Sabtu, 26 November 2011

Philia-Chiko (Paper 3)

Tiga

Ada banyak hal mengenai Shan yang membuat cewek-cewek terhipnotis padanya: cakep, baik, ramah, pintar ditambah lagi bisa main alat musik dan anak orang kaya. Tak ada yang bisa menolak kharismanya itu. Ketika dia tersenyum, bew… cewek-cewek itu nyaris pingsan kayak disapu angin. Kalau dia ngomong, sssssing… sunyi dan terhipnotis dengan perkataannya. Dan kalau dia main musik, maka hanya ada satu suara ketika dia selesai: KYAAAAAAA—beginilah suara teriakan kalau ada di komik-komik.

Dan begitulah juga hari ini.

Philia dan Gina segera menutup kedua telinga mereka ketika Shan mengakhiri permainan biolanya. Melindungi gendang telinga mereka yang berharga dari suara-suara cewek mengerikan, yang bahkan nggak cukup teriak-teriak untuk menunjukan kekaguman mereka melainkan juga sambil bertepuk tangan dan membawa papan berisi nama Shan—kayak mau nonton konser.

Shan tersenyum, memberikan bungkukan paling sederhana dan paling sopan untuk para penonton, lalu menghilang di balik pentas. Seketika si Pangeran berubah kembali menjadi rakyat biasa.

“Fuh,” Shan menghembuskan napasnya, menghampiri Philia dan Gina yang menunggu di depan aula. “Untung selesai, aku pikir aku nyaris mati sanking gugupnya.”

“Penampilanmu oke,” kata Philia menunjukan kedua jempolnya, lalu melirik cewek-cewek yang melewati mereka sambil menunjuk-nunjuk Shan dengan mata penuh kekaguman.

Shan melihat arah pandang Philia lalu tertawa, “Mereka teman sekelas, Li. Kurasa mereka heran melihat aku bareng dua cewek cantik.” Dia melirik Gina. “Hai, aku Shandy. Shan, panggil begitu saja. Makasih udah datang ke pensi sekolahku.”

Gina menyambut tangannya. “Aku Gina.”

“Septo tadi SMS, dia datang waktu sore. Jadi, kalian mau kemana? Biar aku temanin.”

“Memangnya kau tak ada kegiatan lagi?” kata Gina heran. “Apa kau tak ikut bantu-bantu di Osis misalnya?”

Shan menggeleng. “Aku nggak suka ikut campur di organisasi. Repot dan ribet.” Katanya. “Jadi, kalian mau kemana? Mau makan siang dulu, atau main dulu?”

Rasanya nggak asik kalau main tanpa Septo. “Kita makan siang dulu aja, deh sekalian nungguin Septo.” Kata Philia. “Gimana, Gin?”

Gina mengangkat kedua bahunya. “Aku nggak keberatan.”

Akhirnya mereka setuju untuk makan di salah satu stan yang dimiliki oleh anak Osis. Restoran dadakan yang unik: Restoran Musik. Dengan alunan musik jazz yang oke, ditambah dengan permaian piano yang menarik perhatian. Meja-mejanya tertata dengan sangat apik dan cantik.

Masalahnya, saat mereka masuk bersama dengan Shan, pelayanannya tidak memuaskan. Masa cewek-cewek itu melirik ganas pada Philia dan Gina cuma karena mereka bareng Shan sih? Tapi saat Shan melirik pelayan itu, mereka kembali menunjukan wajah penuh kegenitan pada Shan.

“Aku jadi ngeri kalo mau jalan denganmu,” gerutu Philia.

“Memangnya kenapa?” Shan tertarik, membuka menu makanannya.

“Soalnya, cewek-cewek itu, akan menghabisiku,” jawabnya.

Shan tertawa. “Ya ampun, Philia, nggak ada yang istimewa selain kau kali. Jadi tenang aja. Tak ada yang bisa mengganti posisimu. Aku jamin.”

Gina menaikan alisnya. Entah kenapa dia memiliki prinsip kalau dia sekarang menjadi kambing conge diantara Shan dan Philia. Tapi karena Philia tak menanggapi perkataan Shan dan memilih untuk memberikan menu pesanannya, Gina membuang jauh pikiran itu. Siapa tahu, sebagai sahabat, mereka memang sering ngomong begituan.

Kan ada juga sahabat yang paling “honey-honeyan” bahkan tanpa ada ikatan pacaran dan jatuh cinta. Banyak lagi contohnya.

“Ada berapa banyak jurusan musik di sekolahmu ini?” Gina bertanya, berusaha sekuat tenaga mengusir kecanggungan antara mereka bertiga. Uhm, mungkin cuma Gina aja yang melihat aura penuh permusuhan dari cewek-cewek yang ada di resto ini karena baik Philia dan Shan kelihatannya nggak memberikan perhatian mereka pada orang-orang itu.

