mendapati ada dua cowok di depan gerbang rumahnya. Yang satu cowok yang lebih pendek dengan gaya yang lebih berandal—namanya Septo—dan yang satu lebih tinggi dengan perawakan pemuda terpelajar bernama Shan.

“Sejak kapan kalian disitu?” gerutu Philia.

“Sejak…” Shan melirik arlojinya. “sudah hampir lima belas menit. Kami mendengar cukup banyak tentang Chiko. Apa dia sebegitu menyebalkannya?”

Philia memonyongkan mulutnya lalu memeluk Terry erat-erat.

“Udah pastilah cowok itu nyebelin, Shan. Kalo nggak, mana mungkin Philia mau ngomong sama Terry? Spesiesnya aja udah beda,” kata Septo lalu tertawalah dia.

“Haha,” kata Philia jengkel. “Terus aja ketawa.”

Septo dan Shan pandang-pandangan. Lalu, seakan saling mengerti, mereka melompati gerbang batu yang nggak terlalu tinggi itu dan mendatangi Philia. Mereka duduk mengapit gadis itu dan mengelus-elus kepalanya dengan sayang.

Philia udah kenal mereka sejak kecil karena rumah mereka berdekatan. Rumah Septo ada di sebelah rumahnya bahkan kamarnya menghadap kamar Septo. Kalo rumah Shan ada di depan rumahnya, tapi balkon kamarnya menghadap tepat ke kamar Shan juga. Sejak kecil mereka suka sekali duduk-duduk di dekat jendela kamar masing-masing dan saling teriak kalo ada hal penting sampai pada akhirnya mereka berhenti kalau tetangga udah ngamuk dan menyuruh mereka diam.

Kemana-mana mereka selalu bertiga: makan, main, les, karate dan piano. Mereka tak pernah terpisahkan sejak kecil. Hanya saja setelah masuk SMA, mereka mulai fokus untuk meniti bidang kesukaan mereka masing-masing.

Septo suka eletronik dan setengah mati membenci pelajaran IPA karena itu dia masuk SMK. Setiap hari Philia mendengarkan dia mengoceh soal arus pendek, kabel merah-kuning-hijau, bahasa mesin dan assembly, dan rencana-rencananya untuk prospek masa depan.

Kalau Shan lebih suka musik dan tanpa basa-basi lagi, dia sudah lulus di salah satu Sekolah Khusus Seni. Sejak kecil dia jago main piano, biola dan cello dan kadang-kadang membuat beberapa lagu untuk festival dan acara-acara kecil di sekolah. Berulang kali dia akan menanyakan pendapat mengenai nada pada Septo dan Philia kalau ada kesempatan.

Lain dengan mereka berdua, Philia suka sains. Hitung-menghitung sudah jadi makanannya sejak kecil. Bahkan Septo berpendapat kalau suatu hari nanti Philia bisa mendapat nobel fisika. Dan Philia paling tak suka kalah kalau ada orang yang mengambil kedudukannya. Benar saja. Mendapat saingan seperti Chiko membuatnya marah besar.

“Ya ampun, Li,” kata Septo menghela napas. “Jangan putus asa begitu dong. Mungkin aja waktu itu dia lagi beruntung kali. Tiba-tiba aja pensilnya bisa gerak sendiri terus jawabannya jadi benar semua. Kalo nggak guru yang meriksa jawaban lagi sakit mata waktu itu jadi—”

Shan tertawa, geli sendiri dengan pernyataan Septo. “Pensilnya bisa gerak sendiri karena ada chip yang terpasang begitu?”

“Bisa aja kan?” begitu hobinya tersentuh, mata Septo langsung berbinar. Tanpa bisa dibendung lagi dia mencerocos hal yang dia tahu mengenai itu. “Masa kau tak tahu kalau sekarang teknologi sangat berkembang pesat? Bahkan kita tak bisa tahu penemuan apa lagi yang bakal keluar selanjutnya. Apa kau tak tahu kalau manusia lumpuh jadi bisa jalan lagi karena dipasangin chip ke otaknya? Chip itu bakal memberikan arus listrik untuk menstimulan otaknya sehingga memberikan refleks pada gerakan kaki, jadi—”

“Aku nggak ngerti,” kata Shan menutup mulut Septo. “Jangan dengarkan dia, Li. Masalahmu nggak ada hubungannya dengan chip. Dia ngawur. Ngomong sendiri.”

Anehnya, Philia malah ketawa. Ternyata dikelilingi oleh teman-teman yang agak idiot seperti Septo dan Shan bakal bisa membuatnya tertawa. Mereka memang lebih baik dari segala cowok yang ada di muka bumi ini. Andai saja dia suruh memilih sepuluh ribu cowok ganteng atau mereka berdua untuk dibiarkan hidup, Philia akan memilih mereka berdua. Alasannya logis sekali, dia kan nggak kenal sama sepuluh ribu cowok ganteng itu.

“Gimana kalo kami sedikit memberi pelajaran sama—siapa tadi namanya?—oh, ya Chiko? Kurasa dia akan diam kalau diancam,” kata Shan lagi.

Shan sangat menakutkan kalau marah jadi Philia ragu apakah pantas baginya memberikan beban berat ini untuknya.

“Nggak. Nggak perlu,” Philia menggeleng. “Aku bisa menghadapinya. Lagi pula kau tenang aja, aku kan bisa menjaga diriku sendiri,” tambahnya memberikan satu gerakan tinju yang mantap.

“Benar benar benar,” kata Septo makin terbahak. “Pantas aja saat ini kau belum punya pacar. Mana ada cowok yang mau sama cewek yang beringasan sepertimu. Cuma kami aja yang betah menghabiskan waktu denganmu.”

Philia mencubit tangan Septo dan cowok itu pun mengaduh sambil tertawa.

^^^***^^^