Dua puluh empat
Istana Aclopatye, 12 tahun lalu
Glenn Haistings mengintip melalui celah pintu besar dari kamar Pangeran yang terbuka sedikit. Di dalam sana, dia dapat melihat Pangeran Christian yang duduk di sebuah kursi empuk, memperhatikan pelajaran dari salah seorang gurunya. Hari ini Pangeran Christian tampaknya mempelajari matematika yang sama sekali tidak dimengerti Glenn. Dia merengut sedikit, seharusnya Pangeran Christian sudah selesai belajar saat ini juga.
“Aku sudah mengerjakan semuanya, Tuan. Anda tinggal memeriksa saja apa yang kurang.” Pangeran Christian tiba-tiba mengangkat tangannya. Guru yang mencoba menerangkan kembali tentang algoritma panjang tiba-tiba tersentak.
“Eh? Benarkah, Yang Mulia? Ka-kalau begitu—ehm, saya akan memeriksanya dulu—eh, jika Anda tidak keberatan.”
Pangeran Christian menggeleng.
“Boleh aku keluar? Aku mulai sedikit bosan. Bagaimana kalau kita lanjutkan besok saja?”
“Tapi, Yang Mulia. Bab hari ini—”
Pangeran Christian melompat dari tempatnya. “Aku sudah mempelajari dua belas bab yang lain dan aku juga sudah mengerjakan semua soalnya. Silakan periksa saja. Aku pergi dulu, Tuan.”
Pangeran Christian memutar gagang pintu dan melambai sekali lagi pada gurunya yang terbengong-bengong lalu keluar kamar.
“Hai, Glenn. Lama menungguku, ya?”
Wajah Glenn merona. “Anda mengetahui keberadaanku, Yang Mulia?”
“Aku sengaja tidak menutup pintunya supaya bisa melihatmu lewat,” kata Pangeran Christian tersenyum. “Ayo, kita harus bertemu Ayahmu sebelum jadwal makan siang dimulai. Kau tahu kan kalau pada saat itu, Ayahmu akan sibuk dan semua orang akan mengawasi dapur. Aku ingin sekali melihat Ayahmu.”
Pangeran Christian merangkul Glenn dan menggiringnya melewati koridor berbatu. Glenn yang sedikit lebih pendek darinya mengikutinya dengan langkah perlahan.
“Yang Mulia, apa kau tak malu berteman dengan pelayan sepertiku?”
“Memangnya kenapa? Di istana ini tak ada anak-anak seumuranku selain kau. Apa kau ingin menyuruhku bermain dengan Prajurit dan Dayang Wanita begitu?”
“Bukan begitu. Hanya saja… Pangeran dan Pelayan… itu agak…” Glenn berhenti. Namun Pangeran Christian pura-pura tidak menyimak, karena itu Glenn memutuskan untuk tidak melanjutkan perkataannya. Dia menurut saat Pangeran Christian begitu bersemangat mengetahui siapa Ayahnya.
“Kau pernah bilang kalau Ayahmu bekerja di istana. Apa yang dia kerjakan? Apa dia prajurit?”
“Eh… tidak, Yang Mulia. Dia—dia hanya pelayan.”
“Pelayan? Pelayan apa tepatnya?”
“Dia bekerja di dapur, memasak untuk makanan Raja.”
Mata Pangeran Christian bersinar. Alasan yang sepele dan ketertarikannya yang luar biasa, memaksa Glenn untuk menurut saja saat Pangeran Christian bersikeras mengetahui siapa Ayahnya.
Mereka mengendap-endap masuk ke dapur. Untuk hari ini Pangeran Christian bahkan sudah mempersiapkan pakaiannya. Dia memakai pakaian kecoklatan yang tidak mencolok dengan ikat kepala putih terlilit rapi di kepalanya. Sepatu kain yang membuat langkahnya yang lincah semakin ringan dan tidak berbunyi, serta sedikit noda kotor di pakaiannya. Glenn benar-benar tidak bisa melarangnya kali ini. Bahkan nasihat dan peraturan tidak digubrisnya.
“Aku belum pernah masuk dapur, jadi kupikir ini akan jadi pengalaman berharga.”
Bagi Glenn yang setiap hari ada di dapur, tentunya ini bukanlah sesuatu yang luar biasa. Pangeran Christian menunduk dan memaksa Glenn untuk ikut-ikutan. Secara perlahan, mereka masuk ke dapur. Tidak ada seorangpun yang menyadari keberadaan mereka. Setiap orang di dapur tampak sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing.