“Kami tak punya jurusan yang mengikat. Hanya saja cuma satu prinsip, kalau murid lebih ahli dengan salah satu alat musik maka para guru bakal membantu mereka sekuat tenaga,” jawab Shan menatap mata Gina.

Aduh, nggak kuat! Gina membatin. Cakep banget sih cowok satu ini! Nggak nyangka kalo selama ini Philia berteman sama cowok beginian. Pantesan aja si Chiko nggak kelihatan oke di matanya.

“Kau ahli main apa?” tanya Gina lagi, suaranya sedikit bergetar.

“Biola,” jawab Shan cepat. “Tapi karena sejak kecil aku suka musik dan kebetulan kedua orang tuaku juga main musik, aku bisa main piano dan cello juga.”

Gina manggut-manggut.

“Septo nggak bilang apa-apa soal kapan dia nyampe? Masa anak itu lebih suka berlama-lama ngurusin seminar daripada main sih? Kenapa dia bisa berubah jadi serius begitu?”

Shan menaikan alisnya. Keheranan. “Loh? Emangnya Septo nggak cerita padamu ya?”

Kali ini Philia menggeleng sambil mengerutkan dahi. “Dia nggak ngomong apa-apa. Memangnya ada apa? Dia bikin ulah atau bagaimana?”

“Seminar kali ini dia dapat kehormatan bertemu dengan Menteri Komunikasi dan Teknologi sekaligus juga dapat penghargaan karena membuat alat pendeteksi gempa sederhana. Kau tak lihat beritanya di koran dua hari lalu?”

Philia menganga. “Aku nggak tahu apa-apa soal itu,” desah Philia. “Tapi kenapa dia sendiri nggak cerita sih? Rumah kami kan bersebelahan. Bukan hanya itu, jendela kamar kami juga bersebelahan! Jahat banget Septo nggak cerita begituan.”

“Mungkin dia lupa,” kata Shan.

Philia jengkel. Septo nggak pernah lupa akan apapun sebelumnya. Biasanya dia selalu melapor pada Philia. Sekecil apapun itu. Masa berita tentang munculnya dirinya di koran tak diketahui Philia sama sekali sih? Oh, come on. Kita sedang membicarakan Septo. Satu-satunya manusia di dunia ini yang paling susah diam.

Sepanjang makan siang, Philia memakan hidangannya sambil mendesis jengkel. Gina memerhatikan kalau Shan sekali-kali melirik padanya dan tersenyum sendiri sambil geleng-geleng kepala. Tidak salah lagi. Kali ini Gina benar-benar menangkap adanya sinyal-sinyal dari cinta.

Cupid kurang kerjaan! Masa dia nggak lihat masih ada satu cewek cantik yang nggak diperhatiin disini?

“Oi, ternyata disini!” suara Septo mengagetkan Gina. Philia sampai menjatuhkan garpunya.

“Septo!!” seru Philia jengkel. “Jangan ngagetin napa? Dasar jelek!”

Septo tertawa, lalu duduk disamping Shan yang juga ketawa. Melihat cowok ganteng duduk berdua benar-benar membuat kesan tersendiri bagi Gina. Ya ampun, mereka berdua benar-benar seperti model yang cocok banget. Serasi. Yang satu tipe pangeran dan yang satu lagi tipe anak nakal yang energik.

“Ini siapa?” Septo menatap Gina.

“Oh, ini teman sekelas Philia, Gina namanya.” Shan menjawab cepat.

“Hai, Gina. Aku Septo,” Septo menyapa sambil melambai kesenangan, lalu beralih pada Philia, “Coba tebak aku bawa siapa?”

Philia mengerutkan dahinya dan belum lagi dia mencerna apa yang terjadi terdengar suara yang nggak ingin dia dengar.

“Hai, Philia. Hai, Gina,” kata Chiko dan duduk disamping Septo.

Philia melotot dan Gina ternganga, bahkan Shan sampai mengerutkan dahinya.

“Kenapa dia ada disini?” Philia nyaris menjerit. Dia menatap jengkel Septo. “Kau ngajak dia kemari? Buat apaan?”

“Kami kebetulan ketemu di seminar,” jawab Septo cepat, tidak menggubris pelototan Philia. “Terus dia menyapaku dan bertanya kenapa aku begitu terburu-buru pamit padahal ada sesi tanda tangan. Terus, waktu aku bilang kalau aku ada janji dengan kalian berdua, dia minta ikutan. Menurutku sih oke-oke aja. Lagian, ini kan pensi. Siapapun bebas datang. Bukannya semakin banyak semakin baik. Ya kan, Shan?”

