Jumat, 18 Oktober 2013

TBMB [07]

07
Blind Date
==========
FRAN(POV)
Dear God! Kenapa aku mengiyakan apa yang dikatakan Jeremiah? Bila aku bisa mengulang waktu, aku akan melakukannya karena sekarang aku hanya ingin melarikan diri, jika tidak, mengubur diriku hidup-hidup.
“Fran! Buka pintunya atau aku akan mendobraknya!”
Aku melonjak, kemudian mengerang jengkel. Jeremiah berteriak dari luar pintu kamarku. Dengan kekuatan penuh dia memukul pintu. Suaranya tak kalah jengkel dengan suara yang hendak kulontarkan padanya.
“Berapa kali aku harus bilang kalau aku tak berminat, Jerry?” balasku jengkel, melindungi diri dengan bersembunyi di selimut. Pintuku sudah kukunci dan tentu saja sudah keletakkan meja sebagai brikade, siapa tahu nanti Jeremiah berniat mendobrak.
“Kau sudah janji padaku untuk setuju dan jangan panggil aku ‘Jerry’ kalau kau tak ingin aku merontokkan gigimu!” Dia berteriak seperti orang gila. Grandel pintuku berbunyi berisik.
“Aku tak mau pergi!” kataku, lalu menutup kepalaku dengan bantal, berusaha menghilangkan suara Jeremiah yang menjadi-jadi.
“Kau harus pergi! Sampai kapan kau akan jadi jomblo seumur hidup?”
Brengsek! Memangnya kenapa kalau aku ingin jomblo seumur hidup? Aku merasa hidupku baik-baik saja. Aku tak merasa bahwa aku kesepian. Aku punya Gabrielle. Dia hal terindah yang ada dalam hidupku. Aku tak butuh wanita untuk—
“FRAN! BUKA PINTUNYA!”
Jeremiah mendobrak pintu, membuat meja di depan pintu bergetar, tapi tentu saja, pintu tak terbuka. Kuharap dia segera berhenti mendobrak pintuku. Aku tak ingin membuat pintu baru. Dia pikir gampang sekali menginvasi rumah orang?
Sejak kepulangan kami seminggu yang lalu, Jeremiah ngotot untuk mengajakku kencan dengan orang tak dikenal. Dia muncul ke kantorku jika ada kesempatan, meneleponku setiap hari, bahkan nongol dirumahku, hanya untuk membicarakan masalah ini. Jika saja bukan karena dia selalu menanyakan hal yang sama, maka aku tak akan terlibat hal seperti ini. Karena bosan mendengar dia memohon, akhirnya aku mengiyakan apa yang dia katakan.
Dan sekarang masalah dimulai.
“Fran, buka pintunya! Apa kau tahu sangat tak sopan bagi seorang gantleman untuk terlambat?”
Kemarin dia bilang kalau dia sudah membuat janji dengan seorang wanita. Aku tak ingat siapa namanya karena aku begitu sibuk melongo dengan apa yang dia katakan. Aku tak menyangka kalau dia akan serius mengenalkan seseorang padaku. Dan belum lagi aku sempat mengolah apa yang terjadi, Jeremiah sudah mengatakan, “Kita akan makan malam dengannya besok.”
Aku ingin mati saja saat dia bilang begitu. Memang tidak ada yang salah dengan ajakannya. Tapi aku belum siap untuk berkencan dengan seseorang. Aku merasa tak ada yang salah dengan kehidupanku. Aku merasa baik-baik saja dengan apa yang kudapat selama ini. Kenapa dia begitu keras kepala menjodohkanku dengan seseorang? Apa dia tak tahu kalau dia baru saja mengganggu privasiku? Bagaimana kalau wanita yang dia undang itu sama sekali tak menganggap aku cocok untuknya? Aku kan membosankan!
“Dad, percuma kau mendobrak pintunya. Dia pasti sudah meletakkan meja ke depan pintu.” Suara Gabrielle terdengar dari balik pintu.
“Fran, bertingkahlah sebagai orang dewasa dan hadapi aku! Jangan seperti anak kecil!”
Aku menggerutu, tapi tidak menurut.
“Omong-omong, jendela kamarnya tidak terkunci dan kau bisa lewat dari balkon kamarku, Dad, bila kau ingin menyeretnya keluar dari kamar.” Lagi-lagi terdengar suara Gabrielle. Seketika itu pula aku menyingkirkan selimut, menganga dan bangkit dari tempat tidurku untuk mengunci jendela kamarku tepat saat terdengar suara Jeremiah memaki dan langkah kakinya yang berpindah tempat. Aku tak habis pikir kenapa Gabrielle lebih membelanya daripada membelaku!
Aku berhasil mengunci jendela kamarku, lalu kembali naik ke atas tempat tidur, menyelimuti diriku dengan selimut, lalu menutup kedua telingaku. Terdengar suara klik, pertanda bahwa Jeremiah berhasil membuka jendela kamar Gabrielle, lalu bunyi “duk” pertanda bahwa dia sudah muncul di balkon kamarku, dan suaranya menyusul tak lama kemudian.
“Fran, buka jendelanya atau aku akan memecahkannya!”
Aku masih bertahan di posisiku, menutup mata, tak berani untuk bergerak sedikitpun.
“Fran, aku memperingatkanmu. Kau tahu benar kalau aku akan melakukannya,” ancamnya dengan nada berbahaya.
Menggigit bibir bawahku dengan cemas, aku menyerah dan menyingkirkan selimut. Jeremiah berdiri di balik jendela balkonku, mengenakan kemeja dan jas formal yang menurutku bagus sekali baginya. Kedua tangannya berada di pinggang dan dia tengah memelototiku dengan tak setuju.
“Buka pintunya,” katanya lagi.
Aku menghela napas, turun dari tempat tidur, berjalan ke pintu kaca untuk berhadapan langsung dengan Jeremiah. “Aku tak ingin pergi.”
“Kau janji padaku. Kita harus pergi.”
“Jeremiah, aku baik-baik saja walau aku tak memiliki wanita.”
“Apa kau bermaksud mengatakan padaku kalau kau gay?”
“Aku bukan gay!”
“Kalau begitu buka pintu sialan ini dan bersiaplah untuk menemui wanita yang ingin kukenalkan padamu.”
“Jeremiah, aku tahu butuh kencan.”
“Aku tak menyuruhmu kencan dengannya. Aku menyuruhmu bertemu dengannya. Kau butuh bersosialisasi dan menjauhkan diri dari komputer!”
Matanya tampak sungguh-sungguh. Dalam sekejap aku menyerah untuk bertengkar dengannya. Aku tak akan pernah menang melawan Jeremiah. Menggerutu, aku membuka pintu dan dia segera masuk setelah mendorongku minggir.
“Cepat mandi dan bersiap. Aku akan memilih pakaian yang pas untukmu.”
Lalu, tiba-tiba saja, aku mendapat alasan yang bagus. “Aku tak bisa meninggalkan Gabrielle.”
“Oh, jangan khawatir, aku akan menitipkannya pada adikku. Dia suka anak-anak, dia akan mengawasinya dengan sangat baik.”
Mulutku terbuka lebar. “Apa?”
Jeremiah berpindah ke belakangku, mendorongku menuju kamar mandi. “Kau mendengarku dengan baik. Nanti saja kita ngobrolnya. Yang lebih penting saat ini adalah agar kau bersiap.” Setelah berhasil memasukkanku ke kamar mandi, dia masih berpesan, “Jangan lupa, mandi yang bersih dan cepat.” Sebelum dia menutup pintu.