Wanita-wanita berseragam, memakai celemek, membawa piring dan bertumpuk makanan, meletakannya disana-sini. Aroma di dapur tercampur menjadi satu. Bahan makanan yang dimasak, terlihat rapi di atas meja. Mereka akhirnya sampai di salah satu meja panjang yang tinggi.
Glenn mengintip, memeriksa semua satu per satu koki istana berseragam dan akhirnya tersenyum ketika mendapati sosok Ayahnya. Pangeran Glenn mengikutinya, dia memperhatikan suasana yang tidak biasa di dapur. Rasanya sangat luar biasa.
“Itu dia, Pangeran. Itu Ayahku. Itu Rofulus Haistings.”
Pangeran Christian mengangkat kepalanya, memperhatikan laki-laki berwajah tampan dengan rambut coklat keemasan dengan mata berwarna biru cemerlang dan senyuman yang sangat menawan. Dia sepertinya sangat sibuk memerintah ini itu dan mencampur dari satu bahan ke bahan lain.
“Dia tampan sekali,” puji Pangeran Christian. “Kapan kau akan memperkenalkannya padaku?”
“Anak-anak tidak boleh masuk kemari!” ada suara wanita tua di belakang mereka. Suara yang membuat mereka ketakutan, kemudian ada yang menarik bagian belakang baju mereka lalu mengomel. “Kalian masih anak kecil, tidak seharusnya kalian—”
Rofulus Haistings menoleh ke belakang saat mendengar ada keributan di dapurnya dan betapa kagetnya dia melihat kalau Glenn ada disana, bersama dengan seorang anak yang seharusnya tak boleh ada di tempat itu.
“Pangeran Christian?”desahnya tak percaya. “Pangeran Christian, apa yang Anda—Glenn! Berapa kali harus kukatakan kalau dia tak boleh datang kemari?” lalu kemudian dia menoleh pada Glenn dan kelihatan sangat marah.
Pangeran Christian mengangkat tangannya, menghadapi Rofulus. Ini sama sekali bukan kesalahan Glenn. Dia sendiri yang memaksa Glenn “Aku yang meminta dia membawaku menemui Anda. Dia begitu membanggakan Anda, jadi aku ingin tahu seperti apa Ayah yang dibanggakannya.”
Rofulus sedikit terkejut mendengar pernyataan itu. Dia menatap mata Pangeran Christian lalu tak lama kemudian menekuk lututnya di hadapannya. Pangeran Christian mengerutkan dahi saat Rofulus mengangkat tangannya pada Pangeran Christian dan mengusapnya dengan penuh kasih sayang. Ini pertama kalinya bagi Pangeran Christian ada seseorang yang berbuat itu padanya dan hal itu membuatnya kebingungan. Tak lama kemudian, Rofulus memeluknya.
“Tuan?” Pangeran Christian tidak mengerti.
Glenn mengangkat bahu saat Pangeran Christian memberikannya tatapan penuh tanda tanya.
Setelah kejadian itu, Rofulus sering datang ke istana. Mereka bercerita banyak, hal yang kadang-kadang membuat Glenn sedikit cemburu. Pangeran Christian dapat melihat itu dari matanya. Glenn tidak suka membahas ini, namun Pangeran Christian memang sangat keras kepala. Dia selalu penasaran.
“Kenapa kau selalu kabur saat aku bersama Ayahmu?” Pangeran Christian membahas masalah itu lagi. Dia bicara sambil membaca buku sejarah.
“Aku akan buat teh untukmu.”
“Berhenti disitu dan jawab pertanyaanku.”
Seperti di belenggu besi, kaki Glenn berhenti melangkah dari tempatnya. Dia paling tidak suka jika berdebat dengan Pangeran Christian. Dia selalu kalah. Dan pertanyaan kali ini bisa membunuhnya dalam sekejap.
“Kenapa kau selalu bertanya hal yang sama? Apa kau tak bosan?” gerutu Glenn.
“Kalau kau selalu kabur, tentunya aku akan terus bertanya,” jawabnya pelan.
“Aku tidak cemburu, jadi kau tak perlu berpikir macam-macam.”
