Senin, 14 Mei 2012

StarBoy Eps 9


STAR  BOY
by: Prince Novel
=====================================


9.
The Truth
Leon gemetar dan berulang kali menggigit bibirnya. Kemarahannya berubah menjadi kecemasan dan kecemasannya berubah menjadi ketakutan.
Reon kritis dan kehilangan banyak darah. Dan walau Leon sudah memberikan darahnya, belum ada kemungkinan bahwa Reon bisa selamat.
Leon mengutuki dirinya sendiri. Kenapa dia bertengkar dengan Reon disaat seperti ini? Bagaimana kalau saa terakhir yang bisa dilakukan Leon adalah melihat kematian Reon? Bahkan mungkin saja Leon tak akan bisa meminta maaf pada Reon.
Kepalanya sakit memikirkan ini.
Flo berjalan bolak-balik di depan pintu operasi. Aster, Esar dan Zacky duduk dengan tenang. Tapi wajah mereka terlihat kusut. Andrean duduk di pojokan sendirian, menekuk dan memeluk lututnya dengan wajah tak berekspresi.
Alex berjalan mendekat, membawa kantongan plastik. “Aku sudah menghubungi Rudolph dan pihak sekolah. Mungkin Rudolph bakal datang sebentar lagi dan ini,” dia mengangkat kantongannya, “makanan dan minuman. Kupikir kalian butuh sedikit energi.”
“Kau masih saja bisa memikirkan makanan disaat begini ya?” kata Flo.
“Kalau kalian sampai tumbang juga maka aku yang repot,” kata Alex lagi. Dia merogoh kantongnya, membagikan minuman dan roti pada masing-masing orang. “Makan.”
Mereka makan dalam diam. Rasa roti itu seperti karpet yang susah sekali ditelan. Leon menyerah untuk makan setelah lima belas menit berjuang. Bahkan rotinya tak habis separoh saat dia melemparnya ke tong sampah. Teh botolnya tak tersentuh.
Rudolph datang tak lama kemudian. Napasnya memburu dan kacamatanya melorot. Wajahnya cemas sekali. “Leon, mana Reon? Bagaimana dia bisa—? Apa dia tak apa-apa?”
Tenggorokan Leon tercekat. “Rudolph... aku—”
“Apa kau bertengkar lagi dengan Reon?” kata Rudolph dengan mata menyipit.
Leon mengangguk.
“Berapa kali harus kubilang kalau kalian jangan bertengkar terus-terusan?” suara Rudolph membahana. “Apa lagi yang dia katakan?”
Leon seakan menciut dimarahi Rudolph. Wajahnya yang ramah berubah seketika menjadi monster. “Dia... dia bilang kalau dia membunuh Shan.”
Rudolph tercengang. “Apa? Apa maksudmu dia membunuh Shan?”
“Reon membunuh orang?” Flo terperanjat. Bahkan Alex dan yang lainnya sampai terbengong. Andrean tampak tersadar dari dunianya. Dia begitu shock.
“Reon tak pernah membunuh orang,” kata Rudolph gusar. “Apa lagi?”
“Kalau begitu dia berbohong?” kata Leon. “Tapi Reon sendiri yang mengatakannya padaku.”
“Reon tidak membunuh Shan. Justru Shan sendiri yang mencoba membunuh Reon!”
Penjelasan Rudolph menciptakan kesunyian yang mencekam. Leon-lah yang berbicara terlebih dahulu. “Apa? Kalau bukan dia yang melakukannya lalu kenapa dia mengatakan kalau dia sendiri yang membunuh Shan?”
Rudolph menutup mulutnya sendiri seakan dia sudah mengatakan sebuah rahasia besar. Dia melihat pintu operasi. “Apa kata Dokter?”
Leon mencengkram kerah baju Rudolph dengan ganas. “Kau tahu sesuatu kan?” bisiknya berbahaya. “Kau tahu apa yang terjadi malam itu kan? Ceritakan padaku!”
Rudolph menyingkirkan Leon. “Aku tak bisa!”
“Kenapa?” teriak Leon ganas. “Kenapa kau tak bisa menceritakannya padaku? Aku saudara kembarnya! Aku berhak mengetahui apa yang terjadi pada Reon! Kenapa hanya kau yang mengetahui segalanya?” Lalu suara Leon melemah. “Kumohon... Rudolph...” dia berlutut, mencengkram pergelangan kaki Rudolph. “Aku ingin tahu apa yang terjadi.”
“Leon, jangan seperti ini,” kata Rudolph. “Berdirilah!”
“Tidak mau! Kakakku sedang kritis disana sementara kami baru bertengkar tadi hanya karena hal yang belum jelas! Aku tak bisa memaafkan diriku sendiri jika Reon sampai mati karena kebodohanku! Apalagi kalau aku tak tahu apa yang terjadi sampai-sampai menyalahkannya seperti itu!”
Rudolph berjongkok, menatap Leon dengan pandangan yang sulit ditebak. “Maaf, Leon. Reon melarangku untuk menceritakan apa yang terjadi.”
“Aku ingin tahu apa yang terjadi. Kenapa kau tak bisa memercayaiku?”
“Karena Reon tak ingin orang-orang membenci Shan. Dia tak ingin membuat sosok Shan yang begitu sempurna di mata keluarga dan teman-temannya menjadi ternoda.”
Leon tercengang. “Apa maksudmu? Apa yang sebenarnya sudah dilakukan Shan?”
“Minta Reon menceritakan apa yang terjadi. Kalau aku menceritakan apa yang terjadi, maka ada kemungkinan bahwa kau akan membenci Shan seumur hidupmu.” Rudolph menepuk bahu Leon layaknya seorang Ayah. “Aku yakin kalau dia akan menceritakannya padamu. Kau hanya harus bersabar dan memercayai Reon dengan sepenuh hatimu karena Reon tak pernah bisa berbohong dengan baik.”
Leon menundukan kepalanya. Tangannya gemetar. Untuk sejenak dia ragu apakah Reon akan menceritakan kebenaran padanya. Dia juga ragu pada dirinya sendiri, apakah dia sendiri bisa memercayai semua perkataan Reon.
###StarBoy###
Reon membuka matanya yang terasa berat lalu merasakan bahwa seluruh otot-ototnya begitu kaku dan pada akhirnya menyerah karena bahkan mengangkat lengannya sendiri saja sudah sulit. Apa yang terjadi? Dia ingat betul kalau dia mengalami kecelakaan saat menghindari mobil brengsek yang mencoba menyerempet jalannya sehingga dia tergelincir dan jatuh sampai terseret beberapa meter. Tapi setelah itu dia tak ingat apa-apa lagi.