Aku mengerang jengkel, tapi tak bisa berbuat apa-apa selain menurut. Aku berusaha mandi selama mungkin sampai akhirnya Jeremiah mengancam akan masuk ke dalam dan menyeretku keluar bila aku terlalu lama. Pria itu benar-benar punya masalah besar terhadap kepribadiannya. Aku memang sangat membosankan dan sulit bersosialisasi. Tapi kenapa dia tetap bersikap seperti itu? Bukankah selama ini dia membenciku? Lalu kenapa dia sekarang jadi perhatian?
Begitu aku keluar dari kamar mandi, Jeremiah melemparkan pakaian padaku untuk segera dipakai. Dia masih memperingatkanku untuk cepat karena kami sudah sangat terlambat, lalu dia keluar dari kamarku—dimana dia sudah menyingkirkan mejaku. Aku ingin sekali kabur, tapi aku tahu tak ada gunanya.
Gabrielle dan Jeremiah sudah menungguku di bawah ketika aku berpakaian. Wajahku pasti sangat jelek sekali, karena sedari tadi aku hanya cemberut. Aku tak suka ada orang yang lebih muda mengatur hidupku.
“Papa, kau tampan sekali,” kata Gabrielle dan aku langsung tersenyum.
“Yep, siapa dulu yang memilih pakaiannya,” kata Jeremiah. Aku memberikan tatapan menusuk yang dengan cepat dihindarinya dengan merapikan mantel Gabrielle. “Ok, sekarang semua sudah siap. Mari kita berangkat.”
Kami keluar rumah dan masuk ke jaguar Jeremiah. Gabrielle memilih duduk di belakang, memainkan ponselnya. Benda itu diberikan Jeremiah sesaat setelah kepulangan kami dari liburan dan meminta Gabrielle menghubunginya kapanpun dia mau. Dalam sekejap, Gabrielle sudah punya beberapa teman dan sibuk meladeni mereka setiap orang dengan pesan singkat.
“Apa adikmu tidak keberatan menampung Gabrielle?” aku bertanya setelah hening  beberapa saat.
Jeremiah menyalakan musik klasik dan tersenyum kecil. “Jangan khawatir. Begitu aku bilang kalau aku butuh bantuan untuk menjaga seorang anak kecil, mereka langsung riang gembira. Adikku sangat suka anak-anak. Mereka akan menjaganya dengan baik.”
“Mereka?” aku mengerjap. “Berapa banyak adikmu?”
“Kau tak perlu memikirkannya.” Jeremiah berkonsentrasi pada jalan di depannya. Mobil kami melewati perumahan besar setelah dari jalan besar. Gabrielle beberapa kali menyampaikan salam dari Noah dan Ben. Sepertinya, Gabrielle masih berhubungan dengan mereka berdua.
“Aku juga suka mereka berdua.” Jeremiah setuju saat Gabrielle menanyainya. “Setidaknya, mereka bersahabat.”
Aku setuju pada Jeremiah. Dibandingkan dengan Troy dan Jimmy, Ben dan Noah lebih bersahabat. “Gabrielle, apa kau punya teman di sekolah?”
Anakku mengangguk. “Ada.”
“Kalau begitu, kenapa kau tak pernah membawa mereka ke rumah?”
Gabrielle menengadah. “Aku boleh membawa mereka?”
“Tentu saja boleh. Mereka teman-temanmu. Aku akan senang bertemu dengan mereka,” kataku dan mata Gabrielle berbinar. “Kalau boleh aku tahu, siapa teman-temanmu?”
“Oh, tak banyak. Hanya tiga orang,” katanya bersemangat. “Aku berteman dengan Rayne Simons, Wyalt Bryne dan F-F-Fanesca Lyott.”
Jeremiah tersenyum di belakang setir. “Kau naksir si kecil Fanesca kan?”
Aku menoleh ke belakang untuk menemukan bahwa wajah Gabrielle merona merah.
“Aw,” kata Jeremiah, melirik spion. “Putraku sedang jatuh cinta.” Dia terkekeh kecil. Aku sendiri merasa bahwa ekspresi Gabrielle manis sekali. Aku tak pernah melihatnya malu-malu sebelumnya.
“Uh! Aku benci padamu!” kata Gabrielle, menendang kursi Jeremiah dari belakang. Tapi Jeremiah semakin terbahak.
“Jadi, seperti apa Fanesca ini, hmm? Apa dia cantik?” tanya Jeremiah.
Gabrielle menutup wajahnya, tampak malu lalu memaki pelan.
“Watch your mouth, young man,” kata Jeremiah dan aku memukul tangannya.
“Jangan menggodanya,” kataku. “Kau bisa menceritakannya kalau kau sudah siap, Gabrielle. Aku akan mendengarkan kapanpun kau mau.”
“Tapi aku mau tahu sekarang,” kata Jeremiah.
“Apa kau tahu yang namanya privasi?” balasku.
“Ok, Grandma. Whatever you want.”
Aku memukul tangannya lagi karena mengejekku, membuatnya tertawa. Akhirnya kami sampai di depan sebuah rumah besar, bergaya eropa dengan batu-batu merah dan atap berbentuk segitiga. Rumah itu tampak seperti kastil. Jendela-jendelanya berwarna putih. Pohon-pohon sudah berguguran sementara halamannya luas, dikelilingi dengan pagar batu yang kuno tapi juga keren dan klasik.
“Aku akan mengantar Gabrielle. Kau tunggu di sini.” Jeremiah melepas sabuknya.
“Oh, tidak. Aku ikut denganmu. Tak sopan bila aku—”
Jeremiah memberiku pandangan membosankan. “Percayalah, kalau kau masuk, kita tak akan bisa keluar. Jadi lebih baik kalau kau duduk nyaman di sini sementara aku mengantar Gabrielle.”
Seakan itu ucapan finalnya, Jeremiah membuka pintu. Gabrielle segera turun setelah memberiku ciuman perpisahan. Aku hanya melihat mereka masuk ke dalam rumah itu dan berharap bahwa Gabrielle akan baik-baik saja.
Ok, aku tahu bahwa Gabrielle akan baik-baik saja.
Tapi aku tak tahu apakah aku akan baik-baik saja atau tidak.

***

JEREMIAH(POV)
Gabrielle menggenggam tanganku erat-erat saat aku membawanya masuk ke dalam rumah sebelum mengetuk pintu. Biasanya, tiap kali dia melakukan ini, aku tahu bahwa dia takut. Untuk menenangkannya, aku balas meremas tangannya, memberikan pesan bahwa tak ada yang perlu ditakutkan dan bahwa semuanya baik-baik saja. Senyuman Gabrielle muncul ketika aku menatapnya. Keberaniannya muncul.
“Eleanor!” aku berteriak memanggil nama adikku. Gabrielle semakin menggenggam tanganku. Genggaman Gabrielle cukup mantap. Bila Cody punya waktu, sebaiknya dia mengajari Gabrielle cara meninju orang. Mengingat Cody membuatku jengkel. Aku merindukannya setengah mati dan dia belum memaafkanku.
Terdengar suara langkah kaki dan adik perempuanku muncul, nyaris menjerit ketika dia melihatku. “Jeje!” katanya, lalu memelukku erat-erat.
“Cassandra,” kataku jengkel, memeluk pinggangnya, “jangan panggil aku ‘Jeje’. Kita bukan lagi anak kecil.”