Pangeran Christian mengalihkan perhatiannya dari bukunya dan menatap mata Glenn. Dia membuat ekspresi seakan mengetahui segala hal. “Baiklah. Aku mengerti. Kau memang buku yang gampang dibaca.”
“Apa maksudnya?” tukas Glenn. “Kau tenang saja. Aku tak akan pernah iri padamu. Aku mengerti rasa ingin tahumu yang tinggi dan Ayahku lebih senang menceritakannya padamu daripada denganku yang tak pernah bertanya apapun padanya.”
“Mungkin karena kau takut padanya.”
“Aku tidak takut padanya.”
Pangeran Christian kembali menatap Glenn lalu mendengus. “Baiklah. Aku mengerti. Kau memang buku yang gampang dibaca.”
“Bisakah kau berhenti mengulang kalimat yang sama?”
“Tapi, kau harus tahu kalau Paman Rofulus itu adalah Ayahmu bukan Ayahku, jadi kau harus dekat dan mengerti apa yang dia pikirkan.”
“Aku justru merasa kalau aku bukan anaknya.”
***
Pangeran Christian membuka pintu kamar Rofulus Haistings. Tidak ada siapapun di kamar itu. Hari ini Glenn dan Rofulus tidak kelihatan sepanjang hari.
“Apa mereka ada di dapur ya? Kalau tidak salah besok ada acara ulang tahun. Pasti mereka sibuk.” Pangeran Christian menghelas napas. Dia hendak menutup pintu sampai matanya tertuju pada lembaran surat yang ada di atas meja.
Menurut peraturan, dia tidak boleh melihat isi surat itu. Itu pribadi. Namun entah kenapa dia sudah masuk kedalam dan membuka selembar dari bertumpuk surat di atas meja. Surat yang ditulis dalam huruf Aragra.
Untuk Pangeran Rofulus Haistings Dominic
Dahi Pangeran Christian mengerut. Pangeran Dominic? Apa-apaan ini?
Dengan tangan gemetar, Pangeran Christian membaca dengan cepat isi surat itu.
Pangeran, seperti yang sudah kita rencanakan. Kita akan menyerang istana—
Pangeran Christian tidak sempat membaca isinya lebih lanjut karena surat itu sudah tidak ditangannya lagi. Dia mengadah ke atas, mendapati Rofulus yang mengambil kertas itu daripadanya.
“Apa yang Anda lakukan, Yang Mulia? Masuk ke kamar orang dan membaca surat mereka, apakah Anda tidak pernah diajari etiket kerajaan?” kata Rofulus dengan suara gemetar.
“Maaf? Etiket kerajaan?” Pangeran Christian memasang tampang lugu. “Aku masih anak-anak.”
“Itu sebabnya Anda harus diajari. Anda tidak boleh—”
“Pangeran Dominic,” Pangeran Christian memotong. “Apa maksudnya? Paman masuk kelompok pemberontak?”
Rofulus kelihatan kaget namun dengan cepat dia menyembunyikan ekspresi kekagetannya. “Apa yang Anda bicarakan, Yang Mulia?”
“Tolong jangan pura-pura tidak mengerti. Aku bisa baca tulisan Aragra.”
Rofulus memukul meja, dia menatap marah pada Pangeran Christian. Awalnya Rofulus mengira kalau Pangeran Christian akan lari seperti anak seumurannya dan ketakutan, namun hukum itu tampaknya tidak berlaku bagi Pangeran Christian. Dia masih berdiri di tempatnya berada, dengan tatapan mata tanpa rasa takut.
Sekali lagi, sifatnya yang keras kepala ini mengejutkan Rofulus. Harusnya dia sadar sejak awal, Pangeran Christian terlalu cepat beranjak dewasa. Untuk anak seumurannya, ini merupakan hal yang mengerikan. Rofulus menghela napas, menyudahi tatapannya yang tidak berpengaruh pada Pangeran Christian.
“Duduklah, Pangeran.” Rofulus membelakanginya.
“Paman akan menceritakan segalanya padaku?”
Rofulus tidak menjawab, tapi Pangeran Christian tidak bertanya lagi. Dia melangkahkan kakinya menuju tempat tidur dan duduk di atasnya. Dia menunggu sampai Rofulus bicara.
“Pangeran, aku ini pemberontak,” Rofulus memutuskan untuk bicara langsung ke topik setelah hening beberapa saat.
