Selasa, 26 Maret 2013

The Flower Boy Next Door (Debaran Lima Belas)


Debaran Lima Belas
Surat Berdarah
Semua orang begitu terpukau pada Devon yang membawa bola dan detik-detik terakhir saat Devon memasukan bola. Tapi mataku sejak pertandingan dimulai sama sekali tak lepas dari Nero. Benar, Nero. Mungkin ini cuma perasaanku saja, tapi sejak dia menjadi pemain di tim bola, Nero tampak pucat sekali. Memang sih, biasanya juga dia pucat. Tapi ini lebih pucat lagi.
Dan semakin lama bermain, wajahnya justru semakin pucat. Aku tak tahu apakah Devon yang bermain dengannya di lapangan menyadari hal ini atau tidak. Tapi aku sendiri terheran bagaimana aku bisa melihat wajah Nero dengan jelas bahkan dari jarak sejauh ini. Padahal mataku tidak terbuat dari teleskop dan kacamataku belum juga diganti.
Lalu terjadilah yang sudah kuperkirakan. Aku melihat Nero jatuh begitu saja di lapangan tepat saat Devon menendang bolanya ke gawang. Bram, yang ada di dekatnya, segera berlari ke arahnya dan melihat kondisinya.
Apakah kali ini bercanda?
Dan terakhir, terjadilah kemarahan di lapangan yang menyuruh Nero untuk bangun. Tapi aku merasa bahwa Nero tidak sedang bercanda.
“Aaaah, sudah kuduga!” salah seorang anak lelaki yang menonton segera melompat dari tempatnya dan berlari ke lapangan. Dia kemudian segera membawa Nero yang tetap tak sadarkan diri ke UKS. Tanpa banyak tanya lagi, aku bangkit dan segera ke UKS juga. Devon juga mengekor di belakang. Sama sepertiku, dia juga tampak cemas.
“Dehidrasi,” kata Bu Moni setelah memeriksa keadaan Nero. “Dari catatan kesehatannya tertulis bahwa Nero tak bisa lama-lama di bawah sinar matahari.”
Kami bertiga mengangguk dalam diam dan sekali lagi melihat wajah pucat Nero yang tertidur di brankar UKS.
“Dia tak apa-apa. Cukup dikompres dengan handuk dingin. Saat dia sadar, dia hanya butuh minum cairan yang mengandung elektrolit.”
Kami mengangguk lagi. Bu Moni meletakan handuk ke dahi Nero, kemudian meletakan kantong es ke atas handuk itu. “Baiklah, Ibu tinggal dulu. Kalian juga sudah bisa kembali ke kelas.”
“Aku akan menjaganya,” kata Devon. “Niken dan kau—” Devon mendelik jengkel pada cowok yang memperkenalkan diri sebagai Zoe pada kami, “—sudah bisa kembali.”
Zoe menaikan alis. “Ok. Jaga dia.” Setelah itu dia keluar.
“Aku tetap di sini.” Aku masih khawatir pada Nero.
“Niken, tak ada gunanya kau di sini,” kata Devon.
“Yang tak berguna itu kau. Harusnya kau ada di lapangan kan? Aku cuma jadi penonton, jadi lebih baik aku yang menjaganya,” kataku pelan dan menarik bangku di dekat Devon.
Devon memutar bola matanya. “Aku tak akan bisa bermain jika Nero belum sadar.”
Niken menaikan alisnya. “Kau perhatian sekali pada Nero ya?”
“Aku suka padanya.”
Hah? Aku menganga. “Apa katamu?” kataku tergagap.
“Aku bilang aku suka padanya,” Devon mengulang sambil memutar bola matanya.
Apakah “suka” yang dikatakan Devon sama seperti “suka” yang kudeskripsikan dalam kepalaku? Ataukah “suka” dalam arti berbeda? Oh, tidak. Aku malah memikirkan yang tidak-tidak.
“Erm… seperti apa?” kataku. Devon memandangku keheranan. Sialan. Apa sih yang sebenarnya ingin kutanyakan? “Seperti apa rasa sukamu padanya?”
Devon mencerna pertanyaanku dalam beberapa detik dan tersenyum menyebalkan. “Menurutmu?”
Aku paling tak suka main tebak-tebakan. “Lupakan saja!”
“Kau memikirkan sesuatu ya, kan?” kata Devon lagi.
“Tidak.” Aku menjawabnya dengan gusar.
“Takut jika Nero jatuh cinta padaku?”
“Yang benar saja!”
Devon menutup mulutnya, terkekeh geli. Aku mengerjap. Ini pertama kalinya aku melihat Devon tertawa. Devon—si Preman—bisa tertawa juga ya?
“Kau benar-benar suka pada Nero ya?” Devon bertanya lagi.
“Aku tidak suka padanya,” bantahku cepat.
“Kalau kau tidak suka, kenapa mau repot-repot menjaganya di sini, hmm?”
Sialan. Aku benar-benar tak tahu harus menjawab apa. “Ini tidak seperti yang kau pikirkan,” kataku.
“Rasa sukaku padanya juga tidak seperti yang kau pikirkan,” balas Devon manggut-manggut.
“Maumu apa sih?” aku benar-benar sebal sekarang. Perkataannya membuatku merinding. Dari tadi yang dia katakan cuma suka, suka, suka dan suka. Menyebalkan!
“Tidak ada maksud apa-apa. Kau duluan yang memulai pembicaraan ini kan?” Devon membalas. Aku sudah tak tahan ingin menyumpal mulutnya.
“Baiklah. Aku kalah.” Daripada aku terjebak dalam pembicaraan tak bermutu ini, lebih baik aku menyerah. “Bisa kita hentikan pembicaraan ini?”
