Selasa, 02 September 2014

TBMB [23]



23
Broken Heart
==========

FRAN(POV)
Dia mengerjap.
Jantungku berdetak tak nyaman. Aku nyaris tak bisa menarik napas karena begitu ketakutan. Selama aku tahu aku gay, aku ingin sekali mengatakan hal ini pada Jeremiah. Tapi ketakutan mengonsumsiku seperti oksigen. Kepalaku selalu dipenuhi dengan pemandangan mengerikan dimana Jeremiah akan membenciku.
Hanya saja, aku tak bisa diam lagi. Aku capek menghadapi Jeremiah yang memaksaku untuk berkencan dengan para wanita itu. Aku tak tertarik pada mereka. Aku tertarik pada Jeremiah.
Jeremiah masih belum mengatakan apa-apa. Dia malah mengerjap beberapa kali untuk mencerna perkataanku. Sepertinya, ini bukan ide yang bagus.
“Huh?” katanya. “Kau gay?”
Kepalaku mengangguk kaku. Dia akan membenciku! Aku menunggu dengan panik melihatnya kembali mengerjap, mulut terbuka lebar.
“Kenapa kau tak bilang dari dulu sih?” katanya tiba-tiba, memutar bola mata seakan itu bukan masalah besar. “Pantas saja kau tak melirik para wanita yang kusodorkan padamu. Ternyata kau berada di haluan yang berbeda.”
Kali ini aku yang mengerjap. “Kau… kau tak marah?”
Dia kebingungan. “Kenapa pula aku harus marah? Aku dikelilingi oleh para gay: Aroz, James, River bahkan, dulu, Cody. Setelah dipikir-pikir lagi, aku seperti magnet buat para gay.”
Dia tak membenciku. Dia tak membenciku. Dia tak membenciku. Dia tak membenciku. Aku bernyanyi dalam hati.
“Kalau begitu, aku tak akan menjodohkanmu para wanita tapi pria.” Pria itu tersenyum culas.
“Jeremiah, please, aku tak membutuhkan—”
Dia mengibaskan tangannya, menghentikan omonganku. “Kau tahu aku tak akan mendengarkanmu. Coba kuingat siapa teman sekerjaku yang cocok denganmu dan gay.”
“Jeremiah, aku benar-benar tak butuh—”
Telunjuknya mengetuk-ngetuk di dagunya. “Hmm, aku mengenal beberapa bisexual dari kantorku. Ada manager bagian humas. Salah satu bagian sistem juga ada dua orang. Di broadcastingada tiga orang. Atau mungkin kau akan kukenalkan dengan aktor yang gay. Tapi kurasa tidak, mereka biasanya menyebalkan.”
“Jeremiah, aku tak membutuhkan perjodohan,” kataku geram.
Alisnya menaik. “Kalau kau tak butuh itu artinya kau sudah punya pria taksiran.”
Aku tergagap. “H-h-huh?”
Matanya berkilat bersemangat. “Siapa pria beruntung itu?”
Kau. “T-t-tak ada.”
“Kau jelas tak bisa berbohong, Fran. Kau selalu gugup bila berbohong.”
Wajahku merah padam. Uh, bagaimana bisa dia tahu?
“Sekarang, coba beritahu padaku siapa pria ini.”
Aku mencuci tanganku. “Tak ada, Jeremiah,” kataku, lalu keluar dari dapur, mencapakkan celemekku ke kursi. Suara kaki Jeremiah mengikuti dari belakang, begitu pula dengan suaranya.
“Ayolah, Fran. Aku tahu kau punya pria taksiran. Setiap orang punya pria taksiran. Oh, itu tak benar, biar kuperbaiki. Setiap orang punya orang taksiran. Nah, itu baru benar. Dan kau bukan terkecuali karena kau manusia.”
Aku masih tak mendengarkan, memilih duduk di sofa di ruang tengah. Dengan sengaja memperkeras suara televisi. Tapi yang menyebalkan, Jeremiah malah mematikannya, langsung pada sumbernya.
“Jeremiah!” kataku jengkel.
Dia melipat tangan. “Kau tahu kalau aku tak akan membiarkanmu begitu saja kan? Ini pria taksiran pertamamu! Kau harus memberitahuku siapa dia.”
“Kenapa sih kau bersikeras begitu? Aku kan sudah bilang kalau aku tak punya orang yang kutaksir.”
Liar,” katanya dan ikut duduk di kursi. “Nah, sekarang beritahu aku siapa.”
“Jeremiah—”
“Kita ini sahabat,” Uh, aku tak suka dia membawa-bawa masalah ini, “dan di antara sahabat tak ada rahasia. Kalau aku mengenal pria yang kita bicarakan ini, mungkin aku bisa memberikan pendapatku dan jika tidak, aku bisa mencari tahu apakah dia baik untukmu atau tidak. Aku ingin dia jadi orang yang terbaik untukmu, siapa tahu dia itu cinta pertamamu.”
Kau itu cinta pertamaku!
“Dan,” katanya bersemangat, “aku tak sabar mendengar cerita pria idamanmu ini. Kau bisa curhat apapun padaku mengenai dia.”
Aku tak mungkin curhat tentangmu padamu, Idiot. “Apa kau sadar kalau kau terdengar seperti anak remaja saat ini?”
“Memangnya kenapa? Para pria juga senang mendengarkan gosip. Apa kau tak tahu kalau tempat paling aman untuk bergosip ada di kamar mandi? Bukan hanya para wanita yang bergosip di kamar mandi. Itu sebabnya aku punya kamar mandi sendiri karena aku tak mau mendengar karyawanku bergosip tentangku. Mereka sepertinya berpikir kalau kamar mandi tempat paling aman untuk bergosip.”
Aku malah tertawa mendengarnya. Pria ini selalu tahu bagaimana membuat lelucon. Apalagi begitu melihatnya tersenyum manis seperti itu. Aargh! Kenapa dia harus memesona begitu sih? Satu senyumannya membuat wajahku panas dan dadaku terasa penuh. Aku seakan memeluk dunia.
“Wajahmu merah padam. Kau pasti memikirkan pria taksiranmu kan?”
Aku memikirkanmu. Selalu. Tiap detik.