“Baiklah,” Pangeran Christian menanggapi dengan nada tenang. “Aku sudah dengar bagian yang itu. Sekarang lanjutkan.”
“Aku adalah Pangeran dari keturunan Dominic. Kau pasti sudah dengar tentang sejarah Ocepa, jadi aku tak perlu lagi menjelaskannya padamu.”
“Akan kutebak sedikit,” Pangeran Christian melanjutkan lagi. “Dominic ingin menggantikan Denmian. Baiklah, aku paham, mungkin karena kalian juga berhak atas tahta itu. Aku tak bisa memungkiri hal itu. Apakah itu sebabnya Paman masuk kelompok anti-pemerintah dan ingin menyerang istana, lalu setelah itu Paman menjadi Raja atas negeri ini?”
Rofulus menelan ludah. “Ya, begitulah.”
Hening lagi. Kali ini lebih lama dari sebelumnya.
“Aku sudah mendengar darimu apa yang ingin kudengar,” Pangeran Christian turun dari tempatnya. “Lakukan yang Paman suka, aku tidak keberatan sama sekali.”
“Apa?” Rofulus terheran. “Pangeran, apa kau mengerti apa yang barusan kukatakan?”
Langkah Pangeran Christian terhenti di ambang pintu. “Ya. Paman ingin jadi Raja. Aku akan jadi orang pertama yang menyelamatimu.” Pangeran Christian berhenti sejanak lalu berbicara lagi, “jika saat itu tiba Paman, maukah kau menghentikan pertikaian Dominic dan Denmian ini? Kupikir, ini bukanlah sesuatu yang benar.”
“Pangeran…”
“Aku yakin, jika Paman menjadi Raja, Paman akan mengerti apa yang menjadi masalah atas negeri ini karena Paman pernah menjadi rakyat biasa yang diperintah.”
“Pangeran, apa kau tak takut jika aku membunuhmu? Kau adalah—”
“Denmian,” Pangeran Christian menyambung. “Pangeran dan entah kenapa, Ayahku ingin menjadikanku Raja. Tapi Paman, bagi seorang pemberontak, kau tak akan memberi tahu apa yang akan kau lakukan pada pihak istana, dalam hal ini aku, jika bukan karena kau orang baik.”
Rofulus seperti kehilangan perbendaharaan bahasanya.
“Kau tak akan membunuhku, Paman. Tak akan pernah.” Pangeran Christian tersenyum. “Aku menikmati apa yang bisa kudapat hari ini, bersamamu dan Glenn. Aku juga tidak keberatan siapapun yang duduk di atas sana asalkan dia bisa melihat rakyatnya dengan baik.”
Rofulus mendengus. “Untuk anak berusia enam tahun, kau terlalu pandai berkata-kata, Yang Mulia.”
“Kebetulan sekali aku punya Guru Literatur yang luar biasa.”
Untuk pertama kalinya, Rofulus dapat melihat alasan kenapa Raja Joseph memilih Pangeran Christian menjadi Raja atas Ocepa. Semuanya itu ada dalam diri Pangeran Christian.
***
Pangeran Christian menutup kepalanya dengan buku sejarah Ocepa, menghindari sinar mentari menusuk matanya. Lapangan rumput Berjoice yang hijau dan angin sepoi yang melambai lembut, membuat pikirannya tenang. Setidaknya dulu, sebelum dia mengetahui kalau Rofulus adalah pemberontak.
Jika dipikir-pikir kembali, kenapa dia bisa berkata kalau dia sama sekali tidak takut kalau Rofulus tak akan membunuhnya? Entah kenapa kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutnya seperti air. Sejak awal, Guru Literaturnya memang sudah memperingatkan hal itu padanya.
“Kau sangat pandai berbicara, Pangeran. Aku minta satu hal padamu untuk menjaga setiap kata yang keluar dari mulutmu. Aku tahu kau memiliki jiwa keadilan yang tinggi, namun bagi beberapa orang, kata-katamu bisa menjadi senjata ampuh.”
Tak bisa dipungkiri, saat itu dia memang tidak takut ketika mengetahui kalau Rofulus adalah penghianat. Hal yang terlintas di kepalanya hanya satu kata. “Oh… begitu.” Tidak ada hal lain. Dia—entah dengan alasan apa—bisa menerima kebencian Rofulus pada pemerintah dan keinginannya menjadi Raja. Namun, jika hal itu membahayakan keluarganya…
Mungkin itu harga yang pantas untuk dibayar.
