Kamis, 28 Februari 2013

Lova Alfa (Kenangan Dua)


Kenangan Dua
First-Last?
Adel, untuk yang kesekian kalinya dalam sehari ini, menghela napas. Saat ini dia sedang duduk sendirian di bangku taman sekolah, menatap langit kebiruan yang tertutupi awan. Matahari tidak menusuk hari ini sehingga udaranya terasa lebih sejuk.
Matanya tiba-tiba berair saat mengingat kenangan di tempat ini. Kenangan yang terasa begitu indah dan nyata, terasa seperti masa depan yang indah, bersama dengan orang yang dulu pernah menjadi orang yang paling dicintainya, sebelum akhirnya orang itu pergi meninggalkannya. Tempat dimana kekasihnya menyatakan perasaan padanya.
Alfa, kekasihnya, meninggal dua minggu lalu. Tapi jejak-jejak kehidupannya masih begitu nyata pada Adel. Adel masih bisa mengingat dengan jelas seluruh detail wajah Alfa, bagaimana dia berekspresi, bagaimana wangi tubuhnya, bagaimana dia berbicara, bagaimana dia berdiri dan berjalan, bagaimana dia… dia…
…. meninggal…
Adel mengambil napas lagi, mencoba menenangkan dirinya. Jika dia menangis sekarang, Alfa juga akan sedih. Dia tak ingin Alfa melihatnya begitu terpuruk. Hanya saja, Adel tak bisa berbohong bahwa kepergian Alfa yang tiba-tiba menusuknya, membekukan hatinya, dan merobeknya menjadi bagian paling kecil.
Rasanya dia masih belum bisa menerima kematian Alfa.
“Alfa…” desahnya pelan, “aku mencintaimu. Alfa… please, kembali…”
Air matanya akhirnya menetes juga. Ya, Tuhan, rasanya begitu menyakitkan.
“AAAAARRRRRRRRGHHHH!!”
BRRRRRRRUUUUUUUUUUUGHHHHHHHHHHH
Adel terlonjak kaget. Jantungnya seakan berhenti berdetak begitu saja.
Ada sesuatu yang luar biasa besar yang jatuh dari atas dan menghantam tanah dengan keras. Adel tidak berani berkata bahwa benda itu jatuh dari langit karena memang tidak ada apa-apa selain langit di atas kepalanya. Dan Adel juga merasa bahwa dia sudah gila melihat benda yang tadi jatuh itu adalah manusia.
Manusia! Adel terpaku lagi. Bunuh diri!
Tangan Adel gemetaran. Bagaimana ini? Dia ingin berteriak dan meminta pertolongan. Tapi dia sendiri tak bisa mengeluarkan suara. Kakinya juga tak mau bergerak. Tubuhnya seakan sudah terpaku di tempat itu. Bagaimana jika ada seseorang yang lewat dan menunduh Adel membunuh orang itu?
“Uuuuuh, dasar penjaga gerbang sialan.” Manusia berpakaian itu bersuara. Dia bergerak perlahan. Salah satu tangannya mencoba menegakkan tubuhnya dan dia mencoba duduk dengan susah payah. “Apa kau ingin menghancurkan rohku? Rasanya sakit tahu!” dia meraung marah, memberikan tinjunya pada langit.
Adel tercengang begitu melihat wajah itu.
Dia mengenal wajah itu. Wajah itu adalah wajah yang selama ini menjadi mimpi manis baginya. Dan dua minggu lalu menjadi kenangan paling menyakitkan. Wajah itulah yang membuatnya menangis saat ini. Tapi wajah itulah yang membuatnya terbengong saat ini sampai tak bisa bersuara. Dia tahu bahwa wajah itu seharusnya tidak ada di depannya lagi. Tidak di sini. Karena wajah itu sudah tidur dengan tenang di pelukannya dua minggu lalu.
“… Alfa…”
Mendengar suaranya, wajah itu mengadah lagi. Wajah itu begitu tampan, berkulit caramel dengan rambut coklat lebat yang rambut panjangnya menutupi dahinya. Matanya bulat berwarna hitam jernih. Hidungnya lurus dan tampak lebih mancung dari yang diingat Adel. Tapi Adel tak mungkin salah mengenali bahwa itu adalah Alfa.
“Adel,” kata sosok itu balas memandangnya dengan terkejut.
Dia tidak salah mengenali. Sosok itu memang Alfa.
“Ke… kenapa...” Adel tak tahu harus mengatakan apa.
“Adel!” suara tinggi seseorang tiba-tiba mengejutkan Adel.  Adel menoleh dengan cepat ke belakang, mendapati sosok kecil mungil berambut pendek mendatanginya. “Apa yang kau lakukan di sini? Aku khawatir sekali karena kau tidak muncul. Apa ini? Apa kau sedang menangis? Menangisi Alfa lagi?” gadis mungil itu melipat tangannya di dada, tampak begitu jengkel. “Aku kan sudah melarangmu untuk kemari. Hanya akan membuatmu semakin sedih. Sekarang kita ke kelas. Ayo, cepat.”
Adel menelan ludah, melirik Alfa yang masih terduduk di tanah.