Matanya yang kabur melihat sekeliling. Langit-langit putih lengkap dengan infus tergantung. Dia bisa mendengar suara pip pip pip dari mesin di sebelah tempat tidurnya. Mungkin dia ada di rumah sakit. Seseorang mungkin sudah menyelamatkan nyawamu. Bisa saja si pemilik mobil bodoh itu yang membawanya karena merasa bersalah.
Kejadian yang tiba-tiba itu membuat Reon ingat tentang malam berdarah dua tahun lalu. Kalau tak salah pada saat itu hujan turun dengan deras, mengaburkan jendela kaca kamar hotelnya sementara kilat dan petir menyambar, memekakan telinga. Ia sedang menikmati tempat tidurnya yang nyaman ketika pintu kamarnya terbuka dan Shan beserta dengan teman-temannya—yang tak dikenali Reon—masuk membawa berbotol-botol bir dan makanan.
“Shan,” Reon refleks bangkit dari tempat tidurnya. Matanya yang tadi sempat mengantuk terbuka lebar. “Kenapa kau kemari? Apa yang kau bawa itu?”
“Ini?” Shan mengangkat botol minumannya. “Sudah pasti minuman. Aku mau merayakan kemenanganmu karena menjadi violis terbaik tahun ini!” Shan terkekeh sejenak dan menyuruh tiga temannya masuk juga. “Mereka teman-temanku juga. Masa kau tak ingat kalau mereka juga salah satu peserta?”
Reon sekarang ingat siapa mereka. Mereka bertiga adalah tiga peserta dari dua puluh empat peserta yang lolos pada babak akhir. Pada akhirnya Reon-lah yang menjadi juara tahun ini. Mereka saling berjabatan tangan dan berbasa-basi sejenak.
“Kita minum sampai puas!” Shan membuka minuamnnya dan meneguk isinya separoh sampai sebagian isinya mengenai kemejanya.
Ketiga temannya mengikuti jejaknya. Dan Reon tak mau kalah. Menyenangkan sekali rasanya memiliki teman yang bisa menerima kemenangan temannya tanpa harus merusak persahabatan mereka. Mereka tergelak-gelak membicarakan kebodohan violis dan para juri. Akhirnya mereka sendiri menertawakan kebodohan sendiri.
“Kau lihat juri waktu itu? Dia bodoh benar! Masa dia tak lihat kalau bajunya basah!”
“Menurutku mereka mulai tidak adil menilai!”
“Ya ya ya. Bodoh semua!”
Keadaan menjadi tak terkendali saat semua orang, termasuk Reon sendiri, mulai mabuk dan mengerocos tak karuan. Puncak dari acara itu, Shan mengeluarkan senjata mujarabnya: sabu-sabu.
“Wah, sobat kita bawa barang bagus!” kata yang lain tak jelas.
Shan mengangkat kedua tangannya, memamerkan bungkusan itu keatas sementara yang lain berteriak-teriak menyemangatinya sambil bertepuk tangan.
“Ayo, bro, kau orang yang pertama yang akan mencobanya, ya kan?” kata Shan tak jelas, memberikan bungkusan itu pada Reon.
Reon menggeleng tak jelas. “Tak bisa. Besok aku ada pertunjukan. Aku harus menjaga kepalaku agar tetap normal.”
“Normal apanya?” Shan tertawa. “Kau sudah mabuk tahu. Cuma sedikit aja supanya kau bisa tenang buat main besok.”
Reon menggeleng lagi. “Nanti aku mainnya tak bagus kalau aku terlalu fly. Aku butuh konsentrasi buat besok. Kalian aja. Aku nggak usah.”
“Ayolah, Bro.”
“Tidak, Shan.”
“Cuma sedikit saja.”
“Aku bilang nggak, Shan. Lain kali saja.”
Dan pada saat itulah keadaan menjadi berubah. Shan mendorong Reon ke lantai, memegangi kedua tangannya. Wajahnya berubah menjadi penuh kemarahan. “Sedikit saja! Kalau tidak aku akan marah padamu!”
Reon tercengang. “Minggir, Shan. Aku bilang kalau aku tak mau!”
“Oke, kau sudah membuatku marah.”
“Kaulah yang membuatku marah disini! Minggir! Aku sudah cukup mabuk sekarang! Pertunjukan untuk besok bakal terganggu kalau aku tak cukup istirahat! Ayahku tak akan senang kalau dia mencium bau alkohol.”
Shan tertawa mengejek. Masih dengan suara yang tak jelas dia berkata, “Pertunjukan? Pertunjukan apa hah? Kau cuma pecundang yang kebetulan punya Ayah yang benar untuk mendepak dirimu agar bisa diurutan teratas.”
Oke. Cukup sudah. Kesadaran Reon tiba-tiba saja muncul lagi. “Shan, kau sedang mabuk. Kau tak tahu apa yang kau katakan. Ayolah, minggir sekarang juga. Kau akan menyesal dengan apa yang kau katakan tadi kalau kau sadar.”
Tapi Shan tak beranjak dari tubuhnya. Sebaliknya, wajahnya berubah menjadi seseorang yang tak dikenal Reon. Shan tak berekspresi dan pegangannya semakin mengencang saat Reon berusaha melepaskan diri.
“Shan, minggir!”
“Tak mau.”
“Keluar dari kamarku sekarang juga!”
“Aku tak mau.”
“Shan, ini sudah keterlaluan!”
Shan tersenyum kecil. “Ini bukan keterlaluan, Reon. Kau sendirilah yang membuatnya seperti ini. Kau yang bersalah disini.”
“Apa yang kau katakan? Aku tak mengerti sama sekali!”
“Kau tak perlu mengerti penderitaanku, Reon.”
“Kau ini bicara apa? Penderitaan apa? Dengar, kalau ini soal sabu-sabu itu, aku minta maaf oke? Aku tak bermaksud menyinggungmu. Tapi kau juga harus mengerti posisiku. Ayahku akan membunuhku besok kalau aku tak bermain bagus. Ada harga yang harus dibayar.”
Shan kembali tersenyum. Tapi senyuman itu membuat Reon menelan ludah. Tak ada persahabatan disana. “Jangan khawatir, Reon. Kau tak akan melihat dunia besok. Hari ini akan jadi yang terakhir.”
“Apa mak—”
“Besok, akulah yang akan menjadi artisnya, bukan kau.”
“Shan, apa maksudmu? Minggir sekarang juga. Kau membuatku tak bisa bernapas!”
Shan mendekatkan wajahnya. Dia berbisik berbahaya. “Aku bosan menjadi nomor dua. Aku bosan menjadi bayanganmu. Tak ada yang berbeda antara kau dan aku. Tapi kenapa mereka lebih memilihmu daripadaku? Ah, aku tahu, mungkin karena koneksi Ayahmu?”