“Pangeran, lagi-lagi kau tidur disini. Kau bisa dehidrasi,” Glenn mengambil buku di kepala Pangeran Christian. “Kenapa kau selalu tidur disini kalau aku tak ada disampingmu? Apa kau pikir disini ini tempat tidur?”
Pangeran Christian mengubah posisi, sinar matahari terlalu terik.
“Pangeran, Anda bisa gosong jika tidur disini terus,” Glenn mengguncang-guncang pundak Pangeran Christian. “Anda dengar atau pura-pura tidak dengar sih?”
“Baik, aku bangun,” gumam Pangeran Christian. Dia duduk dan menggosok kepalanya.
“Pangeran, di rambut Anda banyak rumput.” Glenn mengambil rumput yang masuk ke sela-sela rambut kecoklatan Pangeran Christian. “Sini biar kubersihkan.” Sambil mengomel, Pangeran Christian memunggungi Glenn. Tangan Glenn berhenti saat melihat ada permata perah di leher Pangeran Christian. “Pangeran Christian, apa ini, di leher Anda?”
“Hm?” Pangeran Christian mengangkat tangannya, menyentuh lehernya. “Ini? Permata. Kenapa?”
“Soalnya, aku juga punya benda yang sama persis seperti milik Anda.”
“Ha?”
Glenn menunjukan belakang lehernya, menyingkirkan rambut di lehernya.
“Lihat, sama persis kan?”
Pangeran Christian mengerjap. “Ah, ya… sama persis.”
Glenn memiringkan kepalanya sedikit ketika Pangeran Christian terdiam dengan ekspresi yang tidak biasa. “Pangeran, Anda baik-baik saja kan? Anda butuh sesuatu?”
“Ayahmu… maksudku, Paman Rofulus ada dimana?”
“Ayah lagi di dapur, memasak makan siang untuk Raja. Kenapa? Kau ingin bertemu dengannya? Jika kau memerintahkan dia untuk datang saat ini, kurasa dia akan segera kemari. Aku akan memanggilnya untukmu.” Glenn bangkit. “Tunggu disini dan jangan tidur lagi, kau mengerti?”
Pangeran Christian menangkap tangan Glenn yang hendak pergi.
“Tidak. Biarkan saja dia bekerja. Aku akan tunggu saat malam tiba.”
Glenn mengerutkan dahi. Ada yang aneh pada Pangeran Christian hari ini, namun dia tidak tahu apa. “Baiklah. Aku mengerti.” Glenn mengangkat kedua bahunya. “Lalu, kau ingin makan sesuatu, Yang Mulia?”
“Tidak. Aku tak lapar.”
***
Rofulus meletakan nampan ke atas meja belajar Pangeran Christian. Dia melirik sedikit pada Pangeran Christian yang membaca buku di atas tempat tidurnya. Pangeran Christian tampak santai dan tidak menujukan tanda-tanda kalau dia merasakan aura keberadaan Rofulus. Rofulus berdeham, “Pangeran, makanan Anda sudah datang.”
Pangeran Christian tidak merespon.
“Pangeran, makanan Anda sudah siap,” Rofulus mengulang dengan suara yang lebih tinggi dari sebelumnya.
Pangeran Christian membuka lembaran bukunya, masih seperti tadi.
Rofulus menunggu beberapa menit, tapi Pangeran Christian tidak menunjukan tanda-tanda kalau dia akan beranjak dari tempat tidurnya. Mendengus jengkel dan merasa kalau Pangeran Christian sengaja bersikap seolah-olah tidak melihatnya, Rofulus beranjak dari tempatnya dan mengambil buku Pangeran Christian.
“Ini saatnya makan malam. Jika Anda tidak makan, Anda bisa sakit.”
“Aku tak lapar,” kata Pangeran Christian pelan.
“Tadi siang Anda juga tidak makan dan tadi pagi Anda cuma sarapan apel.”
“Banyak yang kupikirkan. Aku tak berselera makan.”
Rofulus mengecak pinggang. “Anda masih berusia enam tahun dan sudah memikirkan banyak hal? Jika Anda cuma duduk diam disini dan membaca buku serta tidak bermain seperti anak-anak lain, tentu saja Anda akan memikirkan banyak hal.”