“Rei, Alfa…”
Gadis itu memutar bola matanya. “Lupakan dia. Dia sudah mati, ingat? Tak ada gunanya bagimu mengingatnya lagi. Kau harus mulai memikirkan hidupmu.”
Adel tercengang. Tidak bisakah dia melihat Alfa yang saat ini ada di hadapannya? Tepat di sampingnya?
“Reisha, Alfa…” Adel menunjuk ke arah Alfa.
Reisha menoleh ke arah yang ditunjuk Adel, lalu menaikan alisnya.
“Ada apa sih, Del? Kau ingin aku melihat apa?” kata Reisha tak sabar.
Adel menutup mulutnya. Reisha tak bisa melihat Alfa!
“Ayo, kita harus ke kelas. Sebentar lagi kita akan masuk. Jangan berlama-lama di tempat ini, kau akan semakin tertekan dengan kenangan Alfa,” Reisha menarik tangannya, memaksanya berdiri dan mengikutinya ke kelas.
Adel menoleh ke belakang dengan panik. Alfa terpaku di sana, menatapnya dengan pandangan kosong. Lalu saat Adel berkedip, sosok itu hilang.
Tubuh Adel gemetaran.
Ini tidak mungkin. Tidak mungkin. Tidak mungkin.

The Flower Boy Next Door (Debaran Delapan)


Debaran Delapan
Fake Smile
Devon terbengong melihat Nero nongol begitu saja di depan pintu rumahnya. Anak muda itu mengenakan seragam dengan dasi yang dilonggarkan dan baju dikeluarkan. Kedua lengan seragam kemejanya digulung sampai siku dan salah satu tangannya terkepal ke atas, hendak mengetuk pintu yang baru saja dibuka Devon.
“’Sup,”Nero mengubah kepalanya menjadi lambaian ceria.
Devon menunggu jeda. “What the hell are you doing here?”
Nero nyengir lebar, tapi tidak menjawab dan malah bertanya, “What time is it?”
“Hell if I know!”Devon menggerutu, melangkah keluar rumah dan mereka bersama-sama menuju sekolah. “How do you know where I live?”
“I asked President,”jawabnya santai.
Devon mengangguk kecil. “Oh, I see—wait—President? You mean, Vion?”
“Yeah.”
“The Pretty Boy?” Devon terkejut.
Nero menaikan alisnya dan menjawab sambil terbahak. “Yeah. Him. What’s with that sudden shock?”
Devon geleng-geleng kepala. “Nothing. How do you know him?”
“Let see…we have a little chit chat,” Nero menjawab. “He’s not that bad.”
“Yeah. Try me. I hate him.”
“I like him.”
Devon menaikan alisnya dan menatap wajah tenang tanpa ekspresi milik Nero.
Kemarin, Devon masih menduga-duga apakah dia benar-benar berbicara dengan Nero dan ragu apakah Nero akan mengenalinya lagi. Sebenarnya, selama beberapa hari sejak Nero memasuki sekolah mereka, ada banyak rumor beredar mengenai betapa menyenangkannya anak muda yang ada di sampingnya saat ini, dan Devon muak dengan rumor itu. Apalagi rumor itu beredar ganas seakan-akan dia pujaan setiap penghuni sekolah.
Siang itu Devon hanya kebetulan melihat Nero, yang melintasi rumput hijau menuju Bukit Hijau dan Pohon Hantu, dari balik jendela koridor sekolah. Dia memang tidak pernah melihat Nero dari dekat dan hanya melihat pemuda itu bersama kerumunan fansnya yang selalu mengekor di belakang. Tapi, entah mengapa, ada atau tidak adanya fans, aura Nero memang lain sendiri.
Begitu Nero berjalan sendirian, dengan tangan di atas kepala dan wajahnya mengadah ke langit, Devon tahu kenapa para penghuni sekolah mengagumi Nero. That guy is really eye-catching and charismatic. Tanggapan itu muncul begitu saja dalam pikiran Devon. Sambil memakan rotinya, Devon sesekali melihat Bukit Hijau dan semakin penasaran begitu mengetahui bahwa anak muda itu tidak bergerak di tempat dan akhirnya memutuskan untuk mendatanginya.
Setelah mengenal Nero—well, bagaimana mengatakannya, ya—rumor itu memang benar. Nero cukup menyenangkan dan menghibur sekali.
Hanya saja, Devon merasa, ada sesuatu dalam setiap tawa itu. Devon tak ingin menduga-duga karena dia belum mengenal Nero dengan baik. Mungkin saja Nero sering tertawa santai seperti itu—menertawakan orang lebih tepatnya. Tapi tak bisa dipungkiri, kadang-kadang Devon merasa ada nada dalam tawa Devon yang—entahlah—tidak pas.
“Nero?”
“Hmm?”
“I hate it.”
“Hate what?”
“I don’t know. Maybe those fake smiles of yours.”
Nero mengerjap kebingungan. Mereka saling tatap beberapa detik sampai kemudian Nero terbahak lagi, terpingkal-pingkal geli memegangi perutnya. Devon menaikan alis, terheran dengan reaksi yang diberikan Nero.
“You meanie,”Nero merangkulnya, masih terbahak. Tangannya menepuk-nepuk bahu Devon dengan akrab. “You look through me, Devon. I’m impressed and it’s only for two days. Wow!”