Shan mengerjap sejenak, menghela napas dan detik berikutnya geleng-geleng kepala bersamaan dengan gumaman, “Anak ini…”

“Kenapa? Salah kalau aku mengajaknya?” Septo bertanya keheranan.

“Idiot,” gumam Shan lagi.

“Tenang saja, Philia, aku nggak bakal merusak suasana,” kata Chiko enteng. “Kalian berdua tahu nggak, Philia mengalahkanku dalam tes Kimia dua hari lalu. Dia keren sekali.”

“Dia memang keren,” Shan setuju. “Kau satu-satunya orang yang bisa mengalahkannya.”

“Aku tak yakin,” kata Chiko kalem. “Aku yakin waktu SMP salah satu dari kalian pernah mengalahkannya dalam sains.”

Shan dan Septo berpandangan, lalu sama-sama menjawab, “Tak pernah.”

“Aku membenci sains seumur hidupku,” kata Septo.

“Dan aku lebih suka musik lebih dari apapun, jadi aku lebih suka belajar sejarah walau nilai sainsku nggak buruk-buruk amat,” kata Shan.

Chiko mengerutkan dahi. Jadi, pada intinya mereka berdua tak pernah mengalahkan Philia. Hal itulah yang membuat cewek itu nempel terus pada mereka, begitu kan? “Aku sungguh salut pada kalian berdua,” kata Chiko melirik Philia. “Bisa bertahan sama cewek sejenis Philia.”

Philia mencibir.

Septo tertawa.

“Begitulah. Kalau kita udah bersama-sama sejak kecil, maka kita bisa beradaptasi dengan lingkungan kita,” kata Shan lagi. “Lagian Philia nggak buruk-buruk amat. Dia cewek yang oke kok. Seenggaknya, bukan tipe cewek yang langsung berbinar melihat cowok cakep lewat.”

Dan mereka bertiga tertawa lagi. Tak menggubris Philia bahkan meliriknya.

“Oi,” kata Philia lagi. “Apa kalian tak malu bergosip di depan orangnya? Kalian ini sedang membicarakan aku tahu!”

Mereka tidak mendengarkan—atau mungkin lebih tepatnya pura-pura tidak mendengarkan—karena mereka sibuk bertukar cerita. Membicarakan masalah-masalah yang tak dimengerti Philia dan Gina. Dan entah bagaimana, dari segi Philia dan Gina memperhatikan mereka: tembok permusuhan itu terhapus menjadi sebuah aliran persahabatan.

Mencair dan hangat.

Gina menyenggol Philia.

“Apa?” desis Philia.

“Gimana kalo kita berdua menyusup pergi dan cari cowok oke?” Gina berbisik. Sebenarnya dia nggak mau mengusulkan ini. Tapi, daripada manyun nggak jelas menunggui tiga cowok yang terobsesi pada mesin, musik dan sains, lebih baik mereka bersenang-senang sendiri.

Philia setuju. Dengan cepat dia mengangguk dan menyusup keluar dari restoran.

Tak ada satupun dari tiga cowok itu yang menyadari kalau mereka kehilangan mereka berdua karena mereka sibuk menceritakan tentang pedalaman antartika.

“Chiko sialaaaaaaaaaaaaaan!” Philia menggerutu sebal. “Dia udah berniat mengambil peringkat satu aku di sekolahan dan sekarang dia mengambil dua sahabatku begitu gampangnya! Menyebalkan! Dasar cowok jelek!”

Gina terkekeh sejenak. “Ya jelas ajalah mereka lebih nyaman sama Chiko. Mereka kan sama-sama cowok. Kan nggak mungkin banget Shan dan Septo ngbrolin soal cowok padamu. Bisa keki mereka berdua.”

Philia memberikan tatapan menyuruhnya diam. Benar-benar salah pilih topik.

“Kita main itu yuk,” Gina cepat-cepat menyudahi pandangan Philia dengan menarik gadis itu ke salah satu permaian “Pukul Tikus Tanah”.

Dengan cepat Philia menyambar palu kecil dan memukul tikus-tikus yang muncul di lubang sambil sesekali mengutuki Chiko. “Jelek! Chiko! Jelek! Chiko!”

Gina benar-benar pusing mengurusi Philia. Entah gimana cara Septo dan Shan bisa menenangkannya kalo dia ngamuk begini. Ampun deh. Capek banget!

Selanjutnya mereka foto berdua di foto-box buatan. Hasilnya oke banget. Kemudian melanjutkan perjalanan sambil makan gulali dan mencoba asesoris yang dijual dipinggiran. Gina cukup berani meramal dirinya pada salah satu peramal yang memakai bola kristal berembun yang mirip dengan bola kristalnya Harpot waktu pelajaran Ramalan bersama Prof. Trelewney. Masalahnya, sama seperti Hermione, Philia nggak percaya sama sekali dengan tipuan seperti itu.