“Aku tak ingin membahas ini denganmu. Berikan padaku bukunya.”
“Aku tak akan pergi sebelum Anda menghabiskan makanan Anda.”
“Bawa saja makanan itu keluar dari sini.”
“Tidak. Anda makan sekarang juga. Tugasku adalah mengawasi kesehatan Anda. Sebagai koki istana, aku sangat tersinggung jika Anda menyia-nyiakan makanan. Apa Anda tahu ada berapa banyak anak kecil seusia Anda yang tak bisa makan saat ini dan Anda ingin membuang makanan?”
Pangeran Christian diam. Sepertinya perkataan Rofulus membuatnya sadar. Dia beranjak dari tempatnya dan duduk menghadapi makanannya. Rofulus tersenyum. Tidak berapa lama bagi Pangeran Christian untuk menghabiskan makanannya. Sepertinya dia cukup kelaparan.
“Baiklah, tugasku sudah selesai. Aku permisi, Yang Mulia.” Rofulus membereskan peralatan makanan.
“Kenapa Glenn memiliki permata kerajaan yang sama persis dengan milikku?”
Nampan yang dipegang Rofulus jatuh dengan bunyi berdentang. Dia baru saja menyebrangi kamar Pangeran Christian dan hendak membuka pintu.
“Apakah Glenn sengaja diberi tanda itu olehmu untuk membuktikan bahwa Glenn adalah bagian dari pewaris tahta, Pangeran Rofulus?”
Rofulus menelan ludah. Sekarang dia tahu alasan kenapa Pangeran Christian sedikit muram seharian ini. Jadi ini alasannya?
“Tolong jangan memanggilku Pangeran Rofulus di istana ini, Yang Mulia.”
“Aku tidak keberatan Glenn memiliki tanda itu. Hanya saja yang aku pertanyakan, bagaimana Glenn bisa mendapatkan tanda itu dan sama persis dengan milikku padahal tanda kerajaan hanya ada satu untuk satu orang.”
Rofulus masih belum bergerak. Dia menunggu pertanyaan yang menjadi vonis mati untuknya.
“Apa kau berniat mengganti posisiku untuk Glenn?”
Akhirnya kalimat itu keluar juga.
“Bukan begitu, Pangeran—”
“Kalau begitu cepat lakukan.” Pangeran Christian kembali mengambil bukunya dan membaca seperti poisisi awal. “Aku sudah bosan dengan keadaan begini. Aku hidup atau tidak toh tak ada yang tahu.”
“Jangan berkata begitu, Pangeran.”
“Itu memang kenyataan.”
“Kau tak akan bisa bertahan di dunia rakyat biasa.”
“Mungkin. Tapi aku akan berusaha.”
Rofulus menggigit bibir. Dia sedikit jengkel dengan sikap Pangeran Christian yang serba tidak peduli. Dari awal dia memang memiliki sikap itu.
“Hidup ini tak seperti dalam buku, Yang Mulia. Lebih sulit dari dugaannmu.”
“Aku tahu. Apa kau sekarang mau menceritakan kenapa tanda itu ada pada Glenn?”
Rofulus tak akan pernah menang menghadapi Pangeran Christian.
“Aku menukar kalian. Pada saat pemberian permata kerajaan, sehari sebelumnya aku menukar kalian.” Rofulus menunggu respon. Tapi Pangeran Christian sama sekali tidak bergerak karena itu dia melanjutkan. “Glenn lebih tua dua minggu darimu dan saat itu aku sudah masuk istana. Pada saat penobatan permata kerajaan aku menukar kalian, Yang Mulia. Kau… adalah Putraku…”
***
Glenn membuka matanya dan mendapati kalau Christian menatapnya dengan penuh kecemasan. Sinar mentari masuk diantara celah-celah papan kayu. Glenn merasakan kalau teggorokannya kering sementara selimut tebal membuatnya sulit bergerak.
“Kau sudah merasa enakan?” katanya.
“Ha?”
“Kau demam semalaman, kalau saja Steave tak datang untuk mengecekmu, kurasa kau sekarang sudah ada di sorga,” Christian memeras kain dan menggantinya dengan kain yang menempel di dahi Glenn. “Tabib Lourian bilang kau mengalami yang namanya penyakit semalam. Katanya ini salahku membawamu berlari sementara kau belum sembuh benar sehingga lukanya terbuka lagi, jadi—”
“Jadi kau merawatku karena merasa bersalah. Ya… aku bisa mengerti.” Glenn bergumam tak jelas memegangi dahinya.