Devon mengerjap bingung. Nero mengakui hal itu begitu saja dengan santai. Ada apa dengan anak ini sebenarnya? Apakah otaknya sudah tidak terpakai lagi? Devon menatap Nero dengan dahi mengerut, bertanya-tanya dalam hati apa maksud dari pengakuan tanpa bantahan itu. Tapi Nero semakin tersenyum lebar.
“Why the hell would you care anyway?” Nero terbahak lagi.
“Bastard,”Devon mencubit pipi Nero keras-keras. “I told you I hate those fake smiles.”
“Ow ow ow,”Nero meringis saat Devon melepas cubitannya. Bekas cubitan Devon memerah di pipinya sedikit. “Please, stop moping.”Nero geleng-geleng kepala mengelus-elus pipinya.
Devon sedikit merasa kasihan.
Hanya saja, perasaan kasihan itu terbuang begitu saja saat Nero kembali tersenyum lebar dan berkata, “Aaaw, what a cute expression!” dengan nada menyebalkan sambil mencubit pipinya keras-keras, membalas perbuatannya tadi dan kabur begitu saja sambil terbahak-bahak.
Crap! I should’ve known!
“Bastard, I’ll kill you!”
Nero benar-benar tahu bagaimana membalasnya.
***The Flower Boy Next Door***
Fake smile, Nero menopang dagunya dengan malas, sama sekali tidak berkonsentrasi pada apa yang dijelaskan guru di depan sana. Pikirannya begitu sibuk mengulang perkataan Devon. Kata-kata Devon sedikit mengganggunya.
Baru dua hari dia mengenal Devon, tepatnya 20 jam, dan si pirang itu berhasil membaca dirinya dengan begitu jelas seakan dirinya terbuat dari kaca tembus pandang, lalu dengan blak-blakan mengatakannya. Haruskah Nero peduli pada perkataan Devon?
Well, bukan berarti Nero tidak peduli, hanya saja, segala sesuatu tidak semudah yang dipikirkan semua orang.
“Nero.”
Tapi, tak bisa dipungkiri bahwa ada percikan aneh yang timbul saat Devon mengatakannya. Sesuatu yang, gilanya, kebahagiaan.
“Nero.”
Bukan berarti Nero tidak suka dengan apa yang dia dapatkan saat ini. Dia begitu bersyukur pada Tuhan—jika Dia ada—pada apa yang diberikan padanya saat ini. Nero juga sama sekali tidak menyesal menjadi dirinya saat ini. Hanya saja, segala sesuatu berjalan lancar, mengalir seperti air, begitu mudah—di tempat yang salah.
“Mr. Nero Daydreamer, don’t you dare spaced out at my class!”     
Nero mengerjap saat Pak Julian menimpuknya dengan buku. Laki-laki itu berdiri di sampingnya, tampak tidak senang, tapi juga tak terlihat marah.
“You’re not cute at all, Julian,”gumam Nero tanpa sadar.
Hening.
Oh, no!Nero memaki dirinya begitu mengetahui apa yang baru saja dia lontarkan. Pak Julian seperti kehilangan kemampuannya bicara dan wajahnya pucat seketika. Dengan was-was Nero melirik teman-teman sekelasnya yang balas melihatnya dengan melongo takjub.
“I’m sorry, Sir,”Nero cepat-cepat meminta maaf sebelum keadaan tambah parah. “My mistakes. My tounge slipped out. Please forgive me, Sir.”
Pak Julian tidak langsung menjawab. Sebaliknya, dia malah menatap Nero dalam-dalam dan menilai. Tidak perlu diragukan lagi bahwa Julian merasakan ada sesuatu yang aneh dari Nero. Dengan hati-hati, dia mengeksplorasi wajah Nero, mencari kebenaran dari ekspresi wajah anak muda itu. Tapi dia tak mengatakan menemukan apa-apa.
“Stand up and read your text book page 112.”
Nero berdiri, membuka bukunya dan membaca.
Anak-anak zaman sekarang benar-benar membutuhkan penanganan ekstra. Tapi Julian tidak terlalu yakin bagaimana menangani Nero. Sejak pertama mengenal Nero, Julian tahu bahwa akan ada “sesuatu” yang akan ditimbulkan anak itu, begitu pula dengan hal yang disembunyikan Nero, entah apanya.
Seusai pelajaran, Julian membereskan peralatannya lambat-lambat sementara seluruh siswa sudah mulai berisik. Dari tempatnya, Julian dapat melihat Nero kembali sibuk dengan dunianya sendiri: dengan wajah tanpa ekspresi, mata menerawang melihat keluar jendela, dan salah satu tangan menopang dagunya. Apakah anak itu punya masalah?
Tapi, begitu teman-teman sekelasnya menegornya, wajah tanpa ekspresi itu menghilang, berubah menjadi senyuman ceria penuh kebahagiaan.
Dahi Julian mengerut dalam. Ada sesuatu yang mengganggu melihat ekspresi Nero yang seperti itu. Setelah mengambil bukunya, dia melangkah keluar menuju ruang guru. Saat dia masuk, Alfon sudah duduk di belakang meja kerjanya sambil meminum kopi.
“Ada apa dengan wajahmu?” Alfon bertanya menaikan alis.
“Nothing.”Julian menjawab cepat, meletakan peralatannya ke atas meja.