Mereka juga membeli sepasang gelang yang sama. Tanda persahabatan baru dari dua jomblowati yang bahagia. Lalu tertatih-tatih mencoba sepatu tinggi yang kesempitan dan akhirnya cukup lelah untuk keliling dan memutuskan untuk duduk sebentar di pondok kecil penjual es kelapa muda.

Benar-benar pondok yang oke. Bahkan pelayannya aja pake jas dan tampangnya oke punya. Gina yang tertarik bertanya cowok itu kelas berapa dan dia menjawab kalo dia masih kelas satu. Iiiih… brondong imut! Begitulah mereka berdua putuskan.

“Kalian darimana sih?” Chiko terlihat jengkel. Kedua tangannya sudah di pinggang. Shan dan Septo yang ada di belakangnya juga kelihatan khawatir. “Kami dari tadi mencari kalian tahu. Hape nggak aktif. Perginya nggak pamit lagi.”

Philia dan Gina saling pandang.

“Kalian duluan yang cuek pada kami. Kami kan cuma keliling stan doang,” kata Gina cepat. “Lagipula, ide itu bagus juga kan, Li. Jalan berdua terus ketemu cowok oke lagi!”

“Benar banget! Brondong!!” Philia terkekeh melihat Gina juga ikutan ketawa. “Goodbye hari-hari jomblo. Welcome, cinta!”

“Apa?” kata Chiko, Shan dan Septo bersamaan..

Philia merangkul Gina dan berbisik penuh misteri, “Kami nggak akan cerita pada kalian berdua. Ini masalah cewek. Yuk, Gin, kita lihat stan yang lain.”

Dan mereka meninggalkan tiga cowok itu.

^^^***^^^

Selasa, 22 November 2011

Donation

Donasi para teman-teman pembaca sangatlah berguna. Teman-teman dapat memberikan donasi ke blog ini melalui:

Senin, 21 November 2011

Amour Cafe Waiters


Hehe, maaf sekali baru kali ini bisa memposting wajah-wajah para pelayan di Amour Cafe, walau cuma para tokoh utama.
Kali ini aku akan memperkenalkan para tokoh berdasarkan profil sederhana mereka.
1. Kevin
Nama Lengkap: Kevin Kemala Harianto
Tempat/Tanggal Lahir: Semarang, 27 April
Pendidikan : Sarjana Manajemen Bisnis dan Ekonomi di Ganeva Bussiness School
Golongan Darah : A
Jabatan : Manager Amour Cafe
Usia : +/- 24 tahun
Dia salah satu yang akan menjadi pewaris keluarga. Tapi, jika melihat tingkahnya yang suka bersenang-senang, mungkin masih diragukan. Walau begitu, Kevin, bisa dikatakan sebagai orang yang pekerja keras. Hampir seluruh usaha keluarga kelas menengah ke bawah di tangani olehnya.





2. Felix

Nama Lengkap : Felix Danico Onivarian
Tempat/Tanggal Lahir: Bandung, 3 Maret
Pendidikan : Mahasiswa Tingkat II Pendidikan Kedokteran di Universitas Indonesia
Golongan Darah : A
Jabatan : Assisten Manager Amour Cafe
Usia: +/- 20 tahun
Felix sudah ditakdirkan untuk menjadi salah satu penerus usaha keluarga, jadi dia tak memiliki hak akses lagi terhadap wairisan Kemala. Ibunya adalah anak kedua dari keluarga Kemala, Ayah Hazel yang tertua dan Ayah Kevin adalah yang paling bungsu. Namun walau begitu, dia masih saja membantu Kevin dan Hazel untuk menangani masalah keuangan yang kada kala lebih sulit daripada mengurusi orang sakit.



3. Hazel
Nama Lengkap: Hazel HandanioHarianto
Tempat/Tanggal Lahir: Manado, 27 Januari
Pendidikan: Mahasiswa Tingkat Akhir Jurusan Seni Rupa Murni Institut Kesenian Jakarta
Golongan Darah: A Rhesus Negatif
Jabatan: Koki di Amour Cafe dan Vocalis Band The Music Angel
Usia: +/- 17 tahun
Nah, yang ini masih dianggap terlalu muda di mata keluarga, jadi dia belum bisa diandalkan menangani bisnis keluarga, apalagi dia dari jurusan seni. Hazel tak seperti sepupunya yang lain, dia lebih suka memilih jalannya sendiri. Walau dia suka musik, tapi dia menggeluti seni lukis untuk mencapai impian almarhum kakaknya menjadi pelukis terkenal. Kalau sedang marah, maka tak ada yang berani menentangnya karena takut babak belur. Begini-begini, Hazel memiliki banyak koneksi luar.