“Dengan senang hati.” Devon manggut-manggut dan kembali mengalihkan perhatiannya pada Nero. Aku melirik Devon dengan penasaran. Cara dia menatap Nero benar-benar berbeda, begitu lembut, begitu penuh perasaan. Aku tak mengerti apakah itu cara yang biasa dilakukan oleh seorang teman pada temannya, apalagi pada teman laki-lakinya. Apalagi… heloooo, ini Devon yang sedang kita bicarakan. Devon tak pernah memberikan perhatian sebelumnya pada siapapun, dan kali ini dia memberikan perhatiannya pada Nero. Nero! Seorang murid baru yang baru saja dia kenal! Dan… dan tadi dia bilang bahwa dia suka pada Nero.
DEVON SUKA PADA NERO?
Oh, tidak! Mungkinkah—
Nero bergerak, membuat imajinasiku pudar begitu saja.
“Hey, Moron, you made me worry,”kata Devon saat Nero membuka matanya.
Nero tersenyum kecil, masih pucat. “Water,”katanya serak.
“Ok,”Devon bangkit dengan segera.
“Niken, kau di sini juga?” kata Nero, menatapku dengan mata coklatnya.
Aku refleks tersenyum. “Ya. Sudah tidak apa-apa?”
Dia mengangguk kecil. Devon duduk kembali, membawa air botol dan Pocari. Dia membuka air dulu, membantu Nero duduk dan memberikan botol itu padanya. “Habiskan itu, lalu kau habiskan yang ini. Sialan. Padahal kau pernah bilang bahwa kau tak suka di bawah sinar matahari. Kok aku bisa lupa ya?” Devon ngomel-ngomel.
Nero memutar bola matanya dan meminum air botolnya.
“Habiskan,” kata Devon saat Nero hanya meminum separuh.
“Sudah cukup,” kata Nero.
“Habiskan,” ulang Devon jengkel. “Kau akan pingsan lagi jika tak mengisi tubuhmu dengan cairan yang cukup.”
Nero mengerang jengkel. Tapi menuruti perkataan Devon. Aku hanya mengamati mereka berdua dalam diam. Setelah menghabiskan air botolnya, Devon menyodorkan Pocari padanya.
“Kau tahu Niken,” kata Nero sebelum meminum Pocarinya. “Devon sering kali bertingkah seperti Ibuku.”
“Itu karena kau tak bisa menjaga dirimu sendiri,” balas Devon.
“Kenapa aku harus melakukannya? Kau jelas-jelas akan mengatur segalanya.”
Aku mengerjap, melihat bergantian antara Nero dan Devon. Tidak… Devon memang bena-benar menyukai Nero. Tapi bukan seperti yang kupikirkan. Devon menyukai Nero sebagai…(aku sendiri tak percaya dengan kesimpulan ini)… anak kecil… dan Devon bertingkah sebagai seorang nanny
“Hmmmft…” aku menutup mulut, berusaha menahan tawa.
“Ada apa dengannya?” Nero menaikan alis.
Devon hanya mengangkat bahu.
Ya ampun… kedua orang ini… benar-benar lucu!!!
***The Flower Boy Next Door***
Aku tersenyum otomatis begitu Jennifer membuka pintu rumahnya. Ini pertama kalinya aku memasuki rumah Victoria Nero dan—demi Tuhan!—rumahnya besar sekali. Selama ini aku hanya melihat rumahnya dari balkon rumah dan tak menyangka bakal menginjakan kaki ke rumah Nero.
“Halo, Niken,” kata Jennifer, memasang senyum manis di wajahnya yang cantik sempurna. Nero benar-benar memiliki seorang Mama yang cantik. “Ada apa kemari?”
Setelah satpam mengijinkanku masuk, aku digiring kemari, padahal aku cuma mau mengembalikan rapor Nero yang tadi dititipkan Pak Julian padaku. Kok bisa Pak Julian tahu aku tetanggaan sama Nero ya?
“Cuma mau mengembalikan rapor Nero, Tante,” kataku cepat.
Jennifer menaikan alisnya. “Loh? Kenapa wali kelasnya tidak langsung memberikannya pada Nero ya?” katanya terheran.
Nah, itu juga yang jadi pertanyaanku.
“Masuk dulu, Niken, kebetulan Tante baru saja memanggang kue,” katanya.
“Oooh, nggak usah Tante,” kataku lagi.
“Nggak apa, Niken, temani Tante minum teh. Nero dan yang lain pergi memancing. Tante ditinggal sendirian.”
Dengan kata lain tak ada Nero di rumah ini. Bagus. Aku bisa mengorek informasi mengenai Nero langsung pada Ibunya. Huahahahah! Kesempatan ini jarang ada! Aku harus memanfaatkannya!
Jennifer menggiringku masuk ke dalam rumah Nero. Mulutku langsung menganga seperti gua hantu melihat seberapa luas, mewah, dan antiknya rumah Nero. Napasku tertahan sejenak melihat cantiknya lampu-lampu kristal, lukisan-lukisan mahal dan keramik-keramik yang tertata. Kemudian, aku melihat grandpiano porcelain di tengah ruangan, menambah keapikan ruangan itu menjadi rumah kalangan bangsawan.
Istana. Rumah Nero seperti istana!
“Kamu bisa meletakan rapor Nero ke kamarnya kan? Tante siapin teh dan kuenya dulu.”
Huh? Aku melotot. Tapi tak mengucapkan sepatah katapun karena begitu terkejut.