Reon tak lagi melawan. Untuk sesaat dia tercengang dengan pernyataan yang keluar dari mulut Shan. Sahabatnya Shan merupakan salah satu dari sekian banyak orang yang iri padanya?
Shan melanjutkan, begitu bahagia melihat keterkejutan yang terpampang di wajah Reon. “Kau terkejut? Kau pikir kalau aku adalah sahabat baik hati yang akan mendukungmu? Pikirkan dulu, Bung. Aku memikirkan diriku sendiri. Berteman denganmu tak ada ruginya. Kau punya banyak koneksi dan semuanya orang berpengaruh. Aku tinggal menempelmu saja. Hanya saja, kurasa aku sudah cukup muak menjadi pengikut.”
Reon begitu terkejut dengan pengakuan Shan. Ia bahkan tak bisa bergerak saat Shan melepas pegangannya dan berbalik menghadapi teman-temannya. “Jadi Reon, sudah saatnya bagimu menerima kenyataan. Persahabatan abadi itu tak ada. Selalu ada maksud di belakangnya, kau tahu?”
Shan mengambil jarum dari kantongan plastiknya dan kembali tersenyum kembali pada Reon. Reon refleks bergerak begitu melihat maksud berbahaya Shan. “Tangkap dia!”
Tiga teman-teman Shan menangkapnya dengan mudah. Dia kembali diletakan di lantai sementara dengan usaha sia-sia, Reon melawan sekuat tenaga.
“Shan! Semua orang akan tahu kalau kau yang akan membunuhku! Buka matamu! Kau tak bermaksud melakukan ini!” teriak Reon. “Lepaskan aku!”
Shan kembali menunduk. “Jangan khawatir, Ayahmu tahu kalau kau pecandu. Kau akan mati dengan barang yang membuatmu berada di sorga. Kau tak akan kesakitan. Aku berani jamin. Ini semua karena kesalahanmu sendiri. Ingat kan?”
Reon ngeri sendiri begitu Shan menusukan jarum itu ke lehernya. Selama beberapa detik dia berkutat, namun reaksi obat itu begitu cepat. Dalam seketika, pandangan Reon kabur dan seluruh tenaganya lenyap. Tapi dia begitu menikmati reaksinya, seakan semua kehidupannya sudah terancang sempurna.
“Reon,” telinganya mendengar suara Shan walau samar-samar “kau membuat semuanya menjadi seperti ini, Reon. Kau tak akan keberatan kan? Aku juga ingin jadi sepertimu, Reon. Aku ingin kau juga merasakan yang kurasakan saat ini, Reon. Kebahagiaan.” Lalu suara Shan menjauh. “Nah, Reon, nikmatilah kematianmu secara perlahan dan selamat bersenang-senang.”
Suara-suara disekitar telinga Reon bergaung. Suara langkah kaki yang tergesa-gesa diiringi dengan suara tawa dan benda pecah, kemudian sunyi. Pikiran Reon melayang tak menentu. Tapi entah kenapa dia dapat merasakan kesakitan yang menjalar disekitar tubuhnya, mengalir disetiap tetes darah bahkan nyaris disetiap denyutan jantungnya.
Dan kesadarannya tiba-tiba saja mengalir. Satu per satu. Sedikit demi sedikit.
Reon mengangkat tangannya, meraba-raba dalam pandangan kabur kemudian jatuh terhenyak. Tubuhnya menjerit kesakitan sementara tenggorokannya panas. Keringat bercucuran di sekujur tubuhnya dan napasnya mulai memburu.
“Reon...”
Suara Shan dan kebenciannya terngiang-ngiang di telinga Reon.
Shan brengsek!
Amarah Reon bangkit.
Berjuang sekuat tenaga melawan rasa sakit sekaligus halusinasinya, Reon bangit berdiri. Kakinya bergetar menopang tubuhnya. Dia meraba sekitarnya. Mencari bantuan. Seseorang harus diberitahu mengenai ini. Ada orang yang mencoba membunuhnya. Para finalis mencoba membunuhnya dan sahabatnya sendiri adalah otak dibalik masalah ini.
Hatinya teriris begitu mengingatnya lagi. Sahabat terbaiknya. Orang kepercayaannya menusuk dirinya dari belakang. Entah kenapa rasanya lebih mengerikan daripada dibunuh orang. Dan dia juga akan mati sebentar lagi. Reon tak tahu obat apa yang disuntikan Shan padanya, yang dia tahu obat itu memberikan efek aneh pada penglihatan dan juga tubuhnya.
Shan berubah hanya karena iri. Betapa mengerikannya perubahan itu sehingga membuatnya mampu untuk menyingkirkan Reon.
Reon berhasil keluar dari kamarnya. Dengan langkah terseret, dia menyelusuri koridor yang kosong dan panjang. Sial. Tak ada orang yang lewat.
Jantungnya seakan hendak meletus sekarang.
“Tolong...” tapi suaranya tak terdengar.
Siapa yang bakal mendengarnya di tengah malam begini. Semua orang pasti sudah tidur. Apalagi saat ini hujan deras. Suaranya makin tak terdengar.
Reon masuk ke dalam lift, terengah kehabisan napas saat dia menekan tombolnya untuk turun ke lantai satu. Ketika dia terhenyak, matanya melihat dari kejauhan bahwa Shan lewat di depannya, mungkin berniat untuk memeriksa apakah Reon sudah mati atau belum.
Pintunya... cepatlah tertutup...
Reon tak bergerak begitu Shan keluar dari kamarnya. Tampak panik begitu menemukan bahwa tubuh Reon menghilang begitu saja. Lalu, ketika pintu lift Reon nyaris menutup, Shan menoleh ke arah lift dan matanya terbelalak kaget.
“Reon—”
Tapi Reon tak mendengarnya karena liftnya sudah turun.
Reon menatap angka-angka di atasnya yang bercahaya satu per satu. Dalam hati dia berdoa agar dia bisa sampai ke lantai satu dengan selamat. Setidaknya, walau dia harus mati, Reon harus memberitahukan hal ini pada orang lain. Dia tak akan membiarkan Shan hidup dengan tenang. Tak akan.
3...2...1...
Pintu liftnya terbuka, menunjukan lobi yang begitu luas, lengkap dengan sofa-sofa berlengan empuk yang nyaman.
Reon keluar dengan langkah berat. Matanya menyelusuri ruangan. Tak ada satu orang pun di ruangan itu. Bahkan satpam pun tak ada.
Reon memaksakan kakinya untuk melangkah keluar lobi. Hujan turun dengan deras. Mobil-mobil lewat dengan kecepatan maksimal, memuncrati pakaiannya.
Dan kesadaran Reon bertambah begitu air hujan membasahi kepalanya.
“Tolong aku... tolong...”