4. Ariel
Nama Lengkap: Ariel Giovanni
Tempat/Tanggal Lahir: Natuna, 29 November
Pendidikan: Siswa Kelas II IPA 3 SMA Merah-Putih
Golongan darah: O
Jabatan: Pelayan di Amour Cafe dan Ketua OSIS SMA Merah-Putih
Usia: +/- 17 tahun
Ariel sering disebut sebagai Pangeran Berkuda Putih di Merah-Putih karena pembawaannya yang tenang. Tipe gadis favoritnya yang seperti ibu rumah tangga. Ibunya meninggal saat dia masih kecil. Saat ini dia tinggal bersama dengan Ayah dan adik perempuannya. Dan sampai detik ini, Kian belum dapat mengambill jabatannya sebagai peringkat satu di Merah-Putih. Hehehe




5. Alex
Nama Lengkap: Alexie Selena
Tempat/Tanggal Lahir: Yogyakarta, 27 Maret
Pendidikan: Siswa Kelas II IPA 1 SMA Merah-Putih
Golongan darah: B
Jabatan: Pelayan di Amour Cafe
Usia: +/- 17 tahun
Alex tinggal dengan Mamanya dan adik laki-lakinya, Andre, yang luar biasa nakal. Kehidupannya tak berjalan mulus seperti anak-anak biasa lainnya. Dia termasuk salah satu orang yang suka membantu, sehingga kadang-kadang masalah justru datang menghinggap padanya. Namun, karena dia tipe pekerja keras, dia memiliki banyak teman-teman baik hati di Amour Cafe, walau hal itu harus membuat dia capek setengah mati. Tentunya, menangani lima cowok cakep sekaligus, tidaklah mudah, ya kan?





6. Kian
Nama Lengkap: Kian Rafael
Tempat/Tanggal Lahir: Jakarta, 4 September
Pendidikan: Siswa Kelas II IPA 5 SMA Merah-Putih
Golongan Darah: AB
Jabatan: Pelayan merangkap koki sementara di Amour Cafe dan Drummer The Music Angel
Usia: +/- 17 tahun
Kian memiliki keluarga yang sedikit rumit, hal itulah yang membuat dia kadang-kadang sulit didekati. Ayahnya adalah putra sulung dari tiga bersaudara, dimana Paman dan Bibinya (Manna)--Adik Ayahnya--adalah anak angkat keluarga dengan perbedaan usia yang sangat besar. Keluarga Kian terdiri dari empat bersaudara: Kakak Angkat Sulungnya yang memiliki perbedaan usia sekitar 16 tahun darinya, Juan (Kakak Kandungnya yang 9 tahun lebih tua darinya), dia sendiri (Kian) dan Freddy --Adik angkatnya yang lebih muda dua tahun darinya. Dia juga punya keponakan manis bernama Louisa berusia lima tahun namun mainannya kadang membuat Kian ngeri. Jadi, dengan kerumitan seperti ini, bisa dimengerti kalau dia kadang tak suka berhubungan dengan orang lain. Dia dan Hazel berteman sejak kecil dan karena rumah mereka bersebelahan. Namun, sejak kedua orang tua Hazel meninggal, maka Hazel tak pernah lagi tinggal disana. Hal itu pula yang membuat dia sedikit tertutup.


Nah, itulah dia cerita dari beberapa tokoh di Amour. Semoga kalian bisa mengerti kenapa kejadian-kejadian aneh di cafe kadang-kadang tak bisa diceritakan lewat kata-kata

Terima kasih,

Prince Novel

Kamis, 17 November 2011

Philia - Chiko (Paper 2)

by: Prince Novel

Dua

Philia menguap sambil meregangkan tubuhnya. Setelah dia pulang dari ibadah Minggu pagi, dia segera mengganti bajunya dan tidur dua jam. Terry ada di lapangan, bermain dengan anjing Samoyed milik Shan yang namanya Dhito, dari tadi dia menggonggong terus. Kalo peliharaan Septo adalah maltase seputih salju dengan bulu-bulu panjang, jadi nggak bisa bebas main dengan anjing superbig seperti Terry dan Dhito. Septo lebih sering mengurungnya. Anjing yang malang.

Suara biola Shan terdengar dari balkonnya. Dia mengintip sejenak dan mendapati cowok itu lagi bermain dengan biolanya. Philia bisa melihat Shan ada di kamarnya, dari jendela kamarnya yang terbuka lebar. Cowok itu benar-benar kelihatan keren banget kalo udah mainin biola, bahkan cewek-cewek yang kebetulan lewat sempat berhenti cuma untuk melihatnya.

Philia manyun. Aduh, cewek-cewek itu bikin jelek pemandangan aja! Kakinya segera melangkah menuju tempat tidurnya dan menyambar ponsel terdekat. Dia menghubungi seseorang dan cepat-cepat melihat ke balkon lagi.