Cassandra melepas pelukannya setelah dia mencium pipiku. “Aku tetap akan memanggilmu ‘Jeje’ bahkan saat kau sudah delapan puluh tahun sekalipun,” katanya mengangguk-angguk dan aku memutar bola mata. “Well, siapa anak manis ini?” Dia menatap Gabrielle dengan mata berbinar. “Dia manis sekali.”
“Eleanor tak menceritakan apapun?” kataku keheranan.
“Kau tahu dia pelupa,” balasnya, lalu menunduk sedikit. “Halo, Tampan, siapa namamu?”
Gabrielle tampak agak salah tingkah ketika menjawab, “Gabrielle, Ma’am.”
“Tsk tsk tsk. Jangan panggil ‘Ma’am’, Sayang. Aku belum setua itu,” kata Cassandra menggoyang-goyangkan telunjuknya. “Cassandra saja sudah cukup, Gabrielle. Dan aku suka sekali namamu karena di rumah ini ada yang bernama Michael dan juga Raphael!” Cassandra nyaris berjingkat-jingkat. “Dan mereka semua nyaris seumuranmu! Aku senang sekali!”
“Mana Eleanor?” kataku memutar bola mata melihat tigkah adikku. Cassandra tak menjawab dan sibuk merapikan mantel Gabrielle, lalu memberikan ciuman di kedua pipinya, membuat wajahnya semakin merah. “ELEANOR!”
Terdengar langkah kaki yang lain menuruni tangga. Lalu tak lama muncul pria memakai piyama dengan rambut berantakan dan berkacamata bengkok. Dia tampak sesak napas ketika turun.
“Jere,” katanya, lalu mengambil napas ketika melihat Gabrielle, “Oh! Aku lupa!”
Really?” aku tak senang sama sekali.
“Sori, Jere,” katanya, kemudian mendekat pada Gabrielle. “Jadi, ini anaknya? Well, dia tampan sekali.”
Aku tak punya waktu banyak untuk memarahi Eleanor, oleh sebab itu aku menyudahi masalahnya. “Ya, aku akan menjemputnya jam sebelas.” Aku menoleh pada Gabrielle. “Gabrielle, ini Eleanor dan Cassandra,” kataku memperkenalkan mereka berdua. “Mereka akan menjagamu sampai jam sebelas. Kalau mereka berbuat sesuatu yang membuatmu sebal, kau tinggal mengatakannya padaku.”
“Aku tak akan melakukannya!” Cassandra berkata jengkel, menarik Gabrielle ke sebelahnya. “Dia seperti malaikat, aku akan menjaganya sepenuh hati.”
“Yeah, baiklah,” kataku. “Kemana yang lain?”
“Mereka menonton Alexandria.”
Oh, benar. Film Cody sudah ada di bioskop. Aku lupa sama sekali. “Aku harus berangkat. Kalian jaga dia baik-baik. Jangan melakukan hal yang tidak-tidak. Mengerti?” Aku memberikan kecupan ke dahi Gabrielle, menghindari pandangan aneh kedua adikku dan keluar sebelum mereka bertanya.
Fran seperti manusia yang bangkit dari liang kubur ketika aku masuk ke mobil. Wajahnya pucat pasi dan dia sama sekali tak ingin diajak bicara.
“Apa kau baik-baik saja?” kataku setelah kami nyaris sampai ke salah satu kencan Fran.
“Tidak. Aku ingin muntah,” jawabnya gugup.
Aku terkekeh. “Fran, santai. Wanita itu tak akan membuka pintu sambil membawa gergaji.” Dia menelan ludah dengan panik. Ok, itu sama sekali tidak memperbaiki keadaan. “Tarik napas dalam-dalam. Lagi. Benar, begitu. Santai, ok? Nah, sekarang karena kita sudah sampai, aku ingin kau yang menjemputnya.”
Wajahnya kembali memucat seakan dia melihat hantu. “Apa?”
“Dia kencanmu, bukan kencanku,” kataku.
“Aku kan tak mengenalnya.”
“Oh, please, jangan mulai lagi. Kau harus keluar dari rumah siputmu dan melihat dunia.” Aku menghela napas, menghentikan mobil. “Aku sudah memikirkan gadis yang pas untukmu, kau tak boleh menolak kebaikan hatiku. Kau akan menyukainya. Percaya padaku.”
Dia menatap kedua tangannya yang berada di pangkuannya. Kedua tangan itu gemetar. “Siapa wanita ini?”
“Kau tak ingat? Jadi selama ini kau sama sekali tak mendengar perkataanku?” Aku memutar bola mata, lalu menarik napas dalam-dalam. Aku tak ingin membuatnya semakin kesal, lalu melarikan diri. “Namanya Marcee Gracia. Dia bekerja sebagai Dokter di salah satu rumah sakit swasta. Usianya dua puluh sembilan tahun. Kau akan menyukainya. Dia sangat manis dan humoris.” Aku merangkum dengan cepat, melepas sabuk pengamannya. “Sekarang, keluarlah dan jemput pasanganmu, Jagoan, sebelum pria lain mengambilnya.”
Mulut Fran terbuka, menutup, lalu membuka lagi, mirip seperti ikan yang bernapas di daratan—megap-megap. Aku memutar bola mata, membuka pintu lalu mendorongnya keluar. “Cepat pergi sebelum aku sendiri yang menendangmu keluar.”
Pria itu akhirnya keluar, semakin panik. Dia meluruskan jasnya, menelan ludah dengan gugup. Aku mengambil bunga dari belakang, lalu menyerahkannya padanya. “Nih, berikan padanya,” kataku padanya. Dia menatapku, lalu bunga itu, kemudian menatapku lagi. “Ambil.”
Dia mengambilnya dengan ragu-ragu, memberikan pandangan memohon. Aku pura-pura tak melihat, jadi dia tak akan punya waktu untuk mengubah pikiranku. Akhirnya, dia melangkah masuk ke salah satu rumah yang ada di depan kami. Aku melihat dia yang berjalan melewati pekarangan. Melihatnya gugup membuatku gugup juga. Aku seakan memasukkannya ke arena perang seorang diri. Tiap detik aku menunggu di sini membuatku nyaris gila. Tapi aku memilih untuk bertahan. Pria itu butuh bersosialisasi.
Akhirnya, setelah beberapa menit, aku melihat Fran yang muncul, menggandeng seorang wanita berambut pirang yang cantik sekali, mengenakan gaun merah yang membuatnya semakin cantik. Aku kasihan melihat ekspresi Fran. Apa dia tak tahu akan ada beribu pria yang ingin ada di sampingnya sekarang? Aku memilih wanita terbaik untuknya: cantik, humoris, pintar, dan yang lebih penting, berasal dari keluarga baik-baik.
“Hai, Jeremiah,” sapa Marcee ketika dia masuk ke dalam mobil.
“Hai, Marcee,” sapaku, lalu memberikan perintah pada Fran untuk duduk di belakang. “Apa pendapatmu mengenai Fran?” Aku menoleh ke belakang untuk tidak melihat pelototan Fran.
“Oh, dia pria yang manis,” kata Marcee.
Aku tersenyum, “Bagus sekali. Permulaan yang baik.” Fran akhirnya masuk ke dalam mobil. “Bagaimana, Fran? Dia cantik kan?”
“Erm… ya,” kata Fran gugup.
“Kau tak perlu gugup. Aku tak akan menggigitmu, Fran,” kata Marcee.
Aku ikut tertawa dengan Marcee, tapi Fran sama sekali tak bisa tertawa. “Marilah kita menjemput pasanganku.”
“Kau membawa siapa?” Marcee bertanya penasaran.
“Cindy,” jawabku.
Marcee memutar bola matanya. “Aku tak tahu apa yang kau lihat dari wanita seperti dia.”