“You sure?”Alfon tidak percaya.
Julian menghela napas. Alfon tak mungkin bisa dibohongi. “Fine. That was something happened.”
Alfon meraih kopinya. “About what?”tanyanya sambil menyesap kopinya.
“About Nero.”
“What’s with that kid?”
“Just… I don’t know either.”Julian menghela napas. Tak tahu harus mulai darimana. Bisa saja kekhawatirannya terlalu berlebihan mengenai Nero.
“Hmmm… He’s a weirdo, isn’t he?”Alfon meletakkan cangkirnya. Julian melongo menatapnya. “What? You don’t think so?”
“Like I said, I don’t know either, Alfon.”
“Hmmm,”Alfon manggut-manggut, masih dengan wajah cooltanpa ekspresi. “Look, Julian, don’t do unnecessary things. You're the one who always stick your nose into people's business.”
“Shut up.”
Alfon menurut dan diam sambil menyerumput kopinya. Julian berdiri, mengambil cangkir dan menuang teh, lalu membawanya kembali ke meja kerja. Pikirannya mengenai Nero masih mengganggunya dan itu menyebalkan. Saat dia mengangkat cangkirnya, hendak meminum tehnya, tiba-tiba dia ingat satu pertanyaan.
“Is he doing well in your class?”Julian bertanya penasaran, tidak jadi meminum tehnya.
“Like I said before, he is a weirdo.”
“Thank you for the explanation. You help me a lot.” Julian menggertakan gigi.
Alfon menghela napas dan memijit-mijit dagunya. “He’s calm, not much talking and spaced out a lot. I don’t know what he was thinking and I don’t need to know but he’s, you know, kind of genius. I wondered maybe he has studied at home.” Julian menatapnya dengan penuh perhatian penuh. Mau tak mau Alfon mengeluarkan pendapatnya, yang dia sendiri juga terasa amat aneh karena dia ucapkan dengan ragu, “People around him don’t fit his space.”
“What?”Julian mengerjap. “What do you mean?”
“I don’t know either, Julian.” Alfon melipat tangannya dengan serius. “Sometimes I feel that kid is lonely.”
Julian terkejut lagi. “Huh? Lonely? With those crowd around him, he still feels lonely? Why?”
“I don’t know, Julian. You try figure it out. Don’t drag me along.” Alfon kembali menatap meja kerjanya, mengambil berkas-berkas yang dia butuhkan.
“But he’ll be in your class.”
“Until that time comes, I’ll stay my mind in peace. You go handle him alone without me.”
“Wah, aku tak menyangka bahwa Pak Alfon ternyata begitu fasih menggunakan bahasa Inggris.” Terdengar suara di dekat mereka. Kepala Sekolah, Owen, berdiri di belakang mereka, sambil tersenyum ramah. “Hati-hati Pak Julian, Pak Alfon bisa saja mengambil alih mata pelajaranmu jika kita kekurangan guru.”
Alfon memutar bola matanya.
“Aku harus mengingatkan kalian bahwa,” dia melirik para guru yang juga menatap mereka dan mendengar perdebatan mereka berdua, “ehm… no gossip at school, will you?”
Alfon memutar bola matanya lagi sambil berkata, “Fine”dengan nada membosankan.
“Thanks God, there’s no one get what you two guys babbling out just now. Please watch your words.”Kepala Sekolah Owen menyeringai dengan aura neraka. Julian bisa merasakan kemurkaan itu. Tapi Alfon pura-pura tak melihat dan memilih sibuk dengan berkasnya.
“We’re sorry, Sir,”kata Julian.
Owen melirik Alfon. Julian menyodok Alfon.
“Sorry,”kata Alfon tanpa melihatnya.
Owen mengangguk kecil, lalu berlalu menuju kantornya.
“I don’t like him,”gumam Julian.
“I hate him,”Alfon mengangguk-angguk setuju. Setelah dia membereskan perlatannya, dia menghabiskan kopinya dengan cepat.
“Where are you going?”
“Laboratory. I need a distance space from you. You always ask something stupid,”kata Alfon cepat.
“Meanie.”
“Don’t-stick-your-nose-into-people’s-business-and-don’t-drag-me-along.”Suara Alfon mendesis mempertingatkan dengan nada tegas. Setelah itu dia keluar.
Alfon berjalan cepat-cepat menuju laboratorium, dan saat dia melewati koridor panjang yang sebagian besarnya merupakan jendela, dia melihat Nero berjalan sendirian melewati Bukit Hijau.
“It suits him better. The lonely posture.” Alfon bergumam, mengamati Nero.
Tapi tak lama dia melihat seseorang mendatanginya: Devon.
Huh?Alfon mengerutkan dahi. Keheranan.
Devon mengejarnya dari belakang, menyerahkan sesuatu. Nero tertawa, menepuk-nepuk bahu Devon sambil menunduk-nunduk memegangi perutnya karena begitu geli.
Oh. Not bad. Alfon tersenyum. They are friend already.
Ternyata bukan hanya Alfon yang menyadari hal itu karena sebagian siswa yang lewat juga ikut-ikutan melihat keakraban Nero dan Devon.
“Itu Devon kan? Yang di sebelah Nero?”
“Tentu saja. Siapa lagi? Satu-satunya orang yang berambut pirang di sekolah ini ya Devon.”
“Mereka saling kenal?”
Dan bisik-bisik terdengar sepanjang jalan Alfon menuju laboratorium.
***The Flower Boy Next Door***

Minggu, 24 Februari 2013

The Flower Boy Next Door (Debaran Tujuh)


Debaran Tujuh
Balkon Curhat
Kali ini bukan hanya mimpi buruk. Tapi juga neraka. Niken kehabisan kata-kata dan kemampuannya untuk menentang dunia begitu mengetahui bahwa Nero dan Devon berteman. Orang berandal memang hanya bisa berteman dengan orang berandal. Sepertinya istilah itu benar dalam hal ini.
Niken tak habis pikir bagaimana mungkin mereka berdua bisa saling mengenal. Gundah gulana, Niken mondar-mandir di kamarnya dengan tidak tenang. Jika Nero berteman dengan Devon, itu artinya sudah ada dua kubu yang bersatu untuk melawanku. Ini diluar perkiraanku.
Devon biasanya tidak pernah berteman dengan siapapun. Tapi kenapa dia bisa berteman dengan Nero sih? Itu bisa saja terjadi. Devon juga murid baru di sekolah ini. Dan mereka berdua sama-sama pindahan dari luar negeri. Wajar saja mereka berteman cepat. Mereka seperti merasakan nasib yang sama. Tapi baru saja beberapa jam mereka saling mengenal, Nero berhasil membuat Devon lepas dari hukumannya. Bagaimana nanti jika mereka semakin berteman? Bisa-bisa suatu hari nanti mereka membuat murid-murid melakukan aksi menentang peraturan sekolah.
Aku menggigit kuku-kuku jariku dengan cemas. Aku harus memikirkan sesuatu untuk menghentikan masalah ini. Tanpa sadar, aku melihat jendela kamar Nero. Jendela Nero terbuka seperti biasa dengan gorden yang sengaja disibakan, menunjukan kondisi kamarnya yang rapi.
Walau aku tidak ingin mengakuinya, Nero ternyata punya kamar yang bagus dan selera yang luar biasa. Aku hanya dapat melihat sedikit dari sudut ini. Tapi aku bisa melihat kalau tempat tidurnya yang ada di sudut kiri selalu rapi dengan seprai berwarna biru yang halus sekali. Di depan sana—tepat di bawah tangga—ada televisi besar dengan bantal-bantal besar dan juga karpet lembut. Nero ada di sana, membaca buku tebal sambil tiduran.
Sialan. Kenapa aku tak bisa mengalihkan pandanganku setiap kali cowok menyebalkan itu ada di kamar itu sih? Aku selalu penasaran mengenai apa saja yang dia lakukan. Sudah tiga hari cowok itu ada di sana dan melakukan aktifitas yang sama secara rutin.
Sepulang sekolah dia mengganti pakaiannya dengan kaos ringan—hal yang sebisa mungkin kuhindari karena Nero, entah sengaja atau tidak, selalu lewat di jendela itu setiap kali dia berganti pakaian—setelah itu keluar sebentar begitu mendengar panggilan Ageha dari bawah dan masuk lagi, kemudian tiduran seharian sambil membaca buku. Sore harinya dia keluar lagi, membawa Ageha bermain di taman—yang entah kenapa selalu aku lihat di balkon. Malamnya Nero kembali lagi ke kamar, mandi—aku biasanya menutup jendelaku setelah pukul tujuh karena tak mau melihatnya seperti waktu itu—dan turun lagi untuk makan malam. Saat dia kembali lagi, Nero kembali lagi ke depan televisinya dan tidur sambil membaca buku. Malamnya, dia menutup jendela kamarnya dan mematikan lampu untuk tidur. Untunglah aku tak punya kesempatan melihatnya menutup jendela.
Tuh kan? Aku benar-benar hapal apa yang dia lakukan!
Aku memerhatikan Nero sekali lagi dan menganga cepat mengetahui buku apa yang dia baca. Majalahku!!!
“Hey kau!” aku meraung di jendelaku.
Nero menurunkan majalah itu dan menoleh sebentar padaku.
“Kembalikan majalahku!” kataku cepat.
Cowok menyebalkan itu mengerutkan dahinya, kemudian tertawa mengejek. “Ambil saja sendiri,” dia balas berteriak dari tempatnya.
Gigiku gemertakan. “Itu punyaku!”
“Kau melemparnya kemari. Jadi jangan menyesal,” balas Nero.
Tanganku mencengkram jendela. “KEMBALIKAN KATAKU!”
Nero menatapku selama beberapa detik. Lalu dia menghela napas. Apakah cowok itu menyesal? Mungkin saja begitu karena Nero segera bangkit dari tempatnya dan berjalan ke arah jendela dengan malas, membawa majalahku.
“Berikan padaku,” tanganku mengadah melewati jendela.
“Minggir dari sana,” kata Nero sambil tersenyum kecil.
Aku curiga. “Apakah kau berniat melempar majalahku?”
“Minggir saja dari sana,” seringainya semakin lebar. “Kau akan tahu nanti, Niken.”
Aku tidak suka caranya tersenyum. Dia pasti merencanakan sesuatu. Tapi, aku tak akan tahu apa jika aku sendiri tak melihat. Baiklah, aku akan lihat apa maunya. Aku mundur dua langkah, memberikannya sedikit ruang. Mungkin saja dia hendak melempar kembali majalah itu ke arahku dengan mempertimbangkan jarak yang dibutuhkannya.
Tapi, dugaanku ternyata salah besar.
Nero menaikan kakinya ke sisi jendelanya dan memanjat. Kaki panjangnya menjulur begitu saja, menyebrangi tembok yang menghalangi jendela kami berdua, dan segera masuk ke kamarku setelah melewati jendelaku. Dia melompat pelan dan tersenyum sementara aku menganga bengong melihat tingkahnya barusan.
“Halo, maaf menganggu. Ah, kamar yang bagus,” kata Nero mengamati kamarku. Salah satu tangannya menggaruk-garuk dagunya. Pandangan matanya penuh minat.
“Keluar dari kamarku!”
“Aku kan baru datang,” kata Nero enteng, menyingkirkanku dengan mudah, dan dia mengelilingi kamarku dengan penuh perhatian.
“Apa maksudmu masuk ke kamarku dengan cara begitu? Kau akan kulaporkan karena melewati wilayah pribadi orang.”
“Silakan saja. Aku juga akan melapor karena kau selalu mengintipku diam-diam.”
Aku benar-benar tercekik dengan jawabannya. Cowok ini benar-benar menyebalkan! Bagaimana mungkin dia masih membahas masalah mengerikan itu? Aku tak ingin lagi mengingat adegan itu! Walau… yeah, walau hal itu tidak seburuk dugaanku.
Tapi, aku menggerutu, tetap saja salah.
“Ini balkon yang bagus. Wah, kau bisa melihat tamanku dari sini?” Nero melangkah mendekati balkon. Tanpa disuruh, cowok itu duduk di kursi putih yang sudah kusediakan di sana. Aku biasanya menghabiskan waktu sore hariku di sana sambil membaca buku.
“Jika anggota keluargaku tahu—”
“Katakan saja bahwa kau mengundangku ke kamarmu,” kata Nero enteng.
“Mereka tak akan percaya,” tukasku jengkel. “Tidak boleh ada cowok yang mendatangi kamar seorang cewek.”
“Memangnya kenapa? Aku kan tidak bermaksud menodaimu,” lagi-lagi dia mengucapkan bantahan yang membuatku bungkam. Darimana sih Nero mempelajari kata-kata itu? Dia kan belum lagi tinggal di Indonesia. Apa dia mempelajari bahasa baru itu dari Devon?
“Majalahmu,” dia mengulurkan majalah yang dia bawa-bawa. Dengan segera aku merampas majalah itu. Majalah itu jadi tidak begitu penting begitu mengetahui bahwa majalah yang saat ini di tanganku menyebabkan cowok menyebalkan ini ada di balkon kamarku.
“Sayang sekali balkonku tak ada di samping balkon kamarmu,” desah Nero.
“Aku tak pernah berharap sebalkon denganmu.”
“Mhm. Tapi akan lebih praktis jika kita mengobrol di balkon daripada aku masuk melewati jendeka kamarmu yang sempit,” gumam Nero.
“Aku bahkan tak ingin mengobrol denganmu. Ataupun melihatmu saat ini. Sekarang, keluar dari kamarku!” seruku jengkel.
Nero tidak mendengarkan. Anak muda itu menatap ke bawah, ke arah taman hijaunya. Pandangan matanya menerawang. Untuk sejenak, aku merasa bahwa Nero semakin tampan dengan posisi wajahnya yang menyamping. Angin lembut menerbangkan rambutnya sedikit. Dan aku bahkan bisa melihat bahwa bulu matanya ternyata panjang juga.
“Aku tahu aku tampan, Niken,” gumamnya tiba-tiba.
“Aku tidak melihatmu!” kataku berbohong.
“Aaah, masa?” dan dia tidak percaya. Saat dia berpaling dan menatapku sungguh-sungguh, jantungku berdetak semakin tidak karuan.
Oh, tidak… oh, tidak… kenapa dia begitu tampan sekali dengan eskpresi itu?
“Kenapa kau suka Vion?”
Dan berhentilah detakan jantungku seketika.
“Apa?” kataku.
“Kenapa kau suka pada Vion, Niken?” ulangnya dengan nada sabar.
Ini bukan masalah yang ingin kudiskusikan dengannya. Tapi entah mengapa jawabanku keluar begitu saja dari mulutku. “Karena dia baik hati, sopan, menyenangkan, pintar dan berada di dekatnya membuat orang bahagia. Guru-guru menyukai sikapnya yang penuh tanggung jawab dan berpendirian teguh. Dia juga laki-laki punya prinsip. Taat pada peraturan sekolah, juga selalu rapi datang ke sekolah. Tidak sepertimu. Dia lebih baik beratus kali lipat darimu.”
Yang mengherankan Nero mengangguk-angguk. Entah itu tanggapan setuju atau tidak. Aku juga tidak mengerti.
“Hmmm. Masuk akal kau suka padanya. Kalian berdua adalah dua orang manusia yang terlalu lama tinggal di desa.”
Sialan. “Apa maksudmu?” aku tersinggung sekali di sini. Kak Vion adalah sosok yang mengagumkan. Beraninya kau mengatainya begitu di depanku!
“Kau dan Vion seperti dua orang yang tinggal dalam stoples. Kalian itu acar,” kata Nero lagi. “Tampilan luar begitu cantik. Tapi dalamnya begitu asam. Tsk tsk tsk. Kalian berdua pasti tak pernah bersenang-senang.” Dia geleng-geleng kepala, merasa kasihan.
“Kami bersenang-senang. Cara kami bersenang-senang berbeda dengan cara kalian!” belaku.
“Dengan apa? Membuat siswa lain tersiksa dengan talak terlambat?” Nero menaikan alisnya. “Atau mengerjakan seluruh tugas sekolah dan mendapat nilai tinggi? Selalu bersikap sopan dan ramah untuk menjilat guru? Atau mungkin hanya membaca buku sepanjang hari?”
Aku tak bisa membalasnya karena sebagian yang dia katakan memang benar.
“Kalian berdua membosankan sekali,” Nero, lagi-lagi, geleng-geleng kepala. “Bagi kalian hidup hanya hitam-putih. Tidak berwarna. Aku kasihan melihat kalian yang tak pernah bersenang-senang padahal masih muda.”
Suaraku kembali. “Aku tak membutuhkan ceramah dari orang yang datang terlambat!”
“Dan apakah Vion menyadari perasaanmu padanya?” pertanyaan itu menohokku. “Jika dari sudut pandangku, sih, Vion sama sekali tidak melihatmu sebagai cewek tapi sebagai Ketua Koordinator Kedisplinan Siswa. Kasihan amat sih. Dia tampaknya tidak tertarik padamu.”
Perkataannya semakin menusuk dan menusuk.
“Dan kau juga tidak menunjukan perasaan itu padanya, melainkan hanya melihatnya dari jauh. Aku tak tahu apa yang kau pikirkan, Niken. Apa kau bangga dengan posisimu saat ini?”
“Cukup!” aku berteriak jengkel, menarik bajunya dengan ganas. “Kalau kau bicara lagi. Aku akan mendorongmu dari balkon sampai tewas!”
“Ini lantai dua. Aku tak akan tewas. Mungkin hanya patah kaki,” kata Nero lagi dengan enteng.
“Kalau begitu aku akan menusukmu saja. Setelah kau mati aku juga akan menyusulmu delapan puluh tahun kemudian,” bisikku ganas.
Dia masih tidak takut, malah berkata, “Kau benar-benar yakin bisa hidup selama itu ya?”
Aku benar-benar tak tahu apa yang ada dalam pikiran cowok itu.
“Begini saja, Niken. Bagaimana jika aku membantumu mendapatkan Vion?”
Genggamanku terlepas begitu saja sementara aku melongo lagi. “Apa katamu?”
“Kataku,” kata Nero lagi dengan nada sabar, merapikan bajunya yang kusut. “Aku akan membantumu mendapatkan Vion.”
Aku mengerjap, terlalu bingung. “Dan kenapa kau ingin membantuku?”
Kepala Nero miring sedikit, matanya yang bulat melihatku seperti anak kecil, dan dia menjawab polos, “Karena aku kasihan padamu.”
“Aku tak butuh rasa kasihanmu! Aku bisa mendapatkan Kak Vion dengan usahaku sendiri. Aku tak butuh bantuanmu!” kataku jengkel. Aku tak butuh bantuan dari Dewa Terkutuk seperti dirinya. Belum mengenalnya saja, aku sudah tahu rencana apa yang ada di dalam pikiran Nero. Aku tak tahu lagi apa yang akan kulakukan untuk menghadapinya jika aku benar-benar menerima tawarannya—mesti menggiurkan.
Tapi Nero masih keras kepala. Anak muda itu mengangguk-angguk pelan sok penting. “Aku akan membantumu, Niken. Karena aku tahu kau tak bisa melakukannya.”
Tanganku terkepal. “Aku bisa melakukannya!”
“Kau tak bisa.”
“Bisa!”
“Tidak.”
“Aku bilang bisa!”
“Aku yakinkan kau tak bisa.”
“Apa kau menantangku?” emosiku naik karena Nero masih saja berbicara dengan nada tenang dan tidak terpengaruh dengan intonasi suaraku. Dia masih duduk di kursi, melipat kedua kakinya dengan santai dan salah satu tangannya merapikan sudut-sudut rambutnya yang berada dekat telinga.
Pemuda itu nyengir lebar. “Ya. Aku menantangmu,” katanya. “Kau tak bisa mendapatkan Vion walau kau berusaha sendiri dalam hmmm… berapa tahun?”
“Satu tahun!”
“Ya. Satu tahun,” ada kebanggaan dan pelecehan dalam suara Nero yang membuatku ingin meninjunya. “Tapi aku yakinkan kau, dengan bantuanku, Vion akan tergila-gila padamu dalam waktu… hm…”
Lagi-lagi aku mencengkram bajunya, menggeram jengkel dan melotot marah padanya. Wajah Nero masih saja tenang, tidak terganggu sedikit pun, malah tampak senang sekali karena berhasil membuatku marah.
Aku membenci pemuda ini. Aku benar-benar membencinya!
“Begini saja, Niken, kau buktikan saja perkataanmu,” Nero memegang tanganku yang memegang bajunya. Hanya dalam sepersekian detik, aku bisa merasakan kulitnya yang menyentuh langsung kulit tanganku, dan respon itu mengalir begitu cepat ke seluruh tubuhku, ke tiap tetesan darah dan selku, membuat pikiran dan kemarahanku hilang begitu saja.
Wajahku tak bisa kembali normal karena begitu terkejut merasakan kelembutan dan kehangatan tangan Nero. Ada sesuatu dalam genggaman itu yang aku masih bingung artinya untuk apa. Tapi aku tak merasa keberatan sedikitpun dia menyentuhku. Karena walau jantungku berdetak gila-gilaan saat ini, aku merasa—anehnya—aman dan damai.
“Jika kau tak bisa mendapatkan Vion dalam waktu… hmmm… sampai aku masuk kelas unggulan karena berhasil mendepakmu dari ranking satu selama tiga kali berturut-turut, maka kau harus menerima bantuanku. Bagaimana?”
Kesadaranku kembali. Tanganku dengan cepat menepis tangannya.
“Kau tak akan bisa mendepakku,” aku berbisik ganas.
“Aku bisa,” katanya tenang.
“Tidak bisa!”
“Bisa.”
Dia benar-benar menjengkelkan. Aku muak dengan ekspresi tenang wajahnya, bahkan senyumnya yang menyebalkan itu. Kilauan matanya yang jenaka juga seakan mengonfrontasiku akan kebenaran yang dia katakan.
Dia begitu berani dan percaya diri. Benar-benar musuh yang menyusahkan!
“Aku tak akan pernah membiarkanmu mendepakku.”
“Benar,” dia mengangguk sok suci lagi. “Tapi aku bisa.”
Aku ingin sekali menghentikan pembicaraan ini.
“Oleh sebab itu, kau mau menerima tantanganku mengenai Vion?” Nero melipat tangannya.
Dengan cepat aku menganalisa keadaan. Si Brengsek ini, seberapa besar pun rasa percaya diri dan keberaniannya, tidak akan bisa mendepakku dari juara satu. Dia mungkin bisa masuk kelas unggulan, tapi tidak mungkin bisa mendepakku. Aku tak akan membiarkan dia melakukan hal itu. Dia harus tahu dengan siapa dia berhadapan!
Walau aku tak tahu apakah akan bisa mendapatkan Vion dalam waktu—yang mungkin saja enam minggu—dengan cara bagaimana, aku juga bisa memperkirakan waktu bahwa aku tak perlu meminta bantuan darinya mengenai Vion karena aku, sudah pasti, tak akan tersingkiran dari juara satu. Itu artinya aku punya waktu tak terbatas!
Aku melirik Nero. Pemuda itu duduk dengan tenang, tampil tampan dengan angin berhembus perlahan menerbangkan rambutnya, dan latar belakang taman membuatnya tampil seperti seorang dewa. Tatapannya menusuk, menunggu jawabanku.
Huh, dia tak tahu kalau aku sudah memenangkan pertarungan bahkan sebelum memulainya.
Deal. Aku akan mendapatkan Kak Vion dengan tanganku sendiri. Dan kalau aku tak berhasil mendapatkannya sampai kau berhasil mendepakku dari rangking satu dan masuk kelas unggulan, aku akan minta bantuanmu.” Aku berkata dengan cepat dan tepat, sesuai dengan keadaan yang tadi dia syaratkan.
Nero kembali tersenyum dan, lagi-lagi, aku tubuhku sendiri menegang melihatnya.
“Itu artinya enam minggu. Lama juga ya,” kata Nero.
“Kau tak akan pernah mendepakku dari juara satu. Dan itu artinya, selamanya aku tak akan minta bantuanmu.”
Seperti biasa, dia tidak mendengarkanku. “Enam minggu,” katanya tenang. “Jam berapa sekarang?”
Huh? “Apa?” aku bingung dengan pembicaraan yang tiba-tiba beralih.
“Jam berapa sekarang?” dia bertanya penuh kesabaran. Aku menyadari bahwa Nero sering mengulang kalimat yang sama setiap kali aku mengatakan “apa”, seolah-olah aku ini tuli, punya pendengaran terganggu, atau idiot yang tak mengerti.
Aku melihat sekeliling ruangan dan dia juga melakukan hal yang sama.
“Benar juga. Kau membanting satu-satunya benda yang menunjukan waktu di kamarmu,” katanya dan bangkit dari tempatnya. “Aku pulang dulu, Niken. Ageha pasti sudah menungguku.”
Aku hanya diam membisu begitu dia menuju jendela.
“Hei, lewat pintu!” seruku saat dia memanjat.
Kepalanya menoleh dan menunjukan ekspresi “Apa kau sudah gila?” padaku.
“Dan bagaimana caranya kau menjelaskan aku yang tiba-tiba nongol di kamarmu tanpa mengetuk pintu rumahmu?” dia bertanya.
Benar juga!
“Kau benar-benar lucu, Niken. Aku benar-benar suka padamu,” Nero terkekeh geli saat dia menghilang dari balik jendela.
Aku tak tahu apakah harus bahagia, marah atau tersinggung dengan ucapannya barusan.