Shan berhenti memainkan biolanya, bergerak sedikit dan menempelkan sesuatu di telinganya. “Halo?” katanya.

“Ada tiga cewek nangkring di depan rumahmu!” kata Philia.

Shan bergerak, membuka lebar jendelanya dan menyusup keluar. Dia menunduk dan melambai pada tiga cewek yang balas melambai padanya sambil cekakak-cekikik. Kemudian dia ganti melihat Philia dan tersenyum. “Thanks ya!”

“Sejak kapan kau punya banyak secret admirer begituan?” kata Philia.

Shan tertawa. Suaranya enak sekali. “Sejak SD! Mana Septo? Suruh dia keluar dari kamarnya, gih.”

Philia menutup ujung ponselnya, mengisi udara di paru-parunya kemudian bereriak, “SEPTO! KELUAR GIH!”

Septo muncul lima detik kemudian dari sebelah jendela kamarnya. Cowok itu memegangi Maltesa di tangan kirinya dan tangan yang satunya menyingkirkan gorden. “Apaan sih? Berisik tahu! Aku lagi main!”

Philia dan Shan tertawa berbarengan.

“Apa itu yang kau tempel pada Maltesa?” Philia mengerutkan dahinya melihat Maltesa—yang bulunya tak lagi berwarna putih—dipenuhi dengan kabel-kabel panjang dan tempelan tak jelas.

“Aku sedang menguji coba penemuanku yang terbaru,” kata Septo dengan nada penuh kebanggaan.

“Apa? Alat untuk bicara dengan anjing?” suara Shan terdengar di balik telepon dan Philia menyampaikannya.

“Tepat!” kata Septo cepat. “Kalo penemuanku berhasil, maka aku akan tercatat sebagai salah satu orang berbakat di dunia,.”

“Kau akan tercatat sebagai siswa SMK paling gila sejagad raya,” tukas Shan dari telepon dan Philia tertawa. “Ah, Philia, ada tamu datang ke rumahmu tuh.”

“Siapa?”

“Nggak tahu. Cowok.”

Philia mengerutkan dahinya. Dengan cepat dia menutup teleponnya dan berlari-lari kecil menuju depan pintu. Memang ada seseorang yang datang ke rumahnya. Bel di rumahnya berdering begitu keras saat dia sudah memasuki ruang depan. Terry menggong-gong keras sekali sementara Dhito juga ikut-ikutan.

“Terry! Dhito! Jangan!”

Philia melompati kebun kecilnya dan segera membuka pintu gerbang lalu ternganga, nyaris saja pingsan melihat Chiko ada disana.

“Hai,” sapa Chiko.

“Hai, bye!” kata Philia dan buru-buru menutup gerbang kembali. Tapi Chiko lebih cepat, dia mengulurkan tangannya melewati pintu gerbang dan hampir saja terjepit kalau saja Philia tak segera menghentikan pintunya. “Mau apa kau ke rumahku?” kata Philia jengkel.

“Mau main. Bolehkan?”

“Nggak boleh! Sekarang pulang! Aku nggak mau lihat tampangmu di hari Minggu!” Philia menjerit frustasi.

“Jangan gitu dong. Aku malah pengen lihat tampangmu tiap detik,” kata Chiko lagi. “Aku bawa makanan nih. Kita makan bareng-bareng yuk.”

“Nggak mau. Sekarang pergi!” gerutu Philia jengkel.

“Aku bawa spaghetti kesukaanmu nih,” kata Chiko lagi.

Philia menyipitkan matanya. Habis sudah kesabarannya. Dia menarik napas dan berteriak, “SHAN! SEPTO!” keras sekali dan membuat telinga Chiko berdenging.

“Li, aku kan nggak menculikmu atau apa. Jangan teriak-teriak napa?” gerutu Chiko menggosok-gosong telinganya. “Aku cuma mengajakmu makan. Emangnya nggak bisa ya?”

“Nggak! Sekarang pulang!” Philia mendengus jengkel. Dia mencoba menutup kembali gerbangnya. Tapi lagi-lagi Chiko menghalanginya. “Aduh, kau ini sebenarnya mau apa sih?”

“Ada masalah disini? Kau siapa?”

Philia melonjak kesenangan. Dia membuka gerbang dan segera menyusup ke belakang punggung Shan dan Septo yang sudah nongol di belakang Chiko. Gaya mereka berdua memang seperti bodyguard sejati: tangan dilipat, mata penuh menantang dan tampang yang oke.

Chiko menaikan alisnya. Oh, jadi ini dua pengawal yang dimaksud Steave.

“Hai, aku Chiko,” kata Chiko ramah.

“Suruh dia pulang,” kata Philia mendesis jengkel pada Shan.