“Dia cantik,” kataku kalem dan Marcee tertawa kejam. “Oh, ayolah, Marcee, jangan cemburu padaku. Dia seorang model. Kau tak perlu sarkasitik begitu.”
“Oleh sebab itulah otaknya tak ada, Jeremiah,” ucap Marcee. “Kenapa kau selalu memilih wanita yang tak punya otak?”
“Agar aku terhindar dari wanita sepintar dirimu,” jawabku tenang.
“Itu pujian?” dia bertanya dan aku tertawa. Aku tak akan mengakui apapun. Wanita seperti Marcee memang menarik. Mereka cerdas dan penuh tantangan, juga mandiri. Tapi itu juga berarti memberikan perhatian penuh pada mereka karena mereka suka kebebasan. Mereka lebih sulit dihadapi daripada wanita-wanita santai. Dalam beberapa kesempatan, aku memang suka dengan wanita yang cerdas, bila aku bosan dengan wanita-wanita cantik.
“Kudengar dari Jeremiah bahwa kau seorang Profesor.” Marcee membuka pembicaraan dengan Fran—yang sepertinya lebih memilih jadi patung abadi. “Dia menceritakan seluruh hal yang baik padaku mengenaimu. Apa itu benar? Aku cuma ingin memastikannya.”
Fran mengerjap. “Apa yang dia ceritakan padamu?”
“Kenapa kau tak menceritakan dirimu dulu padaku? Supaya, tentu saja, aku tahu apakah Jeremiah berbohong atau tidak.” Marcee tersenyum culas, membuatku memutar bola mata. “Kadang-kadang dia bisa sangat berlebihan menggambarkan seseorang.”
“Aku seorang Profesor dan bekerja di salah satu universitas swasta. Aku memegang Departemen Teknologi dan Perfilman, juga Kepala Laboratorium Perfilman Modern.” Dia memulai, dengan nada, yang untunglah cukup tenang. “Orang tuaku sudah meninggal dan aku punya anak laki-laki.”
“Oh, wow,” Marcee terkesan, membuatku tersenyum. “Untuk kali ini Jeremiah berkata jujur.”
“Hei, aku tersinggung,” kataku.
Marcee mengabaikanku. “Kau masih muda sekali dan sudah menjadi Ketua Departemen? Keren! Dan berapa usia putramu? Jeremiah bilang kalau dia sangat manis.”
Membicarakan Gabrielle meringankan suasana. Dalam sekejap Fran menjadi lebih santai. “Ya, dia sangat manis. Dia anak angkatku, tapi aku sangat menyayanginya.”
“Aku bisa melihatnya,” kata Marcee.
Sepuluh menit kemudian, kami sampai dan aku menemukan kencanku sudah berdiri di depan pintu.

***

FRAN(POV)
Jeremiah memiliki kencan berambut pirang keriting yang cantik sekali. Mereka berciuman dengan mesra di depan pintu dan untuk detik yang begitu lama, aku merasakan dadaku sesak hanya melihat adegan itu. Aku bahkan tak bisa mengalihkan pandanganku. Rasanya seluruh duniaku berhenti bergerak dan aku tak ingin hidup lagi.
“Ok, ladies and gent.” Suara Jeremiah menyadarkanku. Aku bahkan tak sadar bahwa mereka sudah masuk dan mobil kami sudah berjalan, melewati lampu-lampu jalanan yang berkelebatan di samping jendela. “Kuharap kalian menikmati acara ini.”
Kami sampai di depan restoran klasik dengan lampu termaram yang indah. Jeremiah keluar, menggandeng Cindy dengan gantleman. Marcee menggandeng lenganku, kemudian kami masuk melewati pintu.
“Sudah pesan meja sebelumnya, Sir?” salah seorang pelayan menanyai Jeremiah.
“Ya.” Jeremiah menjawab cepat. “Jeremiah Huges.”
Pelayan itu melihat daftarnya. “Lewat sini, Sir. Saya akan mengantar Anda.”
Kami mengikuti pelayan itu untuk duduk di meja bundar bernomor dua dengan lilin indah yang menyala serta bunga mawar yang apik sebagai penghiasnya. Aku tak terkesan. Aku merasa kegugupanku hilang hanya karena ciuman tadi dan yang kuinginkan saat ini adalah menyelesaikan misi, pulang ke rumah dan tidur dengan tenang. Aku tak ingin ada di sini.
Kami memesan makanan, kemudian mengobrol hal yang ringan-ringan. Acara ini sebenarnya tidak buruk. Marcee wanita yang menyenangkan. Dia suka sekali bercanda pada Jeremiah. Tapi aku tak menyukai Cindy. Tiap kali aku melirik Jeremiah, wanita itu dengan sengaja akan merangkul tangan Jeremiah, menggelayut mesra, atau mencium Jeremiah. Dia seperti belut yang tak mampu lepas dari Jeremiah, membuatku sebal.
“Ew, berhenti bertingkah begitu. Kita sedang makan.” Marcee mengiris dagingnya, memberikan tatapan tak setuju pada Cindy. “Aku tahu kalian saling mencintai, tapi tak perlu pamer begitu.”
Cindy tersenyum manis, tapi sama sekali tidak semanis yang kupikirkan, karena dia memberikan lirikan padaku. “Bukan salahku kalau Jeremiah tergila-gila padaku.”
Aku nyaris muntah. Sungguh. Apa Jeremiah tak sadar seberapa anehnya wanita yang jadi kencannya? Kupikir dia akan memilih wanita yang cerdas karena aku tahu dia lebih cerdas daripada yang ditunjukannya.
Marcee masih tersenyum. “Oh, ya, tentu saja. Seminggu lagi dia akan membawa wanita yang berbeda. Kau hanya salah satu dari sekian banyak stok wanita di gudangnya.”
Senyuman Cindy hilang. “Itu bukan urusanmu!” katanya ketus.
Marcee tertawa merdu. “Ups, topik sensitif. Sori, Jeremiah,” katanya, walau aku tahu dia sama sekali tak menyesal. Aku nyaris tertawa mendengar nada halus Marcee. Marcee memberikan kedipan padaku dan Jeremiah memutar bola matanya.
“Bila kalian ingin cakar-cakaran, tolong jangan di sini. Kami, para pria, ingin menikmati makan malam kami dengan tenang,” kata Jeremiah, memakan kentangnya. Dia tampaknya tak begitu peduli pada apa yang dikatakan Marcee karena dia tahu Marcee benar. Jeremiah akan berkelana dari satu wanita ke wanita lain.
Sisa makan malam kami berlalu dengan sangat mengerikan—juga lucu. Mengerikan karena Cindy berulang kali melirikku dengan tidak suka, dan lucu karena Marcee selalu bisa menyudutkannya dengan kata-katanya. Aku mulai menyukai Marcee. Dia wanita yang menyenangkan. Jeremiah sendiri hanya meladeni Marcee dan Cindy dengan santai dan geli setiap kali Marcee tersenyum penuh kemenangan.
“Malam ini sangat menyenangkan. Sudah lama aku tak menghabisi wanita,” kata Marcee saat aku mengantarnya ke depan pintu. Aku mengangguk setuju. “Dan, aku harus mengakui pada Jeremiah, kalau kau pria yang baik.”
Wajahku memanas karena dia bilang begitu. “Uh, thanks.
Marcee mengecup pipiku. “Aku akan senang sekali ngobrol denganmu lain kali. Selamat malam.”
Aku masuk kembali ke dalam mobil Jeremiah, memasang sabuk pengaman.