“Uh!” kataku. “Haruskah kita membicarakan ini.”
“Tentu saja karena aku ini mak comblang terbaik.”
“Aku tak tahu kalau dulu kau pernah menjodohkan Cody.”
Tangannya berada di jantung seolah aku menusuknya. “Teganya! Aku memang tak pernah menjodohkan Cody, tapi aku selalu membantunya berbaikan dengan pacarnya tiap kali mereka bertengkar. Apa kau tak tahu kalau memperbaiki hubungan lebih sulit daripada membuat hubungan yang baru?”
Jeremiah mungkin tak menyadari apa yang dia katakan, tapi kalimatnya barusan membuatku tertegun. Jika aku mengatakan kebenaran, apakah hubungan kami akan tetap seperti ini atau malah rusak? Jika sudah rusak, apakah hubungan kami bisa diperbaiki kembali?
“Kau selalu punya kalimat bagus, Jeremiah,” gumamku.
“Huh?” dia mengerjap, memandangku beberapa detik sebelum akhirnya menangkap apa maksudku. “Itu pujian atau sindiran?”
“Maksudmu?”
“Selama ini aku bergaul dengan Cody yang tak suka berbelit-belit, jadi aku sering membuatnya jengkel dengan perkataanku. Sekarang aku bertemu dengan orang yang bisa mengerti maksudku, aku tak tahu apakah aku bahagia atau jengkel.”
“Ayahku pernah bilang kalau ada banyak sekali tipe kecerdasan di dunia ini. Ada yang cerdas dengan otaknya, pandai menghitung, serius, tipikal orang yang terjebak di laboratorium, itu kau.” Dia tertawa kecil, lanjutnya lagi. “Ada yang cerdas dengan fisik, sampai-sampai tak bisa menahan adrenalinnya untuk bersaing dengan orang lain, itu Chris. Lalu ada mereka yang cerdas karena sosialnya sampai tak bisa diam, itu aku. Dan masih banyak jenis lainnya. Tapi, dari banyak tipe kecerdasan itu, hanya ada dua tipe makhluk di dunia ini: mereka yang pasrah dan mereka yang berjuang. Nah, kau ada di bagian yang mana?”
Aku terdiam memikirkannya, lalu tersenyum kecil. “Aku seorang pejuang, Jeremiah. Tapi ada beberapa hal di dunia yang harus dipasrahkan.”
“Seperti pria taksiranmu?”
Aku mengerang. “Kita masih membicarakan ini?”
“Tentu saja. Aku juga seorang pejuang yang keras kepala. Sebelum aku mendapatkan apa yang kumau, jangan harap aku akan diam begitu saja.”
“Itu namanya memaksakan kehendak.”
“Dalam kasusmu, kurasa tidak.”
“Jeremiah!”
“Fran!” Dia membalas, tersenyum kecil seperti anak-anak, membuatku cemberut lalu melipat tangan. “Jadi, kau akan memberitahuku siapa dia.”
“Tidak,” kataku keras kepala.
“Oke, kalau begitu beritahu aku seperti apa dia.”
Hidungku mengerut, meliriknya penuh curiga. Tapi dia hanya tersenyum polos. Senyuman yang membuat pertahananku luluh. Kenapa pria besar sepertinya punya tampang memukau sih? Kenapa dia harus baik hati, lalu lucu, humoris, menyenangkan dan… dan… aarrgh!
Wajahku merah padam begitu melirik Jeremiah yang menunggu dengan sabar dalam diam. Menekuk kakiku dan memeluknya di dada, kucoba kusembunyikan wajahku yang memanas. Aku tak ingin membicarakan ini di depannya. Tapi aku tahu kalau dia tak akan berhenti. Dia bisa mendatangiku setiap hari hanya menunggu jawabanku. Aku tak akan bisa menghindarinya.
“Erm… dia,” kataku, berdeham, “dia tampan…”
“Uhu. Lalu?”
“Dia… dia juga menyenangkan…”
Untuk sejenak terjadi kesunyian. Kulirik Jeremiah yang tidak mengatakan apa-apa dan menatapku dengan penuh perhatian. Saat itulah keberanianku muncul. Ucapanku keluar begitu saja.
“Dia orang yang humoris dan selalu membuatku tertawa dengan perkataannya. Hanya dengan melihat sebuah senyumannya, aku merasa duniaku akan berwarna dan indah, seperti di dunia mimpi. Tiap kali bertemu dengannya, jantungku berdetak cepat dengan sendirinya. Dadaku terasa sesak karena kebahagiaan. Tetesan darah yang mengalir di tubuhku seakan memanggil namanya, berdesir tiap kali dia berbicara, atau memandangku. Matanya sangat indah, aku sangat menyukainya karena di sana aku selalu bisa menemukan kejujuran walau tanpa kata. Meski tak bertemu dengannya, hanya dengan mengingatnya saja di dalam kepalaku, aku selalu bisa tersenyum.”
Semua yang kuucapkan kulakukan dengan memandangi wajah Jeremiah. Hanya dengan melihat wajahnya, aku tahu aku punya keberanian.
Tapi pria itu malah terdiam lama sekali, mencerna perkataanku.
“Aku… aku terlalu puitis!” erangku, menutup mataku, malu sendiri. Aku baru saja menyatakan kekagumanku dengan sendirinya pada Jeremiah.
“Itu tak puitis. Itu kalimat terindah yang pernah kudengar.”
Aku mengerjap. “Huh?”
“Aku sampai tak tahu harus bilang apa. Wow,” desahnya.
Wajahku merah padam lagi, senang dia menyukai perkataanku.
“Kau pastilah menyukainya dengan sepenuh hati. Kau jatuh cinta padanya, Fran. Deep.”
Aku mengangguk kecil, tapi dia tak melihatku karena dahinya mengerut dalam, berpikir keras.
“Kau harus menyatakan perasaanmu padanya, Fran.”
Huh? APA? “Itu tak mungkin!” kataku segera.
“Kenapa?” Jeremiah mengerutkan dahi. “Apa kau tak dengar perkataanmu barusan? Kau memujinya seakan dia dewa. Kau bahkan tak mengeluarkan satu kata jelek pun untuknya. Kau mencintainya, Fran. Ini bukan saatnya memikirkan keegoisan atau harga dirimu. Kalau kau tak segera menyatakan perasaanmu, cintamu akan terbuang begitu saja. Dia harus tahu bahwa ada seseorang di sana yang mencintainya sepenuh hati. Cinta tak bisa dilakukan kalau hanya di satu pihak saja.”
“Tapi aku tak bisa melakukannya,” kataku.
“Kau bisa.”
“Tidak. Aku tak bisa!”
“Kenapa?”
“Karena dia bukan gay!”
Ruangan tengah sunyi senyap. Napasku memburu, jantungku seakan terhenti. Jeremiah menatapku dengan tak percaya.
Satu perkataanku berhasil membuatnya tak bisa bicara.
“Oh.”
“Ya, oh.”
Aku kembali memeluk kakiku, menunggu Jeremiah untuk bicara. Aku tak mau bicara.
Karena dia bukan gay.
Jeremiah bukan gay. Aku tahu itu. Itu sebabnya aku harus menyerah. Tapi, kenapa aku tak bisa? Aku tahu aku sedang membunuh diriku pelan-pelan. Tapi aku tak bisa melakukan apapun. Aku kencanduan rasa cintaku pada Jeremiah sehingga tanpa dia aku tahu kalau aku akan mati dengan segera.
“Jadi, kau akan menyerah?” tanyanya setelah sepuluh menit dalam diam.
“Aku sudah bilang kalau ada beberapa hal di dunia ini yang harus dipasrahkan,” gumamku.
“Dan kau memasrahkan cintamu,” sambungnya.
Rasanya aku ingin menangis. Mataku sudah kabur karena menahan air mata.
Kau memasrahkan cintamu. Aku memasrahkan cintaku. Aku memasrahkan Jeremiah karena aku tahu kalau dia tak akan bisa kujangkau, bagaimana pun aku melakukannya.
Jeremiah menghela napas. Dahinya masih mengerut. Punggungnya bersandar di sofa dengan pandangan mata lurus ke layar televisi.
“Aku tak tahu seperti apa sifat dan pendapat pria taksiranmu, Fran, tapi bila itu aku, kurasa aku akan jadi orang paling bahagia di dunia.”
Kau tahu saat dimana lehermu hendak patah karena bergerak tiba-tiba sampai tulangnya berderik? Nah, seperti itulah yang kurasakan. Aku begitu kaget sampai mengadahkan kembali wajahku pada Jeremiah, yang tampak begitu berkonsentrasi, dengan pandangan tak percaya.
“Huh?”
“Kau tak merasa begitu? Bila ada seseorang di luar sana yang mencintaiku sepenuh hati dan ingin membahagiakanku, aku akan dengan senang hati menyambutnya dan mengajaknya berkencan, lalu melihat ke arah mana perjalanan kami.”
“Ke-kenapa?”
“Karena…”dia berhenti, mengerutkan dahi, “karena cinta tak akan berjalan tanpa adanya sebuah tindakan. Bagaimana kau bisa mengatakan kalau kau mencintai bila kau tak mengatakannya? Bagaimana bisa kau mengatakan kalau kau mencintai seseorang sementara kau hanya memendamnya dalam hati dan tak menunjukkannya? Bagaimana bisa kau menuntut orang yang kau cintai bila dia bersanding dengan orang lain bila kau tak pernah bilang ‘I love you’ yang akan membuatnya menoleh padamu?”
Suaraku bergetar menanyakan, “Meskipun dia pria?”
Aku menunggu Jeremiah mengatakan “Eew, aku bukan gay” seperti yang kuperkirakan, tapi Jeremiah malah mengangguk dan dengan mantap berkata, “Meskipun dia pria.”
Aku seakan mendengar musik biola, harpa, piano dan nyanyian berada di belakang punggungku lengkap dengan angin lembut dan cahaya keperakan yang bersinar di sana.
“Je—”
“Oh, sebentar. Ponselku bergetar.” Dia merogoh saku celananya, mengeluarkan ponsel zaman hitam putih yang ringtone-nya malah masih berbunyi bip-bop-bip-bop layaknya kode morse dan mengangkatnya. “Hallo? Hei, Daphne!”
Daphne?
“Uhu, aku sudah melihat fotonya. Ya, mereka sangat manis. Maafkan aku tak bisa menemanimu hari ini tapi aku janji akan melakukannya bulan depan. Kenapa? Oh, aku tak keberatan.”
Senyumanku menghilang. Suara musik di belakangku juga ikut terendam tiap kali mendengar untaian kalimat yang dikeluarkan Jeremiah. Daphne. Seorang wanita, yang membuat mata Jeremiah bercahaya hanya karena memanggil namanya dan senyuman lebar menghiasi wajahnya.
Hatiku retak lagi. Puing-puingnya jatuh ke bawah dan tak terlihat.
Aku patah hati.
“Fran, aku pulang dulu. River hari ini menginap di rumah dan aku tak mau dia menghabiskan isi kulkasku.” Dia bangkit, menyimpan ponselnya. “Kita bicarakan lagi masalah ini nanti ya?”
Aku tak ingin membicarakan apapun, tapi toh aku mengangguk.
Tangan besarnya menyapu rambutku. Dia berteriak pada Gabrielle yang dibalas Gabrielle dengan teriakan. Setelah itu pria itu keluar dari rumah.
Aku segera naik ke kamarku begitu mobilnya menghilang di kejauhan, masuk ke kamar mandi dan menghidupkan shower. Tanpa melepaskan pakaianku, aku segera berdiri di bawahnya. Air meluncur turun membasahi wajahku yang memang sudah penuh dengan air mata.
“Uh…”
Aku tak bisa lagi menahan isak tangisku dan menangis sejadi-jadinya di kamar mandi tanpa suara.
Jeremiah, aku tahu bahwa kau akan memberi kesempatan pada orang yang menyatakan cinta padamu. Tapi aku tak buta dan tak peka untuk tidak melihat cinta yang kau berikan pada orang lain.
Kau memang tipe pejuang.
Namun, detik ini, aku jadi pecundang.

***

GABRIELLE(POV)
Aku tak tahu apa yang terjadi pada Fran, tapi dia lebih pendiam daripada biasanya. Sejak sarapan dia hanya melamun saja, nyaris menghabiskan seluruh isi makanan di kulkas ketika memasak sampai dia sadar waktu aku menegornya dan mengusirku untuk sekolah.
“Ok, Papa, aku berangkat sekarang,” kataku, mengambil tasku setelah memakai mantelku. Meski Cody bilang kalau aku sudah bisa menjaga diriku sendiri, tapi aku tetap mau latihan. Latihan pagi sudah menjadi keharusan dan aku tak peduli di luar sedang salju.
“Gabrielle,” Fran menghela napas, memasukan termos berisi teh jahe ke salah satu kantongan tasku. “Jangan lupa menghabiskan ini. Tubuhmu bisa kedinginan bila terlalu lama di luar.”
Aku hanya bisa mengangguk. Setelah mengecup dahiku, aku berangkat, berlari sekuat tenaga menuju sekolah. Topi kuplukku basah karena keringat, jadi aku melepasnya.
“Gabrielle!”
Suara itu membuatku memutar bola mata. Rory berlari dari ujung lorong ke ujung lorong satunya—tepatnya ke tempatku berada. Senyuman lebarnya muncul begitu melihatku, matanya berkilat bahagia. “Pagi! Wow, kau keren sekali dengan potongan rambut itu.”
“Thanks. Aku mau mandi dulu,” kataku, memasukkan tasku ke dalam loker.
“Boleh aku ikut.”
“Oh, boleh, kau menunggu di luar pintu.”
Dia cemberut dan aku meninggalkannya. Setidaknya, Rory bukan tipe orang mesum yang tidak mendengarkan orang dan menerobos masuk kamar mandi. Setelah selesai mandi, aku memakai pakaianku, dan keluar. Rayne dan Wyalt sudah datang, menunggu di lokerku bersama dengan Rory.
Mereka—Rory dan Rayne—sedang bertengkar.
“Kau orang terbodoh yang pernah kutemui,” desis Rayne.
“Dan kau jelas orang tersombong yang pernah kutemui,” balas Rory.
“Aku tak mau mendengar pendapat dari orang bodoh yang bahkan tak mengerti hukum Archimedes.” Rayne mengayunkan tangannya.
“Hei, aku tersinggung!” Wyalt melipat tangannya. “Tak mengerti hukum Archimedes bukan berarti kami bodoh.”
“Tingkat kepintaran kalian berdua memang perlu dipertanyakan,” Rayne memutar bola matanya.
“Bukan salah kami bila kau nerd. Menghabiskan waktumu di depan buku tanpa melakukan apapun sama juga dengan nol.” Rory membalas tak kalah jeniusnya.
“Dan menurutmu kau sudah melakukan sesuatu dengan mengikut Gabrielle kemana-mana?” Rayne menaikan alis, tampak jengkel.
“Setidaknya, aku berusaha.”
“Yep, usahamu tanpa hasil.”
Rory berteriak jengkel, mengangkat kedua tangannya, nyaris saja mencekik Rayne. Wyalt cepat-cepat memeluk pinggangnya.
“Lepaskan aku. Aku mau mengorek mulutnya!” gerutu Rory. Kakinya tak lagi menginjak lantai karena Wyalt menggendongnya. Rayne sendiri tampak santai, bersandar di salah satu loker, tersenyum puas pada Rory yang tak bisa berbuat apa-apa dan tak peduli dilirik oleh nyaris seluruh siswa.
“Bisakah kalian tak bertengkar setiap hari? Aku bosan menjadi wasit kalian,” Wyalt mengeluh jengkel. Lalu, dia menoleh padaku. “Hei, Gabrielle! Boleh minta bantuan?”
“Rory, tenangkan dirimu. Rayne, jangan menggerecokinya lagi,” kataku.
Rory cemberut, tapi tak lagi berkutat, jadi Wyalt melepaskannya.
“Gabrielle, potongan rambutmu boleh juga,” Wyalt nyengir lebar. Bila kalian belum tahu, hari ini rambutnya dicat warna putih, jadi wajahnya tampak bersinar dan tak terlihat.
Aku tak membalas ucapannya, memilih mengeluarkan buku-buku pelajaranku. Fanesca bergabung dengan kami begitu aku memasukkan buku-bukuku ke tas.
“Hei, kalian!” sapanya, begitu melihatku, matanya terbelalak. “Gabrielle?”
“Dia cakep kan, Fanesca?” Rory merangkul tanganku. “Matanya yang biru jadi terlihat!”
“Oh… wow,” katanya, mengerjapkan mata. Dahiku mengerut melihat ada rona merah di wajahnya. Wyalt melirik kami bergantian, berdeham dan merangkul Fanesca.
“Aku akan mengantarmu ke kelas. Sampai jam makan siang.” Cepat-cepat Wyalt menarik Fanesca, meninggalkan kami bertiga.
“Ada apa dengannya?” kataku pada akhirnya.
Oblivious seperti biasa,” gumam Rayne.
“Huh?”
“Gabrielle, kau akan mengantarku ke kelas kan?” Rory mengaitkan tangannya dengan tanganku, kemudian menarikku ke kelasnya. Karena aku sudah bosan menyingkirkan tangannya, maka aku membiarkannya melakukan hal yang dia suka. Sejak kejadian di loker waktu itu, aku dan Rayne selalu mengantarnya ke kelas—meski Rayne selalu ngomel.
“Mereka kan tak akan mengganggumu lagi. Kau bisa pergi sendiri,” kata Rayne.
“Aku kan tak menyuruhmu ikut.”
“Kau menculik temanku.”
“Tapi aku pacarnya.”
“Sejak kapan kau jadi pacarnya?”
“Sejak aku memutuskan begitu.”
“Otakmu tak waras.”
Otakmuyang tak waras.”
Aku hanya mampu memutar bola mata.
Sisa hari kuhadapi dengan berusaha untuk berkonsentrasi dengan pelajaranku dan menghindari para anak perempuan yang mencoba untuk menggodaku. Aku tersanjung mendengar mereka menyukai rambut baruku, tapi aku tak peduli. Pendapat mereka tak ada artinya bagiku.
“Gabrielle!” Jamine berteriak nyaring, mendatangi meja makan siang kami. Ezekiel dan si kembar mengikuti dari belakang sambil geleng-geleng kepala. Seperti biasa, Jamine memeluk dan mencium pipiku lalu duduk di sampingku. “Oh my sweet angel. You look gorgeous!
“Aku tahu,” kataku tanpa sadar yang membuat Raphael dan Michael tertawa.
“Dia pasti sudah mendengar hal itu berulang kali,” Ezekiel tersenyum padaku. “Ngomong-ngomong, Gabrielle, malam Natal nanti kau ada acara?”
Fran tak mengatakan apa-apa soal kegiatan Natal. Biasanya kami hanya disuruh berkumpul untuk makan besar saat ada di panti asuhan. Dan aku tak lagi di panti asuhan, jadi aku tak tahu apa yang biasa dilakukan orang normal di hari Natal.
“Sepertinya tak ada,” kataku.
“Bagus. Kita bisa bersenang-senang!” Si Kembar berkata berbarengan.
“Jika menyangkut kalian berdua, aku tak yakin bisa bersenang-senang,” gumamku.
Mereka tak mendengarkan dan menyahut bergantian, seperti biasa.
“Datang ke rumah kami.”
“Ajak Fran.”
“Kita berkumpul.”
“Makan kue.”
“Tukar kado!”
“Barbeque!”
“Main bantal!”
“Lempar salju juga menarik!”
Ezekiel memotong mereka sebelum mereka mengeluarkan kalimat tak jelas lagi.
“Di malam natal nanti semua orang berkumpul di rumah kami. Tak banyak, hanya keluarga kami dan Cody. Karena tahun ini terjadi perubahan besar dengan menikahnya Cody dengan wanita dan pulangnya River, Natal tahun ini tak seperti biasanya. Sudah lama kami tak berkumpul seperti ini, nyaris selama sepuluh tahun. Jadi—”
“Cass memaksa kami untuk mengundangmu. Tanpa disuruh pun aku akan mengudangmu!” Jamine berkata bersemangat. “Noah dan kawan-kawan rencananya juga akan datang.”
“Noah dan kawan-kawan?” ulangku ngeri.
“Yep. Noah, Jimmy, Troy, Ben dan Oliver.”
Uhu. Luar biasa. Rumah mereka akan seperti arena pertempuran.
“Aroz juga akan ada di sana?”
Ezekiel menggosok dagu. “Sepertinay tidak. Dia akan menghabiskan waktunya dengan pacarnya. Memangnya kenapa, Gabrielle?”
“Uh, aku mau makan kuenya.”
“Nanti kami akan pesan yang banyak. Jadi, kau akan ikut kan?”
“Kalau Papaku setuju.” Kalau Fran setuju, aku bisa bilang apa?
“Oh, itu tak perlu kau khawatirkan. Aku yakin Papamu akan setuju.”
Yep. Dan aku yakin satu-satunya orang yang membuatnya setuju hanya Remi.

***

JEREMIAH(POV)
“Fran, mungkin ini cuma perasaanku, tapi entah mengapa aku merasa kau menghindariku,” kataku, menyipitkan mata. Salah satu tanganku menopang dagu di meja kerja Fran.
Fran—pria menyebalkan itu—seperti anak kecil ketahuan mencuri, segera mengalihkan perhatiannya pada berkasnya meski dia tak membacanya. Setiap kali dia berbohong, dia tak akan bisa melihat mataku. Orang ini bisa ditebak.
“Apa aku melakukan kesalahan?”
Dia menggigit bibir. “Tidak.”
“Lalu?”
“Aku tak tahu apa yang kau bicarakan.”
“Kau tahu benar kalau aku tak akan termakan ucapan sampah itu.”
Lagi-lagi, dia menggigit bibirnya. “Aku sedang sibuk, Jeremiah. Bisakah kau meninggalkanku sendirian?”
“Sibuk apa? Dari tadi kau cuma memelototi kertas itu.”
“Aku sedang memeriksa penelitian mahasiswaku.”
“Dengan mata yang tak bergerak?”
Dia menghela napas, menurunkan kacamatanya sehingga aku bisa melihat mata hijaunya. “Apa maumu, Jeremiah?”
“Harusnya aku yang tanya apa maumu.”
“Bila kau lupa, kau sendiri yang datang ke kantorku.”
“Oh, jelas aku akan datang ke kantormu karena tempat ini satu-satunya tempat persembunyianmu yang paling tepat. Kau tak mungkin kabur bila aku sudah menemukanmu di sini.”
Aku yakin sekali dia sedang memakiku di kepalanya yang kecil itu, tapi aku tak peduli.
“Bisakah kita selesaikan masalah di antara kita secepatnya?”
“Yep, bisa saja. Aku hanya ingin tahu kenapa kau menghindariku beberapa hari belakangan ini.”
“Entahlah, Jeremiah. Sepertinya aku sangat sibuk dengan pekerjaanku belakangan ini sampai lupa ada kau yang harus diingat.”
Oh, sekarang dia sudah mulai pintar untuk sarkastik terhadapku? “Kau sangat sibuk sekali ya sampai untuk mengangkat telepon saja tak bisa?”
“Memangnya, ada urusan apa kau meneleponku? Biasanya, kau menghubungiku saat kau bosan atau saat kau butuh bantuan saja. Kau pikir aku apa? Badut penghiburmu?”
“Wow, Fran, kau mendapatkan kata baru di kamusmu.” Dia menggigit bibirnya, merasa bersalah? “Sekarang, aku yakin seratus persen bahwa kau marah padaku dan aku tak tahu apa itu. Bila kau tak mengatakannya padaku, bagaimana aku bisa tahu?”
“Berapa kali aku harus bilang kalau kau tak salah apapun?”
“Lalu kenapa kau jadi menjengkelkan seperti ini?”
“Aku…” dia berhenti, menghela napas. “Kurasa, aku hanya sedikit stress.”
Suaraku melembek. “Fran, kau terlalu banyak bekerja.”
“Aku tak terlalu banyak bekerja.”
“Ok, aku ganti bahasanya. Fran, kau terlalu banyak berpikir.”
Kali ini, dia mendelik jengkel padaku. “Jeremiah, apa maumu?”
“Malam natal nanti aku akan menjemput kalian ke rumahku.”
“Jeremiah, aku bisa datang sendiri ke rumahmu. Kau tak perlu repot-repot menjemputku.”
“Maksudku, rumah orang tuaku.”
Dia mengerjap. “Huh? Kenapa?”
“Karena Natal kali ini tak seperti biasa.” Dia tak merespon, jadi aku melanjutkan. “Rumahku akan ramai dengan keluarga dan teman-temanku. Cody akan di sana, dan aku ingin kau juga ada di sana.”
“Apa kau yakin aku tak akan mengganggu?”
“Jangan bodoh,” kataku memutar bola mata. “Aku selalu membawa teman-teman dekatku ke rumah di acara-acara penting. Kami biasanya berkumpul saat Thanksgiving dan Natal. Tahun baru juga. Tapi tidak terlalu sering karena kantor biasanya memiliki acara tahun baru bersama.”
“Urm… aku harus bawa apa?”
“Kau tak harus bawa apa-apa. Aku akan beli kado natalnya sendiri—”
“Aku ikut.”
Alisku menaik. “Ok. Besok kita beli kadonya. Siapkan waktumu. Gabrielle juga bisa ikut, kalau dia mau.”
Dia mengangguk.
“Karena kau tak ingin diganggu. Maka lebih baik aku minggat dari tempat ini. Sampai jumpa besok, Fran,” kataku, bangkit dari tempatku.
Tiba-tiba saja, dia memegang lenganku saat aku ada di depan pintu.
“Ya?”
“Jeremiah, aku sungguh-sungguh minta maaf dengan sikapku tadi. Kau sungguh tak salah apa-apa.”
Aku tersenyum. “Aku tahu, Buddy, kalau tidak aku pasti sudah berlutut di kakimu untuk mendapat maafmu.”
Dia tak tersenyum. Wajahnya malah serius sekali. “Aku menyukaimu, Jeremiah.”
Senyumanku semakin mengambang. “Aku tahu. Aku juga menyukaimu, Fran. Kapan-kapan kita harus jalan-jalan lagi.”
“Uh… ok,” katanya, menggaruk-garuk lehernya. Wajahnya merah padam. “Sampai jumpa, Jeremiah.”
Dahiku mengerut begitu dia menutup pintu tepat di depan wajahku. Sedetik kemudian, aku bisa mendengar suaranya yang berkata, “Idiot!” Yang aku yakini ditujukan padaku. Pria itu jelas punya masalah terhadap otak dan hatinya. Tidak ingin mendengar dia menyumpahiku, aku memilih pulang.
Sesampainya di rumah, aku menemukan pintu rumahku sudah terbuka lebar dan tak terkunci. Satu-satunya manusia yang aku yakini berbuat seperti ini hanya River.
“River!” suaraku menggelegar. “Demi Neptunus, aku sudah melarangmu untuk merusak pintu rumah—WHAT THE FUCK!”
Aku menganga melihat ruang depan rumahku sudah berantakan, penuh dengan salju dan tetes-tetesan air yang menggenang dari pintu menuju dapur. Koalaku memanjat dengan susah payah menuju pohonnya. Ada bekas garukan di lantai kayuku. Meja ruang tengah ditutupi dengan sampah plastik dan kalengan. Begitu memasuki dapur, yang sama kacaunya dengan ruang tengah, aku tak tahan lagi.
“RIVER!” seruku jengkel, melangkah panjang-panjang menuju kamarku karena aku bisa mendengar suara tawanya di kamar Cody. Bila dia membawa pacarnya ke kamar Cody, aku akan membantainya! Ada hotel yang bisa dia gunakan!
Aku membuka pintu kamar, tak peduli apakah mereka sedang bercinta di sana atau tidak dan berteriak, “RIVER, APA YANG KAU LAKUKAN PADA RUMAH—ANAK SIAPA ITU?”
Pertanyaanku berhenti di tengah kemarahan dan berganti menjadi keterkejutan begitu melihat ada anak kecil di dada River, yang mendudukinya sambil tertawa.
River melihatku, nyengir lebar. Begitu pula dengan anak kecil itu.
“Hei, Xavier. Kau sudah pulang? Perkenalkan, ini Nikolein.”
Aku melirik anak kecil berusia—setidaknya—dua tahun yang ada di dada River. Wajahnya putih pucat dengan mata besar bulat berwarna hitam yang sama dengan rambut hitam lurusnya. Anak laki-laki itu punya wajah yang mungil dan senyuman yang lebar di bibirnya yang merah.
“Uhu, dan siapa dia, tepatnya?”
River memilih untuk duduk, menggendong Nikolein di pangkuannya. “Kau ingat waktu aku bilang kalau aku ada di perbatasan Gaza?”
Alisku menaik. Menyandarkan tubuhku ke dekat pintu, aku melipat tanganku, menunggu dia berbicara, “Yep, aku mengingatnya sejelas kemarin.”
“Jadi, ada sedikit kesalahan waktu itu.”
Entah mengapa aku tak akan suka lanjutannya.
“Jadi, teman-temanku menganggap bahwa lucu sekali menyuntikku dengan obat bius yang membuatku berhalusinasi—”
“Narkoba, maksudmu?”
“Heroin,” dia memperbaiki. “Dan, tiba-tiba saja ada pria yang paling menarik di seluruh dunia di depan wajahku, lalu tanpa basa-basi lagi aku—kau bisa menebaknya sendiri. Keesokan harinya, aku menemukan kalau pria ini berubah jadi wanita. Dan kau tahu seberapa parahnya kondisi di sana, jadi aku melarikannya dan dia bilang kalau dia mengandung dan menghasilkan Nikolein. Aku luar biasa kan? Siapa yang menyangka kalau gay sepertiku akan punya anak dari perempuan dan bukannya adopsi?”
Yep, aku benar-benar tak menyukai cerita River.
“Lalu, dimana ibunya?”
“Tertembak di perbatasan Gaza karena orang tuanya merasa dia sebagai aib karena melahirkan anak tanpa hubungan yang jelas.”
“Aku akan membunuhmu.”
“Aku sudah tahu.”
“Begitu pula dengan kedua Mr Huges.”
“Kalau itu, aku tak perlu ragu lagi.”
Hebat,Natal kali ini benar-benar berbeda!

***

TBMB [22]



22
Man Up
==========

RIVER(POV)
Aku menggosok daguku, sama sekali tak melihat layar televisi yang memberitakan masalah kemarin. Xavier masuk lima belas menit kemudian, membawa bungkusan. Dia tak melihatku dan segera berlalu ke dapur. Tak lama, dia membawa nampan dengan bau sup enak menggugah selera menuju atas.
Sikap Xavier membuatku ingat apa yang dikatakan Fran kemarin.

“Aku menyukai Jeremiah,” suara Fran terdengar tak jelas karena dia sangat mabuk. Bibirnya merengut, mirip seperti anak kecil yang tidak kebagian permen. “Menurutmu, apa dia menyukaiku?”
Alisku menaik, bersandar di kursi sambil melipat tangan. “Kurasa dia menyukaimu.”
Yang mengherankan, dia malah tertawa, menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kau bohong. Dia tak menyukaiku. Dia benci padaku.” Aku tak merespon dan dia melanjutkan. “Dia selalu marah padaku. Apa seperti itu sikap orang yang menyukai seseorang?”
“Well, Xavier memang seperti itu.”
“Aku tak berbicara tentang Xavier, aku membicarakan Jeremiah.”
Orang mabuk benar-benar tak bisa menggunakan otak mereka. “Ya, Jeremiah.”
Fran menyipitkan matanya, kacamatanya miring sedikit. Dia mengambil gelas dan minum lagi. Aku tak melarangnya. Kalian tahu isitilah bahwa orang mabuk adalah orang terjujur di dunia? Nah, aku yakin bahwa itu benar. Setelah menghabiskan gelas ketiganya, Fran mulai melakukan tingkah aneh dengan memelototi gelasnya seakan benda itu berbahaya.
“Fran, kurasa kau sudah terlalu banyak minum.” Betapa manisnya ekspresi wajahnya itu.
Dan tiba-tiba saja dia bicara. “Aku mencintainya.”
Aku mengerjap. “Huh?”
“Aku mencintai Jeremiah,” gumamnya. “Apa dia mencintaiku? Jika aku bilang kalau aku cinta padanya, apa dia akan membenciku? Aku tak mungkin bersaing dengan para wanita kan? Mereka lebih baik dibandingkan aku. Hah… cinta itu tak enak. Si Bodoh. Dia sama sekali tak menyadari perasaanku.”

Ini benar-benar diluar dugaanku. Kalau sudah seperti ini, aku tak akan punya kesempatan dan tentu saja aku tak berniat mengambil kesempatan. Meski aku naksir Fran, tapi bila dia menyukai orang lain, maka aku tak berhak di antara mereka.
Masalahnya, aku cemas pada Fran.
Selama ini, Xavier belum pernah mencintai seseorang dengan tulus. Satu-satunya orang yang dia kasihi hanya Cody, bahkan kami sebagai keluarganya saja sama sekali tak mampu menandingi Cody. Aku yakin siapapun yang jadi pendamping Xavier, mereka akan selalu jadi nomor dua. Kenapa Xavier menjadi seperti itu, aku juga bertanya-tanya. Sejak dia kecil, aku tak merasa ada hal yang aneh di antara hubungan mereka berdua. Mereka layaknya sahabat sejak kecil lainnya. Mereka juga tak terikat hubungan romantisme atau seksual.
Lalu, kenapa hanya Cody yang berbeda?
Mungkin terjadi sesuatu selama aku pergi? Hanya ada satu kejadian penting yang membuat seseorang rela mati demi seseorang kan? Tunggu dulu, kalau aku tak salah ingat, Cody pernah mengalami kecelakaan. Apa karena itu? Sepertinya tidak, mereka sudah lebih akrab jauh sebelum itu.
Lebih baik, aku tanyakan saja langsung daripada bikin pusing.
Tanpa berlama-lama, kulangkahkan kaki menuju kamar dan mengintip dari celah pintu. Xavier sedang memarahi Fran, mengulangi kalimatnya pagi ini untuk tidak minum lagi. Fran sendiri hanya mengerang jengkel padanya dan menyuruhnya keluar agar dia bisa makan dengan tenang.
“Ini semua karena kau,” desis Xavier, menutup pintu. “Kau tahu dia tak bisa minum banyak, tapi tetap saja memberinya minum.”
“Aaw, Xavier. Aku hanya ingin tahu semanis apa calon pacarku saat sedang mabuk.”
Ada kilatan posesif di matanya. “Jauhi dia. Kau cuma memberikan dampak buruk.”
“Tapi aku menyukainya,” kataku, mengikutinya turun ke bawah. “Kenapa sih kau peduli sekali padanya? Kupikir satu-satunya orang yang kau cintai hanya Cody.”
“Karena kau memberi dampak buruk padanya.”
“Memangnya aku melakukan apa? Aku tak menyuruhnya minum banyak. Aku“
“Tapi kau tak melarangnya berhenti,” potongnya cepat. “Jangan bawa-bawa Cody dalam masalah ini, oke?”
Aku memutar bola mata, menarik kursi di dekatnya yang sedang mengambil jus di kulkas. “Bukankah sudah saatnya bagimu untuk membentuk keluarga sendiri? Cody sudah punya Keyna sekarang. Sekarang giliranmu. Kau tak akan mau kalah dari temanmu sendiri kan?”
“Aku akan menikah jika sudah menemukan wanita yang tepat.” Dia meneguk jusnya langsung dari kotaknya. Aku hanya memandangi Xavier, memerhatikan figurnya.
Damn, adikku memang seksi. Bahkan dengan rambut awut-awutan saja dia masih tetap keren. Pantas saja Fran tergila-gila. Sifat bad boy-nya itu juga menjadi daya tariknya, meski kadang-kadang, itu juga yang menyebalkan.
“Aku ingin bicara serius,” kataku, mengganti intonasi suaraku. Xavier melirikku dari ujung matanya, mengangguk dan duduk di depanku. Meskipun keluarga Huges terkenal dengan kegilaannya, tapi kami lumayan serius. “Ini mengenai hubunganmu dan Cody.”
Matanya menyipit. “Aku mendengarkan.”
“Kenapa harus Cody?”
Dia terdiam sejenak, memandang mataku lurus-lurus. Aku tahu hanya dengan satu pertanyaan itu, Xavier bisa menduga berapa banyak arti di dalamnya.
“Ada tiga alasan,” jawabnya serius. “Dia ada. Dia tak mengecewakanku. Dia tak menghakimiku.”
Aku mengerjap. Tiga alasan singkat yang entah mengapa menusuk jantungku. “Xavier…”
“Tidak, River. Aku tak ingin membicarakan ini.” Dia bangkit, meneguk jusnya kembali. “Itu sudah menjadi bagian dari masa lalu. Aku tak mau mengingatnya.”
“Xavier…”
“Bisakah kita hentikan pembicaraan ini? Aku paling benci hal-hal yang membuat kepalaku sakit.” Meletakkan jusnya, Xavier segera keluar dari dapur dan, kuduga, kembali ke kamarnya.
Dia ada. Dia tak mengecewakanku. Dia tak menghakimiku.
Tiga alasan yang membuat keberadaan Cody mutlak, bahkan oleh siapapun.
Dan itu semua karena aku.
Karena aku memutuskan untuk meninggalkannya tanpa kabar, memberikannya seluruh tanggung jawab ke bahunya, membuatnya harus menjadi sepertiku, membuatnya hidup dalam perbandingan oleh orang-orang…
Apa yang telah kulakukan? Jeritku dalam hati. Aku telah melakukan kesalahan besar dengan mengorbankan Xavier hanya untuk mendapat kebebasanku. Tanggung jawab yang harusnya menjadi milikku kuserahkan pada seorang anak kecil. Aku bahkan tak mampu menghadapi masalahku sendiri dan memilih untuk melarikan diri.
Ponselku tiba-tiba berdering, membuatku kembali fokus. Pandanganku kabur dengan air mata yang cepat-cepat kuhapus. Ada telepon masuk dari tempat yang jauh dari sini.
“Halo?” kataku dengan suara bergetar.
“River, wanita itu meninggal.”
Aku tak tahu harus bilang apa. Butuh waktu untuk memeroses apa yang sebenarnya terjadi. “Bagaimana…” Aku menelan ludah. “Bagaimana kejadiannya?”
“Dia tertembak pasukan militer di perbatasan Gaza saat hendak mengungsikan anak kecil.”
Aku menggigit bibir. Air mataku sudah tak terbendung lagi. Wanita itu sudah meninggal. Dia pergi dengan cara mengenaskan. Bahkan aku sendiri tak bisa mengucapkan selamat tinggal padanya. “Lalu, bagaimana dengan anaknya?”
“Anak itu selamat. Trauma dan sedih, tapi dia sehat.”
Aku menghela napas lega. Setidaknya, aku tahu dia baik-baik saja.
“River, apa yang harus kulakukan pada anak itu? Aku tak mungkin meninggalkannya di negara ini. Kau tahu benar hukum di negara ini masih primitif. Dia bisa mati.”
“Aku…” Aku tak bisa bicara. Aku tahu hal itu.
“Xavier, aku tahu kontrakmu dengan militer sudah selesai, tapi kau tak bisa meninggalkan tanggung jawabmu di sini. Dia membutuhkanmu.”
Aku memijit ujung hidungku, menghela napas. Meski aku tak percaya ada Tuhan di dunia ini, tapi aku yakin ada yang namanya karma dan karma itu sedang menghukumku sekarang. Seluruh kesalahan yang pernah kulakukan dulu, sekarang balik menyerangku bertubi-tubi.
Tapi kali ini aku tak akan kabur.
Aku sudah bersumpah pada diriku sendiri bahwa aku akan menghadapi masalahku sejak aku menginjakkan kaki kembali kemari. Aku harus mulai melakukan segala sesuatu dengan benar. Hal itu dimulai dari sekarang.
“Kirim dia ke sini,” kataku.
“Kau yakin?”
“Ya,” kataku mantap. “Nikolein membutuhkanku sebagai Ayahnya.”
***
JEREMIAH(POV)
Dua minggu tak ada Cody, aku bosan setengah mati. Cody sepertinya benar-benar menikmati masa bulan madunya sampai lupa sama sekali denganku. Si Bodoh itu bahkan tak memberikan pesan padaku! Keyna benar-benar memonopolinya! Awas saja wanita itu, kubalas dia nanti!
Menghela napas, aku menutup berkas yang sudah kutandatangani dan ganti melihat komputer.
Ada sebuah pesan masuk ke mailku.
Jeremiah, aku tahu bahwa kau sangat sibuk jadi tak bisa menemaniku.
Tapi kupikir kau ingin tahu perkembangan bayi kita.
Daphne.

Aku tersenyum melihat foto hitam putih yang dikirim Daphne padaku. Sudah berapa lama Daphne hamil? Aku lupa sudah berapa bulan, tapi melihat perkembangan janin di perut Daphne membuatku diliputi kebahagiaan tersendiri. Tanpa sadar, aku sudah meraba foto itu, rasa sayangku bangkit begitu rupa.
Aku akan menjadi seorang Ayah. Awalnya, itu ide mengerikan yang amat buruk, tapi setelah aku mulai terbiasa, perasaan itu berubah menjadi sebuah kebahagiaan. Inikah yang dirasakan Cody saat mendengar bahwa Keyna hamil? Aku bisa mengerti perasaan Cody dan bagaimana rasa cintanya bertambah pada wanita itu. Dan kurasa, aku juga mengalami hal yang sama. Perasaan cinta padaku semakin hari semakin dalam pada anakku dan pada ibunya.
Tapi, sayangnya, Daphne berada jauh dari jangkauan.
Aku menyimpan foto itu dan mencetaknya lalu kumasukkan ke dompetku. Bila melihat foto itu, aku yakin aku bisa menjaga diriku sendiri untuk tidak melihat wanita lain. Aku tak mau anakku dikutuk oleh para wanita yang kutiduri. Kenapa? Kalian mengejekku yang percaya pada kutukan? Silakan tertawa, aku tak peduli.
Selesai membereskan pekerjaanku hari ini, aku segera turun dan masuk ke mobilku. Selama ini aku sibuk terus karena pekerjaan dan tak sempat bergaul dengan siapapun. Siapa kira-kira yang harus kuajak ngobrol? Aku sedang tak ingin bicara dengan para wanita. Aku hanya ingin santai.
Aroz sudah pasti tak bisa kuajak ngobrol karena dia hanya akan menghabiskan seluruh waktunya pada James, yang seperti lintah dan ogah meninggalkannya kemana-mana. Lagipula, aku tak ingin melihat kemesraan mereka sementara aku sendiri jomblo. River sedang sangat sibuk. Akhir-akhir ini dia membuktikan dirinya bahwa dia ingin mengambil alih pekerjaan Ayahku. Dia memegang tiga perusahaan sekaligus dan menata rumah barunya. Dia juga mulai jarang pulang karena harus terbang ke beberapa negara. Keluargaku jelas bukan pilihan. Mereka hanya akan mengeluhkan hal yang  sama.
Satu-satunya orang yang jomblo dan santai tiap malam hanya satu orang: Fran.
Kenapa hanya dia satu-satunya pilihan? Menghela napas, aku memutar mobil menuju rumah Fran. Apa kira-kira alasan yang harus kuberikan pada Fran? Dan kenapa pula aku harus memberikan alasan? Oh, benar juga, karena aku tak mau dia salah paham pada setiap kunjunganku.
Dahiku mengerut, kebingungan sendiri. Tapi, salah paham karena apa?
Otakku yang menyebalkan tiba-tiba saja mengingat adegan dimana Fran yang mabuk waktu itu dan tak sadarkan diri di kamarku. Pada saat itu tanpa sadar, aku menciumnya. Setan apa yang waktu itu merasukiku sampai menciumnya?
Tentu saja karena saat itu kau melihatnya begitu manis tidur di  atas tempat tidurmu karena River membuatnya mabuk dan Gabrielle menyuruhmu untuk mengantarnya bertemu Oliver.
“Oh, diamlah, diriku yang satu lagi. Aku tak tanya pendapatmu,” kataku jengkel.
Tapi yang kukatakan itu benar. Aku adalah dirimu.
“Tutup mulutmu dan biarkan aku menyetir dengan tenang,” balasku lagi. Ya ampun, aku mulai seperti Cody: bicara pada diri sendiri!
Aku sampai ke rumah minimalis Fran dan hendak mengetuk pintu sampai suara Gabrielle terdengar memanggil di belakang.
“Dad?”
“Gabrielle, kau memotong rambutmu?” kataku keheranan. Gabrielle tak lagi punya rambut panjang merah yang membuatnya cute melainkan rambut pendek monhawk yang memperjelas wajah dan mata birunya yang indah. Penampilan barunya membuat kepercayaan dirinya menguar.
“Erm, ya. Baru tadi,” gumamnya, menyisir rambutnya dengan jemari. “Rambutku sudah terlalu panjang dan sulit sekali melihat lawan dengan rambut berkibar.”
Aku tertawa. “Kau keren.”
Dia tersenyum kecil. “Papa pasti sedang membuat makan malam. Kau tak bawa cake?”
Aku menggeleng. “Baguslah. Aku juga sedang kelaparan.”
Gabrielle membuka pintu dan kami masuk bersamaan. Terdengar suara musik dari dalam. Tidak terlalu keras kedengaran keluar, tapi cukup untuk membuat kami berdua mengerutkan dahi dan saling pandang. Tak lama terdengar suara di antara nyanyian tersebut.
Suara Fran.
Kami kembali saling pandang. Saat Gabrielle memberikan senyuman monalisa andalannya, aku tahu dia juga berpikiran hal yang sama. Mengendap-endap tanpa suara, kami menuju dapur, mengintip dari balik dinding.
Fran sedang memasak dan bernyanyi. Sekaligus juga berjoget.
Suara musik dari radio yang menggelegar di dekat meja makan, menyanyikan sebuah lagu yang membuatku dan Gabrielle nyaris terpingkal-pingkal.
Do I attract you?
Do I repulse you with my queasy smile?
Am I too dirty? Am I too flirty?
Do I like what you like?
Yeah, I could be wholesome
I could be loathsome
I guess I'm a little bit shy
Why don't you like me?
Why don't you like me without making me try?
Fran memberikan ekspresi anak kecil penuh memelas, menggunakan spatula di tangannya sebagai mikrofon. Aku menutup mulut Gabrielle yang nyaris saja terbahak, memberikan isyarat agar dia tak bersuara.
I tried to be like Grace Kelly
But all her looks were too sad
So I tried a little Freddie
I've gone identity mad!
I could be brown, I could be blue
I could be violet sky
I could be hurtful, I could be purple
I could be anything you like
Gotta be green, gotta be mean
Gotta be everything more
Why don't you like me?
Why don't you like me?
Why don't you walk out the door!
Kali ini dia berputar-putar. Mirip seperti orang mabuk kemarin, mengangkat tinggi spatulanya, masih bernyanyi gila-gilaan. Kami berdua tertawa tanpa suara, nyaris keluar air mata melihat betapa kocak dan gilanya Fran sekarang. Ternyata, selain profesor yang tenang dan kharismatik, dia juga bisa gila seperti ini.
How can I help it? How can I help it?
How can I help what you think?
Hello my baby, hello my baby
Putting my life on the brink
Why don't you like me?
Why don't you like me?
Why don't you like yourself?
Should I bend over?
Should I look older just to be put on your shelf?
            Sekarang dia malah menggoyangkan pinggangnya ke kiri dan ke kanan. Bergerak dari satu tempat ke tempat lain untuk memasukkan bahan makanan. Oh, God. Ini pemandangan paling lucu yang pernah kulihat. Gabrielle sudah jatuh ke lantai, memegangi perutnya, nyaris terguling-guling. Aku juga memegangi perutku, kesakitan menahan tawa tanpa suaraku sendiri.
I tried to be like Grace Kelly
But all her looks were too sad
So I tried a little Freddie
I've gone identity mad!
I could be brown, I could be blue
I could be violet sky
I could be hurtful, I could be purple
I could be anything you like
Gotta be green, gotta be mean
Gotta be everything more
Why don't you like me?
Why don't you like me?
Walk out the door!
            Ketika dia berputar lagi, tanpa sadar dia melihat kami berdua yang sudah keluar dari persembunyian kami karena tak lagi bisa menahan diri melihat aksi Fran dalam kondisi mengenaskan karena menahan tawa. Fran menjerit kaget dan kami makin terbahak karena jeritan Fran persis seperti jeritan wanita yang ada di kamar mandi ketika pintu mereka terbuka tiba-tiba.

“Sejak kapan kalian berdua ada di sana?” seru Fran, dengan wajah merah padam, memegangi dadanya.
Kami semakin terbahak.
“P-P-Papa… kau… muahahahaha,” Gabrielle terbahak lagi sama sekali tak bisa menyelesaikan kalimatnya sendiri dan berguling di tempatnya.
Fran menggertakan gigi.
“Aku tak menyangka kalau kau hobi bernyayi, Fran,” kataku di antara tawaku. “Oh, God. Tadi itu lucu sekali. Tarianmu benar-benar luar biasa.”
Jika wajahnya bisa lebih memerah lagi dari sekarang, maka aku yakin dia akan meledak. Dia mengerang jengkel, bergumam, “Memalukan” pada dirinya sendiri, membuat kami tertawa lagi, sambil menutup wajahnya.
“Aku… aku mau mandi dulu,” Gabrielle bangkit dari tempatnya, memegangi perutnya. “Aduh, ini hari terlucu yang pernah kualami.”
Aku geleng-geleng kepala, mendekati Fran yang merengut ketika melanjutkan masakannya. Musik dari radio tadi masih berbunyi.
“Jadi, kau akan jadi apa saja untuk orang yang kau sukai? Itu ekstrim sekali,” kataku, mencomot makanan yang dia hidangkan sebelum dia menampar tanganku.
“Itu cuma lagu, Jeremiah.”
“Lagu dibuat karena seseorang pernah mengalaminya,” kataku.
Dia tak membalasku dan memilih untuk memotong lobak dengan kekuatan berlebihan sampai talenannya berbunyi keras. Aku cuma tertawa kecil.
“Kenapa kau datang? Biasanya kau menelepon lebih dulu.”
“Aku lapar.”
“Rasanya aku seperti memberi makan hewan liar di pinggir jalan.”
“Aku tak keberatan kalau makan masakanmu yang enak.”
“Kau tak mengerti sindiran ya?”
“Aku hanya pura-pura tak tahu saja.”
Dia mengabaikanku selama memasak. Aku membantunya menata meja makan. Begitu Gabrielle kembali, anak itu tersenyum lebar dan duduk layaknya tuan muda di tempatnya. Fran hanya tersenyum saja, memuji penampilan barunya karena tadi dia terlalu sibuk dipermalukan sampai lupa melihat penampilan Gabrielle.
“Kau terlihat tampan, Gabrielle,” Fran mengecup dahinya.
“Papa, aku bukan anak kecil,” gerutunya, menyeka dahinya.
“Bagiku, kau tetap anak kecil,” balasku, mengacak rambutnya yang basah. Dia membalasku dengan menjulurkan lidahnya.
Kami makan dengan tenang dan santai, menertawakan Fran, menggodanya, lalu mngobrol tentang kejadian hari ini. Tak ada yang banyak berubah kecuali Gabrielle. Belakangan ini Gabrielle jadi sosialis. Dia tak lagi menutup diri pada Fran dan dia mulai tertawa pada Fran, cara bicaranya sudah tak kaku lagi. Fran sepertinya mengalami kemajuan dalam mendidik Gabrielle.
Dan setelah Gabrielle memilih untuk naik ke kamar mengerjakan PR-nya, aku dan Fran segera disibukkan dengan kegiatan paling menyebalkan dalam hidupku: mencuci piring.
“Gabrielle sepertinya mulai terbuka padamu,” kataku.
Fran tersenyum kecil dan mengangguk. “Akhir-akhir ini dia banyak bercerita tentang sekolahnya. Rasanya menyenangkan mendengarkan dia.”
“Baguslah,” kataku, menyenggol bahunya. “Karena dia sekarang sudah menerimamu, bagaimana kalau kau sekarang memikirkan masa depanmu juga.”
“Jeremiah, aku sudah bilang kalau aku tak butuh perempuan. Aku baik-baik saja tanpa mereka.”
“Tapi kau tak mungkin hidup sendiri selamanya, Fran.”
“Aku punya Gabrielle, jika kau lupa.”
“Tapi Gabrielle tak mungkin menemanimu selamanya. Dia itu masih muda. Dia juga pasti punya kehidupannya sendiri.”
Fran menghela napas., menggigit bibirnya. “Sebenarnya, bukan hanya itu saja…”
“Maksudmu?” kataku, meletakkan mangkuk yang sudah kubilas ke rak piring.
Fran butuh waktu lama membuka kembali mulutnya dan mengatakan alasannya dalam bisikan kecil yang nyaris saja tak bisa kudengar andai saja suasananya tak sesunyi ini.
“Aku gay.”
Huh? Aku sama sekali tak menduga jawaban yang itu.
***
Medan, Minggu, 11 Mei 2014