“Chiko?” Septo mengulang, mengerutkan dahinya. “Ah, kau cowok yang gangguin Philia selama ini di sekolah kan?” katanya lagi menjentikan jarinya. Lalu dia menatap Philia. “Kau nggak bilang kalau dia lumayan cakep.”

Philia mencubit Septo. Jengkel. “Apanya yang cakep?” gerutunya.

“Kau mau apa disini?” kata Shan pelan. Matanya menatap Chiko dengan pandangan tak senang. “Rasanya Philia udah mengusirmu, jadi kenapa kau masih nongol disini?”

Chiko harus mengakui kalau perkataan Steave benar lagi. Pasti cowok ini yang namanya Shandy. Kalau diperhatikan baik-baik, dia memang kelihatan seperti seorang malaikat. Tampang oke, gaya oke dan charisma. Heh. Di luar dugaan, saingannya lumayan boleh juga.

“Aku sudah beli makanan. Mana mau aku makan sendirian,” kata Chiko enteng, menunjukan bungkusan plastik yang dari tadi dia pegang. “Dia nggak bilang kalau kami lumayan akrab di sekolah?”

Philia melotot. “Usir dia,” desisnya lagi. “Aku mau melalui hari Mingguku dengan tenang.” Dia memaksa Shan.

Shan menghela napas.

“Itu apa?” kata Septo dengan mata berbinar.

Sphagetti,” jawab Chiko.

“Kau makan denganku saja. Ayo ke rumahku. Lagipula aku sedang lapar. Ini kan jadwal makan siang.”

“Apa?” Chiko terbengong. Shan berdeham, menyamarkan tawanya.

Septo cepat-cepat merangkul Chiko. “Namaku Septo. Aku benar-benar beruntung bertemu denganmu hari ini. Sepertinya kau orang baik. Aku ingin sekali ngobrol denganmu. Jarang-jarang Philia komentar soal cowok. Aku jadi penasaran setengah mati kau ini seperti apa.”

Chiko mengerjap mendengar Speto bicara tanpa henti. Ketika dia menoleh ke belakang, Shan dan Philia melambai padanya.

“Haha! Selamat mendengarkan Septo!” kata Philia tanpa suara, lalu menjulurkan lidahnya seperti anak kecil.

^^^***^^^

Steave segera menyambut Chiko di depan kelas saat cowok itu nongol di depan pintu. Tampangnya bĂȘte abis. Cepat-cepat dia ke sisi Chiko dan berkata pelan, “Gimana semalam pedekatenya? Berhasil nggak?”

“Apanya yang berhasil? Gue ngabisin waktu selama tiga jam cuma buat dengerin penjelasan nggak masuk akal soal arus bolak-balik,” gerutu Chiko meletakan tasnya ke mejanya. “Temennya si Lia yang namanya Septo itu benar-benar sinting. Gue heran kok cewek itu bisa tahan sama cowok yang bisanya ngomong bahasa mesin!”

Steave ngakak. “Gue kan udah ngasih tahu elo kalo mereka berdua itu berbahaya banget. Bukan saingan elo. Udahlah, menyerah aja!”

Chiko membuka tasnya, mengeluarkan buku Kimia. “Siapa bilang gue bakal nyerah gitu aja. Semakin susah di dapet, bukannya cewek itu justru jadi lebih menarik?”

Lagi-lagi, Steave geleng-geleng kepala. “Elo benar-benar perlu memeriksakan otak lo itu ke rumah sakit. Elo benar-benar nggak bisa lagi bedain mana cinta sama obsesi, Sob.”

“Berisik lo. Cinta sama obsesi kan sejalur,” gerutu Chiko. “Minggat sana lo. Jangan ganggu gue. Gue mau belajar buat ngalahin si Lia buat tes minggu ini.”

Tapi Dewi Fortuna tidak berpihak pada Chiko minggu ini. Cowok itu kalah lima angka dari Philia. Ketika dia ada di depan pengumuman, Philia tersenyum penuh kemenangan kemudian pergi sambil melenggang. Chiko nyaris saja ketawa melihat tingkah kekanak-kanakannya itu. Dia benar-benar lucu.

“Kalian itu kayak dua macan yang memperebutkan tanah kekuasaan kalian tahu nggak,” komentar Gina mengikuti Philia meninggalkan papan pengumuman. “Untung aja Chiko nggak ambil pusing soal tingkahmu itu dan bersikap dewasa, jadi aku nggak perlu khawatir kau bakal diapa-apain sama dia.”

Philia berbalik, memeluk buku matematika dengan jengkel. “Gina, aku baru aja merasakan kemenangan karena berhasil mengalahkan dia. Jangan rusak kesenanganku!”

Gina menghela napas. “Apa kau nggak sadar kalau dia suka padamu?”

