Senin, 26 Agustus 2013

ILUMRG == 15 ==



15
Boyfriend


CODY(POV)
Udara malam akhir musim panas menyegarkan wajahku dan membuatku fokus untuk sementara. Begitu banyak kejadian yang terjadi hari ini dan aku nyaris gila karenanya.
Kakiku melangkah pelan melewati trotoar di antara bangunan-bangunan tinggi yang sudah tutup tapi cahaya temaramnya sedikit menyinari kegelapan. Kesendirian seperti ini terasa sangat nikmat. Sudah lama aku tak pernah jalan-jalan sendirian di jalanan seperti ini dan saat tengah malam pula—saat ini jam 1 malam—sejak aku memutuskan untuk angkat kaki dari rumah.
Bibirku tersenyum kecil mengingat memori itu.
Biasanya setiap awal bulan, aku dan Remi akan berkencan tengah malam. Dia akan membangunkanku tiba-tiba setelah memanjat jendela kamarku, menyuruhku bersiap, lalu kami akan kabur dengan motor ke pantai atau danau, lalu main sampai puas berdua—jika menurut kalian saling tinju, saling dorong ke air, saling tendang, dan bergulat bisa dikatakan bermain. Tapi kami kan saat itu masih muda dan kami sangat bebas.
Kencanku dengan Remi tak boleh diganggu-gugat bahkan oleh Aroz sekalipun.
“Aku hanya ingin menghabiskan waktu satu hari dalam sebulan bersama sahabatku. Apa aku berlebihan?” Remi akan protes begitu tiap kali aku susah bangun dari tempat tidurku dan malah menarik selimutku lebih tinggi.
Itu sangat menyenangkan.
Desahan napasku terdengar menyedihkan. Aku memilih duduk di pinggir jalan di dekat salah satu lampu jalan. Kedua tanganku masuk ke dalam kantung mantelku. Mantel yang dibuat Keyna dan diberikannya untukku.
Sekali lagi aku tersenyum, tersentuh dengan perhatian Keyna. Aku sangat menyukai mantel buatannya. Mungkin mantel ini jadi satu-satunya benda favoritku. Tapi, mengingat apa yang kukatakan pada Keyna membuatku mendesah lagi.
Aku merasa bersalah.
Dan sendirian di tempat seperti ini sangat menyedihkan.
Telepon aku...
Aku mengerjap. Tanganku memegang kertas yang terselip dalam mantelku.
Nomor telepon Aroz.
Telepon aku...
Suara Aroz semakin terdengar. Aku menggigit bibir. Ini sudah tengah malam. Jam satu lewat. Apakah tak apa-apa mengganggunya tengah malam begini? Kutatap kertas di tanganku. Suara Aroz yang berkata “Telepon aku” semakin menjadi-jadi.
Telepon aku...
Jika dia tak mengangkatnya, berarti dia sedang tidur.
Ragu-ragu, pada akhirnya kukeluarkan ponselku dan menekan tombol-tombol itu. Aku semakin ragu saat menekan tombol Dial dan meletakkan ponselku ke telinga, menunggu lama sekali bunyi “tut” di seberang.
Dia sedang tidur. Aku tak seharusnya mengganggunya.
Begitu kuturunkan ponselku, aku mendengar suara di seberang.
“Halo?”
Untuk sejenak, aku tak bisa bicara. Jantungku seakan diremas. Udara dingin di paru-paruku seakan tersedot keluar. Tubuhku tak memiliki roh. Untunglah saat ini aku sedang duduk, jika tidak aku yakin kakiku gemetar.
“Halo? Siapa ini?”
Selama tujuh tahun aku tak lagi mendengar suaranya di telepon. Suaranya yang lembut, serak dan berbisik. Dan aku diliputi rasa bersalah pada Keyna lagi karena aku sangat merindukan suara ini.
“Halo? Halo? Kau bisa mendengarku?”
Aku tak bicara, hanya menahan napas. Masa lalu itu kembali menyakitiku.
“Cody?”
Kali ini aku benar-benar tak bergerak. Dari mana dia tahu?
“Cody,” suara Aroz melembut. “Aku senang kau meneleponku. Apa kau baik-baik saja?”
Sama seperti Remi, Aroz mengenalku dengan baik. Walau dengan suara asing sekalipun, mereka bisa mengetahui itu aku. Meski aku tak berbicara atau mengucapkan apapun, mereka akan tahu itu aku. Walau aku sejauh apapun, mereka tetap akan tahu apa aku baik-baik saja atau tidak.
“Hai, Aroz,” kataku pada akhirnya. “Maaf aku mengganggumu. Apa kau sedang tidur?”

Terdengar suara patahan dan grasak-grusuk di seberang. Aroz mendesah tak lama kemudian. “Nyaris. Aku bertanya-tanya kapan kau akan meneleponku.”
Aku membasahi bibirku. “Aku—”
“Cody, aku ingin bertemu denganmu.”
“Apa? Aroz, ini sudah malam.”
“Aku tak peduli,” suaranya gemetar. “Aku tak sempat mengucapkan kata perpisahan. Aku tak bisa melihatmu. Aku merindukanmu selama 7 tahun. Aku patah hati selama 7 tahun. Aku menderita selama 7 tahun. Dan kali ini aku bisa melihatmu. Aku senang sekali sampai rasanya aku ingin meledak.”
“Aroz—”
“Kumohon,” suaranya bergetar dan menyayat hati, sehingga aku tahu bahwa dia sedang menangis di sana. “Setidaknya aku bisa melihatmu sekali lagi, bila kau bermaksud menyelesaikan segalanya, karena aku tahu, Cody, bahwa kau... bahwa kau sudah melupakanku.” Suaranya berbisik sehingga aku nyaris tak mendengarnya.
“Aroz...”
“Aku janji tak akan memaksamu untuk tetap tinggal, Cody.”
Aku menahan napas. Sekali lagi aku merasakan beban berat di bahuku, menusuk paru-paruku sampai rasanya sesak sekali.
Fine,” gumamku. “Dimana?”