Napas Reon tercekat seolah-olah ada batu yang menghalangi napasnya. Air hujan mengguyur deras ke seluruh kota. Bajunya basah seketika. Tubuhnya menggigil dan semakin lemah dari waktu ke waktu.
Tapi tak ada orang yang mau berhenti untuk mendengarnya. Mereka melewatinya dengan tak peduli. Mungkin mereka meliriknya sekilas, tapi tak ada yang mau repot-repot berurusan dengan orang yang sedang sekarat saat ini.
“Reon!”
Telinganya berdengung. Tapi dia yakin ada yang memanggilnya.
“Reon!”
Dan kali ini suara itu terdengar seperti suara malaikat kematian.
“REON!”
Ketika Reon berbalik, Reon tahu kalau Shan bakal menghabisinya. Anak laki-laki itu mengejarnya, wajahnya berang sekali. Reon mencoba kabur, tapi langkahnya tak sanggup membawanya lebih jauh dan dia justru jatuh.
Shan menariknya berdiri.
“Mau kemana kau? Cepat kembali!” bisik Shan.
“Dan membiarkan diriku mati begitu saja? Jangan harap!” balas Reon. Sudah cukup topeng palsu berwajah malaikat baik hati itu sekarang. Reon akan menghadapi kematiannya dengan gagah berani.
Shan mencengkram tangannya. “Kau harus mati sesuai caraku, Reon.”
“Sayang sekali, aku akan membeberkan kau sebagai pembunuhnya kalau aku mati,” kata Reon.
Shan menatapnya dengan berang. “KEMBALI!”
Reon menyingkirkan tangannya. “Tidak akan! Kau ingin aku mati sendirian? Well, tak akan kubiarkan hal itu terjadi. Setidaknya kalau aku mati nanti, kaupun tak akan hidup dengan tenang.”
Shan meraung marah. Dia menarik tangan Reon, memaksanya untuk kembali ke hotel. Tapi kesadaran Reon kembali sedikit demi sedikit. Dan berkat amarahnya yang meluap karena dikhianati oleh sahabatnya bahkan sampai berniat membunuhnya segala, membuat Reon punya tenaga ekstra untuk melawan.
“JANGAN MEMBUATKU MARAH!” raung Shan.
“MINGGIR! JANGAN MENYENTUHKU!” Reon melawan dengan berjalan ke arah sebaliknya.
Kilat kembali menyambar. Mobil-mobil lewat dengan suara menderu.
Pandangan Reon kabur lagi.
“Ikut denganku atau aku yang akan membunuhmu dengan tanganku,” Shan mencengkram kerah baju Reon dan mendelik marah.
Reon tersenyum kecil. “Kau sudah melakukannya kan? Kau yang menyuntikan obat itu padaku. Jika aku mati nanti, kau akan dicurigai sebagai pelakunya.”
Rupanya Shan beranggapan bahwa perkataan Reon benar. Dengan berang dia kembali menarik paksa Reon. Reon melawan dengan sekuat tenaga. Mereka berteriak-teriak, dan melangkah mendekati jalan raya yang begitu berisik.
Dan saat itulah ketika Shan mengatakan, “Aku akan membunuhmu!” Reon mendorongnya sekuat tenaga. Pegangan Shan terlepas. Reon masih melihat wajah Shan yang terkejut begitu tubuhnya jatuh ke belakang, ke jalan raya dan sebuah mobil menabraknya sampai mati.
Reon terhenyak begitu melihat bahwa tubuh Shan tak bergerak lagi sementara darah mengucur keluar dari tubuhnya, membasahi jalan raya yang basah karena hujan. Ia tak mendengar suara tetes hujan, atau suara orang-orang yang menjerit histeris, atau decitan mobil, atau bahkan sirine ambulan dan polisi.
Hanya ada satu kalimat yang terus berputar di kepalanya: Shan sudah mati.


Kejadian itu memberikan dampak yang begitu drastis. Tak ada hiruk-pikuk lagi. Ayahnya membencinya dan Momnya menangis tak karuan. Leon tidak memercayai kata-katanya. Dan walau tak ada bukti, fans, wartawan, bahkan semua orang mencibirnya. Orang tua Shan menyalahkannya dan menuntutnya untuk segera di penjara. Tapi Reon lepas dari segala tuntutan.
Hanya Rudolph yang memercayainya.
Ketika Reon merasa bahwa hanya ada dia dalam dunia ini tanpa seorang pun yang mendukung, Rudolph yang cuma seorang guru violis, yang memercayainya.
“Jangan khawatir. Aku memercayai semua perkataanmu, Reon. Aku tak pernah meragukan kata-katamu.”
Rudolph-lah yang menjadi sumber cahayanya selama ini. Sehingga Reon bisa melewati gunjingan-gunjingan orang, pandangan tak menyenangkan dari Momnya, tuduhan dan cacian dari Ayahnya bahkan diam seribu bahasanya Leon.
Pada akhirnya, Reon memutuskan untuk menyimpan biolanya. Tak ada kenangan yang menyenangkan dari kematian Shan. Tapi dia juga tak bisa memungkiri bahwa Shan pernah menjadi sahabat baiknya. Shan menjadi seperti itu karena biola ini. Karena ketenarannya yang membuatnya tak bisa menjadi nomor satu. Juga karena rasa bersalah yang menumpuk di jantung Reon.
Rokok, alkohol dan narkoba
Reon berhasil meninggalkan mereka. Tapi dia belum sanggup untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi pada orang tua Shan. Reon tahu betul bahwa Shan merupakan anak kebanggaan orang tuanya dan Kakak yang sangat baik bagi kedua adiknya. Reon belum sanggup untuk menghancurkan sosok Shan yang sempurna. Biarlah mereka hidup dengan Shan yang baik hati. Mungkin itu lebih baik.
Lebih baik menyalahkannya daripada menyalahkan Shan.
Bagaimanapun Shan hanya dikuasai api cemburu dan keserakahan. Untuk selebihnya, Shan merupakan orang yang baik.
Lalu, ketika Ayahnya memecat Rudolph, Reon memilih untuk ikut dengannya.


“Reon.”
Pandangan Reon yang kabur berubah menjadi jelas sedikit demi sedikit. Dia melihat wajah yang sama persis dengan dirinya berada di depan wajahnya.
“Leon,” katanya serak.
Leon tersenyum, matanya merah. “Tunggu. Kupanggilkan Dokter. Kau sudah koma dua hari.” Kemudian dia melesat menjauh dan terdengar suara pintu menutup.
Dokter datang tak lama kemudian. Tangannya yang berbonggol memeriksa denyutan jantung Reon dengan alis mengerut, begitu juga dengan mulut, mata dan beberapa bagian patah lainnya. Lima menit kemudian dia melihat catatannya dengan alis menaik. Tak ada tanda-tanda kepuasan di wajahnya.