Sekejap, Philia tampang bengong, lalu detik berikutnya, dia malah tertawa terbahak. “Mana mungkin! Dia itu kan seperti man on the earth yang nggak punya cewek lain yang bisa digangguin selain aku.”

“Tepat,” sambar Gina cepat. “Itu berarti dia naksir padamu kan?”

“Mana ada cowok di dunia ini yang sukanya mengganggu cewek yang dia taksir.” Philia membalas jengkel. “Kalaupun ada,” tambahnya saat Gina hendak membalas. “Itu berarti cowok itu udah gila. Nggak waras! Ada kelainan!”

Astaga, dia benar-benar tutup mata soal Chiko, batin Gina. “Mungkin aja Chiko sengaja berbuat begitu supaya kau menyadari keberadaannya,” Gina mencoba lagi.

Philia menggigit bibirnya. “Gina, kau naksir dia ya? Kok dari tadi bicarain dia mulu?”

“Iya. Aku suka dia,” kata Gina cepat.

Philia melotot. Apa?

“Dia cowok yang baik dan menurutku, kau dan dia akan jadi pasangan yang cocok. Sebagai teman, aku pengen banget kau punya cowok yang baik.”

Philia mendengus. Aku sekarang mengerti maksudnya apa. “Kau gila! G-I-L-A!”. Kemudian setelah menghentakan kakinya, dia berbalik dan berjalan cepat menuju kelas. Ponselnya berdering saat dia sudah duduk di mejanya.

“Apa?” katanya jengkel saat mengangkat telepon.

“Kau kenapa?” suara Shan terdengar di seberang. “Apa Chiko mengganggumu sampai-sampai aku pun jadi kena semprot?”

Ini karena pembicaraan nggak penting yang bilang Chiko naksir aku! Tapi Philia tak mungkin bilang itu pada Shan. Bisa-bisa Shan langsung lari terbirit-birit kemari, membawa cello dan menimpuk Chiko dengannya. Ngeri membayangkan hal itu bisa terjadi. Jangan sampai tangan Shan terpakai buat nimpuk orang, cukuplah buat main musik.

“Sori. Ini bukan karena Chiko kok. Ini gara-gara Gina,” gerutu Philia.

“Gina? Gina siapa?” kata Shan lagi.

“Sobatku di sekolah. Ah, sudahlah. Ada apaan sih? Tumben nelepon jam segini.”

Shan diam sejenak selama beberapa detik.

“Shan?” kata Philia mengerutkan dahi.

“Oh, sori, ada cewek yang baru ngasih aku syal. Tunggu bentar ya.”

Philia menatap ponselnya. Ada cewek yang baru ngasih Shan sebuah syal? Tiba-tiba Philia merasa jengkel. Apaan sih cewek itu? Nyebelin banget! “Shan! Kan kau sendiri yang nelepon aku. Kalo nggak ada hal penting, aku tutup nih.”

“Bentar, Li,” kata Shan, lalu suara cewek yang lain terdengar di telepon—dengan gaya manja super nyebelin, “Kak Shandy, aku buatin syal buat Kakak. Aku buat sendiri loh.”

Philia yakin seratus persen dan berani bersumpah atas seluruh bumi dan isinya kalau syal itu pasti dibeli.

“Makasih ya, tapi aku nggak bisa. Sori banget,” kata Shan lagi.

Bagus Shan! Seperti itu! Kau kan bukan pacarnya, ngapain dia ngasih kau benda begituan? Lagian cuaca kan lagi ekstra panas. Kau mau pake syal waktu kapan?

“Tapi, Kak—”

“Aku lagi nelepon, nih,” Shan memotong.

Philia melonjak kesenangan. “Yup, begitu Shan. Usir aja mereka!”

Shan tertawa waktu mendengar itu. “Mereka udah pergi kok. Sori, ya, kau jadi harus mendengar hal memalukan begitu.” Kemudian dia berhenti. Terdengar suara gerasak-gerusuk di seberang. “Langsung aja nih, sekolah kami kan bikin pentas seni. Nah, aku bikin acara solo konser. Cuma dua lagu, nggak banyak. Kau mau nonton? Tiketnya limited neh. Biar aku langsung pesan sama Osis.”

“Kau ngajak Septo nggak?” kata Philia.

“Udah. Tapi dia bilang ada seminar waktu acara aku. Dia bisa datang, tapi nggak bisa nonton aku pentas. Nah, kau sendiri mau nonton nggak?”

“Bisa aja, sih. Tapi masa aku nonton sendiri?”

“Nggak ada yang bisa kau ajak di sekolahmu? Temanmu si Gina itu gimana?”

Mata Philia membulat. “Oke. Aku sama Gina bakal datang.”

^^^***^^^