“Kalau Jeremy ada disini, dia akan memukulku.”
“Bersyukurlah karena dia tak ada disini.”
Christian menuangkan air ke mangkok. “Minumlah sedikit.”
Glenn duduk, mengambil mangkok dan meminum isinya sampai habis.
“Kau ingin makan sesuatu?” kata Christian.
“Apa sekarang kau berubah menjadi pelayanku?”
“Aku terbiasa membuat makanan untukmu sejak dua belas tahun lalu.”
“Aku tak ingin makan apa-apa.”
“Kalau begitu, tidurlah lagi.—”
“Aku tak mengantuk dan punggungku menegang. Sekarang kepalaku juga ikut-ikutan sakit.” Glenn mengeluh, memukul kepalanya yang berdenyut.
Christian menunggu jeda untuk bertanya, “Jadi kau ingin aku berbuat apa?”
Glenn tahu kalau Lourian sengaja membuat Christian merasa bersalah. Dia tak bisa mengusir Christian. “Bisa kau pinjamkan aku baju ganti? Aku tak punya lagi dan yang kupakai sekarang basah karena keringat.”
“Tunggu disini. Akan kuambilkan untukmu. Jangan kemana-mana.”
Glenn menghela napas lega saat Christian menutup pintu. Dia cepat-cepat menyingkirkan selimut tebal yang menutupi tubuhnya sambil menggerutu, “Siapapun bisa mati jika dihangatkan dengan selimut begini di musim panas!” Memegangi dadanya yang nyeri, Glenn turun dari tempat tidur, mengambil poci dan meminum isinya sampai habis. “Aku benar-benar kena dehidrasi.”
Pintu berderit lagi tak lama kemudian dan seseorang memunculkan kepalanya ke dalam.
“Stacy?” Glenn terkaget-kaget.
“Glenn?” mata Stacy berbinar saat melihatnya. “GLENN!”
Stacy berlari masuk dan memeluknya sambil melompat-lompat, tidak menghiraukan teriakan kesakitan Glenn.
“Ada apa ini?” Charlie masuk dan mengerutkan dahi. “Kalian sedang apa?”
Glenn sama sekali tidak menyangka kalau Stacy dan Paman Aleph meninggalkan desa dan masuk ke desa terpencil seperti ini. Benar-benar sebuah kebetulan yang tak terduga.
“Paman Aleph menyuruh pergi karena Aragra dan Axantos sedang perang dingin dan disana adalah daerah perbatasan. Jika kita bertahan disana, bisa-bisa kita tidak selamat,” Stacy memberitahu Glenn setelah Glenn selesai mengganti perban dan pakaiannya. “Glenn terluka?”
“Kau tak harus memelukku setiap kali bertemu denganku kan?” kata Glenn.
“Kita kan sudah lama tidak bertemu. Sudah hampir dua tahun empat bulan tiga hari, iya kan?”
Glenn menghela napas. “Aku tidak menghitungnya.”
“Kau benar-benar Raja yang luar biasa. Tahu tidak, semua pasien yang datang ke praktekku memujimu,” kata Stacy menggebu-gebu. “Tak ada satupun cela!”
Glenn melirik pada kerumunan Louis, Charlie, Willy dan Steave—yang sejak tadi mencuri dengar, dan pada lirikan Lourian yang sedikit berbahaya. Aries yang sibuk menggosok pedangnya juga sempat memberikan kedipan padanya dan disampingnya, Raja Joseph dan Jendral Rodius berdeham dan mengobrol dengan sedikit canggung. Kerumunan kesatria juga tak henti-hentinya memberikan respon aneh. Apa yang sebenarnya mereka semua lakukan?
“Kenapa kau bisa ada disini?” kata Glenn.
“Seperti yang aku sudah bilang, Paman Aleph—”
“Bukan itu maksudku. Kenapa kau bisa ada disini, di kemah ini, yang isinya laki-laki semua?”
Stacy mengerjap. “Oh.” Lalu dia tersenyum. “Kau cemburu ya?”
“Tidak lucu. Jawab saja pertanyaanku.”