***

Tidak butuh lama bagi untukku sampai di lokasi yang ditunjuk Aroz. Tempat itu sebuah taman yang menghadap ke danau, dengan jalan setapak untuk mencapai ke sana. Pohon-pohon tinggi dan ramping berdiri di sekitar danau. Kegelapan nyaris memenuhi seluruh tempat dengan kabut menggantung rendah.
Mataku menyusuri lokasi. Tidak ada siapapun. Tapi di salah satu kursi yang menghadap ke danau, aku melihat ada bayangan seseorang yang duduk di sana.
Aroz.
Hanya siluet tapi aku sangat mengenalnya.
Kakiku melangkah. Sepatu bootku menginjak rumput basah dengan bunyi gemersik yang membuat Aroz menoleh ke arahku. Pria itu menegang sejenak, tapi akhirnya kembali tenang dan tersenyum padaku begitu mengetahui bahwa aku yang mendatanginya, bukan orang lain.
Aku balas tersenyum padanya ketika berhasil sampai di dekatnya.
Malam ini, dia mengenakkan mantel berwarna abu-abu ramping dengan tudung menutupi kepalanya, membuat wajahnya tampak lebih kecil. Di hidungnya ada kacamata perak. Kedua tangannya memegang kotak abu-abu kecil.
“Hai,” sapanya setelah kami bertatapan selama sepuluh detik dalam diam.
“Hai,” balasku pelan.
“Duduklah,” katanya, bergeser sedikit dari kursi kayu. Aku mengangguk dan duduk di sampingnya.
Lagi-lagi kami tak berbicara. Aku cuma menatap lurus pemandangan danau di depanku, dimana airnya berkilau seperti berlian. Dari sampingku Aroz terus-terusan menatapku. Aku tak terganggu. Aroz punya kemampuan untuk membaca kondisi. Dan aku tahu dia sedang mempersiapkan dirinya untuk kemungkinan terburuk.
“Aku tak tahu kalau kau mengenakkan kacamata,” kataku tiba-tiba.
Aroz mengerjap, lalu tersenyum kecil. “Mataku mulai bermasalah sejak aku kembali ke Italy.”
“Kau tampak sehat,” kataku mengamatinya. “Juga banyak berubah.” Dia masih menjaga senyumnya. “Kau lebih tenang sekarang.”
“Aku belajar darimu, Cody,” katanya mengalihkan pandangannya ke danau. “Tak selamanya kau ada di sampingku. Aku tak mungkin terus-terusan di belakang punggungmu.”
Aku tersenyum. “Benar. Keadaan sudah berubah. Kita bertambah dewasa. Kita bukan anak-anak lagi.”
Aroz mengangguk. Dia menggigit bibir bawahnya dengan ragu. Aku membiarkannya mengambil waktunya untuk mengatakan sesuatu yang menjadi perang batin baginya.
“Dua bulan setelah aku di Italy, aku mencoba menghubungi rumahmu.”
Mengejutkan. Aroz benar-benar berubah sehingga dia mampu mengangkat topik ini. Aku nyaris tak bisa bernapas. Tapi aku memilih untuk diam. Aroz harus menyelesaikan seluruh ceritanya. Dia berhak mengeluarkan seluruh isi hatinya selama ini—apa yang terjadi selama ini.
“Setiap kali meneleponmu, kau tak pernah menjawab. Kemudian aku mengirim surat untukmu, hanya saja kau tak pernah membalas,” katanya.
“Aku sudah tak tinggal di sana lagi.”
“Aku tahu. Jeremiah bilang begitu di suratnya.” Dia berhenti sejenak. “Rupanya Jeremiah tak sengaja pernah melihat surat-suratku, yang katanya dibakar oleh orang tuamu.”
Tanganku mengepal.
“Cody,” katanya lembut, memegang tanganku, “mereka orang tuamu. Aku bisa mengerti.”
Karena matanya menunjukkan kejujuran, maka amarah yang tadi sempat keluar kini reda.
“Kita sama-sama tahu kalau kita tak punya kesempatan,” lanjutnya. “Tapi aku tak menyesal. Aku menyayangi orang tuaku. Orang tuamu juga. Walau mereka sudah memerlakukan kita dengan sangat buruk, itu tugas mereka melarang kita melakukan hal yang menurut masyarakat tak benar.” Dia meremas tanganku. Matanya berkaca-kaca. Tapi tetap saja bibirnya tersenyum.
Mau tak mau aku juga tersenyum. Menepuk tangannya. Tidak mengatakan apa-apa.
“Sekarang kita punya dunia yang berbeda,” katanya bergetar. Kepalanya menunduk, menatap tangan kami. “Meski tidak mulus. Aku harus mengakui bahwa aku senang pernah mengenalmu.”
“Aroz,” kataku pelan, “kita tetap bisa berteman.”
“Aku tahu,” akhirnya air matanya jatuh. Dia menunduk. Bahunya gemetar. Tapi aku tak akan memeluknya. Aroz juga tahu kalau dia tak punya hak untuk bersandar. Dia seorang pria. Aku tak berhak mengasihaninya. Dan Aroz tak perlu dikasihani. Dia sudah sangat kuat selama 7 tahun ini tanpa aku. Aku hanya akan mematahkan keteguhannya untuk mengucapkan selamat tinggal.
“Menyedihkan,” gumamnya. “Aku janji pada diriku sendiri untuk tak menangis.”
“Jangan khawatir. Aku tak akan menggosip kemana-mana.”
Aroz tertawa kecil. Setelah puas menangis, dia mengangkat kepalanya, menyerahkan kotak itu padaku.
“Untukmu.”
Dahiku mengerut. Kubuka kotak itu dan menemukan tumpukan roti kering dengan bentuk mobil berbagai jenis di sana. Aku tertawa kecil.
“Kau pernah protes kenapa tak ada cookies berbentuk mobil,” katanya dan dia ikut tertawa. “Siapa yang menyangka bahwa kepala geng bermotor berpikir begitu?”
“Aku Ketua Geng paling Unik sejagat raya.”
Aroz tertawa lagi, meninju pelan lenganku. Dahinya mengerut. “Kau masih ikut kick boxing?” Aku mengangguk. “Pantas saja.”
“Memangnya kenapa?”
“Lenganmu...” dia berhenti dan mengalihkan pembicaraan. “Wanita yang tadi sore cantik. Pacarmu?”
“Bukan. Dia model pacarku.”
Matanya menyipit curiga. “Cody, kau tak tertular virusnya Jeremiah kan?”
Aku meringis. “Wanita itu menciumku tanpa kuduga.”
“Dia naksir padamu.”
“Mungkin,” aku menaikan bahu dengan tak peduli.
“Kalau begitu, sebelum kau pulang, kau harus memperkenalkan pacarmu padaku,” katanya dan mendorong bahuku dengan bahunya. “Ok?”
“Kami akan menghabiskan seluruh kue yang kau punya.”
Aroz tersenyum lebar. “Aku tak keberatan.”
“Akan kuusahakan.”
Kami masih mengobrol setidaknya selama lima belas menit lagi kemudian aku mengantarnya pulang, ke bangunan tingkat dua yang dekat sekali dengan toko kue miliknya.
“Terimakasih sudah mengantar, Cody,” katanya. “Ingat. Kau harus membawa pacarmu mampir sebelum pulang.”
Aku mengangguk.
Aroz menatapku selama sedetik sebelum, akhirnya, memelukku, menyandarkan kepalanya ke dadaku, dan kedua tangannya melingkar di pinggangku.
Tiba-tiba, seluruh kenangan saat kami bersama selama lima tahun teringat. Saat dimana aku bertemu dengannya. Ketika dia menyatakan perasaan. Ekspresi wajahnya ketika memintanya jadi pacarku. Orang yang pertama kali memperkenalkan padaku cinta pertama. Orang yang pertama kali kubagi apa itu kencan pertama, ciuman pertama, bahkan malam pertama.
Tubuh yang dulu begitu kecil saat kupeluk, kulindungi dengan sangat protektif, halus dan lembut nyaris seperti wanita, juga sangat kecil, kini sedikit lebih tegar dan lebih kuat untuk menjaga dirinya sendiri.
Aroz melepas pelukannya tersenyum. “Addio, Amore Mio.” Lalu dia naik ke kamarnya, tidak berbalik lagi.
Goodbye, First Love,” gumamku.
Sekarang kami bisa menapaki masa depan.
Sekarang aku lega.
Aku bisa berkonsentrasi menjadi hetero, menjadi kekasih Keyna, bersama Keyna.
Dan tak ada yang lebih penting bagiku sekarang selain membahagiakan Keyna.
Begitu sampai di kamar hotel, Keyna masih tidur. Aku segera naik ke atas tempat tidur.
Keyna membuka matanya sedikit. “Kau dari mana?” gumamnya.
Aku cuma tersenyum, menarik tubuhnya perlahan untuk kupeluk. Keyna tersenyum dan kembali tertidur lelap saat aku mencium dahinya.
“Keyna, aku mencintaimu,” gumamku dan tertidur di sampingnya.

***

KEYNA(POV)
Aku bangun dengan melihat Cody di sampingku, tertidur pulas sambil memelukku seperti seorang anak kecil yang polos. Kamarin malam dia tampak menyebalkan, tapi sekarang aku luluh hanya melihat wajahnya. Sudah beberapa kali aku melihat Cody setiap pagi, tapi tetap saja aku belum terbiasa, karena aku selalu diliputi kebahagiaan menemukan orang yang kucintai ada di sampingku.
Cody masih mengenakan pakaian lengkap saat aku bergerak sedikit dari tempat tidur. Mantelnya ada di sofa.
Dahiku mengerut. Apa dia keluar semalam?
Memulai pagiku, aku segera ke kamar mandi dan mandi sampai bersih, mengenakan pakaian sederhana yang kasual dan santai. Cody masih saja tidur. Sebenarnya, jam berapa dia tidur kemarin? Aku bertanya-tanya dalam hati.
Hanya saja aku memilih membiarkannya tidur pulas. Lagipula Cody tak akan mengijinkanku mengendarai mobil bila dia dalam keadaan sadar. Dia butuh istirahat. Selagi Cody tidur, aku membereskan baju-baju kami dan mengepaknya dalam koper.
Cody terbangun begitu aku menyingkirkan gorden dan cahaya matahari masuk tepat menyinari wajahnya.
“Uuuh!” Dia menggerung. “Aku benci matahari pagi,” gumamnya.
Ok, jadi aku belajar satu hal mengenai Cody bahwa dia bukanlah manusia pagi hari.
“Selamat pagi,” sapaku begitu Cody membuka matanya perlahan. Dia mengusap wajahnya dengan kedua tangannya dan bergumam “Pagi” dengan suara serak.
“Kau harus bangun lalu kita bisa sarapan dan pulang.”
Cody mengangguk, meregangkan tubuhnya, dan menyingkirkan selimut.
“Aku sudah membereskan kopermu. Bajumu juga sudah kusiapkan. Aku—kenapa?” Aku mengerjap kaget dan gugup melihat Cody memelukku dari belakang. Ini tak biasa.
“Aku mencintaimu,” bisik Cody, kemudian mencium pipiku.
Wajahku bersemu merah. “Sungguh?”
“Ya.”
“Kau sudah melupakan mantanmu?”
Cody menciumku lagi. “Saat ini kau duniaku,” katanya dan hatiku diluputi oleh bunga-bunga kebahagiaan yang nyaris meledak di dadaku.
“Thomson benar,” kataku tersenyum padanya. Alisnya menaik curiga. “Bahwa kau puitis.”
Cody tersenyum. Sebuah senyuman yang nyaris sama dengan senyuman Janson yang licik. Bedanya—karena ini Cody—dia jadi jauh jauuuuuuh lebih sexy.
“Apa boleh buat,” katanya parau di dekat telingaku. “Aku bersama calon isteriku yang cantik jelita.”
Perutku dipenuhi dengan sensasi aneh yang sangat membahagiakan. Tubuhku menggigil merasakan suaranya yang berada di dekat telingaku dan suara desahan napasnya di dekat leherku. Aku mencintai pria ini sampai-sampai tak peduli pada apa yang dia lakukan.
Room service.”
Terdengar ketukan pintu yang membuat Cody melepas pelukannya.
“Biar aku saja,” kataku menangkap lengannya. “Itu cuma sarapan. Kau mandi saja dulu.”
“Ok.” Cody mengangguk kemudian masuk ke kamar mandi sementara aku membuka pintu, membiarkan seorang pelayan berseragam mendorong troli masuk ke dalam kamar.
“Selamat pagi, Nona,” kata pelayan itu membuka hidangannya, kemudian meletakkan makanan yang dia bawa ke atas meja. Aku memilih untuk memasukkan baju-baju Cody. Kemudian pelayan itu permisi dan Cody keluar dari kamar mandi, mengenakkan kaos abu-abu berkerah biru, dan berjaket merah, yang dipadu dengan celana senada dengan kaosnya.
“Sarapan sudah datang,” kataku mengambil handuk di tangannya dan melipatnya.
“Kau pesan apa?”
Waffles dan pancake. Biasanya kau makan apa saat sarapan?” Sambil mengancing kopernya, aku duduk di samping Cody dan memberikan piringku padanya.
“Telur setengah matang. Kadang roti. Aku juga makan sosis.”
“Hmmm. Dan apa favoritmu?”
“Aku suka yang dimasak. Lebih enak.”
“Ok. Kalau begitu aku akan selalu masak sarapan untukmu.”
“Aku tak sabar menunggu.”
Kami akhirnya sarapan. Cody makan pancakenya kadang aku ikut mengambil potongannya dan dia mengambil waflesku juga. Kami mengobrol tentang keadaan sehari-hari, mengacuhkan membahas soal Janson dan Kim—lagipula siapa ingin yang membahas mereka? Merusak suasana saja—dan lebih banyak membahas soal kami.
“Kapan aku bisa bertemu orang tuamu?” tanyaku.
Cody berhenti mengunyah, mengerutkan dahi. Aku curiga dia sama sekali tak ingat dengan apa yang dia katakan malam itu.
“Kau lupa,” kataku datar. Tak bisa dipercaya.
“Tapi aku ingin bertemu orang tuamu dulu,” kata Cody. “Baru orang tuaku.”
“Aku ingin bertemu orang tuamu dulu.”
Cody meletakkan garpunya. “Orang tuaku akan menyukaimu. Kau tenang saja. Adik-adikku juga. Itu sudah pasti.”
“Kau punya adik?”
“Ya.” Dia mengangguk. “Tiga orang. Si kembar Kynth dan Kyler. Lalu si bungsu Kaela. Bagaimana denganmu?”
“Aku punya beberapa kakak laki-laki. Mama sangat menyenangkan. Dia orang yang ceria. Masalahnya mungkin ada pada Papa dan Chris.” Cody tidak memotongku jadi aku melanjutkan. “Mereka sedikit protektif.”
“Seperti?”
“Uuuh.” Aku tak ingin mengatakannya. Tidak, yang benar itu, aku tak bisa mengatakannya. Bagaimana aku bisa mengatakan hal memalukan yang selalu terjadi di rumahku tiap kali aku membawa pria ke rumah? Setiap aku datang membawa pacarku atau teman laki-lakiku, mereka akan memberikan tatapan menusuk dan kata-kata tak berperikemanusiaan.
Chris pernah meninju pacar pertamaku saat kami tak sengaja berciuman di depan pintu rumah. Dia juga pernah mengerjai setiap pacarku dengan obat sakit perut agar mereka pulang. Atau dengan sengaja ikut kencan dan merusak acara kencanku.
Lebih parah dari Chris, Papaku hanya perlu berdiri di depan pintu tiap kali pacarku mampir, berbicara dengan nada dalam sambil memelototi mereka. Aura otoritas menggantung di sekitarnya—yang mampu membuat Hitler menangis—dan sudah pasti tak ada satupun pria yang mampu lewat dari ambang pintu bila dia berjaga di sana. Papaku seorang hearder berukuran manusia.
Aku tak ingin Cody mengalaminya.
“Kenapa?” Cody bertanya keheranan.
“Aku ingin bertemu orang tuamu dulu.”
“Tidak, Keyna,” kata Cody tegas. “Aku ingin bertemu orang tuamu dulu. Kenapa kau takut begitu?”
Aku menggigit bibir. “Papaku dan Kakakku sangat protektif.”
Cody tersenyum menenangkan. “Kau tenang saja. Aku bisa mengatasinya.”
Melihat senyuman Cody membuatku tenang dan yakin padanya. Dia Cody. Aku mengingatkan diri. Dia pria yang melindungiku. Pria yang melamarku. Pria yang akan menjadi suamiku. Bila aku tak memercayainya, siapa lagi?
“Ok,” aku mengangguk. “Akan kuberitahu keluargaku kalau calon suamiku mau datang.”
“Bagus. Oh ya, sebelum pulang, kau tak keberatan kita mampir ke Aroz Bread? Teman lamaku ingin bertemu denganmu.”
“Aku tak keberatan.”
Kami menghabiskan makanan kami lalu mengambil koper dan turun ke bawah untuk check out. Cody tak mengijinkanku membawa tasku. Dengan enteng dia mengangkat tasku lalu membayar—benar-benar tak memedulikan panggilan Janson dan Kim.
“Aku tak ingin bertemu mereka di pagiku yang berharga,” kata Cody setelah kami masuk ke dalam mobil.
“Kau beruntung tak bertemu mereka setiap hari.”
“Aku beruntung mereka tak selalu membuat alasan agar aku mau menemui mereka.”
Aku tertawa kecil. Mobil kami keluar dari basement. Hanya butuh lima menit, mobil kami sudah berhenti dan memarkirkan diri di depan Aroz Bread yang cantik apik dan lezat.
Cody membukakan pintu bagiku saat aku masuk dan seorang pelayan menyapa Cody.
“Cody,” katanya, “kau datang lagi. Siapa ini?”
“Liam, dimana Aroz?”
“Dia ada di dapur. Tunggu sebentar,” kata Liam, kemudian melangkah ke dapur.
Aku melihat sekelilingku. Tempat ini luar biasa. Kue-kue berbagai bentuk terlihat menggoda dan bersinar berkat pencahayaan yang pas. Kursi dan meja ditata dengan sangat rapi. Aroma kue, coklat, pandan, karamel dan berbagai jenis lainnya, menguap lembut, membuatku kembali lapar.
Ini tempat paling sederhana sekaligus paling indah yang pernah kutemui.
“Cody,” sebuah suara lembut membuatku mengalihkan pandangan. “Kau benar-benar datang.”
“Aku harus datang karena kau memaksaku dan karena aku sudah janji,” balas Cody.
Pria itu tertawa dan aku terkejut melihat betapa cantiknya dia. Wajahnya mungil dengan lesung pipi menawan, manis sekali saat tersenyum, bibirnya penuh berwarna merah muda. Rambutnya hitam kecoklatan, sedikit melingkar di belakang telinganya. Topi kokinya terletak miring di kepalanya. Rupanya selain wajahnya, bentuk tubuhnya juga menunjang sisi feminimnya. Dia punya pinggang yang ramping. Kaki yang panjang dan kurus. Bahunya kecil dengan dada rata yang membuatku yakin dia bukan wanita. Dia tidak setinggi Cody dan justru terlihat mungil di antara Cody dan Liam.
Entah kenapa aku merasa bahwa mereka memiliki hubungan yang lebih dari sekadar teman apalagi saat Aroz menepuk-nepuk bahu Cody dengan akrab dan berkata, “Jadi, mana kekasihmu itu?”
Matanya melihatku dan aku terkesan betapa indahnya mata itu. Begitu jernih, begitu besar, begitu jujur, seperti sebuah boneka manekin bermata indah, atau mata seekor anak anjing menggemaskan.
Pria itu tampak begitu murni.
“Keyna,” kata Cody menggandeng tanganku. “Ini Aroz, pemilik sekaligus Baker tempat ini. Dan Aroz, ini Keyna. Tunanganku.”
“Halo,” kata Aroz, mengulurkan tangannya. “Namaku Aroz Milligan.”
“Keyna,” kataku menjabat tangannya yang sehalus tangan bayi.
“Dia cantik. Kalian serasi,” kata Aroz pada Cody, menyodok pelan perut Cody. “Kau benar-benar beruntung.”
“Aku tahu,” kata Cody.
“Baiklah, karena kalian sudah repot-repot kemari, kau boleh memilih kue di sini dengan gratis,” Aroz menggandeng tanganku, membawaku ke lemari-lemari pajangan. “Cody, kau bisa membeli untuk Jeremiah.”
Cody mengangguk dan berlalu ke pajangan lain.
“Aku punya beberapa jenis kue manis. Ada juga yang rasa buah. Yang populer akhir-akhir ini adalah coklat. Apa favoritmu, Keyna?”
“Aku suka karamel,” kataku cepat, sedikit tidak nyaman dengan sikap akrabnya.
“Karamel? Ok. Aku punya beberapa jenis kue karamel.” Dia menunjuk beberapa. Aku mengamati jenis-jenis kue itu dengan penuh minat. “Cody suka pandan,” katanya tiba-tiba.
Aku mengerjap. “Pandan?”
“Yep. Cody tak pernah suka makanan manis meski dia tak keberatan memakannya.” Aroz mengeluarkan beberapa piring kecil, menunjukkannya padaku.
“Aku baru tahu,” gumamku.
Aroz tersenyum penuh pengertian. “Cepat atau lambat kau akan tahu apa kesukaannya,” katanya pelan, lalu melirik Cody yang ada di ujung ruangan. Meyakinkan diri bahwa Cody tak melihat kami, Aroz melanjutkan, “Cody bukan tipe orang yang terbuka, kau harus mencari tahu sendiri apa kesukaannya—apa yang tidak disukainya.”
Aku menatap Aroz lurus-lurus. Aku punya firasat bahwa Aroz bukan hanya teman. Mereka mungkin pernah jadi kekasih.
“Aku akan membantumu,” dia mengulurkan kertas kuning berisi nomor teleponnya ke tanganku. “Kau bisa menghubungiku kapan pun kau mau.” Dia mengedip jenaka.
“Kalian sedang apa?” Cody menoleh penasaran.
“Kau pilih saja kue buat Jeremiah.” Aroz mengibas-ngibaskan tangannya untuk mengusir Cody. Cody menyipit curiga saat melihat kue lain, meski dia tak membantah. Aroz kembali menatapku, tersenyum seperti malaikat. “Kau benar-benar beruntung mendapatkan pria baik sepertinya. Jangan mengecewakannya, ya Keyna, karena aku tahu dia tak akan pernah mengecewakanmu.”
Mereka punya hubungan atau tidak, hal itu sama sekali tak ada hubungannya denganku. Yang aku tahu Cody memilihku. Yang kulihat, pria ini berdiri di depanku, menyemangatiku dan berniat membantuku.
“Terimakasih,” kataku parau.
Aroz menepuk-nepuk bahuku dengan akrab lalu seketika itu pula memasukkan nyaris seluruh jenis kue ke dalam pesanan kami untuk dibawa pulang. Meski Cody sudah memberi alasan, Aroz tak peduli dan tetap memaksa memberikan kue. Kemudian, begitu kami keluar dari toko dengan kantong penuh berisi kue, Aroz mengecup pipiku, memeluk Cody dengan bersahabat, lalu berteriak, “Jangan lupa mengirimiku undangannya, ya?”
Cody hanya tertawa.
Kami masuk ke dalam mobil dan pulang.
“Aku suka padanya,” kataku melirik plastik-plastik kue di pangkuanku. “Dia orang yang menyenangkan.”
“Memang,” Cody mengangguk.
Ponselku berdering. Ada pesan masuk dari Aroz.

From: Aroz
To: The Beautiful Keyna
Fighting!!

Aku tersenyum melihat pesannya. “Apa hubunganmu dengan Aroz?”
Cody tersenyum. “Dia orang dari masa lalu. Tapi kini dia teman kita.”
Teman kita, aku mengulang, melihat pesan yang dikirim Aroz, dan tersenyum lagi. Aku bahkan tak menyangka bahwa aku baru mengenal Aroz karena dia sangat menyenangkan seakan kami sudah saling mengenal selama ini. Melihat dia tersenyum, tertawa, mengobrol, dan melayani kami, membuatku merasa nyaman dan bahagia.
Aroz seperti sahabatku.
Dia sahabat baruku.

To: Aroz
From: Me
Fighting!!!

Hari ini benar-benar sangat membahagiakan!

***

Write: Medan 23 July 2013

TBMB [01]

01
Help Me
==========

JEREMIAH(POV)
Apa yang paling membahagiakan selain bangun di atas tempat tidur bersama dengan seorang wanita cantik setelah malam sebelumnya menikmati sex panas?
Bertemu Cody.
Itu jawabannya.
Maka, setelah aku bangun, mandi, memakai pakaianku, aku memilih keluar dari hotel, meninggalkan wanita yang menemaniku kemarin malam, dan tak berbalik lagi. Lagipula aku dan dia sama-sama tahu bahwa hubungan kami hanya berlangsung semalam.
Turun dari lift, aku berjalan dan melompat naik ke jaguarku—satu-satunya benda yang kucintai sepenuh hati, dimana aku menyerahkan jiwa, raga, dan uang untuk memolesnya agar selalu tampil seksi—kemudian segera meluncur pulang untuk berganti pakaian.
Rumahku berbentuk pondok yang disatukan, dengan lantai kayu mengilap. Awalnya tempat ini hanyalah bangunan tua berhantu—oke, singkirkan yang ini—yang kotor dan tak terawat. Dengan sedikit biaya, akhirnya aku memiliki rumah sederhana dari luar dan mewah dari dalam.
Di dalam, terdapat dua kamar besar yang memiliki kamar mandi. Satu kamarku, satu kamar Cody—namanya kamar tamu (abaikan yang ini)—yang masing-masing menghadap ke pemandangan danau biru dan pegunungan indah di jendelanya.
Benar sekali. Aku cukup kaya untuk memiliki sebuah danau pribadi dan hutanku sendiri—dengan aku sendiri yang tinggal di tempat ini—meski belum bisa disamai dengan Cody yang punya 5 mobil mewah dengan pajak yang selangit dan satu pent house satu lantai untuk dirinya sendiri.
Terkejut? Kami berdua mirip dalam hal-hal tertentu: tak suka privasi diganggu, masalah pekerjaan harus dipisahkan dengan masalah pribadi dan perasaan, habiskan uang untuk hal-hal yang berguna dan menyenangkan diri sendiri meski harganya mahal, dan hajarlah orang yang tidak memperlakukan wanita dengan baik—bagian yang ini cuma melingkupi bagian kekerasan, meski Cody memaksaku untuk lebih melibatkan perasaan.
Mengingat Cody membuatku bersemangat.
Karena dia bilang dia harus menemani pacarnya keluar kota, aku harus menahan diri untuk tidak menghubunginya. Kau tahu kan kenapa? Siapa yang akan tanggung jawab bila aku tiba-tiba menelepon saat mereka sedang bermesraan? Aku tak bisa merusaknya. Aku teman yang amat baik.
Setelah mengganti pakaianku, aku keluar lagi dari rumah dan naik ke Hummerku. Mobil ini sangat cocok untuk segala medan. Jaguar hanya kugunakan bila aku ingin pamer pada kolega, yang kata mereka teman kerjaku, dan saat berkencan dengan wanita.
Sambil memasang musik, aku menghabiskan waktu berkendara menuju kampus—tempat dimana para cendikiawan belajar. Begitu sampai di parkiran, aku melihat Fran. Pria itu turun dari ford hijau yang sepertinya baru dia beli karena ford sebelumnya sering mogok. Aku mengabaikannya begitu aku turun. Aku tak mau repot-repot mengenalnya di sini. Sisa hariku akan menjadi lebih buruk bila berbicara atau menegurnya.
Tapi, begitu aku melihat mobil Mercy milik Cody, aku langsung tersenyum dan mendatanginya.
“Cody!”
Cody turun dari mobilnya. Wajahnya tampak tidak menyenangkan saat dia melihatku. Sebelum aku bisa mencerna apa yang terjadi, sepersekian detik kemudian, aku merasakan sakit yang luar biasa.
Cody menendang kelaminku.
“Ow!!” Bendaku yang berharga! Satu-satunya bagian tubuhku yang kuagung-agungkan dan Cody baru saja menendangnya dengan sepatu bootjenis militer dengan tumit sekeras baja!
“Apa-apaan sih?” kataku dengan susah payah, nyaris terjatuh di parkiran, memegangi benda yang tadi dianiaya Cody. Kakiku gemetar menahan rasa sakit, yang mungkin nyaris membunuhku bila lebih lama lagi.
“Itu bayaran karena kau memberiku flashdisk yang tidak-tidak, Remi, jadi rasakan!” Cody berkata berbahaya. Kemudian dia mendesis jengkel dan meninggalkanku begitu saja walau aku sudah memanggil-manggilnya.
“Cody! Cody!”
Aku putus asa memanggilnya. Dia hanya sedang marah. Bila Cody marah, dia akan sangat mengerikan dan bisa membuat seluruh dikatator di dunia menangis bombay. Aku malah penasaran kenapa dia tak memberiku tinju kiri.
“Jeremiah,” sebuah suara membuatku menengadah, mendapati Fran memegang lenganku. “Kau tak apa-apa?”
Kusingkirkan tangannya. Aku tak ingin dianggap mengenalnya di sini.
“Jeremiah,” katanya dengan khawatir dan kembali memegang lenganku. Aku mendesah, capek mengusirnya, tapi dia tak mau pergi.
“Apa sih? Aku tak apa-apa,” gerutuku. Yang sudah pasti kebohongan besar.
“Cody menendangmu keras sekali. Apa kau berbuat kesalahan padanya?”
“Aku tak berbuat apapun padanya. Tapi, ya, dia memang marah padaku. Dan itu menjadi masalahku nanti.” Setelah yakin aku tak apa-apa, aku berdiri tegak, masih nyeri di situ, tapi aku tak apa-apa. Fran masih menatapku dengan tak yakin. Mata hijaunya terlihat cemas.
“Aku tak apa-apa ok?” kataku jengkel.
“Jangan bertengkar dengan Cody.”
“Aku tak bertengkar dengannya,” kataku sebal. “Aku tak berbuat apapun padanya. Dia hanya marah padaku dan kemarahannya akan hilang saat aku bertemu dengannya lagi nanti.”
Tapi rupanya Cody masih marah meski kami bertemu lagi siang harinya. Dan karena aku tak ingin dia menendang benda berhargaku lagi, aku memilih jauh-jauh darinya untuk sementara.
Tapi tetap saja aku merindukannya dan tak bisa membencinya.
Damn!

***

FRAN(POV)
Aku tak tahu apa yang terjadi antara Cody dan Jeremiah, tapi yang pasti, Cody amat marah pada Jeremiah sampai-sampai Cody tak mau membicarakan hal mengenai Jeremiah dan dengan terang-terangan tak ingin menceritakannya padaku. Meskipun begitu, dia memberikanku bungkusan kue yang katanya dia bawa dari luar kota. Satu untukku, satu untuk Jeremiah. Dengan kata lain dia memintaku memberi bungkusan yang satunya untuk Jeremiah dan tak peduli aku mendengarnya atau tidak.
“Untukmu,” kataku pada Jeremiah.
“Aku tak mau.”
“Ini dari Cody.”
“Dia bisa memberikannya secara langsung padaku.”
“Terserah padamu mau mengambilnya atau tidak. Tapi yang pasti Cody tak akan memberinya langsung padamu karena dia masih marah pada apapun itu yang kau lakukan padanya.”
“Aku tak melakukan apapun, oke? Berapa kali aku harus mengulangnya?” Dengan jengkel Jeremiah mengambil bungkusan itu dan dengan kesal keluar dari ruanganku. Dia sama sekali tak peduli berhadapan dengan siapa. Padahal aku profesor di sini.
Selesai mengurus seluruh pekerjaanku, aku pulang dan melihat Gabrielle menonton animasi Ice Age. Dia sudah tak marah lagi sejak Jeremiah membawa kami pulang dan sudah kembali ke dirinya yang lama.
“Kau sudah makan?”
Gabrielle menoleh, memiringkan kepalanya sedikit, lalu mengangguk dan kembali menonton.
“Aku bawa cake dari Cody.” Kuletakkan bungkusan itu ke atas meja dan dengan bersemangat Gabrielle membuka isinya. Ada begitu banyak cake di dalam. Cody sepertinya baru merampok toko cake untuk mendapatkan seluruh kue-kue itu.
Gabrielle mengambil salah satu dan memakannya dengan lahap dan tak peduli pada apa yang disuguhkan televisi.
“Kau mau teh? Akan kubuat untukmu. “
Gabrielle mengangguk dan aku bangkit dari tempatku, melangkah ke dapur dan membuatkan teh melati untuk kami berdua. Gabrielle menyukai teh itu, karena sejak pertama kali datang kemari, Gabrielle tak pernah mau minum teh lain selain teh beraroma melati, dan dia akan menarik-narik lengan bajuku sambil menunjuk-nunjuk bungkusan merk teh tiap kali teh itu habis.
Teh itu beraroma nikmat di hidung, wangi dan menyegarkan begitu kuseduh, dan kubawa dua cangkir ke ruang tengah. Gabrielle menatapku ketika aku masuk dengan tangan memegang cake baru.
“Sepertinya kau suka dengan cake,” kataku meletakkan nampan.
“Aku suka manis,” katanya.
“Oh.” Aku mengangguk mengerti. Hubungan ayah dan anak di antara kami memang berjalan seperti siput—lebih lambat dari itu sih—tapi kami berdua cukup menikmatinya karena aku tak ingin memaksa Gabrielle. Dia berhak untuk membuka diri bila dia mau. Dia hanya belum terbiasa dengan perhatian yang kuberikan. Gabrielle sudah banyak ditolak oleh para orang tua angkat yang mengembalikannya ke panti asuhan hanya karena dia tak mau bicara. Aku tak ingin melakukan hal itu pada Gabrielle. Yang kuperlukan saat ini hanya kesabaran.
“Apa kau sudah membereskan pakaianmu untuk besok?” Kusandarkan tubuhku sambil memegang cangkirku. Mataku menonton adegan dimana si Mamonth tengah mengajari si balita berjalan.
Gabrielle menggeleng.
“Kau harus membereskannya. Besok pagi-pagi sekali kita harus berangkat dan kereta tak akan menunggu bila kita terlambat.”
Dia cemberut meski begitu mengangguk singkat. Aku tersenyum, mengacak rambutnya. Kami kembali nonton sambil memakan cakedan minum teh.
Besok adalah libur nasional, yang ditambah dengan libur akhir pekan selama dua hari, dan aku tak masuk selama dua hari berikutnya. Itu artinya aku punya lima hari libur dan Gabrielle tiga hari libur. Aku mengajaknya untuk mengunjungi makam kedua orang tuaku yang berada di negara bagian lain. Mendengar hal ini, Gabrielle sangat bergairah. Dia belum pernah keluar dari kota ini jadi sudah pasti dia senang sekali. Melihatnya senang membuatku ikut senang.
Keesokan harinya kami sudah bersiap. Gabrielle turun mengenakan jaket dan sepatu boot. Di punggungnya ada ransel berat. Sedangkan aku mengenakkan mantel coklat dan kemeja ungu.
“Kau harusnya membawa syalmu. Dingin sekali diluar. Ini sudah musim gugur.”
Gabrielle menggeleng.
Menghela napas kalah, kami keluar rumah. Gabrielle segera masuk ke dalam taksi sementara aku mengunci pintu, setelah itu masuk ke dalam taksi. Kami melalui perjalanan di dalam taksi menuju stasiun kereta api bawah tanah tanpa mengucapkan apapun. Dialah yang paling bersemangat keluar dari dalam taksi, menarik-narik tanganku agar cepat ke stasiun.
Aku cuma tertawa kecil. Gabrielle terlihat cute. Dia tak seperti anak laki-laki seusianya—yang berusia 14 tahun dan akan bertingkah karena punya ego paling besar—dan malah seperti anak kecil. Aku tak keberatan. Aku suka dia bertingkah seperti itu karena aku selalu sibuk dan tak memberikan waktu untuknya.
Sekarang adalah saat yang tepat. Aku akan menikmati tiap detiknya.
Kami masuk ke dalam stasiun. Aku membeli tiket untuk dua orang. Lalu kami menunggu antrean untuk masuk ke bagian gerbong tempat kami masuk. Gabrielle menempel di sampingku, matanya bersinar dan pipinya bersemu merah karena begitu bersemangat.
“Cute...”
Aku menoleh, melihat beberapa anak perempuan mengikik di sebelah kami. Mata mereka berbinar melihat Gabrielle. Aaw, ternyata putraku memiliki magnet tersendiri. Aku tak pernah tahu kehidupan sosial Gabrielle karena dia memang tak pernah membicarakannya selain anggukan. Lagipula aku hanya bertanya “Bagaimana sekolahmu?” Dan dia akan mengacungkan jempol. Hebatnya komunikasi kami.
Kereta api yang kami tuju masuk gerbong. Penumpang yang menaikinya keluar. Gabrielle memegang lenganku dan mundur ke belakang untuk menghindari lautan manusia yang keluar dari antrean, begitu pula dengan yang hendak masuk ke dalam.
Dia menatapku dengan dahi mengerut ragu. Semangat dan rasa percaya dirinya hilang begitu melihat ada banyak orang di depannya.
“Tak apa-apa,” kataku tersenyum menenangkan. Dia tidak percaya, tapi memilih memegang erat tanganku. Saat ini Gabrielle justru tampak seperti anak kecil tersesat dan aku merasa kasihan padanya.
Kerumuman mulai berkurang beberapa menit kemudian. Aku melangkah dan Gabrielle mengekor di belakang. Kami melewati banyak gerbong dan pintu untuk masuk ke tempat kami. Gabrielle menggandeng tanganku, takut tertinggal dan takut tersesat.
Kami akhirnya sampai ke kompartemen pilihan kami, membuka pintu dan ternyata ada seorang anak laki-laki di dalam. Anak laki-laki itu menoleh pada kami ketika dia mengangkat kopernya ke atas kepalanya untuk disimpan, dan menjatuhkannya sampai menimpa kakinya.
“Ow!” Anak itu menjerit, melompat-lompat memegangi kakinya.
“Kau tak apa-apa?” Aku bertanya padanya, mendatanginya, dan membantunya, menyingkirkan kopernya. Anak laki-laki itu mengangguk, meski masih meringis. Dia melirik Gabrielle—yang memilih berdiri di luar—kemudian bangkit berdiri untuk mengambil kopernya. “Mari kubantu.”
“Terimakasih,” gumamnya.
Kami berdua bersama-sama mengangkat kopernya ke atas. Koper itu berat sekali. Pantas saja anak itu kesakitan, meski aku sedikit terheran mengetahui bahwa dia mampu mengangkat koper itu ke atas sendirian tadi.
“Terimakasih sudah menolongku,” katanya lagi dan kali ini aku bisa melihat dengan jelas wajahnya. Dia tampan sekali dengan mata abu-abu jernih nyaris seperti mata kucing, dengan tatapan tajam. Hidungnya sedikit bengkok. Rahangnya mantap mempertampan wajahnya. Rambutnya pirang gelap dan terlihat berantakan. Tubuh anak itu tinggi, dengan bahu bidang, dan dada membusung, bahkan aku tak heran bila dia lebih tua dari Gabrielle.
“Bukan masalah besar.”
“Namaku Oliver. Oliver Evans.” Dia mengulurkan tangannya padaku.
“Fran Cattermole,” aku menjabat tangannya. “Itu putraku, Gabrielle.” Aku menunjuk Gabrielle yang masih tak mau masuk.
Oliver tersenyum padanya, mengulurkan tangannya pada Gabrielle. “Hai.”
Mata Gabrielle menyipit, memandangnya selama beberapa detik dari atas sampai ke bawah seakan memerhatikan Oliver dengan teliti apakah dia penjahat atau tidak, tapi pada akhirnya malah mengangkat bahu dan melangkah masuk, tak memedulikan tangan Oliver sama sekali.
Oh, astaga. “Gabrielle,” kataku memperingatkannya. Tapi Gabrielle duduk di kursi yang dekat dengan jendela memeluk ranselnya. Dia sama sekali tak berniat untuk mendengarkan ucapanku.
“Tak apa-apa, Mr Cattermole,” kata Oliver dengan nada menenangkan. Dia tersenyum pada Gabrielle yang dengan terang-terangan mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Tingkahnya mengingatkanku pada seseorang. Jeremiah. Siapa lagi?
“Jadi, kau mahasiswa?” Aku bertanya selagi aku menutup pintu dan Oliver duduk di seberang Gabrielle.
“Aku siswa. Usiaku masih 16 tahun. Selama ini aku tinggal di asrama dan karena ada libur selama seminggu aku memilih pulang.”
Aku mengangguk setuju dan duduk di samping Gabrielle setelah menaikkan tasku. Gabrielle bersikeras memeluk ranselnya entah untuk apa.
“Pasti berat sekali tinggal di asrama.”
“Awalnya Oliver mengangkat kedua bahunya. Aku sudah terbiasa jadi bukan hal yang besar. Lagipula sekolahku cukup menyenangkan. Aku menikmati hariku.”
“Kau sekolah dimana?”
“St Gregory High School.”
“Itu sekolah yang populer di wilayah ini. Kau pastilah hebat.”
“Tidak juga.”
Aku tahu Oliver cuma merendah. Aku bisa melihat bahwa dia lebih dari “sekadar” tapi juga lebih. Dia punya aura yang menggantung di sekitarnya dan tak mungkin ada seorangpun yang tak menyadari hal itu. Lagipula, dengan tampang seperti itu, aku yakin dia populer. Ah tidak. Ada begitu banyak orang seperti Oliver di sekolah itu. Dia cuma salah satunya.
“Jadi, Gabrielle kau bersekolah dimana?” Oliver menatap Gabrielle.
Gabrielle hanya memberinya ekspresi datar, lalu mengalihkan pandangan keluar. Oliver menatapku dan aku memberi tatapan minta maaf, yang dibalasnya dengan anggukan penuh pengertian.
Kereta kami bergerak perlahan-lahan meninggalkan stasiun terowongan bawah tanah lalu akhirnya menembus pemandangan dengan cahaya menyilaukan dari matahari pagi.
Aku akan pulang.

***

OLIVER(POV)

Gabrielle Cattermole punya wajah tampan luar biasa. Matanya biru indah, yang dihias dengan gairah karena keluar dari terowongan, dan jendela menyuguhkan pemandangan kota. Rambutnya berwarna merah, yang akan berwarna kuning berpendar di bawah matahari. Dia punya kulit pucat yang membuatnya seakan menghilang. Dan aku merasakan ketertarikan luar biasa padanya saat aku melihatnya di depan pintu kompartemen. Meski hanya melihatnya sekilas, napasku seakan tertahan di paru-paru dan koper sialan itu pun tak mampu menyakitiku begitu melihat bahwa Gabrielle benar-benar nyata.
Maksudku, dimana aku bisa bertemu ada manusia sesempurna dia?
Ayahnya, Fran, juga tak kalah tampan. Pria itu punya rambut yang sama merahnya dengan Gabrielle, meski sedikit lebih gelap, dengan mata hijau cerdas. Dia mewariskan nyaris seluruh hal yang ada padanya untuk Gabrielle, kecuali matanya. Wajahnya muda sekali. Siapa yang menyangka kalau pria itu punya anak sebesar Gabrielle? Mereka justru terlihat seperti Kakak dan Adik daripada Ayah dan Anak.
“Kau mau?” Aku menyodorkan sandwich yang tadi kubeli di stasiun pada Gabrielle. Sudah dua jam kami melakukan perjalanan dan dia dari tadi tak makan atau minum apapun selain melihat keluar jendela. Tiap kali aku mengajaknya berbicara, dia akan menatapku tanpa ekspresi, lalu menoleh ke jendela lagi. Bila Fran yang bertanya, dia hanya akan menggeleng, mengangguk, atau mengangkat bahu, tanpa mengucapkan apapun. Yang mengherankan, Fran tetap mengerti. Mereka punya hubungan yang aneh.
Meski begitu, aku belum menyerah. Aku melihat Gabrielle menoleh lagi ke jendela tak menggubris sandwichku. Aku merasa ada bogem besar meninju dadaku tiap kali dia melakukannya—meski aku tahu hanya itu tanggapan yang diberikannya. Fran mendesah saat aku mengulurkan sandwich itu padanya.
“Terimakasih, Oliver.” Dia menerima sandwichku, memberinya pada Gabrielle yang memilih untuk menggeleng. “Kau belum sarapan. Makanlah sedikit.”
Gabrielle menggeleng lebih keras sehingga Fran menyerah.
Aku melirik Gabrielle. Kenapa anak itu sama sekali tak mau bicara? Apa dia bisu? Itu mungkin saja. Lalu kenapa dia tak menggunakan bahasa isyarat? Apakah dia takut diejek? Well, aku bukan orang yang suka membeda-bedakan orang lain karena aku punya adik yang buta, tapi tetap saja mengherankan bila melihat Gabrielle hanya menjawab dengan anggukan atau gelengan.
Tiba-tiba saja terjadi guncangan keras. Gabrielle melepas ranselnya dan memeluk Fran yang dengan penuh perlindungan memeluknya. Aku menggertakan gigi, memegangi palang besi agar tak terlempar jatuh dengan sekuat tenaga. Terdengar teriakan di sana-sini. Kepanikan menjadi-jadi saat ada bunyi ledakan dan decitan gerbong yang tarik-menarik di atas besi, membuat bara api di rel. Jeritan histeris menjadi-jadi. Semuanya panik saat melihat ada api di bagian moncong kereta api.
Setelah lima menit penuh teriakan dan dorongan. Aku akhirnya bisa bangkit dari tempatku dengan kaki gemetar dan melihat ke jendela apa yang terjadi.
Aku melihat ada rangkaian truk pengangkat barang di depan sana. Tiga gerbong belakang keluar jalur dan sekarang jatuh terbalik di rerumputan. Ngeri dengan apa yang terjadi pada penumpang di sana, aku melihat lagi ke depan dan menyadari bahwa kereta api kami baru saja menabrak truk bodoh yang melewati lampu peringatan.
Aku menelan ludah.
“Kita harus keluar dari sini,” kataku dengan suara gemetar. “Secepatnya.”
Fran mengangguk, masih memeluk Gabrielle, yang melindungi kepalanya dengan kedua tangannya seolah dia takut kejatuhan benda. Tubuhnya gemetar.
“Apa dia baik-baik saja?” Aku bertanya khawatir.
“Aku akan mengurusnya. Maukah kau membawa barang kami keluar untuk sementara?”
Aku tak ingin meninggalkan Gabrielle. Tapi aku tahu aku tak bisa melakukan apapun. Aku hanya orang yang baru bertemu dengannya sehingga, mau tak mau, aku mengangguk, menurunkan koperku dan tas Fran, lalu membawa kedua benda itu keluar dari kereta.
Orang-orang berlarian panik, berusaha menyelamatkan diri sendiri. Banyak dari antara mereka yang terluka parah dan memar. Yang lain berusaha menolong orang-orang yang gerbong keretanya tadi terlempar. Teriakan pedih tangisan dan entah apa lagi terdengar di sana-sini.
Tapi aku masih menguatirkan Gabrielle. Aku menunggu dengan panik. Kondisi Gabrielle membuatku takut. Aku tak tahu mengapa tapi aku peduli padanya dan kurasa aku akan mati jika terjadi apa-apa padanya.
Kesabaranku semakin lama semakin tipis tiap kali detik berlalu. Menggigit bibir bawahku dengan cemas, aku menekan keinginan bodoh untuk menyusul ke dalam kereta lagi. Tapi aku tak mungkin meninggalkan barang-barang. Setelah lima menit berlalu, sirine polisi ambulan dan pemadam kebakaran datang tepat saat ada ledakan lagi.
Shit! Kemana mereka?
Aku nyaris gila, tapi untunglah aku melihat Fran di kerumunan. Dia merangkul Gabrielle—yang memeluk ranselnya dengan kepala menunduk sehingga aku tak bisa melihat wajahnya. Tapi tangannya masih gemetar.
“Maaf membuatmu menunggu, Oliver,” kata Fran.
“Tidak apa-apa,” kataku cepat. “Apa dia—”
“Rupanya bala bantuan sudah datang,” gumam Fran melihat banyaknya mobil patroli dan ambulan yang datang. “Lebih baik kita menyingkir. Apa kau terluka, Oliver?”
“Tidak. Aku cuma memar sedikit tapi tak apa-apa.”
Fran tersenyum getir. “Kalau begitu, lebih baik kita mengambil tempat untuk Gabrielle.”
Aku tak membantah. Kami membawa barang kami menyingkir dari huru-hara yang menjadi-jadi. Polisi dan petugas kesehatan berusaha bergerak secepat mungkin untuk menyelamatkan orang yang tergencet di gerbong. Uh, aku tak mau memikirkannya.
Pada akhirnya kami memilih duduk di pinggir jalanan kosong yang sekarang sudah diparkiri oleh mobil polisi, dua ratus meter dari tempat kejadian.
“Kalian tak apa-apa? Apa yang terjadi?” Salah seorang polisi mendatangi kami.
“Kami tak apa-apa,” kataku cepat, menoleh pada Gabrielle. Aku menguatirkannya. “Truk bodoh menabrak kereta kami.”
“Atau sebaliknya,” kata si polisi dan dia bersama-sama yang lain berbondong-bondong menuju lokasi.
“Gabrielle,” Fran menyapu rambutnya dengan lembut. Dia menengadah dan sekali lagi aku merasakan sesuatu yang menyakitkan melihat wajahnya yang pucat. “Semua sudah tak apa-apa.”
“Remi.”
Aku mengerjap begitu pula dengan Fran. Aku mengerjap bukan karena kaget dengan nama yang sepertinya membuat Fran tak bisa bicara, tapi aku kaget betapa merdunya suara anak ini.
“Gabrielle, Jeremiah berada berpuluh-puluh mil dari tempat kita.” Fran menenangkannya.
Gabrielle menunduk, menggigit bibir bawahnya. Dia lalu bangkit tiba-tiba, membawa tasnya.
“Mau kemana, Gabrielle?” Fran terkaget, ikut berdiri. Aku juga melakukan hal yang sama. Gabrielle berjalan cepat menuju salah satu polisi dan menarik-narik lengan salah satu polisi.
“Tidak sekarang, Nak.”
Gabrielle masih keras kepala menarik lengan bajunya meski si polisi menolaknya. Fran berlari ke arahnya dan aku ternganga melihat aksi berani Gabrielle.
Akhirnya si polisi, yang merasa terganggu karena tak ditinggalkan Gabrielle, menoleh dan menggerutu, “Apa?”
“Sir, boleh pinjam ponselmu?”
Si polisi mengerjap.
“Gabrielle!” Fran melotot marah padanya. “Maaf, Sir. Aku—”
“Ini.” Tanpa diduga, si polisi memberikan ponsel padanya. “Kuberi waktu satu menit.”
Gabrielle mengambil ponsel itu meski Fran melarangnya. Dengan jemarinya yang gemetar dia menekan tombol, menelan ludah.
“Kau mau menelepon kemana?” Fran bertanya penasaran. “Kau tak mungkin menelepon Jeremiah untuk datang kan? Dia tak mungkin datang—”
Terlambat. Begitu Fran hendak menasehatinya, suara lembut Gabrielle terdengar lagi.
“Remi, kami mengalami kecelakaan kereta api.”

***

JEREMIAH(POV)
Darahku membeku mendengar suara Gabrielle yang gemetar di seberang sana.
“Apa?”
Aku berdiri kaget, tak peduli bahwa aku sedang rapat saat ini. “Kecelakaan kereta api? Kapan? Sekarang? Itu berarti beritanya akan muncul sebentar lagi.”
Mengabaikan pandangan ingin tahu para anggota rapat, aku menghidupan televisi kemudian melihat komputer kerjaku. Benar saja. Sudah ada beritanya. Salah satu korban masih sempat mengabadikan kejadian itu.
“Aku akan segera ke sana. Kau tunggu di sana.”
“Presidir!” Salah anggota rapat berdiri begitu aku mengambil mantel dan melangkah menuju pintu. “Kita sedang rapat!”
“Putraku sedang mengalami kecelakaan kereta api, aku tak mungkin rapat! Rapat dilanjutkan lain kali!” Dengan jengkel aku keluar, membanting pintu dan berita mengenai kecelakaan kereta terdengar di sana-sini.
Aku ketakutan.
Gabrielle. Apa dia baik-baik saja? Shit. Aku membenci anak itu dan sebal dengan tingkahnya. Tapi begitu mendengar suaranya yang ketakutan di telepon aku jadi panik.
Membawa Hummerku aku menginjak gas dalam-dalam dan tak peduli soal polisi.
Gabrielle lebih penting.

***

GABRIELLE(POV)
“Dia tak mungkin datang,” Fran berulang kali mengatakan itu walau sudah satu jam kami menunggu dalam diam. “Kau tak mungkin menyuruhnya kemari, Gabrielle,” katanya lagi, meski kami juga sama-sama tahu sudah terlambat untuk mengatakan itu. “Jaraknya jauh sekali, Gabrielle.”
Aku tak peduli. Remi bilang dia akan datang. Remi janjiakan datang. Dia pasti akan datang. Dia memintaku untuk menunggu.
“Gabrielle, kita harus ikut polisi itu untuk ke stasiun berikutnya.”
Aku tak mau. Aku mau menunggu di sini. Jeremiah akan datang. Aku tak mau dia tak menemukanku.
Aku memeluk tasku menahan gemetar dan kedinginan di sekitar tubuhku. Fran mendesah karena aku tak mengatakan apapun dan melingkarkan tangannya di bahuku.
“Gabrielle, kita tak bisa menunggunya terus. Kita tak tahu kapan Jeremiah datang.”
Aku tak peduli. Aku akan terus menunggu. Aku sudah biasa menunggu. Aku tak peduli bila kalian meninggalkanku. Aku akan baik-baik saja. Jeremiah akan datang. Dia akan datang.
Fran mendesah lelah. “Gabrielle—”
“Sir, kurasa kita tak bisa memaksanya.”
Aku melirik Oliver. Untuk pertama kalinya aku menyadari keberadaannya. Aku tak suka padanya. Dia seperti orang lain, yang menatapku dengan ekspresi dan kilatan seperti itu seakan aku berharga, lalu akhirnya memunggungiku dan meninggalkanku begitu saja.
Oliver tersenyum kecil padaku dan aku mengalihkan pandangan ke depan—ke pemandangan mengerikan kereta api yang sekarang menjadi makanannya para jurnalis, wartawan, dan presenter.
“Baiklah. Kita akan menunggu satu jam lagi. Jika dia tak muncul kita harus ke stasiun.”
Aku tak peduli. Seabad pun aku akan menunggu di sini.

***

OLIVER(POV)
Walau Fran bilang begitu, Gabrielle sepertinya tak peduli. Dia duduk dengan posisi sama selama satu jam berikutnya tanpa bergerak. Dia tak menggubris apapun. Siapa sebenarnya yang bercanda di sini? Tak mungkin bisa mencapai lokasi ini dalam dua jam. Paling cepat juga tiga jam. Tapi Gabrielle tampaknya tak peduli.
Siapa sih si Jeremiah ini sampai-sampai membuat Gabrielle lebih peduli padanya dari pada Fran? Fran terpaksa menelan kekalahannya lagi, karena Gabrielle tak juga beranjak walau satu jam sudah lewat. Bahkan, walau dia disuruh menunggu di tempat ini sampai mati pun, aku curiga Gabrielle akan melakukannya.
“Kau tak bodoh kan?” Aku bergumam padanya dan dia mendelik jengkel padaku. “Jeremiah tak mungkin bisa datang. Kau cuma membuang waktumu. Bila dia sampai dalam waktu singkat, itu artinya dia pembalap yang berkendara di jalanan.”
Tepat saat itu sebuah mobil berdecit kencang, sampai membuat aspal menghitam akibat bannya menggesek dengan keras karena rem mendadak. Sebuah mobil Hummer besar baru saja berhenti dan seorang pria berpakaian kantoran muncul, lalu berteriak, “GABRIELLE!” dengan panik, sampai membuat polisi yamg diujung kereta juga ikut menoleh.
“Remi,” gumam Gabrielle. Dia berdiri, melempar tasnya, dan berlari, memeluk Jeremiah sambil mengalungkan tangannya ke pinggang Jeremiah.
Aku cuma mampu menganga. Pria itu pastilah pembalap sekelas Michael Schumacher jika dia sampai di sini dengan waktu secepat kereta api.
Fran segera mendatanginya. “Jeremiah... aku tak menyangka...”
“Kenapa bukan kau yang menghubungiku?” Pria itu berteriak marah padanya, memeluk Gabrielle yang tampak lebih kecil karena ukuran hulknya. Fran tergagap sehingga dia melanjutkan, “Apa kau tak tahu seberapa takutnya aku jika terjadi apa-apa padanya? Kupikir aku bisa saja terkena serangan jantung di tengah jalan begitu mendengar bahwa kalian ada di kereta sialan yang terbalik! Kau mau membuatku cepat mati? Kalau kau tak bisa mengatasinya sendiri kenapa tak bilang saja padaku? Kau bisa menjaga dia atau tidak sih?”
Fran tertunduk. Wajahnya pucat. “I’m sorry.
“Jangan cuma minta maaf tapi kau harus berjanji agar kejadian ini tak terulang! Kau tak sadar kalau Gabrielle terluka? Kepalanya juga memar tahu!”
Fran tersentak, begitu pula denganku. “Memar?” Kami berdua berkata berbarengan.
Jeremiah melirikku dengan tampang tak suka. “Siapa itu?”
“Dia Oliver Evans. Kami tadi di kompartemen yang sama.” Fran menjelaskan.
Jeremiah mendengus. “Hmph. Lagi-lagi orang asing yang kau pungut di tengah jalan. Aku tak mau dia dekat-dekat Gabrielle.”
Fran menggertakan gigi. “Aku Ayahnya Gabrielle, Jeremiah.”
“Jika kau berpikir begitu, sayang sekali, aku juga Ayahnya.”
Aku mengerjap begitu pula dengan Fran.
“Apa maksudmu?” Fran bertanya kebingungan.
“Itu nanti saja. Yang lebih penting adalah membawa Gabrielle ke rumah sakit.” Tidak memedulikan pelototan Fran, Jeremiah membimbingnya ke dalam mobil, membantunya naik. “Dimana tas kalian? Oh, yang ini?”
“Oliver juga ikut.” Fran melipat tangan. “Aku tak bisa meninggalkan dia di sini. Dia sudah membantu kami berulang kali.”
Jeremiah menaikan alis. “Seperti apa?”
Please, Jeremiah,” Fran mendesah. “Dia masih anak-anak.”
Jeremiah menatapku, lalu melirik Fran yang memelas. “Ok. Tapi anak ini tak boleh mendekati Gabrielle.” Lalu dia mengangkat koper tas Gabrielle dan tas Fran dengan mudah seolah benda itu bukan apa-apa baginya, dan melemparkannya ke bagasi belakang.
“Dia memang seperti itu,” kata Fran padaku. “Tapi dia bukan orang jahat.”
“Apa kalian pacaran?”
Fran mengerjap lagi, kemudian wajahnya merah padam saat mencerna kata-kataku barusan. “A-a-apa?”
Crap. Aku tak bisa menjaga mulutku. “Tidak. Bukan apa-apa.”
Dengan tergesa-gesa aku naik ke bagian depan mobil. Jeremiah mendengus padaku. Gabrielle berada di belakang Jeremiah, memeluk Jeremiah lehernya dari belakang, yang membuat Jeremiah tersenyum padanya.
Aku jengkel melihat keakraban mereka.
“Apa yang kau lihat, Anak Muda? Lihat ke arah lain!” Dia menyentil dahiku kemudian menoleh pada Fran yang baru masuk. “Dan kenapa kau lama sekali? Kau kan tak membawa apapun. Dan kenapa wajahmu merah seperti itu? Sakit? Oh, shit. Dan kau juga memar!”
Fran mengerjap lagi. “Dimana?”
“Dimana? Astaga! Di dahimu! Kau juga memar, Anak Muda. Tampaknya kita harus mampir ke tempat teman lama.”
Aku dan Fran sama-sama memegang dahi kami dan sama-sama mengeluh merasakan nyeri dan benjolan di sana. Dan aku juga baru menyadari bahwa bahu dan telapak tanganku juga sakit.
Terlepas daripada sadisnya Jeremiah, dia punya mata yang jeli.
Dan aku masih penasaran dengan satu hal: apakah Jeremiah dan Fran pacaran? Aku tak berani bilang “sepasang kekasih“ karena mereka berdua lelaki.
Tapi, aku melirik Fran dari spion, yang menatap bagian belakang kepala Jeremiah dan aku yakin bahwa Fran naksir Jeremiah.
Tidak. Bukan.
Aku melihat kilatan di matanya.
Fran mencintai Jeremiah.

***

Medan, 26 Juli 2013