“Kondisimu cukup oke, Reon,” kata si Dokter. “Sekarang kau hanya butuh istirahat.”
Leon tersenyum menyemangatinya. “Bagus. Kau pasti bakalan sembuh.”
Si Dokter berdeham. “Dimana orang tua kalian? Aku ingin bertemu dengan salah satu dari mereka. Wali kalian paling tidak.”
Senyuman Leon menghilang. “Oh. Orang tua kami di Australia.”
“Aku punya wali. Namanya Rudolph,” sambung Reon.
Dokter itu memperbaiki letak kacamatanya. “Baiklah. Aku akan bicara dengan dia saja. Bisa kau suruh dia datang ke kantorku?” dia melirik Leon.
Leon mengangguk dalam diam. Ketika si Dokter pergi, Reon berbicara dengan nada tenang seakan menerima kematian, “Aku tidak baik-baik saja. Itu sudah pasti. Mereka akan membicarakan masalah serius.”
“Itu tak mungkin. Mereka pasti hanya membahas biaya pengobatanmu,” kata Leon.
Tapi Reon rupanya bisa menangkap nada cemas dari suaranya. “Kau tak bisa memungkiri kalau perkataanku benar, Leon. Aku bahkan tak bisa mengerakan jariku saat ini.”
“Kau baru sadar. Apa yang kau harapkan?”
Reon memilih untuk mengubah pembicaraan. “Apa kau tak pulang? Mom mungkin sudah menunggumu.”
“Kau masih sakit.”
“Ah, bukannya kau bakal membawaku pulang walau dalam keadaan babak belur begini?”
“Tidak lucu!” Leon bangkit berdiri. “Aku tak pernah berharap bahwa kau akan terluka parah begini tahu!”
“Benar. Untunglah bukan kau yang mematahkan tulangku, kalau tidak aku pasti bakal dendam padamu.”
Leon tak membalas perkataan Reon. Diam lebih baik.
###StarBoy###
Rudolph terkejut ketika mendengar vonis yang mungkin terjadi pada tubuh Reon.
“Maaf, Anda bilang apa tadi?” katanya dengan suara tercekat.
“Kemungkinan ada beberapa saraf Reon yang akan terganggu. Untuk sementara ini respon geraknya sedikit terganggu. Kami sudah memeriksa dengan seksama seluruh tubuh Reon. Baru kali ini aku melihat ada tubuh yang begitu tak terawat. Tulang tangan kirinya retak dan pergelangan tangannya terkilir. Dia akan sulit memegang benda berat untuk sementara waktu. Lutut kakinya cedera cukup parah karena terbentul aspal dan terseret jauh. Dia butuh waktu untuk berjalan normal.” Si Dokter membuka catatannya yang panjang. Jantung Rudolph berdetak tak karuan mendengar semua penjelasan science yang disemburkan olehnya. “Tapi yang seperti kukatakan tadi, bagian otaknya yang harus kita cemaskan. Aku tak tahu apakah ini hanya sementara atau berkesinambungan. Kami baru bisa mengambil keputusan jika Reon benar-benar sembuh total dengan tangan dan kakinya. Lalu, kami juga mencemaskan penglihatan dan pendengarannya.”
Penglihatan dan pendengaran?
Si Dokter mendesah dan kembali melanjutkan dengan suara lelah. “Reon sudah sering mengalami kecelakaan. Kepalanya juga sering terbentur, terutama ketika dia berkelahi atau dipukuli atau jatuh. Saat ini bagian kepalanya yang mungkin akan menjadi masalah baginya. Jika kepalanya mengalami cedera lagi, besar kemungkinan kalau Reon akan kehilangan kemampuan penglihatan dan pendengarannya. Bahkan dia bisa saja mati.”
Udara di sekitar Rudolph seakan habis. Vonis hukuman untuk Reon lebih berat daripada yang dia bayangkan.
“Masa lalu Reon juga menjadi salah satu penyebabnya,” si Dokter membuka catatannya lagi. “Menurut sejarah kesehatan Reon, empat tahun yang lalu dia mengkonsumsi rokok, alkohol dan narkoba. Tak bisa kita pungkiri bahwa kesehatannya terganggu karena itu. Oleh sebab itu, Tuan Rudolph, kami mohon kepada Anda untuk menjaga Reon sebaik-baiknya. Jangan biarkan dia mengalami emosi berlebihan dan banyak pikiran. Segala tindakan fisik juga akan mempengaruhi kesehatannya. Aku akan memberikan beberapa catatan penting yang harus Anda lihat. Ini resep dan terapi untuk Reon agar dia dapat menggerakan kaki dan tangannya secara normal.”
Rudolph mendengarkan dengan cermat. Pikirannya berkecamuk mengingat apa yang dialami Reon selama ini. Orang-orang memperlakukan Reon seakan dialah penjahat kelas kakap padahal Reon orang yang baik.
Penglihatan dan pendengaran...
Bagaimana jika Reon tak lagi bisa melihat dan mendengar?
Lalu tangan kiri untuk memegang biola.
Reon mungkin saja sudah keluar dari dunia musik. Tapi Rudolph yakin kalau Reon masih ingin kembali jika waktunya tiba.
Namun harapan itu, tampaknya akan segera musnah.
“Dokter bilang apa?” kata Reon begitu Rudolph masuk.
“Dia bilang kau akan sembuh,” kata Rudolph duduk di sampingnya. “Mana Leon?”
“Memangnya ada Dokter yang tak bilang itu?” tukas Reon. “Leon pulang ke hotel. Kusuruh istirahat. Sebentar lagi yang lain bakal datang katanya.”
“Anggota StarBoy?”
“Ya,” kata Reon sambil lalu. Dia melirik Rudolph dan bisa membaca kemungkinan apa yang akan terjadi. “Apa keadaanku separah itu?”
“Kau ini bilang apa?”
“Nada bicaramu seakan bilang kalau tak ada harapanku untuk hidup.”
Rudolph menatapnya sejenak. Lalu dia berkata pelan. “Dokter bilang kalau sampai kepalamu terbentur lagi, maka ada kemungkinan kau akan kehilangan kemampuan penglihatan dan pendengaran. Juga kalau kau tak menjaga tubuhmu lagi, mungkin kau akan cacat seumur hidup.”
Reon menatapnya beberapa detik.
“Berjanjilah padaku, Reon,” kata Rudolph dengan nada memohon. “Kau tak akan melakukan apapun lagi untuk membahayakan nyawamu. Dokter bilang, jika kepalamu terbentur lagi, ada kemungkinan kalau kau akan mati.”
Reon membuka mulutnya perlahan, tapi dia tak mengeluarkan sepatah katapun.
“Tak apa,” Rudolph bangkit dari tempatnya. Dia memeluk Reon dengan sayang. “Kau tak perlu takut. Aku akan menjagamu dengan baik. Kau aman bersamaku.”
Rudolph dapat merasakan kalau tubuh Reon gemetaran.
Mereka berdua tak menyadari bahwa StarBoy sudah mendengar pembicaraan mereka di luar pintu kamar. Masing-masing dari mereka tak bisa berkata apa-apa. Semua tampak terkejut dengan ucapan Rudolph.
“Bagaimana ini?” kata Zacky menggigiti kuku jarinya dengan cemas. “Kita baru saja mendengar hal yang tak boleh kita dengar.”
“Harusnya kita bersyukur mendengarnya,” Alex mendesah lelah. “Karena dengan begitu, kita bisa bersikap ekstra hati-hati pada Reon sehingga kita bisa mengantisipasi bila keadaan berubah drastis.”
Flo bersandar ke dinding. Tak berkomentar.
###StarBoy###

StarBoy Eps 8


STAR BOY
by: Prince Novel
=====================================
8.

Fight

Leon melipat tangannya dan mendelik jengkel pada Reon yang baru turun dari motornya.
“Kau belum kembali juga?” kata Reon sinis.
“Aku tak akan pulang sebelum membawamu pulang,” kata Leon.
“Aku tak akan pulang, Leon. Berhentilah bersikap keras kepala,” Reon meletakan helmnya dan memperbaiki letak ranselnya. “Aku ada kelas hari ini dan aku betah disini. Jadi katakan kepada Mama, kalau kau tak keberatan, bahwa aku tak akan pulang ke rumah itu apapun yang terjadi.”
Leon mempercepat langkahnya, mengimbangi langkah kaki Reon. “Kau cuma butuh pulang sehari saja. Mama sakit, Reon, dia cuma ingin melihatmu.”
“Dia yang mengusirku.”
Papayang mengusirmu.”
“Dia tak percaya padaku.”
Akupercaya padamu.”
“Tidak. Kau tak percaya. Kau cuma mengatakan itu supaya aku pulang ke tempat terkutuk itu.”
Leon menggertakan gigi. “Aku capek mengurusmu. Setiap hari yang kudengar dari Mama cuma kau. Dia merasa bersalah dengan apa yang dia katakan padamu. Percayalah padaku kali ini saja, Reon. Rumah itu tak seburuk dugaanmu.”
Reon berhenti melangkah. “Pulanglah, Leon. Ini sekolah. Kita bicarakan ini nanti.”
Leon mengangguk perlahan dan hanya bisa memandang saudara kembarnya menjauh saat Reon memunggunginya.
Dari awal Leon tahu kalau tak akan semudah itu membawa pulang Reon. Reon sudah tak memiliki alasan untuk pulang. Rumah itu bukan tempatnya. Dan keberadaan Leon justru mempersulit keadaannya.
Leon juga tak tahu apakah harus percaya atau tidak pada Reon. Dia tahu kalau Reon sangat mempercayainya, tapi kenapa dia sendiri tak bisa mempercayai Reon? Rasanya, sejak dua tahun yang lalu—sejak kejadian menjengkelkan yang melibatkan polisi dan kematian sahabatnya Reon serta pesta narkoba itu—Reon seperti jauh dari jangkauan.
Dia tak lagi menyenangkan seperti dulu. Dia tak lagi menceritakan soal ide-ide cemerlang mengenai impiannya. Dia tak lagi bermain biola.
Lalu dia berubah menjadi seorang berandal yang suka berkelahi, seakan-akan cuma itu satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalahnya.
Dan Ayah mereka memperburuk semuanya.
Tapi masalahnya kali ini berbeda. Mama mereka sedang sakit dan dia membutuhkan Reon. Leon tak tahu untuk apa, apakah untuk meminta maaf atas semua hal yang telah dia lakukan, atau meminta penjelasan tentang kejadian dua tahun yang lalu, atau malah meminta Reon kembali menjadi violis karena tiba-tiba saja ada seorang produser yang ingin mempromosikan Reon kembali. Entahlah.
Yang pasti, dia harus membawa Reon pulang.
Apapun yang terjadi.
###StarBoy###
Flo melirik Reon.
Reon sedang menatap kertas ujiannya dan sama sekali tidak terganggu sedikitpun dengan sikap Flo. Malah Reon dengan sengaja pura-pura tak melihat Flo sejak kejadian kemarin malam.
Flo menggeleng. Rasa penasarannya harus dihentikan. Ada ujian yang harus diselesaikan.
Reon bergerak sedikit, mengamati soal di kertas putihnya. Pikirannya melayang pada pembicaraan antara dia dan Flo kemarin malam lalu pada Leon. Leon pasti sedang menunggu di depan gerbang. Anak itu bersedia menunggunya berjam-jam cuma untuk bertemu dengannya. Reon hapal betul dengan tingkahnya yang satu itu.
Tangan Reon kembali menjawab soal. Dahinya mengerut sedikit.
Aku percaya padamu
Andai saja Leon mengatakan itu lebih cepat. Tentunya dia tak akan menjadi seperti ini.
“Reon, apa kau membunuhnya?”
“Kenapa kau membunuh anakku? Apa salahnya padamu?”
Konsentrasi!
Reon menggigit bibirnya, tangannya gemetar ketika telinganya seakan mendengar suara dari masa lalu.
“Kau pesta alkohol dan narkoba! Kau tak tahu apa yang kau lakukan, ya kan Reon?” suara Leon kembali terdengar. “Kau tak mungkin membunuh sahabatmu kan? Kau tahu kalau dia tertabrak kan?”
“Kau tak memercayaiku, Leon? Aku sadar sepenuhnya!”
“Dengar, kau cukup berbohong dan bilang kalau kau tak tahu apapun.”
“Aku tahu benar apa yang terjadi. Ini tak seperti yang kalian pikirkan.”
“Percayalah padaku. Papa akan menyelesaikan masalah ini. Yang kau butuhkan cuma diam saja dan ikuti jalan ceritanya.”
“Kau tak mengerti, Leon. Aku tidak membunuhnya. Dia sendiri yang—”
Reon memaksa dirinya untuk sadar. Dia membalikan kembali kertas jawabannya dan memeriksa satu per satu soal yang dia jawab. Dahinya mengerut dalam ketika melihat satu adegan yang rasanya seperti baru terjadi kemarin.
“Reon,”dia masih bisa mengenali suara itu, sejelas saat orang itu disampingnya. “kau membuat semuanya menjadi seperti ini, Reon. Kau tak akan keberatan kan? Aku juga ingin jadi sepertimu, Reon. Aku ingin kau juga merasakan yang kurasakan saat ini, Reon. Kebahagiaan.”
Bel berdering keras sekali sehingga menyelamatkannya dari pikirannya sendiri.
Dengan kedua tangannya, dia menyapu wajahnya. Pikirannya lelah.
“Minum?” kata Flo mengulurkan minuman padanya.
Reon mengambilnya dan meminumnya tanpa banyak komentar.
“Mengenai kejadian kemarin malam,” Flo berhenti sejenak, menunggu Reon bereaksi, tapi Reon tak mengatakan apapun sehingga dia melanjutkan. “Aku akan mendengarkan saat kau siap.”
Reon mendelik padanya.
“Kehidupanku lebih parah dari kehidupanmu, Flo,” kata Reon. “Jadi lebih baik jangan ikut campur.”
Reon bangkit dari tempatnya, lalu kelihatan sibuk dengan game ponselnya sampai kemudian Andrean muncul mengagetkannya.
“Aku beli cake,” kata Andrean, lalu melirik pada Flo. “Kau juga mau, Flo?”
“Aku tak suka manis,” kata Reon menutup ponselnya.
“Kau tenang saja. Ini tak manis,” kata Andrean lagi. “Dan aku yakin ini sesuai dengan rasamu.”
Reon hampir saja melupakan kalau Andrean salah satu fans beratnya. Anak itu pasti tahu segala hal mengenai dirinya. Semua majalah dan koran sudah mempublikasikan tentang kehidupannya, benar-benar menjengkelkan.
###StarBoy###
Dugaan Reon benar. Leon sudah menunggunya di depan pintu gerbang sekolah. Dia berjongkok seperti kutu busuk dan mengadah saat motor Reon berhenti di sebelahnya. Reon menaikan kaca helmnya dan mendelik jengkel.
“Kau belum pulang juga?” kata Reon.
“Kan aku sudah bilang kalau aku—”
“Naik,” Reon menyerah. “Kita bicara di tempat lain.”
Leon terbengong sejenak. Ia cepat-cepat bangkit dan naik ke atas motor Reon. Reon mendecak sebal kemudian menggas motornya.
Andrean dan Aster yang melihat kepergian Reon dan Leon cepat-cepat menyusul mereka dengan mobil. Mereka memberikan SMS pada yang lain kalau pada saat ini mereka membuntuti Reon dan Leon karena khawatir kalau Reon akan melakukan sesuatu jika amarahnya meledak pada Leon.
Leon bertanya-tanya kemana Reon akan membawanya. Bukan berarti dia takut menghadapi Reon sendiri, bahkan kalau bisa Leon ingin sekali menghadapi Reon—satu lawan satu. Akan lebih mudah membawa Reon pulang jika Leon berhasil mematahkan satu dua tulangnya. Setidaknya, Reon tak akan bisa bergerak beberapa waktu.
Tapi, bagaimana jika sebaliknya?
Itu adalah masalah yang tak ingin dia pikirkan. Masih ada pertandingan yang akan dia ikuti dan Leon tak ingin cedera sebelum saat itu tiba.
Motor Reon berhenti di depan sebuah bangunan kosong di dekat pelabuhan. Dia melepas helmnya dan memilih untuk duduk di bebatuan besar yang berderet rapi di pinggiran jalan. Leon memilih untuk duduk di sampingnya.
Untuk sejenak terjadi kesunyian yang mencekam di antara mereka.
“Jadi,” Reon memulai, “kau memilih untuk tetap keras kepala?”
“Aku punya tugas untuk membawamu pulang,” kata Leon dengan nada dingin.
Reon menghela napas, menyisir rambutnya dengan jari. Dia menatap lurus dengan pandangan kosong dan diam sejenak.
“Leon, dulu kau kenal betul siapa aku. Kau tahu aku tipe orang yang keras kepala.”
“Memang. Tapi kau juga tahu betul siapa aku. Aku juga tipe orang yang keras kepala. Kita ini kembar, kau tahu,” kata Leon lagi.
“Aku capek bertengkar terus denganmu.”
“Aku juga capek. Apa susahnya sih pulang sebentar saja? Paling hanya satu dua hari, lalu kau bisa kembali kemari.”
Reon membasahi bibirnya. “Kau sangat mengenal sifat Ayah. Saat aku pulang, dia tak akan mau melepasku. Dia pasti tak akan membiarkanku kembali ke sini.”
Leon mengangkat kedua bahunya. “Itu mungkin saja. Ayah sangat menyayangimu tahu. Kau satu-satunya orang yang bisa membuatnya bangga.”
Reon tertawa mengejek. “Maksudmu menghasilkan uang?”
Leon terdiam sesaat. Kata-kata Reon seperti menusuknya. Memang benar kalau selama ini Reon-lah yang menopang keuangan keluarga sementara Ayah mereka memanfaatkan penghasilan Reon untuk bisnis yang lain. Hasilnya tentu saja sangat memuaskan, andai saja tak ada kejadian itu.
“Aku yakin kalau dia menyayangimu,” kata Leon.
Reon tertawa lagi. “Sekarang kau berbohong.”
“Aku tidak berbohong.”
“Oh, jelas kalau kau berbohong. Aku sangat mengenalmu, kau tahu,” Reon geleng-geleng kepala. Dia kembali menatap kejauhan, seakan tak melihat apa-apa.
“Terserahlah. Yang aku inginkan kau pulang sekarang juga atau kita berkelahi satu lawan satu. Pilih yang mana?” Leon melipat tangannya. “Mom memintaku membawamu pulang dan aku menyanggupinya. Jadi apapun yang terjadi, aku akan membawamu ke Mom.”
“Aku memikirkan kata-katamu kemarin, Leon dan aku berpikir bahwa sebagiannya mungkin saja benar,” kata Reon lagi.
Dahi Leon mengerut tak mengerti. “Yang mana?”
“Mungkin aku memang membunuh Shan,” kata Reon.
Leon kehabisan kata-kata.
“Mungkin akulah yang membuat dia mati,” kata Reon. “Dengan alasan seperti itu, apakah Mom tetap akan menerimaku?”
Leon tak bisa berkata apa-apa. Dia harus menjawab apa dengan pertanyaan Reon itu? Selama ini Reon selalu menyangkal kejadian Shan. Tapi kali ini? Kejujuran Reon yang tiba-tiba ini membuat jantung Leon seakan berhenti berdetak.
Reon membunuh Shan.
Reon-lahyang membunuh Shan.
Tidak. Itu tak mungkin!
Leon berdiri, mencengkram kerah baju Reon sampai membuatnya berdiri. Wajahnya penuh dengan amarah. “Kau berbohong kan? Ini sama sekali tak lucu!”
Anehnya, Reon kembali tertawa. “Kau memintaku mengatakan kejujuran. Setelah kau mendengar kejujuran kenapa kau sendiri yang tak percaya? Apa kau lebih percaya kebohonganku?”
Dulu Reon benar-benar mengatakan kalau bukan dia yang melakukannya. Apa karena ketakutan waktu itu makanya dia berbohong? Dan sekarang, setelah semuanya beres ditangani, dengan entengnya anak ini mengatakan kejujuran?
Leon membencinya.
“Brengsek!” Leon mengangkat tinjunya dan menghantamkannya ke wajah Reon. Reon jatuh ke jalanan. “Percuma saja aku mempercayaimu! Jadi selama ini memang kau yang membunuh Shan? Kemana kesadaranmu? Apa yang dia lakukan padamu sehingga kau membunuhnya?”
… kau membuat semuanya menjadi seperti ini, Reon
Leon memegang kerah baju Reon lagi dan meninjunya. Setiap teriakannya seiring dengan tinjunya. “Apa kau tak melihat kalau Ibunya Shan masih menangisi kepergiannya? Shan masih memiliki dua orang adik! Apa kau tahu seberapa banyak orang yang menangis karena kepergiannya? Jawab aku, brengsek! Kenapa kau diam saja disaat seperti ini? Lawan aku! Kenapa kau tak mau membalasku?”
Mobil Andrean dan Aster tiba. Mereka turun dengan terburu-buru dan berlari kearah mereka. Aster segera menarik Leon untuk menjauh.
“Lepaskan aku!” teriak Leon.
Andrean membantu Reon bangkit. Tapi Reon cepat-cepat menepis tangan Andrean dan berdiri sendiri. Wajah Reon babak belur, tapi dia masih tak berekspresi.
“Kau sudah mendengar kenyataannya dan sama seperti mereka kau tak bisa menerimaku kan? Jadi kau tak perlu repot-repot membawaku pulang,” Reon menyeka darah yang mengucur dari sudut bibirnya. “Tak ada yang beda dari kalian semua. Baik kau, Ayah dan Mom. Cuma Rudolph yang menerimaku dengan tangan terbuka. Jadi kenapa aku harus pulang?”
Reon menaiki motornya dan pergi dengan suara mendecit.
“Brengsek!” Leon melepaskan pegangannya. Dia berteriak jengkel.
“Apa yang terjadi? Kalian membicarakan apa?” kata Andrean takut-takut.
Leon meliriknya dengan tatapan bengis. Tapi tak mengatakan apa-apa.
Mobil Alex menyusul tak lama kemudian. Wajah mereka tercengang.
“Apa yang terjadi?” kata Alex dengan dahi mengerut. Aura yang tak menyenangkan menguap di sekitar kelompok kecil itu. “Aster, ada apa ini?”
“Leon dan Reon bertengkar,” jawab Aster. “Kami tak tahu karena apa.”
Leon mendelik mereka. “Kenapa kalian semua tiba-tiba ada disini? Apa kalian mengikuti kami?”
Flo mengangguk. “Kami khawatir. Kalian selalu bertengkar karena masalah sepele.”
Leon mendengus. “Kalian memang tukang ikut campur.”
“Jadi, Reon ada dimana sekarang?” Flo melihat sekeliling.
“Dia sudah pergi dengan motornya,” jawab Andrean.
“Oh,” desah Alex. “Lebih baik kita cepat kembali. Leon, naik ke mobil Aster.”
“Siapa kau berani menyuruhku?” gerutu Leon.
“Bukan siapa-siapa. Tapi kami tak mungkin membiarkan kau sendirian disini. Tak ada kendaraan yang lewat sini. Jadi lebih baik kau ikut kami pulang. Kau tinggal dimana? Hotel?” kata Alex dengan nada tenang. Tak ada gunanya tarik-menarik urat leher jika menghadapi kedua saudara kembar ini.
“Ya,” Leon menyerah. Lagipula, apa yang dia katakan benar. Tak ada satupun kendaraan yang lewat disekitar sini. Reon benar-benar mencari tempat yang baik untuk meninggalkannya sendirian di tempat ini.
Leon duduk di belakang, di samping Flo yang menatapnya tanpa berkedip. Tapi Leon memilih tak peduli. Dia sudah terlalu capek hari ini. Tak perlu membuang-buang energi untuk orang yang tak berguna.
“Apa yang kalian bicarakan?” kata Flo.
“Bukan urusanmu.”
“Apa kau mengajaknya pulang lagi?”
“Bukan urusanmu.”
“Dari tampangmu sepertinya dia tak berniat pulang ya kan?”
“Bukan urusanmu.”
“Jadi, apa kau bisa memberitahuku alasan kenapa kau begitu marah padanya?”
Leon mendelik jengkel padanya. Flo balas nyengir padanya. Mendengus jijik, Leon kembali mengalihkan pandangan keluar jendela.
Reon membunuh Shan.
Leon tak ingin memercayai itu. Tapi Reon sendirilah yang mengatakannya.
“... mungkin memang akulah yang membunuh Shan ...”
Hati Leon seakan teriris. Apa yang dipikirkan Reon sebenarnya?
“Eh?” Aster menurunkan kecepatan saat melihat ada kerumunan yang berada di pinggir jalan. “Ada apa sih?”
Andrean menurunkan kaca jendela mobilnya dan mengulurkan kepalanya. “Sepertinya ada yang kecelakaan.”
Sirine ambulan yang meraung-raung dikejauhan membuktikan kalau sudah ada yang memanggil bala bantuan. Sebuah mobil terparkir dipinggiran, begitu pula dengan beberapa motor yang menonton, mengerubuni orang sementara yang lain berbisik-bisik dan berteriak-teriak. Ada sebuah motor yang sudah porak poranda di kejauhan, lengkap dengan guratan panjang yang di sepanjang jalan.
“Ambulan! Ambulan!” orang-orang berteiak, mengangkat tangan tinggi-tinggi.
Andrean mengerutkan dahinya sementara Aster mencoba menerobos kerumunan yang menghalangi jalan. Berulang kali dia memencet klakson.
“Itu motor Reon kan?” kata Flo tiba-tiba, mengerutkan dahi saat melewati motor yang sudah rusak parah. Jantung Flo seakan mencelos turun ke kaki. “Aster, berhenti,” katanya dengan suara gemetar.
Aster menurut. Tenggorokannya terasa kering saat mendengar kalimat Flo. Motor itu memang mirip sekali dengan motor Reon walau keadaannya sudah porak-poranda. Flo, Andrean dan Leon turun dengan terburu-buru.
Mereka menerobos kerumunan sementara ambulan tiba.
“Permisi... permisi... tolong beri jalan,” kata Flo mendorong dengan kasar. Saat dia mencapai pusat kerumunan, Flo nyaris seakan berada di dunia lain.
Reon tergeletak berlumuran darah.
“Ya Tuhan...”
Ini mengerikan sekali.
###StarBoy###