“Bagaimana?” Jeremiah bertanya penasaran.
“Dia wanita yang menyenangkan.”
“Hanya itu? Tak ada debaran?”
“Maksudmu?”
Jeremiah memutar bola matanya. “Misalnya kalau dia sangat menarik sehingga membuatmu ingin bertemu dengannya lain kali, atau berbicara dengannya. Lalu saat-saat dimana jantungmu berdetak tak karuan?”
Aku mengerjap. “Uh, tidak.”
Pria itu menghela napas. “Mungkin belum saatnya,” gumamnya, kemudian beralih pada kemudinya. Kami menjemput Gabrielle—lagi-lagi aku tak diijinkan masuk olehnya, yang terbahak-bahak ketika dibawa masuk ke dalam mobil.
“Kenapa dengannya?” aku bertanya keheranan.
Jeremiah menghela napas. “Adikku sepertinya melepas gas tertawa,” ucapnya sambil memutar bola matanya. “Mereka semua tertawa gila-gilaan di dalam sana.”
“Apa?”
“Oh, jangan khawatir, efeknya akan hilang semenit lagi.”
Aku cemas melihat Gabrielle yang menunduk-nunduk, memegangi perutnya, sementara air matanya nyaris keluar karena tertawa terus. Nanti aku akan menanyai Gabrielle apa yang sebenarnya terjadi di rumah adik Jeremiah.

***

Write: Medan, 29 September 2013

TBMB [06]



06
Ex-Girlfriend
==========
JEREMIAH(POV)
Aku masih ingat dengan jelas ketika Cody mengingatkanku bahwa aku harus berhati-hati pada masa depanku nanti karena pada suatu hari nanti dosa-dosaku akan datang menghantui. Selama ini, aku tak pernah memercayai hal itu, apalagi menanggapinya dengan serius. Semua itu omong kosong, ya kan? Tapi tidak. Begitu aku melihat wanita itu kini berdiri di depanku—mengucapkan sesuatu yang mengejutkan sampai membuatku tak mampu bernapas, atau bergerak, atau berkedip—aku merasa bahwa Cody benar.
“Sialan kau. Semoga kau mendapatkan hukum karma!”
“Dan dosamu akan menggentayangimu!”
Harusnya aku tahu bahwa apa yang selalu dikatakan Cody selalu terbukti, meski dia tak bermaksud mengatakan hal ini di dapurnya.
“Jeremiah, aku hamil.”
Aku mengedip beberapa kali. Omong kosong. Dia tak mungkin hamil.
Kalian bingung kenapa hal ini bisa terjadi? Aku juga sama bingungnya dengan kalian. Jadi, marilah kita kembali ke masa empat puluh lima menit lalu ketika hari masih pagi dan aku bangun pagi. Seperti biasa, Fran menyiapkan sarapan. Sialnya, dia masih belum membeli selai strawberry.
“Aku lupa, Jeremiah, dan bila kau menginginkan selai itu, beli sendiri sana,” katanya setelah dia nyaris menyodokku dengan spatula.
Menggeram jengkel, aku mengambil mantelku dan keluar dari rumah, membawa mobilku menuju mini market terdekat dan tak sengaja bertemu dengan wanita ini.
Daphne Pato.
Kami berbasa-basi dan dia mengajakku untuk sarapan bersama, lalu dia memberikan bom padaku.
Kutatap wanita yang saat ini duduk di seberang meja. Dia, sejujurnya, wanita yang cantik. Dia punya rambut pirang keemasan yang lurus dan indah, tergerai dengan apik di punggungnya. Wajahnya cantik, manis dengan bulu mata lentik dan bibir indah menawan. Tubuhnya langsing dengan kulit mulus terawat. Pagi ini dia mengenakan terusan berwarna kuning pucat yang dilapisi dengan mantel putih nyaman, dipadu dengan heels senada.
Tapi aku sama sekali tak bisa terhipnotis pada kecantikannya, melainkan pada apa yang baru saja dia sampaikan padaku.
“Apa?” kataku pada akhirnya.
Wanita itu menghela napas, meneguk kopinya. Tangannya gemetar gelisah di atas meja. Dia menatapku dengan cemas seakan aku akan segera menghabisinya—tepat seperti itulah yang kurencanakan.
“Aku hamil, Jeremiah.”
Aku nyaris tertawa. Nyaris. Tapi aku tak melakukannya. Aku harus memikirkan masalah ini baik-baik. Dari sekian banyak masalah yang diberikan para wanita, kenapa mereka selalu menyampaikan hal ini padaku? Ini bukan pertama kalinya ada wanita yang mengatakan bahwa dia hamil padaku, dan pada saat aku meminta bukti, mereka akan menangis tersedu-sedu, lalu mencaciku, mengatakan bahwa aku tak bertanggung-jawab, meragukan mereka dan segudang alasan lainnya.
Mereka pikir mereka siapa? Aku tahu benar apa yang ada di pikiran wanita. Aku tak seperti Cody yang termakan ucapan “Aku hamil anakmu” lalu segera bertekuk lutut dan lonceng gereja pun berbunyi setelah mengucapkan kata “Aku bersedia”. Tidak. Aku bukan orang seperti itu.
Aku Xavier Jeremiah Huges, seorang CEO sebuah perusahaan stasiun televisi dengan penghasilan ratusan juta. Aku punya banyak aset dimana-mana. Aku juga menerbitkan beberapa buku dengan nama pena. Meski aku seperti ini, aku juga tak bodoh. Mereka yang datang padaku bukan menginginkan aku melainkan uangku. Ok, mungkin sebagiannya tak keberatan dengan tampangku, tapi tetap saja tampangku hanya bonus tambahan, mereka hanya menginginkan uangku. Itu sebabnya aku tak pernah muncul dalam acara-acara penting yang akan membuatku tersorot televisi.
Jika mereka bilang bahwa mereka hamil, maka aku akan segera membawa mereka ke dokter dan langsung memeriksan DNA si calon bayi. Tak pernah ada yang terbukti. Tak pernah ada bayi. Kalaupun ada, mereka bukan bayiku.
Kali ini, wanita ini juga akan mengalami hal yang sama.
“Kau yakin?” kataku dengan nada tenang, menyelipkan senyumanku padanya.
Wanita itu mendesah. “Aku tahu kalau kau akan bilang begitu.”
Aku mengangguk setuju. “Bukankah itu pertanyaan yang masuk akal? Aku sudah tak pernah bertemu lagi denganmu. Nyaris dua bulan. Apapun bisa terjadi.”
Daphne salah satu kencanku. Kami putus dua bulan lalu, kurasa dan tentu saja dengan perpisahan di tempat tidur. Aku tak terlalu ingat. Otakku benar-benar payah. Dia sebenarnya wanita yang menarik, andai saja dia tak memilih untuk meninggalkanku.
Sekarang aku ingat bahwa wanita inilah yang meminta putus. Dia wanita terlama yang jadi kencanku selama ini. Kami bertemu di acara amal WHO dan dia salah satu konsulatnya. Dia wanita cerdas, menarik, ceria, humoris dan percaya diri. Dalam sekejap kami cocok. Hubungan kami tak seperti hubungan para pasangan lain. Kami punya hubungan yang berjalan seperti siput. Aku jarang bisa mengajaknya keluar karena dia sangat sibuk.
Kurasa itulah sebabnya dia memilih untuk putus. Dia lelah meninggalkanku sendirian.
Wanita itu mendesah lagi. “Aku yakin bahwa ini anakmu. Aku tak menjalin hubungan lagi dengan siapapun kecuali denganmu.”
Salah satu alisku naik sebelah. “Kau tak berpikir kalau aku termakan umpanmu kan?” Wanita ini sangat cerdas, aku tak ingin dia mengikatku dalam hubungan pernikahan hanya karena ini.
Dia tersenyum di seberang sana. “Kau cerdas, Jeremiah, tapi aku yakin. Kita bisa tes kalau kau mau.”
Melihat ketenangannya, aku takut apa yang dia katakan benar. Inilah salah satu hal yang membuatku gentar menghadapi Daphne, rasa percaya diri dan sikap tenangnya. Tapi aku tak akan menunjukkan ekspresi berarti, melainkan tersenyum kecil padanya.
“Kita akan tes untuk membuktikannya,” kataku pelan. “Tapi, bila yang kau katakan tak terbukti—”
Dia memotongku, masih dengan senyuman tenangnya, “Aku tahu konsekuensinya, Jeremiah. Aku yakin bahwa aku bukan wanita pertama yang mengatakan ini. Popularitasmu di kalangan wanita sangat luar biasa.”
Aku tertawa kecil. “Why thank you.”
“Itu bukan pujian,” katanya.
Senyumku tak hilang. “Apa yang kau inginkan dariku, Daph? Pernikahan?”
“Tidak,” Daphne menggeleng.
Aku mengerutkan dahi. Wanita ini tak menginginkan pernikahan? Kalau begitu apa? Uang? Mobil? Rumah? Well, kurasa itu tak masalah. Aku bisa menyiapkannya bila dia mau. Tapi rupanya penjelasan selanjutnya membuat harga diriku sedikit terluka.
“Aku tak ingin menikah denganmu, Jeremiah. Kau jelas-jelas calon suami terburuk bagi seluruh wanita di muka bumi. Aku yakin itu.”
“Lalu?” aku bertanya pelan, sedikit penasaran.
Daphne meminum kopinya lagi, aku menunggunya dalam diam. Wanita ini sepertinya sedang berusaha mengumpulkan keberaniannya untuk bicara.
“Sebenarnya, aku tak menyangka bahwa aku hamil. Aku baru tahu bahwa aku hamil minggu lalu dan syukurlah aku bertemu denganmu. Usia kehamilanku nyaris dua bulan,” dia menggigit bibirnya, lalu kembali melanjutkan. “Jujur saja aku shock. Aku tak ingin hamil, tapi aku tak mungkin tidak memberitahu hal ini padamu sebelum aku mengambil keputusan.”
“Kau berniat menggugurkannya?” Aneh, suaraku terdengar tenang bahkan asing sekali bagi telingaku sendiri. Tapi jauh di lubuk hatiku yang paling dalam, aku sama sekali tak senang dengan keputusan yang sempat dipikirkannya ini. Dia ingin membunuh bayi yang tak berdosa? Sungguh?
Daphne menggigit bibir lagi. Matanya berkaca-kaca. “Aku tak akan bisa jadi Ibu yang baik, Jeremiah. Aku masih terlalu muda untuk punya anak.”
“Kau sudah dua puluh dua tahun, Daphne.” Aku menatap matanya, sama sekali tak terkesan dengan air matanya. “Kau hanya mengarang alasan karena kau tak menginginkan anak itu.”
“Aku menginginkannya, tapi tidak sekarang.”
Well, itu egois namanya.”
“Aku tak akan pernah ada untuk bayi ini, Jeremiah, karena itu—” Dia menggeleng ketika aku mengerutkan dahi.
“Kau cukup keluar dari pekerjaanmu itu dan, jika benar itu anakku, aku akan memberikan uang yang cukup untuk kalian berdua. Percayalah.”
Daphne mendesah. “Aku sudah bilang kalau aku tak ingin pernikahan, ataupun uangmu. Aku punya uang yang cukup, bila itu yang kau pikirkan.”
Aku masih belum mengerti kemana arah pembicaraan ini. “Lalu, apa yang kau inginkan dariku?”
“Kasih sayangmu,” katanya. Aku mengerjap dengan permintaannya. “Bila kau menginginkan anak ini, aku ingin kau yang merawatnya.”
Aku tertawa mendengar apa yang barusan dia katakan. Yang benar saja. Dia pikir aku akan bisa menjaga seorang bayi. “Dan kenapa kau pikir aku bisa merawatnya?”
“Jeremiah, aku memang bilang kau bukan suami yang baik, tapi kau jelas seorang Ayah yang baik.”
Aku menggeleng, nyaris tertawa lagi.
“Ingat saat kita mengunjungi salah satu panti asuhan khusus kanker?” Dia menatap mataku dan aku paling tak suka caranya memandangku, seakan dia tahu apa yang kupikirkan, apa yang kurasakan. “Aku melihatmu berinteraksi dengan mereka. Kau menyayangi mereka. Kau memeluk mereka. Kau memastikan mereka baik-baik saja. Dan jangan sampai aku bilang kalau kau ternyata sering sekali memberikan uang pribadimu untuk beberapa panti asuhan.”
Senyumku menghilang. “Apa kau menguntitku?”
“Aku mengenal beberapa temanmu yang jadi temanku.”
Perkataannya membuatku terdiam. Tak bisa dipercaya. Teman-temanku berani memberitahukan apa yang kulakukan di belakang pekerjaanku! Padahal aku sudah menyuruh mereka tutup mulut dan ini yang dibalas mereka padaku? Dasar tak tahu terimakasih. Memang hanya Cody sahabat sejatiku. Dia tak akan pernah membeberkan apa yang jadi rahasiaku.
“Aku hanya ingin tahu keputusanmu.” Suara Daphne kembali mengalihkan perhatianku. “Bila kau menginginkan bayi ini, aku tak keberatan melahirkannya. Tapi bila tidak—”
“Jangan gugurkan dia,” kataku.
Aku tak tahu kenapa aku mengatakan hal itu, tapi bibirku bergerak sendiri. Sekarang aku bisa mengerti apa yang ada di pikiran Cody ketika dia yakin bahwa Keyna mungkin hamil anaknya. Aku merasakan ketakutan yang luar biasa dan juga curiga. Benar, aku masih curiga pada apapun itu yang direncanakan Daphne padaku. Tapi aku tak bisa tinggal diam bahwa ada nyawa yang saat ini dipertaruhkan, terlepas apakah dia anakku atau bukan.
Mungkin Daphne tidak menginginkan pernikahan. Aku bisa terima hal itu. Aku juga belum ingin menikah. Daphne bukan orang yang tepat untukku. Aku sedang menunggu “orang itu” hadir, seperti yang dirasakan Cody pada Keyna, lalu menikah dengannya—siapapun dia.
“Anak siapapun itu, kau tak boleh membunuhnya begitu saja,” kataku tenang. “Pertama-tama, aku ingin meyakinkan dulu bahwa anak itu adalah anakku atau bukan. Jika dia memang anakku, aku akan menjaganya, kau tak perlu khawatir. Dia akan berada dalam pengawasanku. Tapi bila tidak, kita akan menemukan siapa Ayahnya, lalu memikirkan langkah yang lain.”
Daphne tersenyum lagi. “Aku tahu bahwa kau akan mengasuh anak ini.”
“Aku tak akan mengabaikan seorang bayi. Mereka berhak untuk hidup,” kataku kalem.
Wanita itu mengangguk setuju, memberikan ekspresi berterima kasih tapi juga sedikit aneh. Aku merasa ada sesuatu pada ekspresi Daphne. Dia tak seperti biasanya.
“Daph, apa semua baik-baik saja?”
Kilatan itu hilang dari matanya. Aku mengerjap, sedikit kaget dengan perubahan itu. “Ya, Jeremiah. Semua baik-baik saja.” Dia menghirup kopinya lagi, lalu melihat keluar jendela. “Lalu kapan kita akan ke rumah sakit?”
“Secepatnya,” kataku. “Saat ini aku sedang liburan.”
“Ya, aku jarang sekali melihatmu ada di sini.”
Kami menghabiskan sisa sarapan kami dengan mengobrol ringan. Daphne, seperti biasa, membicarakan tentang apa yang dia kerjakan selama ini. Wanita itu memang selalu sibuk dengan urusan WHO dan badan amal lainnya. Aku tak akan kaget bila sewaktu tidur pun dia akan tetap membicarkan hal itu. Kami tertawa dan bercanda. Aku lupa sama sekali mengenai kenyataan bahwa dia adalah Ibu dari calon si bayi—yang kemungkinan besar adalah anakku. Aku tak ingin memikirkan ini, tapi aku cukup ngeri membayangkan kalau aku akan jadi Ayah. Aku terkena jebakan yang sama seperti yang didapat oleh Cody. Kenapa kami selalu berakhir dengan adegan yang sama? Aku tak percaya ini. Cody benar-benar belahan jiwa yang terpisah di tubuh yang berbeda. Hanya saja, ketika seluruh sifat yang baik ada padanya, seluruh sifat yang jelek menempel padaku.
“Kenapa lama sekali membeli selainya?” Fran bertanya, sedikit khawatir ketika aku masuk.
“Tadi aku bertemu teman lama,” kataku.
“Perempuan?”
“Ya,” kataku, menggantung mantelku. “Mana Gabrielle?”
“Dia bersama Oliver dan teman-temannya. Mereka mengajaknya nonton.”
“Lagi? Berapa kali aku bilang kalau aku tak suka anak itu?” kataku jengkel, melepas bootku dan menendangnya sampai menghantam pintu. Fran mundur, tapi tidak sebelum dia memberi komentar, “Gabrielle butuh teman, Jeremiah, dan Oliver beserta teman-temannya orang yang baik. Mereka membuat Gabrielle tertawa.”
Aku memutar bola mata. “Aku akan menghajar si Oliver itu. Aku sudah bilang padanya untuk tak dekat-dekat Gabrielle dalam jarak sepuluh meter,” gerutuku.
“Kau terlalu paranoid. Mereka tak akan menyakiti Gabrielle,” katanya. Aku mendorongnya minggir, masuk menuju dapur. Suaranya masih menasehatiku, mengikutiku di belakang. “Gabrielle juga sudah cukup besar untuk menjaga dirinya sendiri. Dia remaja sehat. Dia butuh bersosialisasi.”
Saat aku masuk ke dapur, aku melihat meja makan masih menyisahkan beberapa potong roti panggang dengan sosis dan pancake. Dahiku mengerut. Sambil meletakkan selai yang tadi kubeli, aku menoleh ke belakang dan bertanya padanya, “Kau belum sarapan?”
Wajahnya merah padam dalam sekejap. “Uh, kupikir aku akan menunggumu untuk sarapan.”
“Apa kau sudah gila? Apa kau tak berpikir kalau aku mungkin saja makan di luar?” Aku melirik arloji. Aku keluar dari rumah lebih dari dua jam.
“Oh, kau sudah makan di luar?” Dia bertanya seperti orang bodoh.
“Belum,” kataku, bertanya-tanya kenapa aku berbohong. Aku sudah sarapan di luar bersama Daphne dan aku bilang kalau aku belum sarapan? Tak bisa dipercaya.
Pria itu dalam sekejap berubah ceria. “Akan kupanaskan sosisnya. Kita bisa sarapan berdua. Gabrielle tak bisa menunggumu karena dia harus bersiap.”
“Ok.” Aku mengerjap melihat betapa bersemangatnya Fran menyiapkan makanan dan memilih menarik kursi, lalu duduk di meja makan.
Entah mengapa, aku merasa bahwa perhatian Fran sedikit menggangguku.

***

GABRIELLE(POV)
Teman-teman Oliver benar-benar berisik, heboh, dan bodoh. Tapi mereka cukup menyenangkan. Setidaknya mereka tidak menganggapku aneh atau apa. Mereka malah membuat permainan “Tebak Ekspresi” yang menurutku sangat tak penting dan konyol.
Setelah keluar dari mobil dan menuju bioskop, mereka sekarang sibuk dengan poster untuk menentukan film apa yang akan mereka tonton. Mereka seperti anak ayam kehilangan induk, kecuali Noah. Sejak tadi, pemuda itu hanya berdiri di sampingku, bersedekap dan geleng-geleng kepala melihat betapa kekanak-kanakannya teman-temannya. Dia membaktikan dirinya sebagai juru bicaraku karena memang hanya dia yang mampu menebak apa yang dalam pikiranku.
“Aku tak mau horor. Kau tahu kalau aku tak suka horor!” Ben menjerit jengkel begitu Jimmy menunjuk salah satu poster film horor.
“Maaf saja, tapi aku sedang tak ingin menonton romance, apalagi tentang vampire! Itu girly sekali,” balas Jimmy dan Ben memukul tangannya keras sekali. “Woman, stop hitting me!
“I’m not woman! I’m man and proud of it!”
“Then act as ones!”
Ben memukulnya lagi.
“Tidakkah kalian pikir kalau sebaiknya biarkan Gabrielle yang memilih film?” kata Noah, tapi tak ada satupun yang mendengar. Mereka masih berargumen soal film yang akan mereka tonton. “Mereka benar-benar membuatku sakit jiwa,” gerutunya, lalu melangkah menuju teman-temannya.
Bosan dengan pertengkaran mereka, aku melangkah untuk melihat poster-poster lain. Ok, ada banyak sekali jenis film yang bisa kami tonton. Aku tak terlalu tertarik pada action ataupun romance. Aku suka film yang ada flashnya, terutama animasi. Ada beberapa poster dan judul animasi yang tayang bulan ini. Aku mengamati setiap poster dengan tertarik.
Lalu aku menemukannya.
Alexandria. Disutradarai oleh Cody Handerson.
Bibirku tersenyum lebar begitu menemukan nama Cody. Aku tahu kalau Cody seorang sutradara karena Fran pernah cerita. Mataku melihat poster film animasi terbaru Cody. Poster itu menunjukkan sebuah pemandangan Mesir dengan pyramid, spynx, gurun dan sebuah bangunan putih besar yang tampak seperti Gedung Putih. Di depan poster ada salah satu tokoh animasi, mengenakan rok lipit dengan kalung berlambang Ra tergantung di lehernya. Tokohnya lumayan tampan dan menarik, apalagi dengan warna emas yang nyaris memenuhi satu poster itu.
Alexandria,The City of Knowledge, here I came.
Telunjukku mengetuk dagu. Aku selalu suka dengan quoteyang diberikan pada setiap film-film Cody. Di film pertamanya, Blue Innocent, kutipan yang diberikan Cody adalah “The Blue is Innocent”, kemudian di game terbarunya, ada lagi kutipan yang menarik, “Ini mimpimu. Bila kau tak bisa berlari ketika mencapainya, maka berjalanlah. Bila kau tersandung dan jatuh, maka merangkaklah, karena semuanya dimulai dari merangkak.” Ada lagi kutipan lain yang membuatku terkesan “Di detakan pertama sampai detakan terakhir, yang akan terdengar hanya namamu.” Dan “Jadilah daun, yang memilih meninggalkan pohon pada musim gugur, tapi akan muncul lagi pada musim semi.”
Semua kutipan Cody benar-benar luar biasa. Sederhana, tapi sangat mengena. Aku tak pernah lupa satupun. Aku tak ingin mengakui hal ini, tapi aku, sejujurnya, adalah penggemar berat Cody. Setiap filmnya membuatku jatuh cinta. Dia luar biasa. Aku ingin jadi sepertinya jika sudah besar nanti.
Dan dengan adanya film terbaru Cody membuatku tak sabar. Aku ingin menontonnya.
Aku memilih melangkah menuju layar priview dan melihat jalan cerita “Alexandria” dengan bergairah.
Ada tulisan “Alexandria” pada layar televisi, yang muncul lalu menghilang dalam sekejap, memunculkan pemandangan kota Mesir Kuno dari atas, dengan gurun pasirnya yang kuning, pyramid besar, sungai Nil dan pemandangan indah lainnya. Kota itu benar-benar indah, tampak seperti asli daripada anime. Lalu adegan berganti menyorot pada tokoh utama yang ada di depan poster. Pemuda itu tidak semenarik yang ada di poster, dia jauh lebih kumuh. Dia tengah berada di salah satu bangunan, mengintip para cendikiawan yang belajar di belakang istana.
“It told about passion.”
Lalu adegan berubah menjadi dramatis ketika si Tokoh Utama dikejar-kejar oleh prajurit istana dan dipukuli, bahkan dihina oleh para cendikia dan dimasukkan ke dalam penjara.
“Life and curse.”
Kemudian adegan berubah menjadi lebih cepat dimana si Tokoh Utama entah kenapa bisa melarikan diri. Lalu bertemu dengan seseorang. Adegan berlanjut lagi menjadi dimana dia sudah berpakaian bagus dengan perkamen dan di tangan. Lalu adegan dimana dia ternganga melihat besarnya perpustakaan Alexandria.
“Promise.”
Adegan berganti menjadi saat-saat ujian, yang menurutku sangat menyesakkan. Lalu ke adegan dimana dia bertemu dengan Raja, kemudian penghormatan, lalu saat-saat dimana dia akan mengalami masa sulit.
Alexandria,The City of Knowledge, here I came.” Tokoh itu di sorot, melihat bangunan putih besar di depannya dengan sorot mata penuh keyakinan. “Aku akan menaklukanmu, seperti kau menaklukanku.”
Dan layar menjadi gelap.
“Wow,” desahku tak percaya. Rasanya denyutan di dadaku bertambah cepat tiap kali melihat cuplikan film Cody. Aku selalu terkesan dengan cuplikannya dan filmnya memang tak pernah mengecewakan.
Puas dengan cuplikannya, aku memutuskan untuk menonton Alexandria dan tak berniat melihat cuplikan lainnya. Begitu aku kembali, mereka masih bertengkar.
Action,” kata Troy.
Romance!” Ben tak setuju.
“Horor!” Jimmy masih berkeras meski Ben memukulnya lagi.
“Alexandria,” kataku. Suaraku berhasil mendiamkan mereka. Dalam sekejap, pandangan mereka menuju padaku. Mereka sepertinya belum terbiasa dengan suaraku dan ekspresi mereka tiap kali aku berbicara benar-benar lucu. Aku suka sekali bila mereka terkejut begitu. “Aku mau nonton Alexandria.”
Jimmy mengerang jengkel. “Itu film animasi kan? Kita bukan anak-anak lagi.”
Aku mengangkat kedua bahuku dengan tak peduli dan melangkah menuju kasir.
“Tunggu, aku juga mau nonton Alexandria,” kata Oliver.
“Aku juga,” Noah mengangguk setuju. “Aku sudah lama mengincar film itu.”
Kami melirik Ben, Jimmy dan Troy.
“Lebih baik aku nonton Alexandria,” kata Ben akhirnya dan mereka berdua mengerang jengkel. Karena menonton film ditentukan berdasarkan jumlah suara terbanyak, maka mau tak mau, Troy dan Jimmy terpaksa ikut antrian.
Oliver dan Jimmy segera mengantri untuk membeli tiket, yang ternyata cukup panjang. Aku, beserta dengan Noah dan Ben memutuskan untuk membeli popcorn. Troy pergi ke toilet, sekaligus mengambil mantelnya yang ketinggalan.
“Aku tak tahu kenapa Jimmy suka sekali film horor,” Ben mendesis jengkel. “Kenapa ada orang yang suka menonton film horor dan menghabiskan uangnya hanya untuk menakut-nakuti dirinya sendiri?”
“Itu karena Jimmy bisa memanfaatkan momen itu untuk dipeluk wanita. Jika kau bukan penakut, Ben, kau tentu akan memilih hal yang sama.”
Ben memukul tangan Noah, meski Noah tak bereaksi. “Dan kenapa kau memilih Alexandria, Gabrielle? Film itu kan membosankan. Aku tak terlalu suka cuplikannya.”
“Aku suka,” kata Noah dan Ben memukulnya lagi.
“Aku tak tanya padamu, aku tanya pada Gabrielle.”
“Aku menjawab pertanyaanmu,” kata Noah, menatapku, “ya kan?”
Ben memukul Noah lagi. “Sejak kapan namamu berubah menjadi Gabrielle?” Noah mendengus pada pertanyaan itu sehingga Ben bisa melihat padaku. “Jadi?”
Aku tahu Ben sengaja melakukan itu agar aku mau berbicara padanya. Dia ingin sekali aku menjadi teman ngobrolnya. Apa dia tak tahu bahwa aku lebih menginginkan Noah daripada dia? Tapi baiklah, aku akan meladeninya. Lagipula pertanyaannya tidak sesulit itu.
“Ya.”
“Kenapa?”
“Aku mengenal sutradaranya dan aku penggemarnya.”
“Kau bercanda!” Noah menganga tak percaya. “Kau kenal Cody Handerson?”
Aku mengangkat kedua bahuku. “Aku hanya sekali bertemu dengannya.”
“Kau beruntung sekali. Aku penggemarnya!” kata Noah lagi.
“Dia sahabatnya Jeremiah,” kataku.
Oh my god!” Noah nyaris saja pingsan. “Seperti apa dia? Selama ini aku hanya melihat wajahnya di televisi. Dia masih muda sekali ketika Blue Innocentmuncul.”
Dan kami menghabiskan waktu mengobrol mengenai Cody dan film-filmnya. Aku tak menyangka akan bertemu dengan salah satu fansnya Cody juga. Tak banyak orang yang seperti kami. Kebanyakan orang hanya menikmati sebuah film tanpa pernah tahu siapa yang membuatnya. Tapi aku dan Noah berbeda. Dia sepertiku. Kami menyukai orang yang sama, kami tahu semua filmnya.
“Kita harus ngobrol banyak, Gabrielle,” Noah memasukkan nomor teleponnya ke kantung mantelku. “Kalau kau bertemu dengan Cody, beritahu aku.”
Begitu kami kembali, Troy segera mengambil minuman yang dipeluk Ben untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tak diinginkan. Jimmy dan Oliver kembali dari antrian, mengambil sisa makanan yang lain, lalu kami masuk ke bioskop.
“Apa kau sudah pernah nonton di bioskop sebelumnya?” Oliver bertanya di sebelahku.
Aku mengangguk.
Suara riuh rendah dari penonton segera hilang begitu lampu dipadamkan. Dan aku segera menyandarkan tubuh dan rileks untuk menikmati film Cody.

***

Write: Medan, 28 September 2013