Stacy menggaruk kepalanya. “Aku hanya dengar ada orang yang terluka, jadi aku datang kemari dan lagi aku datang karena penasaran. Si Charlie itu,” dia menunjuk Charlie, “aku cemas melihatnya. Kupikir dia mengidap penyakit tertentu.”
Glenn memperhatikan Charlie. “Dia tidak sakit. Kulitnya memang kuning langsat seperti itu. Kecemasanmu berlebihan.”
Stacy mengangguk. “Begitu… ah, aku mau tanya.”
“Apa lagi? Kau tidak pulang? Paman Aleph pasti cemas.”
“Kau sudah punya calon isteri belum?”
Pertanyaan barusan membuat Raja Joseph yang meminum tehnya terbatuk-batuk dan Jendral Roduis menepuk-nepuk punggungnya. Aries bergumam, “Wanita zaman sekarang” dan yang lain melirik Louis. Ada sesuatu disini.
“Aku tak berniat menikah saat ini. Sekarang pulanglah.” Glenn merasa kalau pertanyaan Stacy mirip dengan Elvius.
“Kalau kau sudah berniat menikah, menikahlah denganku, oke?”
Glenn mengerjap.
“Aku tak akan menikahimu, jadi jangan menungguku,” kata Glenn tegas. Dia bangkit dari tempatnya. “Kalau kau datang cuma untuk berkata hal tak penting sebaiknya jangan menemuiku.” Glenn tahu kalau dia tak boleh berkata seperti itu. Namun jika Stacy tidak diberi ketegasan, maka dia tak akan mengerti.
Glenn memutuskan untuk pergi dari markas. Dia berjalan cepat, menghindari tatapan mata dan bisik-bisik yang membuatnya tak nyaman. Tidak apa-apa. Ini sudah terjadi sebelumnya, kau tak akan terpengaruh.
“Berhenti!” Louis menghalangi langkahnya. Dia kelihatan marah dan penuh kebencian. “Aku menghormatimu, tapi aku tak menyangka kalau kau akan mengatakan hal seperti itu pada dia.”
“Stacy bukan orang yang bisa membaca kondisi. Jika aku tak memberitahu dia dengan tegas dia akan menyia-nyiakan hidupnya sendiri.”
“Tapi kau tak harus mengatakan kata-kata yang dingin begitu!”
“Kau ingin aku bilang apa? Membaca puisi? Menolaknya dengan kata-kata manis? Tak akan pernah, aku bukan orang seperti itu.”
“Apa?”
“Jika kau menyukainya, Yang Mulia, kenapa kau tak bilang saja padanya daripada memborbardirku dengan perkataan yang tidak bermutu?” kata Glenn jengkel. “Jika kau tidak keberatan, aku permisi. Aku harus minum obat.”
Dia melewati Louis yang terpaku dan tak bisa membalasnya.
“Kupikir Kakak akan memukulnya,” komentar Charlie menepuk bahunya.
“Hampir saja. Kalau aku tak ingat bahwa dia pernah menyelamatkan nyawaku, kurasa dia akan babak belur sekarang.”
***
Aries masuk ke kamar Glenn dan mendapati anak muda itu sedang sibuk mengganti perbannya. Dia duduk menonton Glenn yang tidak mengomentarinya.
“Wanita memang susah dimengerti.”
Glenn tidak berkomentar.
“Anak Tampan, sudah berapa banyak gadis yang kau tolak?”
“Cukup banyak,” gumam Glenn.
“Kau harus memilih jika tidak mereka akan menjebakmu.”
Glenn mengikat perbannya. “Aku akan memilih jika tiba saatnya. Aku masih delapan belas tahun, Guru dan aku rasa belum saatnya aku menikah.”
Aries terkekeh.
“Gadis itu menangis terus bersama Lourian. Kau tak merasa kalau kau harus membujuknya?”
“Tidak. Jika aku kesana, dia akan besar kepala. Biar saja Pangeran Louis yang mendapatkan hatinya.”
Aries geleng-geleng kepala. “Bagaimana kau bisa tahu kalau Louis suka padanya?”
“Sekali lihat saja tahu kok.”
“Ckckck, kau memang handal membaca hati orang.” Aries menghela napas. “Lalu, jika aku boleh tahu, ada seseorang yang kau taksir?”
Glenn memakai rompinya, lalu tersenyum, “Guru, aku takut tidak mendapat restumu, jadi aku tak akan memberitahu padamu.”
“Kau memang anak yang penuh misteri.”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar