Kamis, 04 Juli 2013

The Flower Boy Next Door (Debaran Empat Puluh - END)



Debaran Empat Puluh
Bye Bye

11.25
Aku duduk di kursi taman. Menunggu dalam diam dan menghela napas. Masih jam sebelas lewat dua puluh lima. Aku datang terlalu cepat. Nero berjanji datang pukul dua belas siang tepat. Untuk makan siang bersama. Untuk membicarakan kembali hubungan kami.
Bibirku tersenyum sendiri. Uh. Apa sih yang kupikirkan? Tiap kali mengingat Nero aku selalu tersenyum sendiri seperti orang gila.
Nero selalu bisa membuatku bahagia. Tentu dia juga pernah membuatku kesal. Itu tak perlu ditanya. Tapi kami tak pernah sampai harus berantem. Nero tahu bagaimana menghadapiku. Dia tahu bagaimana harus bersikap padaku. Dia tahu bagaiamana cara membuat hatiku luluh. Dia tahu bagaimana mendaptkan kembali hatiku setelah aku memutuskan untuk melepasnya.
Lalu aku sadar bahwa aku sebenarnya merindukan Nero. Aku ingin dia ada di sini. Saat ini juga. Tersenyum padaku. Lalu mengatakan bahwa dia akan bersamaku selamanya.
Tapi jam sudah menunjukan pukul 12.35. Nero terlambat.
Kali ini, dengan cemas aku melihat sekitarku. Melihat keberadaan Nero. Tapi dia tak ada.
Nero... kau ada dimana?
***The Flower Boy Next Door***
14.15
Nero sedang berjuang untuk hidup.
Dan Dokter Nathan sedang berusaha melakukannya.
Dibantu oleh empat orang dokter ahli bedah dan syaraf, mereka melakukan operasi besar yang tak mampu ditunda lagi. Nero kritis. Dan pendarahan nyaris merebut nyawanya.
Dokter Nathan mengalihkan pandangannya dari monitor EKG yang berbunyi pip dengan pelan. Kemudian pada Nero.
Wajah Nero semakin pucat. Pintu ruang operasi terbuka. Stok darah kembali datang. Didorong oleh seorang perawat. Sudah nyaris tiga jam mereka ada di sini dan kondisi Nero semakin lama semakin lemah.
***The Flower Boy Next Door***
15.45
Matt merasakan sebuah remasan di bahunya yang membuatnya sadar. Jacob telah duduk di sampingnya. Menatapnya tanpa berkedip tapi tidak mengatakan apa-apa. Tapi Matt setidaknya tidak lagi sendirian.
Nero sejak tadi masih ada di dalam ruang operasi. Dia dipindahkan dari IGD ketika kondisinya kritis untuk melakukan operasi besar yang membuat jantung Matt mencelos. Matt bahkan tak ingat lagi bagaimana dia berhasil menandatangani seluruh berkas dari rumah sakit dengan tangan gemetar. Dan semakin ketakutan melihat perawat dan dokter berulang kali masuk keluar masuk ke dalam ruang operasi, dari satu orang menjadi dua orang, lalu jadi tiga orang. Membawa stok darah sekaligus pula berlumuran darah. Apa yang sebenarnya terjadi pada Nero? Kenapa ada begitu banyak orang yang ada di dalam sana?
Sudah beberapa jam dan mereka belum bisa memberitahunya bagaimana keadaan Nero selain: “Kami sedang berusaha semaksimal mungkin.“
Semaksimal apa? Matt ingin menjerit. Dia frustasi oleh rasa ketakutan, kepanikan, dan rasa ngeri, karena tak mampu berada di samping Nero padahal jarak mereka begitu dekat.
“Matt, aku harus mengatakan ini padamu.” Jacob akhirnya bicara setelah dia diam cukup lama.
Matt tidak mengatakan apapun. Dengan gelisah dia mencengkram lututnya, dengan tangan masih berlumuran darah dan sudah mulai menghitam.
Jacob memutuskan untuk berbicara. “Polisi sudah menangkap Deborah. Dia akan segera diadili.”
Rahang Matt mengeras. “Aku tak ingin bertemu dengannya. Jika kau tetap memaksaku aku sendiri yang akan membunuhnya dengan tanganku.”
Jacob menggeleng kecil. “Kau tak perlu bertemu dengannya. Aku akan mengurusnya. Yang ingin kukatakan adalah bahwa wanita itu punya kelainan.”
“Tentu saja!” Matt meraung. Dia gila. “Dia psikopat! Menurutmu apa lagi kata yang pantas untuk wanita gila itu sampai dia rela menyebrangi benua hanya untuk membunuh seluruh anggota keluargaku?”
“Matt—”
“Dua tahun setelah aku menikah dia membunuh keluargaku! Dan polisi bilang itu kecelakaan karena tak menemukan bukti yang cukup untuk menjeratnya. Tak lama kemudian Theressa. Membuat Nero dihantui mimpi buruk setiap malam karena melihat kematian Ibunya sendiri. Lalu ada Jennifer juga yang harus terkena imbalanya padahal dia tak pantas menanggung kematian dan dia nyaris membunuh Ageha juga! Sekarang... Nero...”
“Matt,” Jacob memegang bahunya. “Aku mengerti. Aku tahu perasaanmu. Aku ini temanmu sejak kecil. Kau pikir aku ke sini untuk apa? Menertawakanmu?” katanya lembut.
Matt terhenyak lagi ke kursi.
“Aku juga marah padanya. Sama sepertimu. Kau tenang saja. Aku akan mengurusnya. Dan kali ini akan kupastikan dia tak akan pernah lagi menyentuhmu dan keluargamu. Aku bersumpah.”
Matt membenamkan wajahnya ke kedua tangannya dan menangis. Kenapa semuanya harus seperti ini? Kenapa ketika dia baru saja mencicipi apa itu kehidupan dia harus harus merasakan kematian lagi?
Dad, maafkan dia...
Sekarang bagaimana caranya aku mampu memaafkannya Nero?
***The Flower Boy Next Door***
16.00
Nero kenapa kau lama sekali?
Aku menggigit bibir. Menatap telapak tanganku yang pucat. Sebutir salju turun. Meleleh manjadi butiran air.
Kepalaku mengadah.
Salju.
Ini pertama kalinya aku melihat salju turun dari langit. Mereka tampak seperti hujan dalam butiran kapas yang indah. Membasahi jalan dan membentuk gumpalan.
Aku tersenyum kecil melihat anak kecil yang tampak antusias dengan salju yang turun. Para pasangan yang berjalan sambil bergandengan tangan sekarang makin memperdekat jarak mereka. Saling memeluk satu sama lain dan tampak mesra.
Sementara aku masih sendirian.
Aku tahu bahwa Nero terlambat. Lalu kenapa aku masih menunggunya?
***The Flower Boy Next Door***
18.57
Dokter Nathan berhasil menyelesaikan proses jahitan paling akhir pada operasi kali ini.
Mereka nyaris saja menghela napas lega. Nyaris. Karena tepat saat itu EKG menunjukan sesuatu yang membuat Dokter Nathan ketakutan.
Piiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii
Garis monitor telah datar.
Jantung Nero tiba-tiba berhenti berdetak.
“Siapkan defibrillator,” perintah Dokter Nathan.
Perawat segera membawa alat kejut jantung berbentuk setrikaan ke dekatnya. Yang lain segera mengoleskan gel bening ke dada Nero.
“200 joule. All clear?” tanya Dokter Nathan.
“Clear!” Mereka menjawab serentak, melepas pegangan dari tubuh Nero maupun tempat tidurnya.
Dokter Nathan meletakan defibrilator ke dada Nero. Tubuh Nero menegang. Tersentak ke atas oleh tegangan listik.
Tapi monitor EKG masih datar.
Dokter Nathan kembali melanjutkan tindakan resusitasi.
360 joule. All clear?
Clear!!
Mereka melihat dengan gugup pada EKG saat Dokter Nathan kembali meletakan alat kejut jantung itu ke dada Nero. Tempat tidur bergetar hebat.
Mereka menunggu sambil menahan napas. Tapi garis masih datar.
Dokter Nathan menelan ludah. Tidak. Dia tak akan menyerah.
“420 joule—”
Salah satu Dokter memotongnya. “Are you insine?
420 joule!” bentak Nathan.
Mereka mundur.
420 joule. All clear?
Clear!
Tim paramedis sekarang melihat dengan ngeri bagaimana Nathan meletakan lagi benda itu ke dada Nero. Untuk yang ketiga kalinya tubuh Nero terangkat. Tersentak oleh kekuatan listrik yang dahsyat.
Mereka memandang monitor EKG tanpa suara.
Piiiiiiiiiiiiiiiiii
Tapi garis monitor tak bergerak.
Dokter Nathan menutup mata.
“Waktu kematian?”
“19.03”
Dia gagal menyelamatkan Nero.
***The Flower Boy Next Door***
20.08
Tak datang...
Air mataku bergulir. Harapan yang tadi sempat membengkak terkikis sedikit demi sedikit.
Nero tak akan pernah datang. Karena dia tak ingin bersamaku.
Kuhapus air mataku. Dengan susah payah kupaksa kakiku bangkit.
Nero membawa hatiku pergi. Tapi dia tak bersedia memberi hatinya padaku.
Dan aku kecewa karena itu.
Cinta pertamaku mengucapkan selamat tinggal padaku. Cinta pertama yang awalnya manis lembut dan hangat berakhir dengan pahit dingin dan penuh kekecewaan.
Dan aku melangkah pergi tanpa berbalik.
***The Flower Boy Next Door***
5 tahun kemudian

Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta
“Kau tak perlu mengantarku.” Devon menggaruk-garuk kepalanya dengan gelisah begitu aku sampai di bandara.
“Mana mungkin. Ini akan jadi terakhir kalinya aku melihat tampangmu yang menyebalkan itu.”
Devon memutar bola matanya. “Pantas saja kau masih jomblo sampai sekarang. Jika kau masih remaja, sikapmu itu akan dibilang manis dan enerjik. Tak ada yang mau mengambilmu jadi isteri kalau kau bersikap seperti itu terus saat kau menginjak usia dua puluhan.”
“Sialan kau.” Aku mengijak kakinya dengan sebal.
Devon meringis. Mengelus-elus kakinya. “Cewek kasar!”
“Kalau aku tak menikah kan ada kau,” ledekku.
“Siapa yang mau menikah denganmu?” balas Devon jengkel. “Aku pasti kehilangan kewarasanku jika aku sampai menikah denganmu.”
Aku tertawa kecil. “Sekarang aku bisa mengerti kenapa Audrey putus denganmu dan memilih Zoe.”
Devon memutar bola matanya dan kembali berdiri tegak. “Sori, aku bukan tipe cemburuan melihat mantan pacar bersanding dengan teman sendiri.”
“Asal kau tahu saja kami belum menikah.” Tiba-tiba terdengar suara Zoe.
Aku segera tersenyum melihat Audrey yang digandengnya. Audrey segera menyambutku. Kami cepika-cepiki sambil terkikik geli.
“Kenapa kalian datang?” Devon menaikan alis.
“Tentu saja kami harus datang. Sahabat kami tiba-tiba saja mendapat beasiswa kedokteran ke London. Siapa yang bakal menyangka bahwa si preman Devon bisa mengalahkan ribuan orang di ujian bulan lalu?” balas Zoe.
Lagi-lagi Devon memutar bola matanya. “Itu bukan sesuatu yang membanggakan.”
“Kau sangat membanggakan,” kata Audrey.
Devon tersenyum hangat padanya. “Terimakasih,” katanya sungguh-sungguh. “Tapi aku tak akan tergoda.”
Audrey tertawa. “Mana Vion?”
“Kalian mengundangnya?” kata Devon tak percaya.
“Aku yang mengundangnya,” kataku cepat.
Devon memelototiku. “Dasar Nenek Lampir!”
“Demi Tuhan, Devon, sampai kapan kau akan terus membencinya?” Aku bertanya keheranan. “Dia tak seburuk itu tahu.”
“Aku tak membencinya. Aku hanya tak menyukainya.”
“Sama saja,” ujarku.
Kemudian Kak Vion muncul dengan seragam kemiliteran TNI yang menarik perhatian. Tubuhnya sekarang lebih tinggi lebih tegap dengan dada bidang dan otot-otot lengan yang mantap. Sepatunya berbunyi ketika dia melangkah. Wajahnya yang terbakar sinar matahari tersenyum hangat seperti biasa.
“Hey, sori aku telat. Baru kabur dari latihan,” katanya memelukku sekilas. Alisnya menaik melihat Audrey yang menggandeng lengan Zoe. “Tampaknya aku terlambat mendapatkan berita terkini.”
“Mau bagaimana lagi kalau kau tinggal di hutan belantara.” Devon bergumam sadis.
Kak Vion tertawa. “Sudah lama aku tak mendengar gerutuanmu itu, Devon. Kau tak berubah ya? Sayang sekali kau segera ke London. Aku akan merindukan keritikanmu.”
“Selagi aku masih di sini kau bisa menikmati setiap katanya.” Devon menambahkan.
Kak Vion lagi-lagi terbahak. “Kami juga. Sudah lama kami tidak berkumpul seperti ini dan rasanya sangat menyegarkan walau hanya sementara.”
Tapi aku benar-benar tak menyangka bahwa Devon bisa mendapat beasiswa. Dia bahkan menyelesaikan pendidikannya dalan waktu 3 tahun. Rekor luar biasa. Devon begitu bersungguh-sungguh ingin jadi Dokter untuk Mamanya.
Pengumuman panggilan untuk keberangkatan Devon membahana.
Time to fly,” gumam Devon.
Kak Vion memeluknya lebih dulu. Devon kulihat tersenyum kecil di balik punggung Kak Vion dan menepuk punggung Kak Vion dengan bersahabat.
Lalu dia memeluk Audrey yang sekarang berkaca-kaca.
Hey... don’t cry,” bisik Devon menghapus air matanya.
I‘m sorry,” isak Audrey.
Devon memeluknya. “It‘s okay. You have Zoe now. He’ll protect you well than me like a predator.”
Devon nyengir lebar pada Zoe yang balas nyengir padanya. Audrey tertawa kecil, memukul dada Devon.
Devon melepasnya dan ganti memeluk Zoe.
“Promise me, you‘d always love her and give her happiness,”kata Devon.
I promise,” kata Zoe.
Devon tersenyum lebar saat melepas pelukannya. Matanya lebih bersinar memandang Audrey. Dia memang pernah mencintai Audrey bahkan masih. Aku bisa melihatnya. Tapi Devon berbahagia dengan keputusan Audrey yang memilih Zoe ketimbang dirinya.
Devon adalah orang yang gentle, seperti yang selalu dikatakan Nero padaku. Ketika Devon melangkah mendekatiku, aku langsung memeluknya. Selama ini Devonlah yang ada di sampingku. Dia menjadi teman curhatku. Sahabat terbaikku. Menghiburku tiap kali aku bersedih. Di sampingku saat aku membutuhkan. Dan aku pasti akan sangat merindukannya.
“Aku belum pergi dan kau sudah merindukanku?” candanya. Aku tertawa kecil dan melepas pelukanku. “Niken berbahagialah. Kau pantas mendapatkan kebahagiaan.”
Aku mengangguk kecil.
Devon tersenyum. Mengecup dahiku dengan sayang lalu menarik kopernya.
Bye,” katanya melambai.
Kami balas melambai padanya. Aku masih tinggal lebih lama untuk melihat pesawat Devon lepas landas. Memandangi langit biru yang cerah dan penuh awan sebagai penghiasnya dengan bentuk-bentuk yang sangat cantik.
Nero, the sky looks beautiful today. Your bestfriend is also flying under this beauty blue sky. What about you?
Do you see what I see today?
***The Flower Boy Next Door***
Arc de Triomphe, Prancis
Dengan earphone terpasang di telinga, pria itu mendengarkan salah satu lagu romantis.
Moi je n’étais rien
Mais voilà qu’aujourd’hui
Je suis le gardien
Du sommeil de ses nuits
Je l’aime à mourir

(Me I was nothing
But today
I am the keeper
Of her nights' sleep
I love her to death)


Rambutnya yang hitam halus diterbangkan angin. Dia mengadah. Menghadapkan wajahnya langit biru yang indah. Bibirnya tersenyum tak kala dia merasakan angin sepai-sepoi yang membelai lembut wajahnya.
Vous pouvez détruire
Tout ce qu’il vous plaira
Elle n’aura qu’à ouvrir
L’espace de ses bras
Pour tout reconstruire
Pour tout reconstruire
Je l’aime à mourir
(You can destroy
Anything you'd like
She will only need to open
Her arms
To rebuild everything
To rebuild everything
I love her to death)
“—o”
Elle a gommé les chiffres
Des horloges du quartier
Elle a fait de ma vie
Des cocottes en papier
Des éclats de rires
(She erased the numbers
From the area's clocks
She transformed my life into
Paper hens
Bursts of laughter)
Kali ini dia membuka matanya. Mata coklat terang yang indah menatap langsung ke langit. Melihat pilar dari Arc de Triompe yang menjulang tinggi di belakangnya. Tumitnya menghentak pelan seiring dengan alunan musiknya.
Elle a bâti des ponts
Entre nous et le ciel
Et nous les traversons
A chaque fois qu’elle
Ne veut pas dormir
Ne veut pas dormir
Je l’aime à mourir
 (She built bridges
Between us and the sky
And we cross them
Everytime she
Doesn't want to sleep
Doesn't want to sleep
I love her to death)
“—!!”
Rasanya dia mendengar ada suara di dekatnya.
Elle a dû faire toutes les guerres
Pour être si forte aujourd’hui
Elle a dû faire toutes les guerres
De la vie, et l’amour aussi
(She must have been part of every war
To be so strong today
She must have been part of every war
Life's and love's also
)
“Damn you Man! How many time I should call your name?”
Kali ini dia mendengar suara teriakan yang begitu jelas. Berdenging dengan luar biasa ke gendang telinganya ketika salah satu earphonenya ditarik dengan paksa keluar dari telinganya.
Elle vit de son mieux
Son rêve d’opaline
Elle danse au milieu
des forêts qu’elle dessine
Je l’aime à mourir
(She lives as well as she can
Her opalin dream
She dances in the middle
Of the forests she draws
I love her to death)
 “Jack!” Dia meraung. “It hurts!”
It hurts my ass,” Jack mengejek sambil memutar bola matanya. “What are you doing here?”
What the hell do you think I am doing?
Jack menaikan alis. “Ok forget it.” Lalu memilih duduk di sampingnya. “I always knew when I can‘t find you I just have to come here.”
Dia tersenyum.
“Every single time you come to France you always coming here just for sitting. Are you insine? Eiffel is better than Arc de Triomphe.”
“I know but I love being here. This place called my name.”
Elle porte des rubans
qu’elle laisse s’envoler
Elle me chante souvent
que j’ai tort d’essayer
De les retenir
De les retenir
Je l’aime à mourir
(She wears ribbons
That she let's fly away
She often sings to me
That I am wrong to try
To hold them back
To hold them back
I love her to death)
Jack menaikan alis. “Ok. You‘re weird now. Hey what happened with your brown hair?”
Dia tersenyum. “I don‘t want to look same with him anymore.”
“Same? With who?
Him.” Dia menjawab dan mengadah melihat langit. “I‘m his resemble.”
Jack juga ikut melihat langit. Mengerutkan dahi. “I don’t know you have twins. Is he died?
Tapi dia tak menjawab dan kembali menutup mata, menikmati angin dan lagu yang mendayu-dayu di telinganya.
Pour monter dans sa grotte
Cachée sous les toits
Je dois clouer des notes
A mes sabots de bois
Je l’aime à mourir
Je dois juste m’asseoir
Je ne dois pas parler
Je ne dois rien vouloir
Je dois juste essayer
De lui appartenir
De lui appartenir
Je l’aime à mourir
(To come up to her cave
Hidden beneath the roofs
I have to nail notes
To my wooden clogs
I love her to death
I must only sit
I must not talk
I must not want anything
I must only try
To belong to her
To belong to her
I love her to death)
Has there ever been anyone who thought so much of me in the past?
Sebuah jalan cerita cinta mungkin dimulai dari sebuah pertemuan singkat yang dilalui dengan kenangan manis tapi tidak selamanya berakhir dengan happy ending.
Ini hanya salah satu dari kisah itu.
***The Flower Boy Next Door***
TAMAT
Medan, 05 Juli 2013

The Flower Boy Next Door (Debaran Tiga Puluh Sembilan)



Debaran Tiga Puluh Sembilan
Wait

“Merry Christmas! Wake up, Sleepy Boy! It’s Christmas! Christmas! Time to take your gift!”
Nero menggerung, mencoba menutup kepalanya dengan selimut saat Matt membuka gorden dan membuka jendela lebar-lebar. Udara dingin di luar masuk ke dalam kamarnya. Matt merinding sejenak dan menutup kembali jendelanya, melirik Nero yang masih saja tidur.
Matt segera melompat ke samping Nero, menggelitik Nero.
“Good morning!”
“Ow ow ow. Hahahaha! No! Stop! I’m sleepy!” Nero menggeliat sebal di bawah selimut. “No! Get away! Shoo!”
“Shoo!” Matt meniru, melempar selimut Nero ke lantai. Nero menggerung lagi, memberikan punggungnya pada Matt saat dia mengambil bantal terdekat untuk dipeluk. “Come on, Son. It’s Christmas!”
“Christmas my ass,” gumam Nero dalam tidurnya.
“It’s Christmas! Look! Snow! And, oh, Christmas’s song! We wish you Merry Christmas We wish you Merry Christmas We wish you Merrry Christmas and Happy New Year!” Matt bernyanyi di samping Nero.
“New Year’s still six days more,” gumam Nero, menutup telinganya dengan bantal.
Matt memutar bola matanya. “Come on, Sherlock. How could you think in your sleep?”
“Cause I’m genius,” gumam Nero lagi di bawah bantal.
“Jingle bells jingle bells jingle all the way!” Matt bernyanyi lagi, mengguncang-guncangkan bahu Nero dengan tak sabar. “Oh what fun—”
“It’s not fun!” Nero melempar bantal dengan jengkel, mendelik marah pada Matt. Matt nyengir lebar, merentangkan kedua tangannya lebar-lebar. Nero memutar bola mata dan memeluk Matt, nyaris saja tertidur kembali saat bilang, “Merry Christmas.”
“Come on, wake up, Boy,” kata Matt.
“Still early,” gumam Nero.
“That’s the point. We could take a walk and chatting. I’ll do whatever you want me to.”
Nero langsung membuka lebar matanya, duduk tegak. “Promise?”
“Promise.” Matt mengangguk pasti.
“Anything? Everything?”
Matt menaikan alis. “Ok,” katanya. “Anything. Everything.”
“I love you,” Nero mengecup pipi Matt dan melompat dari atas tempat tidur, “I’ll be ready for fifteen minutes!”
Matt mengerjap. “Wow. That’s fast. Did I just dig my own hole? Anything and everything? I must be out of my mind.” Matt geleng-geleng kepala. “What’d I do when he wished for Paris or Eiffel?”
Mendesah, Matt bersiul-siul keluar dari kamar Nero. Kakinya melangkah turun dari tangga, menuju ruang tengah di mana pohon Natal putih sudah berdiri di sana, berdiri tegak dengan kado-kado berwarna-warni tersusun di bagian bawahnya. Di dekat pohon natal ada perapian, tempat dimana kaos-kaos kaki tergantung di bagian atas. Perapian masih menyala dengan bara api yang berderak lembut.
Matt memilih duduk di salah satu sofa, menyandarkan punggungnya sambil melipat kaki. Dia kembali bersiul sambil bergumam rendah. Jacob keluar dari kamarnya, mengenakan mantel bepergian. Matt dapat melihat dia berpakaian formal di balik mantelnya. Tidak seperti para pria pada umumnya, Jacob tak suka pakai syal, dia lebih baik memakai turtle neck untuk menutupi lehernya, atau mantel dengan kerah tinggi.
“Pagi, Jacob,” sapa Matt sambil tersenyum.
“Jam berapa kau datang?”
Matt melirik jam tangan. “Lima belas menit lalu.”
Jacob mengangguk kecil, lalu mendekati meja. “Mau minum teh?” katanya sambil mengangkat teko.
Matt menggeleng. “Jacob, please, berhenti bertingkah sebagai pelayanku saat kita tak ada di kantor.”
“Matt, please,” Jacob meniru sambil menghela napas. “Kenyataannya aku memang pelayanmu. Ayahmu menyekolahkanku dan kau berbaik hati berteman denganku, membelikanku rumah, memberiku pekerjaan, mengangkat derajatku. Ini bukan masalah besar.”
“Jacob, please,” kata Matt lagi, tampak jengkel. “Itulah gunanya teman.”
Jacob mendesah, menatap Matt dengan pandangan prihatin, “Itulah sebabnya para kolegamu sering tak nyaman denganmu. Kau bergaul dengan para tikus.”
“Tsk tsk tsk,” Matt mengangkat telunjuknya sambil menggoyang-goyangkan telunjuk. “Kau terlalu tampan, pintar, dan menyenangkan untuk seekor tikus. Dan aku sangat pintar untuk memilih mana yang tikus dan mana kolega yang benar.”
Jacob memutar bola matanya. “Jadi, kau dan Nero mau kemana?”
“Jalan-jalan. Kau mengikuti dari belakang, seperti biasa. Tidak terlihat.”
Yes, My Lord.” Jacob tersenyum kecil, membuat Matt tertawa.
“Jadi,” Matt berdeham, “apa kau sudah mendapat kabar dari Deborah?”
Jacob mengangkat bahu saat menuangkan kopi ke cangkirnya, lalu meletakkan dua sendok gula ke dalam dan mengaduknya. “Aku mendapat informasi kalau ada beberapa orang yang melihat wanita itu. Aku sedang berusaha mencari tahu.”
“Aku tak ingin dia dekat-dekat Nero lagi.”
Jacob mengangguk penuh pengertian. “Aku sedang berusaha. Kali ini aku tak akan membiarkannya lolos.” Matt mengangguk lagi dan kembali bersiul. Jacob mengambil cangkirnya dan minum kopi. Paginya cukup menyenangkan hari ini.
Nero turun tak lama kemudian, mengenakkan kemeja hijau pucat nyaman yang dipadu dengan jaket tebal, dan mantel putih. Syal abu-abunya terlilit dengan penuh gaya di leher dengan ujung-ujungnya masuk ke dalam mantelnya. Dia mengenakan jeans biru nyaman dengan sepatu boot hitam.
“Anakkmu harus berhenti tampil tampan, Matt,” kata Jacob dari sudut bibirnya.
Matt menaikan alis. “Memangnya kenapa?”
“Kau tahu benar maksudku apa,” balas Jacob.
Matt nyengir lebar dan mengedip polos. Tentu saja dia tahu kenapa. Nero selalu tampil menarik perhatian. Bukan karena pakaiannya tapi karena auranya. Dia selalu tersenyum, santai, kasual, menyenangkan dan menebarkan aura penuh persahabatan ke sekitarnya, menjadikan magnet tersendiri bagi orang-orang yang melihatnya. Well, setidaknya itulah aura Nero setelah dia mendapatkan sedikit pengalihan perhatian dari Psikiater.
“Let’s go!” Nero menarik tangan Matt begitu dia mampu mencapai. Matt tertawa dan bangkit, mengalungkan tangannya pada Nero. “Where’re we going to?”
“Everywhere you want to.”
Nero memutar bola matanya. Jacob meletakkan cangkir kopinya dan mengikuti dari belakang. Begitu dia cukup dengan jarak aman, dia berbaur dengan orang-orang di sekitarnya lalu tidak terlihat, seperti yang diminta Matt.
Matt dan Nero berjalan di samping rumah-rumah yang menjulang tinggi di Paris, mengobrol tentang banyak hal. Matt bertanya bagaimana malamnya kemarin dan Nero mengjawab sambil mengangkat bahunya bahwa semuanya baik-baik saja, walau ada sedikilit kilatan kesal pada matanya karena Matt lebih memikirkan koleganya pada hari Natal ketimbang bersamanya.
Tersenyum kecil, Matt membelikan Nero burger dan mereka duduk di pinggir jalan, dekat taman yang menghadap ke danau. Matt meletakkan kopi panasnya ke samping, menyandarkan tubuh ke sandaran bangku, memerhatikan sekitarnya dengan tidak terlalu berminat. Di pagi hari seperti ini tidak banyak orang. Di hari Natal begini, para manusia sepertinya lebih suka berdiam diri di rumah bersama keluarga. Matt berniat membawa Nero makan malam nanti untuk menebus kejadian kemarin.
Nero tidak banyak bicara selain hanya makan burgernya dengan perlahan dan penuh sopan santun.
“Kenapa hari ini kau tak mengenakan kuplukmu?” Matt bertanya keheranan.
“Gatal.” Nero menjawab santai. “Benang topi itu menyelip di rambutku.”
Matt tersenyum. “Tapi salju bisa membuat kepalamu kedinginan.”
Nero mengangkat kedua bahunya dengan santai. “Aku kan bawa jaket bertudung.”
Matt mendesah, meneguk kopinya lagi. “Sudah berapa lama kita tak sesantai ini?”
Nero menatapnya, “Mungkin empat bulan? Sejak kita keluar dari USA? Atau mungkin dua bulan sejak kita liburan dari Kanada? Oh, atau mungkin sebulan sebelum kita sampai kemari dari London?”
Tawa Matt menyembur. “Nero, sarkastik tak cocok untukmu. Aku minta maaf karena aku sudah membuatmu berpindah tempat lebih sering daripada seharusnya. Tapi kau tahu ini karena apa kan?”
Nero menjadi tak tertarik lagi makan. Dia menurunkan burgernya. “Uh… apa kau belum memaafkannya?”
Untuk sejenak Matt mengerjap. Mereka tak bermaksud membicarakan orang yang ada di dalam kepala Matt kan? Matt nyaris saja meninju dirinya sendiri karena mengungkit-ungkit masalah ini pada saat Natal, dimana seharusnya Nero berbahagia dan bukannya terusik oleh wanita gila seperti Deborah.
“Siapa?” Untunglah Matt mampu membuat suaranya terdengar tenang.
“Deborah.”
Shit! Tangan Matt mencengkram erat gelas kopinya. “Nero, wanita siluman itu—”
“Uh!” Nero memotong.
“Nero, dia tak cocok dibicarakan di saat seperti ini. Sekarang Natal. Kita lupakan dia. Aku minta maaf karena aku yang membuka topik ini.”
“Sejujurnya aku senang Dad membahasnya.”
Matt menatap Nero dengan tak percaya. “Nero, apa kau tahu yang kau bicarakan?”
“Ya aku tahu. Aku tahu semuanya tentang Deborah ini, Dad. Percayalah padaku.” Nero beringsut menjauh, menatap Matt. Matt tak ingin membicarakan ini dengan Nero. Hidupnya sudah cukup buruk tanpa mengingat Deborah, apalagi membicarakannya. “Aku tahu kemampuannya sebagai anak seorang CIA. Aku juga tahu kalau dia bisa menyamar, menghilang, lalu muncul tiba-tiba seperti ninja. Dan aku tahu obsesinya untuk bersamamu. Aku bukan orang yang bodoh untuk tidak mengenal hal itu dengan baik. Dia membunuh nyaris seluruh anggota keluargamu, keluargaku.”
Matt mengerang jengkel, “Aku tak ingin membahasnya!”
“Dad, maafkan dia.”
Butuh satu menit penuh bagi Matt untuk bisa mencerna perkataan Nero. Maafkan dia? Memaafkan Deborah? Yang benar saja! Deborah sudah menghabisi seluruh keluarganya. Dia bahkan belum akan puas jika tidak mendapatkan Nero mati. Dan sekarang Nero menginginkannya untuk dimaafkan? DIMAAFKAN? Dia tak salah dengar kan?
“Apa?” Matt akhirnya berkata dengan suara keheranan, bingung, terkejut dan terlalu terpesona dengan apa yang dikatakan Nero.
“Dad,” Nero mendesah, meletakkan burgernya ke samping tempat duduknya, kemudian memegang tangan Matt. “Aku tahu dengan pasti sesakit apa kehilangan seluruh anggota keluarga. Aku dan kau sama. Kita sama-sama merasakannya. Kita sama-sama melaluinya. Tapi kita tak bisa selamanya terjebak dalam keadaan seperti ini terus. Kita tak mungkin selamanya terjepit oleh perasaan ingin membalas dendam.”
“Nero—”
“Ada yang bilang padaku bahwa memaafkan mungkin tidak mengubah segalanya, tidak membuat kita lupa, tapi akan membuat kita merasa lebih baik,” kata Nero lagi, menggenggam erat tangan Matt. “Aku berusaha mengerti, Dad. Itu sebabnya aku bersedia mengikuti apa kata Psikiaterku walau rasanya tak masuk akal. Itu sebabnya aku memilih untuk memaafkan Deborah atas segala hal yang dia lakukan. Aku berusaha melihatnya dari sudut pandang Deborah.”
“Nero, kau tak masuk akal,” Matt berusaha melepaskan pegangan tangan Nero tapi genggaman tangan Nero begitu erat sehingga sulit baginya untuk menepisnya. “Dengarkan aku, Nak, dan dengarkan aku baik-baik. Wanita ini gila,” katanya, lalu menjilat bibirnya. “Wanita ini bukan hanya membunuh anggota keluarga yang kupunya. Aku nyaris menikah dengannya, Nero. Nyaris. Kau tahu kenapa aku memilih meninggalkannya?”
Nero mengangguk penuh pengertian. “Aku tahu. Dia menggugurkan saudaraku dengan alasan dia masih terlalu muda untuk menikah denganmu.”
Lagi-lagi Matt mengerjap. “Darimana kau tahu?”
“Jacob bukan cuma pelayan dan sahabatmu, Dad. Dia juga Ayah Baptisku.”
Matt mengutuki Jacob dan segala hal yang dia katakan pada Nero. “Apa lagi yang dia katakan padamu? Dasar penghianat!” gerutu Matt.
“Dad,” Suara Nero kembali mengalihkan perhatian Matt. “Maafkan dia.”
“Mungkin kau bisa memaafkannya, Nero. Tapi aku tak bisa. Dia mencoba membunuhmu! Aku tak akan membiarkan hal itu terjadi!”
Nero menutup mata, mungkin mengira dia kerasa kepala. Matt sejujurnya ingin melakukannya. Tapi dia tak bisa. Sialan. Deborah tidak akan mendapatkan maafnya. Sebelum wanita itu mendapatkan hal yang pantas dia terima, Matt tak akan memaafkannya.
“Kalau begitu,” suara Nero tercekat, “maafkan dia untuk hadiah Natalku.”
Matt menganga. “Apa?”
“Kau janji akan memberikan apapun untukku, sekarang buktikan. Maafkan dia.”
Matt mengerjap. Tidak mungkin. Nero tidak mungkin memintanya untuk melakukan itu kan? Matt akan memberikan apapun untuknya. Tapi ini yang paling sulit. Matt tak percaya bahwa Nero akan memintanya melakukan hal yang tersulit dalam hidupnya: memaafkan Deborah.
Demi Tuhan, rasanya lebih sulit daripada mati membeku saat ini juga.
Matt terdiam. Nero serius. Dia ingin Matt memaafkan Deborah. Mata Nero menatapnya lurus-lurus, begitu jernih seperti dirinya, seakan Matt mampu melihat dirinya sendiri di lensa mata Nero.
“Nero,” kata Matt, “kau bisa minta hal lain. Kenapa harus itu? Kenapa tak minta mobil atau rumah atau istana jika perlu?”
“Aku tak butuh itu. Aku sudah cukup dengan apa yang kau beri padaku.”
“Lalu kenapa tak minta kembali ke Indonesia?”
Matt melihat kilatan kecewa di mata Nero dan itu membuat Matt ingin menampar dirinya sendiri. Dia tak bermaksud mengatakan itu.
Nero menutup mata dan menarik napas. Ketika dia membuka kembali matanya, sinar kecewa itu sudah hilang, terganti menjadi tatapan menyejukkan. “Dad, jika kau mampu memaafkan Deborah, hidup tanpa kemarahan dan keinginan untuk balas dendam padanya, juga mampu memaafkannya atas segala hal yang terjadi—atas apa nanti yang mungkin akan terjadi padaku bagiku— tak masalah untuk tidak kembali.”
Matt menggigit bibirnya. “Apa kau tahu yang kau katakan?”
“Niken akan mengerti. Dia tak pernah menghakimiku.” Nero tersenyum lemah. “Dad, dengarkan aku. Ini bukan hanya tentang aku. Ini tentangmu. Kau harus melihat bahwa sebenarnya kau bukan marah pada Deborah. Kau marah pada dirimu sendiri.”
Matt menahan napas. Nero bisa membacanya. Nero tahu apa yang dia rasakan. Benar, dia marah pada Deborah. Benar, selama ini dia ingin Deborah menghilang dari kehidupannya. Benar, dia ingin Deborah merasakan apa yang dia rasakan. Lalu dia sadar bukan itu yang sebenarnya yang terjadi.
Semua ini terjadi karena dia. Karena Matt. Karena Matt mengenalnya. Karena Matt melakukan hal yang buruk pada Deborah. Karena Matt menarik seluruh keluarganya dalam masalahnya. Karena Matt yang menyebabkan keluarganya mati.
“Kau,” kata Matt menyapu rambut Nero, “seperti Ibumu. Kenapa kau harus begitu mirip dengannya?”
“Aku mungkin memang punya wajahmu, Dad, tapi sifatku sifatnya Mother.”
Matt tertawa lemah kemudian memeluk Nero. Dan dia merasakan kekuatan mengalir padanya. Disadurkan oleh Nero ketika Nero menepuk punggungnya sehingga Matt tahu dia bisa melakukannya.
“Akan kulakukan. Aku akan memaafkannya.”
“Sungguh?”
Matt mengangguk. “Meski itu sulit aku akan berusaha.”
Thank you,” kata Nero dan Matt merasa Nero pasti tersenyum.
Seharusnya aku yang berterima kasih, Nero, batin Matt. Kau membuatku sadar bahwa segala hal yang terjadi bukanlah kesalahan siapa-siapa. Ini hanya permainan emosi yang menyangkut nyawa manusia.
Nero melepas pelukannya. Tersenyum puas. “Jam berapa sekarang?”
Matt menggeser mantel di tangannya. “Jam 11. Bagaimana kalau kita jalan dan makan siang?”
Nero mengangguk. “Sebenarnya aku punya kejutan buat Dad.”
“Oh ya?” Matt menaikan alis. “Apa itu?”
Nero memutar bola matanya. “Jika aku bilang bukan kejutan namanya.”
Matt tertawa. Ini aneh. Matt merasa lebih ringan. Lebih hidup. Lebih damai. Selama ini Matt ketakutan mengawasi sekitar dengan paranoid dan dipenuhi kemarahan. Tapi sekarang tidak.
Dia memang belum bisa melupakannya. Tapi dia akan berusaha memaafkan Deborah. Demi Nero.
Melihat Nero melakukan itu untuknya membuat Matt terharu. Nero memang hartanya yang paling berharga.
“Jadi kapan kita mengambil kejutan itu?” Matt bertanya penasaran. Tak sabar. Kejutan apa sih yang disiapkan Nero untuknya?
“Kejutannya tak di sini.” Nero mengambil burgernya dan berdiri. Matt juga ikut berdiri dan mengambil kopinya. Mereka berjalan berdampingan melewati rumput taman yang dipenuhi salju. Matahari sudah mengintip dari balik awan meski udaranya masih dingin. Setidaknya sudah lebih hangat.
“Lalu dimana?”
“Aku tak akan mengatakannya. Itu kan kejutan,” kata Nero meletakkan sisa burgernya ke tong sampah. Matt juga melakukan hal yang sama pada kopinya.
“Lalu bagaimana cara kita ke sana?”
Nero menatapnya dan tersenyum geli. “Tentu saja pakai mobil, Dad.”
“Aaah masuk akal.” Matt mengangguk kecil mengikuti Nero melewati jalan yang mulai dilewati oleh pejalan kaki meski tidak terlalu banyak. “Tapi, Nero,” kata Matt lagi. “Kita tadi tidak bawa mobil.”
“Dad, jika kau tak tahu, ada yang namanya taksi di negeri ini.”
Matt tertawa. “Dan siapa yang akan membayar?”
“Aku. Tentu saja, Dad!” kata Nero jengkel.
“Tsk tsk tsk. Aku tak bawa uang receh.” Matt menghela napas. “Tunggu di sini, aku ambil uang dulu di ATM. Dimana aku bisa menemukan ATM di sini?”
Baik Nero dan Matt menoleh ke sana kemari. Akhirnya Nero menunjuk. “Itu,” katanya menunjuk salah satu kotak kecil yang jaraknya sekitar lima puluh meter dari tempat mereka.
“Tunggu di sini.” Matt berkata.
“Ok,” Nero mengangguk.
Matt menyebrang jalan yang kosong dan berlari menuju ATM. Dia memasukkan kartunya, memencet Pin, dan memasukkan jumlah uang yang dia butuhkan. Dia menoleh ke arah Nero yang menunggu.
Anaknya itu tampak tampan dan begitu mencolok, membuat pejalan kaki menoleh padanya.
Tersenyum, Matt mengambil uangnya dan memasukkan uangnya ke dalam dompet. Dia melangkah meninggalkan kotak ATM, memerhatikan Nero, yang memasukkan kedua tangannya ke dalam saku mantelnya. Nero tersenyum padanya dan Matt balas tersenyum padanya.
Lalu sesuatu terjadi begitu cepat saat sebuah mobil berdecit dengan kecepatan maksimal lalu tergelincir keluar dari jalan dan masuk ke badan jalan. Tepat menuju belakang Nero. Tepat di tempat Nero berdiri.
Nero menoleh ke belakang. Dan—
BRAK
“NERO!”
Matt dengan ngeri melihat putranya mati di depan matanya.
Tubuh di Nero ditabrak oleh sebuah mobil sedan, yang membuatnya berguling naik ke atas atap, lalu jatuh ke jalan dengan tubuh berlumuran darah. Lima meter di tempat Nero tadi berdiri.
Waktu yang begitu cepat. Namun Matt melihat pemandangan itu dalam gerakan lambat yang langsung menghentikan detak jantungnya, napasnya, udara di sekitarnya, bahkan suara di tempatnya.
Nero tak bergerak.
Tidak mungkin. Matt tak memercayai penglihatannya.
Nero... tak mungkin....
“Nero!!”
Matt berlari mendatangi Nero dan seketika itu pula seluruh bumi kembali bergerak. Teriakan panik dan histeris bermunculan dengan adanya suara gumaman. Decitan mobil terdengar di sana sini begitu Matt menerjang jalan tanpa menghiraukan sekitarnya. Kepanikan menjalar di setiap tetes darahnya. Dan dia tak peduli dengan dirinya asalkan Nero baik-baik saja. Asalkan Nero hidup.
Matt berhasil mencapai Nero dan berlutut di samping putranya. “Nero... Nero...”
Suara Matt bergetar melihat Nero tidak bergerak tapi matanya masih terbuka hanya saja tidak memandang kemana-mana.
“Nero... Nak... Nero.” Matt menepuk-nepuk pipinya. Tangan Matt gemetar. “Tidak boleh. Kau tak boleh mati.”
“Apa yang terjadi?”
“Kecelakaan?”
“Telepon ambulan. Mana ambulan?”
“Ambulan akan datang.”
Matt tak mendengarkan mereka. Dia tak peduli dirinya menjadi perhatian atau dikerumuni. Dia hanya ingin memastikan bahwa Nero baik-baik saja. Dia menarik Nero ke pangkuannya dengan hati-hati. Nero tidak meresponnya. Tapi Matt masih bisa merasakan hembusan napasnya yang tersendat-sendat dalam usahanya menarik napas.
“Nero... kau tak boleh mati. Kau dengar aku? Kau tak boleh mati. Aku tak akan mengijinkanmu.” Matt bergumam, ketakutan.
Nero terbatuk kecil dan darah mengalir keluar dari mulutnya, membasahi syalnya, mengalir turun ke atas salju.
Matt semakin ketakutan. Nero berdarah. Tak mungkin. Tak boleh.
“Nero... Nero...”
Air mata bergulir ke pipinya. “Kumohon padamu bertahanlah... Nero...” isaknya. “Jangan tinggalkan aku. Kumohon jangan tinggalkan aku.”
“Matt!” Seseorang berbicara di sampingnya. “Matt, kita harus membawa Nero ke rumah sakit.”
Matt menoleh kesekeliling, ke pagar manusia yang menonton dan tak melakukan apa-apa. Lalu akhirnya melihat Jacob.
“Jacob...”
“Aku sudah menghentikan taksi. Ayo, bawa dia. Pelan pelan. Hati hati pada lehernya. Kita harus memindahkannya pelan-pelan.” Jacob mengambil tangan Nero.
Matt mengangguk dalam diam saat mendengar suara tawa yang membuat bulu kuduknya berdiri.
“Hahaha. Akhirnya! Mati kau sekarang!”
Suara itu suara iblis. Si dewa kematian. Yang muncul dalam wujud wanita berambut emas bernama Deborah. Dan Wanita itu keluar dari mobil sedan yang menabrak Nero. Matt seakan tak bernyawa.
“Deborah..”. desah Matt tak percaya. “Jadi... jadi yang menabrak Nero...”
“Aku,” kata wanita itu tampak puas. Dia menatap Nero dalam pelukan Matt yang tak berdaya. Wanita itu tersenyum puas. “Sekarang tak ada lagi halangan.”
“Apa maksudmu?” Matt menahan napas.
Wajah Deborah melunak, memberikan tatapan penuh cinta padanya. “Sekarang kita bisa bersatu, Matt. Kita tak punya lagi penganggu seperti Nero. Aku bisa memberikanmu anak sebanyak yang kau mau. Tidak ada lagi bayang-bayang Theressa. Wanita itu tak akan lagi masuk ke dalam kehidupanmu. Aku sudah menghapus semua ikatanmu terhadapnya. Kita bisa berbahagia sekarang membentuk keluarga. Aku yakin...”
Wanita ini gila. Matt tahu betul itu. Nero sudah melalukan kesalahan besar dengan memaafkannya. Matt sudah melakukan kesalahan besar karena mencoba memaafkannya. Matt memeluk Nero dengan tangan gemetar, mengangkatnya dengan mudah. “Dimana taksinya, Jacob?”
“Di sana.” Jacob menunjuk ke belakang.
“Matt! Kau mau pergi kemana?” Deborah menjerit.
Matt tidak mendengarkan dan memilih berlari menuju taksi yang berhenti di tengah jalan dan dikerumuni oleh orang-orang yang ingin tahu.
“Matt kau tak boleh pergi! Aku ada di sini! Harusnya kau memilihku! Aku sudah membantumu! Aku sudah menghapus ikatan pada setiap orang yang mencoba mengambilmu dariku! Kau milikku Matt!” Deborak berteriak lagi. Suaranya mendekat di belakang Matt membuat Matt ingin menerjangnya dan membunuhnya dengan tangannya sendiri. Saat ini juga.
Dad, maafkan dia...
Matt berusaha tak mendengarkan iblis yang berbisik padanya. Nero butuh ke rumah sakit. Dia berjalan maju. Supir taksi membuka pintu. Dia menunduk. Memasukan Nero terlebih dahulu dengan hati-hati.
“Matt, tak seorang pun boleh memilikimu, kecuali aku! Tidak wanita jalang itu dan tidak pula wanita simpananmu!” Deborah menjerit lagi berjalan menuju Matt. Wajahnya begitu murka.
Matt berhenti bergerak. Dahinya berdenyut berbahaya.
“Begitu, Matt,” kata Deborah saat Matt akhirnya menyadari keberadaannya. Suaranya melunak penuh cinta. “Benar. Akulah kebahagiaanmu. Datanglah kemari, tinggalkan Nero dan sambut aku. Aku akan membahagiakanmu selamanya.”
Matt menoleh perlahan dan berteriak pada Jacob. “Jacob, hubungi Nathan dan katakan kalau Nero akan tiba di rumah sakit!”
“Matt...” Deborah menatap Matt dengan shock. “Matt, aku ada di sini. Kau tak boleh mengacuhkan aku. Matt!!”
Matt menatap Deborah dengan benci dan kemarahan. “Apa kau puas sekarang?”
“Matt...” Deborah mendesah tak percaya. “Aku melakukannya untukmu.”
“Menurutmu begitu?” Matt menggeram. “Aku menyesal mengenalmu. Aku menyesal menjalin hubungan denganmu. Aku menyesal karena pernah mencintaimu.”
“Matt!” Deborah murka. “Semua yang kulakukan ini untukmu! Aku melakukannya agar segala hal yang mengikatmu hilang! Kita bisa membangunnya kembali bersama-sama!”
“Enyah dari hidupku! Enyah dari pandanganku!” Matt merasakan rahangnya mengeras. “Aku tak ingin melihatmu lagi. Pergi dari hidupku. Jika kau berani muncul aku akan membunuhmu dengan tanganku sendiri! Jika putraku mati seperti yang kau lakukan pada calon putriku aku akan membunuhmu! Camkan itu Deborah! Kau bukan dan tak akan pernah menjadi bagian dari hidupku!”
Matt masuk ke dalam taksi, membanting pintu taksi. Deborah menggedor jendelanya.
“Matt! Kau tak boleh melakukan ini padaku! Aku melakukannya untukmu. Apa kau tak mengerti? Matt jangan pergi! Kembali!!! Matt!! Matt!!!”
Tapi Matt bahkan tak menoleh atau meresponnya saat taksi meluncur turun dengan kecepatan mengerikan menuju rumah sakit.
“Nero...” Matt terisak saat Nero kembali terbatuk dan berdarah lagi. “Nero... bertahanlah. Aku mohon padamu. Nero... kau mendengarku kan?”
Nero merintih. Entah itu karena dia mendengar suara Matt atau karena menahan kesakitan.
“Nero. Maafkan aku, Nero. Aku tak bisa menjagamu. Harusnya aku yang ada di posisimu. Nero... Nero...”
Darah keluar lagi dari mulut putranya. Lebih banyak dari yang pertama. Berwarna merah kental yang meluncur turun menodai pakaiannya. Matt membeku.
Dan ketakutan.
Pendarahan. Matt bisa menduganya. Ada organ dalam Nero yang terluka. Kemungkinan besar ada juga tulang yang patah.
Beberapa menit lalu Nero masih tersenyum padanya. Sepuluh menit lalu Nero memintanya untuk memaafkannya. Dan sekarang inilah yang dilakukan wanita itu pada Nero.
“Kenapa lama sekali?” Matt meraung pada si supir taksi. “Cepat sedikit! Anakku sekarat!”
Ada suara dari dasar tenggorokan Nero. Suaranya tersedat. Tapi yang pasti dia mulai kesulitan bernapas.
“Nero...” Matt panik sekarang. “Nero, bertahanlah. Nak! Aku tak suka candaanmu ini! Apa kau ingin membuatku terkena serangan jantung?”
Butiran air kata kembali turun. Menggenangi mata Matt lalu jatuh ke pipi Nero. Yang sedang berusaha untuk hidup. Yang sedang berjuang sekuat tenaga untuk menarik napas. Yang sedang tak bisa bergerak sambil menahan kesakitan di tubuhnya.
Tapi Matt bisa merasakan semuanya.
“Nero... Nero!!”
Sinar di mata Nero meredup.
“Tidak...” gumam Matt ketakutan, menepuk pipi Nero. “No... no.... please... Nero...”
We‘re here.
Taksi berhenti di depan rumah sakit mewah berwarna putih besar. Di depan pintu masuk dekat UGD sudah berdiri Nathan dengan staf rumah sakit. Matt belum lega. Nero tidak lagi terbatuk. Tapi dia juga tak merespon.
“Nathan!” Suara Matt gemetar.
Nathan tidak mengatakan apa-apa. Dengan cepat dua orang tim paramedis segera beraksi. Mereka masuk ke dalam mobil. Mengambil Nero dari pelukannya. Membawa Nero dengan cepat hati-hati bahkan tanpa menggerakan otot Nero sesentipun dan meletakannya ke brankar.
Tim yang lain segera bertindak cepat. Mereka memakaikan tabung oksigen pada Nero. Yang lainnya menghitung tekanan darahnya. Sementara sisa yang lain menancapkan infus dan persediaan darah.
“Nathan,” kata Matt saat Nathan dan timnya mendorong brankar menuju ruang Instalasi Gawat Darurat.
“Matt, berdoalah,” kata Nathan begitu mereka tiba di depan pintu.
“Selamatkan dia. Selamat Nero. Aku mohon padamu.”
Nathan menatapnya dengan prihatin. “Aku akan berusaha semampuku. Tapi aku bukan Tuhan.”
Dan dengan begitu Nathan masuk ke dalam ruangan. Mendorong pintu dengan kedua tangannya. Matt hanya mampu melihat pintu mengayun tertutup di belakang punggung Nathan.
“Nero...” Matt melihat kedua tangannya yang berlumuran darah. Darah Nero. Putranya. Darah dagingnya. Yang dengan sekuat tenaga berusaha dia lindungi selama ini tapi tak berhasil.
Jika terjadi sesuatu pada Nero Matt tak akan mampu memaafkan diri sendiri.
***The Flower Boy Next Door***