“Kamar Nero ada di lantai dua, naik tangga sebelah kanan pintu pertama yang berwarna perak. Kamarnya biasanya tak terkunci,” ucapnya lagi lalu pergi.
Aku mengerjap kebingungan. Apakah hal yang biasa bagi orang kaya membiarkan orang asing berkeliaran sendiri di rumah mereka? Terbengong-bengong, aku cuma bisa pasrah dan menurut karena Jennifer sendiri sudah menghilang entah kemana. Karena mungkin saja aku bisa tersesat, maka aku lebih memilih menuruti saran Jennifer dan naik menuju kamar Nero.
Benarkah yang kulakukan? Aku sama sekali tak menyangka akan masuk sendiri ke kamar cowok untuk pertama kalinya dalam hidupku. Untunglah, penghuninya tak ada. Jika tidak, aku bisa menduga tingkahnya nanti jika aku muncul di kamarnya begitu saja.
Akhirnya aku sampai di depan pintu yang dimaksud Jennifer: kamarnya Nero—kamarnya anak perempuan pasakitan yang masih bergentayangan. Aku bertanya-tanya sendiri apakah Nero pernah diganggu oleh anak itu apa tidak. Selama ini aku juga belum pernah berkunjung ke kamar ini, jadi tidak tahu seperti apa bentuk kamar ini.
Saat aku membuka pintu dan masuk ke kamar Nero, aku ternganga lagi melihat betapa luasnya kamar Nero. Kamar Nero bagus sekali. Dua kali lebih luas daripada kamarku. Sebuah tempat tidur ada di depan, tertempel di sudut sebelah kiri—yang kemungkinan dekat sekali dengan jendela balkon kamarku. Meja belajarnya ada di sebelah kanan jendela tempat dia biasanya menggodaku. Ada lemari besar di sudut yang lain dekat pintu yang kuduga pastilah kamar mandi. Di bawah undakan, tepat di tengah ruangan terdapat karpet dan bantal-bantal tersusun rapi beserta televisi dan perlatana elektronik lainnya—tempat ini adalah tempat Nero selalu menghabiskan waktunya dengan membaca buku. Di belakangnya ada lemari yang terusun dengan buku-buku.
Kamar ini tidak seperti kamarku. Aku bisa merasakan aura Nero di kamar ini. Tapi aku tak menyangka bakal serapi ini. Aku hanya melihat sedikit dari celah jendelaku yang sempit jadi aku hanya menebak-nebak. Kali ini aku tahu bahwa Nero benar-benar sangat teliti, pembersih sekali dan disiplin. Sangat berbeda dengan sifat aslinya. Aku tak tahu apakah dia memiliki dua kepribadian atau tidak, itu masih jadi tanda tanya besar.
Dan lagi-lagi, aku membayangkan wajahnya yang menangis waktu itu, dan… dan…
“Goblok!” aku memukul kepalaku sendiri. Aku jadi mengingat yang tidak-tidak. Wajahku memanas setiap kali aku mengingat adegan itu.
Buru-buru aku meletakan rapor Nero ke atas meja belajarnya dan saat itulah aku melihat ada sebuah surat, terselip di celah buku. Surat itu mencurigakan sekali karena di simpan di tempat seperti itu. Mungkinkah surat cinta? Kalau memang surat cinta, dari siapa? Memangnya ada gadis yang dekat dengan Nero? Kalau ada siapa gadis itu? Apa dia tak tahu Nero seperti apa? Para cewek itu buta ya tak bisa melihat bahwa Nero—
Tunggu sebentar. Memangnya aku punya urusan apa jika itu surat cinta apa bukan! Dia mau punya segunung surat cinta, setumpuk cewek dan mencium siapa saja itu bukan urusanku! Kenapa justru aku yang marah-marah?
Menghela napas, aku berbalik, hendak meninggalkan kamar Nero. Tapi belum lagi aku melangkah, aku berbalik lagi, mengambil surat itu dengan kecepatan yang mengejutkan dan membacanya.
Dendam ini akan terbalas! Kau dan keluargamu akan merasakan apa yang kurasakan! Tak akan kubiarkan kalian hidup tenang! Tak akan pernah! Kalian mungkin bisa kabur, tapi kalian tak akan bisa lari dariku! Dasar manusia-manusia tidak punya perasaan! Aku bersumpah kalian akan mendapatkan balasannya!
Aku menelan ludah.  Surat itu terbuat dari tulisan merah penuh dendam. Jantungku berdegup-degup tak karuan. Siapa yang mengirim surat mengerikan ini? Siapa yang dendam pada Nero? Apa yang dilakukan Nero sampai-sampai dia mendapat surat seperti ini? Mungkinkah Nero sudah melakukan hal yang diluar kebiasaan?
Well,jika dilihat dari cara dia bersikap selama ini, ada kemungkinan Nero melakukan hal-hal yang membuatku ngeri. Tapi, apa?
“Niken! Kenapa lama sekali?”
Aku melonjak dan terpekik. Surat di tanganku buru-buru kuselipkan kembali ke dalam amplop dan meletakannya dengan segera ke tempatnya. Jantungku berdegup-degup saat keluar dari kamar Nero menuju Jennifer yang sudah menunggu di bawah.
Wanita itu tersenyum. Apakah dia tahu mengenai surat ancaman itu?
“Kamu kenapa, Niken? Wajahmu pucat sekali,” kata Jennifer.
Aku menelan ludah dengan gugup. “Tidak apa-apa kok, Tante.”
Mata Jennifer menyipit. “Kamu tidak menyentuh barang Nero kan? Nero sangat sensitif terhadap barang-barangnya.” Oh, tidak. Tapi karena Jennifer melihat ekspresi panikku, maka dia menenangkanku dengan cepat. “Aku tak akan mengatakan apa-apa, Niken. Ini akan jadi rahasia kita berdua. Oke?”
“Terimakasih, Tante,” kataku sedikit lega. Aku masih khawatir dengan surat berdarah itu. Benarkah Nero yang menerima surat itu?
“Ayo, Niken, duduk dulu dan minum teh.”
Aku mengangguk pelan dan duduk di sofa empuk. Jika Nero melakukan sesuatu, aku harus meyakinkan diri bahwa Jennifer dan keluarganya tahu. Tapi, apa yang akan terjadi pada Nero? Kurasa mereka akan membantu Nero keluar dari situasi ini karena aku tahu bahwa surat berdarah itu tidak main-main.
“Niken, sebenarnya ada yang ingin Tante tanyakan,” suara Jennifer mengalihkan perhatianku.
“Apa itu Tante?” kataku penasaran.
“Apakah Nero bahagia di sekolahnya?” tanyanya dan hal itu membuat dahiku mengerut dalam. Pertanyaan macam apa itu? Bagaimana keadaan anak Tante di sekolah itu wajar. Apakah anak Tante, Nero, sangat nakal, bisa ditolerir. Tapi, apakah Nero bahagia di sekolah bukannya sangat aneh? Sejak kapan ada orang yang bahagia di sekolah?
“Ermmm.”
“Nero kami sangat tertutup dan sangat dingin terhadap orang asing,” katanya.
Huh? Tertutup? Nero? Dengan begitu banyaknya orang-orang yang selalu berbicara di dekatnya, dia bilang tertutup dan dingin?
“Saat kami pindah kemari, Nero sempat bertengkar dengan Daddy-nya. Dia menjadi pendiam sekali dan susah diajak bicara. Tapi, saat dia pindah kemari, dia jadi lebih sering tersenyum.”
Huh, benarkah itu? Bukankah Nero selalu tersenyum seperti orang bodoh? Setiap hari? Setiap waktu? Selalu…
“Coba katakan pada Tante, apakah dia punya pacar?”
“Aku tak tahu apakah dia punya pacar… tapi kalau teman sih ada.”
“Siapa?”
“Devon,” kataku cepat. Kak Vion rasanya tidak cukup dekat dengan Nero.
“Laki-laki?” Jennifer tampak kecewa. “Kupikir dia memiliki teman wanita. Aku ingin tahu selera gadis yang dia inginkan seperti apa.”
“Memangnya Nero tidak pernah punya pacar, Tante?” godaku.
“Nero? Punya pacar? Haha, kami mengharapkannya, tapi tak pernah kejadian,” kata Jennifer lagi, melipat tangannya. “Setiap kali membahas soal wanita, Nero pura-pura tak memiliki kuping. Tapi, si Devon ini, apakah benar-benar dekat dengannya?”
“Jika mengingat cara Devon yang perhatian, kurasa ya.”
Jennifer menutup bibirnya dengan kedua tangannya, tampak terkejut. “Devon perhatian dan Nero tidak menyingkirkannya?”
“Maksud Tante?” aku kebingungan.
“Kau tahu, seperti berkata kasar pada Devon jika Devon dekat-dekat?”
Aku mengerutkan dahi. Rasanya, Nero-lah yang dekat-dekat Devon terlebih dahulu. Tapi, karena aku menduga jawabanku akan mengarah ke hal yang tidak-tidak dan berbahaya, aku menjawab, “Tidak.” Tanpa penjelasan.
“Devon pastilah sangat penyabar menghadapi pribadi seperti Nero,” kata Jennifer lagi.
Huh? Devon penyabar? Aku mengingat kejadian di UKS. Sepertinya sih iya.
“Tante ini gimana sih, masa anak sendiri dikata-katai,” kataku berusaha bercanda.
Jennifer tersenyum lembut. “Nero anak tiri Tante, Niken.”
Aku melongo. “Hah?” kataku.
Jennifer mengambil tehnya dan meneguk sedikit. Matanya menerawang saat bercerita. “Tante dan Ayahnya Nero menikah dua tahun lalu.”
“Jadi, Ageha…”
“Ageha bukan adik kandung Nero.”
HAAAAAAAAAAAAAH?
“Tapi Nero menyayangi Ageha sepenuh hati,” kata Jennifer tersenyum bahagia. “Dan Ageha juga menyayanginya. Apalagi yang kurang jika keluargaku kembali utuh? Bukankah itu yang namanya surga, Niken?”
Aku mengangguk dalam diam, sama sekali tak tahu harus menanggapi apa.
Ini berita yang sangat mengejutkan.
***The Flower Boy Next Door***

The Flower Boy Next Door (Debaran Empat Belas)


Debaran Empat Belas
Soccer
Apa yang terjadi? Nero mengerutkan dahinya, sama sekali tak bisa mengingat apa yang dia lakukan setelah datang ke tempat ini. Sambil mengerutkan dahinya, Nero melihat sekeliling, berusaha mengingat kenapa dia memilih tempat ini. Sialnya. Dia tak ingat sama sekali.
“Nero.”
Nero mengadah melihat Vion mendekat. Wajah Vion sama sekali tidak menyenangkan, seperti halilintar dan tampak murka sekali.
“Kami mencarimu kemana-mana,” ucapnya lagi.
“Oh. Sori,” kata Nero menggaruk-garuk kepalanya. “Sepertinya aku tak ingat kenapa aku ada di sini.”
“Kau tak ingat?” suara Vion naik satu oktaf. Ini pertama kalinya dia menggunakan nada itu. Nero menduga pastilah dia sudah melakukan hal yang buruk pada Vion. Tapi apa? Sialan. Inilah yang sering terjadi jika dia ditinggal sendirian. Pikiran dan tingkahnya tak pernah sejalur.
Nero tersenyum kecil. “Memangnya aku sudah melakukan apa?”
Lalu bhuuuuuuuuk. Tanpa diduga, Vion meninju Nero. Tangan Vion dengan segera menarik jas Nero, dengan ganas, memaksa Nero menghadapkan wajahnya.
Nero tidak melawan. “Vion, kenapa kau memukulku?” katanya tenang.
“Kenapa? Coba ingat lagi apa yang kau lakukan!” raung Vion, dan meninju wajah Nero lagi. “Apa kau sudah ingat sekarang?”
Nero terbatuk, darah keluar dari mulutnya. Tapi lagi-lagi, dia tak melawan dan memilih menatap Vion dengan tenang. “Aku sama sekali tak ingat. Keberatan jika kau mengatakannya hah, Vion?”
“Bagaimana mungkin kau tak ingat apa yang kau lakukan?” Vion tampak marah, pada apapun itu. Dia kembali meninju Nero.
“HENTIKAN!” seseorang berteriak dan menarik Vion menyingkir dari tubuh Nero, lalu menghempaskannya begitu saja ke sisi yang lain dengan satu tangan. “Kau tak apa-apa, Nero?”
Nero menggeleng, mencoba duduk.
“Siapa kau? Jangan ikut campur!” Vion berdiri dengan cepat dan berjalan menghadapi anak muda bertubuh tinggi tegap yang ada di depannya.
“Aku murid baru. Namaku Zoe (baca: Zo-i) Aigner. Dan aku harus ikut campur karena Nero sama sekali tidak melawanmu. Itu tak adil.”
“Ini urusanku dengannya. Orang asing segera menyingkir!” Vion tampak tak sabar.
“Sudah kubilang bahwa—” Zoe berhenti saat Nero menepuk bahunya dari belakang.
“Minggirlah, Anak Baru. Aku paling tak suka ada orang yang sok pahlawan,” Nero memperingatkan.
Zoe menatapnya sejenak, lalu mengangkat bahu. “Terserah. Aku akan melaporkan masalah ini pada guru.”
“Jangan coba-coba,” kata Nero lagi. “Seperti yang sudah dikatakan Vion, ini bukan urusanmu.”
Zoe menghela napas. “Fine. Do whatever you want, guys.”
Tapi tepat saat itu bel berdering keras sekali.
“Ini belum selesai, Nero,” kata Vion. “Aku akan menghajarmu sampai kau ingat.”
Nero mengangguk kalem. “Aku bisa menduga hal itu.”
Zoe memutar bola matanya. “Go to the inframary, Nero. It looks bad.”
Nero menghapus luka dari bibirnya. “What the hell was that for? Stupid Ass-President.”
“You kissed his girlfriend,”kata Zoe.
Nero menatapnya. Terkejut. “Huh?”
“You-kissed-his-girlfriend,”Zoe mengulang dengan nada lambat.
Nero mengerjap. Zoe terheran bagaimana mungkin Nero tak ingat apa yang dia lakukan. Padahal Nero sendiri tadi yang memegang tangan gadis itu dan bergerak menciumnya sendiri.
“You don’t remember?”Zoe bertanya kebingungan.
“Erm… no,”jawabnya dengan dahi mengerut.
Zoe menarik tangannya. “Come on. I’ll take you to inframary.”
Nero menurut. Pikirannya masih melayang pada apa yang dikatakan Zoe. Dia mencium pacar Vion? Siapa? Memangnya Vion punya pacar? Dia sama sekali tak bisa memikirkan siapa pacarnya Vion. Vion terlalu banyak memiliki teman wanita. Terlebih lagi, Vion sedang marah dan sakit hati padanya. Vion, bisa dipastikan, tak akan mengatakan apapun mengenai ini secara baik-baik. Tinju akan berbicara padanya.
“Mau kemana kau? Ke sini!” Zoe menarik tangannya lagi saat Nero hendak berjalan lurus menuju kelasnya.
“Aku tak apa-apa, Zoe.”
“Tidak. Kau tampak kacau. Apa yang akan kau katakan pada guru jika dia tahu kau berkelahi?”
Nero menghela napas. “Benar juga.” Memikirkan guru dan teman-temannya bertanya mengenai wajahnya justru akan menambah daftar permasalahnnya. Lebih baik dia tidak mengatakan apapun. Apalagi Vion juga terlibat dalam kasus kali ini.
Petugas kesehatan, Bu Moni, ada di kantor. Wanita itu membelalakan mata melihat apa yang terjadi pada wajah Nero.
“Kenapa dengan mukamu, Nero?” katanya terkejut.
“Aku tak apa-apa, Bu. Cuma kecelakaan,” jawab Nero pelan.
Bu Moni melirik Zoe dengan curiga. “Apa kalian berdua berkelahi?”
“Tidak. Ini kesalahan saya sendiri,” kata Nero sambil tersenyum. Walau tampangnya babak belur begitu, Nero masih mampu menghipnotis orang.
“Kalau begitu saya mempercayakan Nero pada Ibu. Permisi,” kata Zoe dan keluar dari ruangan kesehatan.
Nero melirik Zoe yang meninggalkannya. Dad, aku tak menyangka kau mengirim bodyguard lagi padaku, batinnya. Belum cukup ya dengan pengalaman dulu?
***The Flower Boy Next Door***
Devon tak senang sama sekali. Nero memaki dirinya sendiri karena tidak berhasil kabur tepat saat bel pelajaran berakhir. Siapa yang menyangka bahwa Devon menunggunya di depan pintu gerbang sepuluh menit lebih awal?
“Well,”Devon memulai, melipat tangannya dengan jengkel sementara matanya mendelik melihat wajahnya. “What happened?”giginya gemertakan menahan amarah.
“Nothing happened—ouch! Damn you. It hurts!” Nero menggerutu saat Devon memegangi luka di sudut bibirnya tanpa ada rasa kasihan sedikitpun.
“Who the fuck did this to you?”suara Devon terdengar tidak menyenangkan. Dia marah!
Nero menyingkirkan tangannya. “Don’t wanna tell you.”
“What?”Devon tak terima. “TELL ME, BASTARD!”
“It’s okay, Devon. That was my fault after all.”
Devon menggertakan giginya lagi. “So, tell me what did you do?”
Nero memutar bola matanya. “Devon, you act like my mother.”
Rahang Devon mengeras. Murid-murid yang keluar dari sekolah sekarang mulai memerhatikan mereka yang—karena luka Nero—berpikir bahwa Devonlah yang memukul wajahnya.
“Get lost, you ass!”Devon memelototi murid-murid yang berbisik-bisik.
“Dude,”kata Nero. “Stop that! Come on. It’s not a big deal.”
“Fine,”bisik Devon jengkel. “I’ll find who did that and when I know who is that, I swear I’ll make him know who Devon is.”Kemudian dia menarik dasi Nero dengan kasar untuk meninggalkan gerbang sekolah.
Nero hanya mampu menghela napas. Devon tak akan main-main. Jika dia tahu Vion yang meninjunya, bisa dipastikan bahwa Devon akan menghabisinya.
***The Flower Boy Next Door***
Matt menaikan alisnya saat Nero turun untuk makan malam. Sepulang sekolah Nero sama sekali tidak mau turun dari kamarnya, bahkan menghindari bermain dengan Ageha. Jennifer sempat bertanya-tanya kenapa Nero tidak melaksanakan aktivitasnya yang biasa, bahkan dengan sengaja mengunci kamarnya. Sekarang Matt tahu alasannya.
Jennifer yang melihat wajah Nero menutup mulutnya dengan kaget.
“Abang, mukanya kenapa?” kata Ageha terkejut.
“Jatuh, Dek,” jawab Nero.
Alis Matt masih menaik. Tapi sama sekali tak berniat membahas masalah ini. Akhirnya mereka makan malam dalam keheningan canggung yang tak biasa.
Setelah selesai makan, Matt segera menarik Nero ke kantornya. Dengan tangan melipat, Matt menunggu Nero menjelaskan apa yang terjadi. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Nero tahu bahwa Matt tak akan melepaskannya jika dia berbohong.
“Aku yang salah,” Nero memulai. Matt masih menunggu dalam diam. “Aku tak ingat apa yang kulakukan. Zoe bilang kalau aku mencium pacar… temanku.”
Matt menurunkan tangannya dan menepuk bahu Nero. “Nero,” katanya. “Jangan ulangi lagi, oke?”
Nero mengangguk dalam diam.
“Dan siapa teman pacarmu ini?” Matt bertanya dengan seringai menyebalkan di wajahnya.
Nero memutar bola matanya. “Aku tak ingat dan Dad, aku mau protes.”
“Protes apa?”
“Zoe,” dan saat Matt menahan napas, Nero tahu bahwa kecurigaannya benar. “Kenapa sih Dad masih saja mengirimkan bodyguard? Nggak belajar dari pengalaman ya?” kali ini gantian Nero yang melipat tangannya. “Jangan-jangan, ada masalah yang akan terjadi ya?”
Matt tersenyum kecil. “Aku hanya khawatir padamu.”
Nero mendengus. “Aku mengendus adanya kebohongan.”
Matt memutar bola matanya. “Dengar, Anak Muda, aku hanya khawatir.”
“Berapa orang yang kau kirim untuk mengawasiku? Aku bukan anak kecil lagi, Dad. Aku tak butuh Zoe. Aku bisa menjaga diriku sendiri.”
Matt mengibaskan tangannya, tak ingin mendengar protesan Nero.
***The Flower Boy Next Door***
Devon melipat tangannya dengan jengkel. Walau sudah beberapa hari ini memaksa Nero untuk mengatakan padanya siapa yang memukulinya sampai babak belur begitu, Nero tetap bungkam. Tapi yang mengherankan, Vion tidak lagi pergi bareng dengan mereka. Vion selalu pergi lebih awal.
Ada bagusnya juga Vion tak berada di dekat mereka untuk sementara. Tapi Devon merasakan adanya kejanggalan dalam beberapa hari ini. Setiap kali berpapasan, Vion selalu memberikan tatapan menusuk pada Nero.
Si Brengsek Vion itu. Pasti dialah yang memukul Nero.
Devon bisa menduga permasalahannya, sedikit. Pasti kejadian beberapa hari lalu memiliki hubungan dengan Niken. Walau Devon tak ingin terlibat kisah percintaan mereka bertiga yang menyebalkan, Devon ada di pihak Nero—seratus persen. Masalahnya, Devon ragu apakah Nero benar-benar naksir pada gadis itu atau tidak. Kalau Vion sih, sudah bisa dipastikan naksir Niken. Devon bisa melihatnya dari cara Vion memandang Niken.
“Devon!” Pak Gerry meraung ke depan wajahnya. “Jangan melamun saat jam olahraga!”
Devon mengerjap, melihat ke sekelilingnya. Sekarang anak-anak kelas dua sudah ada di bawah sinar matahari: berbaris, kepanasan dan berkeringat.
“Baik, anak-anak. Karena sekarang Devon sudah kembali ke dunia nyata, kita akan memulai pertandingan yang sudah kita mulai minggu lalu,” Pak Gerry berjalan di depan barisan. “Minggu lalu yang memenangkan pertandingan adalah dari kelas gabungan 2-1 dan 2-5 dengan 2-3. Karena itu sudah bisa dipastikan siapa yang akan bertanding. Kelas yang memenangkan pertandingan akan mendapatkan hadiah berupa uang jajan makan di kantin secara gratis selama seminggu. Anak-anak cowok silakan memilih kembali timnya untuk pertandingan kali ini. Yang cewek silakan duduk di pinggir dan menonton.”
Devon memutar bola matanya. Hanya karena gratis makan di kantin selama seminggu mereka harus bertanding di bawah sinar matahari? Tapi Devon mungkin hanya satu-satunya yang tidak terlalu memedulikan hal ini, karena begitu anak-anak lain mendengar hadiah yang akan diperebutkan, dengan segera mereka segera membentuk lingkaran, menentukan nama pemain dan strategi.
“Devon, kau masuk dalam tim ya?” kata salah seorang teman sekelasnya.
Devon hanya mengangkat tangan tanda setuju. Matanya memerhatikan Nero yang ada di belakang barisan anak-anak cowok, tidak berniat sama sekali untuk ikut bertanding. Heh, minggu lalu Nero juga tidak ikut bertanding dan memilih lari keliling lapangan bersama Niken.
“Nero!” Bram berteriak, menunjuk Nero. “Nero saja! Kemarin kan dia tidak ikutan karena kita lupa bahwa ada dia!”
“Aku nggak bisa main bola,” kata Nero cepat-cepat.
“Jangan bercanda, Nero. Kau ini kan cowok, masa main bola aja nggak bisa,” kata Bram lagi. “Udah, masukin aja nama Nero ke pemain utama.”
Devon menaikan alis. Well, ini di luar dugaannya. Dia sama sekali tak menyangka akan melawan Nero hari ini.
Setelah pemain ditentukan, Pak Gerry kembali mengambil alih perhatian. Dia memilih beberapa orang untuk membantunya menjadi wasit garis, kemudian menyuruh para pemain bersiap di posisinya masing-masing.
PRIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIT
Devon membawa bola, menggiringnya di lapangan rumput. Tim Nero segera bergerak, dua orang berlari di kiri-kanannya. Dengan cepat Devon mengoper ke salah satu temannya dan berlari menghindari dua orang penjaga di belakangnya.
“Hai, Devon,”kata Nero yang berlari ke arahnya.
Bola melayang ke arah Devon lagi, Nero melompat, menerimanya dengan dada dan saat bola itu jatuh, menendangnya ke teman setimnya.
“Bye, Devon,”kata Nero dan berlari ke sisi lapangan yang lain.
Devon mengerjap melihat Nero berlari cepat meninggalkannya di belakang menuju tiang gawang. Nero cepat sekali!!
“Kalian, jaga Nero!” Devon berteriak, mengejar Nero dari belakang.
Bola terbang lagi, menuju Nero yang berlari mendekati daerah pinalti. Dua tim Devon menghadangnya dengan cepat dan bola berhasil ditangkap oleh kipper dan ditendang jauh menuju ujung lapangan yang lain.
Devon berlari mengejar bola yang menuju ke arahnya dan menyundulnya ke teman yang ada di sebelah kiri. Bola itu bergerak ke teman setimnya dan menendangnya ke lapangan. Kipper melompat dan—
DONG!
Penonton kecewa karena bola mengenai tiang gawang.
Permainan dimulai kembali. Kadang-kadang tim Devon yang memegang bola, kadang-kadang tim Nero yang membawa bola. Nero bohong soal dia tak bisa main bola. Anak itu bisa main bola walau tidak mahir. Sering kali bola yang didapatkannya digiring mendekati gawang, tapi dia tak berani menendang dan memberikannya pada temannya yang lain.
Mendekati babak kedua, seluruh pemain sudah berkeringat dan kepanasan. Sinar mentari siang benar-benar menambah suasana riuh yang diberikan penonton. Penonton kedua tim bersorak gila-gilaan begitu bola mendekati lapangan dan ber-buuuuuuuuuuuuu-ria saat bola tak masuk gawang.
“NERO! NEROOOOO!” cewek-cewek pendukung Nero berteriak gila begitu Nero menerima bola dan menggiringnya melewati satu orang… dua orang… tiga orang…
“Hey, hentikan dia!!” kipper dari tim Devon berteriak.
Nero berhenti dan mengoper ke belakang. Bram menerima di belakang sementara Nero berbalik arah ke belakang.
Devon berlari mengejar bola yang digiring Bram. Bram sangat berbahaya jika diberikan bola. Bram merupakan kapten tim sepakbola sekolah. Macannya lapangan. Dan begitu Bram mendapatkan bola, Bram tidak segan-segan langsung menendang ke arah gawang.
“Aaaah!” penontong bersorak saat bola berhasil di tinju kipper.
Bola terbang lagi, melayang… melayang…
BUK!
“GOOOOOL!!”
Penotong menjerit saat Nero menyundul bola. Bola masuk ke sudut kiri gawang.
“YAY!” teman-teman setim Nero berlari ke arahnya dan mengerubutinya. Sambil berteriak-teriak, mereka memeluk Nero, menepuk-nepuk punggungnya, bahkan mengacak-acak rambutnya.
PRIIIIIIIIIIT
“Satu kosong untuk Tim Gabungan 2-1 dan 2-5 melawan 2-3!”
Bola kali ini dipegang oleh Tim Nero. Nero ada di ujung lapangan yang lain. Bram dan teman setimnya memulai kembali permainan. Mereka membawa bola kembali, hanya saja kali ini Devon dengan sigap merebut bola.
“Bagus, DEVON! DEVON!”
“HUUUUUH! NERO!! NERO!!”
“DEVON! DEVOOOOOOOOON!!!”
Penonton menggila di pinggir lapangan. Devon berlari menghindari Nero yang menjaganya dengan ketat di sampingnya.
“Minggir, Nero!” kata Devon.
“Ah, enak saja!” balas Nero.
Devon mengoper pada temannya di sebelah kiri. Nero menoleh jengkel padanya tapi memilih untuk mengejar bola yang sekarang membahayakan gawang mereka. Devon tersenyum puas. Bagus. Akhir-akhir ini Nero tidak lagi mampu mengendalikan wajah super tenang dirinya. Devon nyaris melihat seluruh ekspresi Nero. Ada bagusnya juga Bram menariknya main bola. Inilah cara anak lelaki bermain, bukan hanya dengan memainkan piano. Itu lebih keperempuanan menurut Devon.
“NERO!!” cewek-cewek berteriak lagi saat Nero jatuh terguling saat mendapatkan jegelan keras.
Devon memaki dan berlari ke arahnya.
“Nero!” Bram dan timnya segera mengerumuninya. Pak Gerry berlari di belakang. “Nero! Nero!” Bram yang terlebih dahulu sampai segera berusaha menyadarkan Nero yang tak begerak.
“Apa dia pingsan?” teman setim Devon yang tadi tidak sengaja menjegelnya sekarang mulai cemas dan ketakutan.
“Kau tadi terlalu keras!” kata Bram lagi. “Dia bukan atlit!”
“Ada apa ini?” Pak Garry berjongkok melihat keadaan Nero. “Hey, bawa tandu kema—” Pak Garry berhenti. “Sialan, Anak Muda! Jangan membuat takut kami!” teriaknya jengkel.
Devon dan yang lain jengkel melihat Nero tertawa terbahak-bahak di pelukan Bram yang ketakutan. Ternyata dia cuma pura-pura pingsan.
“NERO! Sialan kau!” kata Bram. “Tidak lucu!”
“Oh, lucu sekali,” kata Nero terbahak-bahak.
“Kembali ke posisi masing-masing!” Pak Garry marah-marah. “Dilarang bercanda di lapangan, Anak Muda. Dan jika kau lakukan lagi, kau akan terkena kartu merah!”
“Maaf, Pak,” kata Nero, masih terkekeh.
Penonton yang sempat panik segera tertawa melihat keusilan Nero. Nero masih saja bisa membuat kejutan walau penonton sudah histeris panik.
Seluruh pemain segera ke posisi masing-masing. Nero segera mengawasi pergerakan Devon.
“Panasnya,” gumam Nero menyeka keringat di dahinya.
“Kau harus terbiasa,” balas Devon dan berlari menghindari Nero. Nero mengejarnya dari belakang. Babak pertama masih ada sekitar sepuluh menit lagi. Mereka masih punya waktu untuk mencetak skor.
Devon mendapatkan bola kembali. Dia membawanya menuju gawang milik tim Nero. Dengan sigap Devon berhasil menghindari beberapa orang dan mengoper kembali bola pada teman setimnya. Nero kembali menjaganya dengan ketat. Harus Devon akui bahwa Nero sangat sigap, cepat dan keras kepala.
“Minggir, Nero,” geram Devon.
“Tidak mau!” balas Nero.
Devon mencengkram kaos Nero, menahan tubuhnya dengan menggunakan tubuh Nero sebagai topangan dan melompat saat bola melayang padanya, menyundulnya ke teman setimnya yang ada di depan.
“Ow! Shit, Devon! You broke my head!” Nero menempeleng kepalanya. Siku Devon tak sengaja mengenai kepala Nero tadi.
“Sorry.”Devon nyengir dan berlari mengejar bola kembali yang sekarang sudah nyaris mendekati lapangan.
Bola itu berhasil melewati garis pinalti. Kiper menjaga di depan gawangnya dengan kedua tangan terbuka lebar, menunggu bola dengan segenap jiwa. Bola ditendang dan penonton menjerit takjub, tapi bola terlalu tinggi dan terpantul ke tiang gawang. Tepat saat itu Devon ada di dekat gawang dan menendang dengan sekuat tenaga. Bola meluncur turun, melesat ke bawah tangan kipper.
“GOOOOOOOOOOOOOOOL!”
Penonton beteriak gila-gilaan.
“Bagus, Devon! DEVON! DEVON!”
“NERO!” suara Bram terdengar dari sisi yang lain. “NERO, BANGUN! INI TAK LUCU! NERO!”
Keriangan gol tadi terhenti menjadi hiruk-pikuk kebingungan. Devon dan yang lain segera mendatangi Bram dan Nero yang masih ada di tengah lapangan. Nero—lagi-lagi—tidur di lapangan rumput dengan posisi yang sama seperti sebelumnya: dipelukan Bram yang mencoba menyadarkannya.
“Nak, kami tak akan tertipu untuk kedua kalinya! Bangun atau kau akan terkena kartu merah,” ancam Pak Gerry. Nada suaranya tidak main-main.
Geez, anak itu. Tak tahukah dia arti kata cukup? Manusia belajar, bodoh. Trik yang sama tak akan berlaku, pikir Devon. Dia maju, memegang kerah baju Nero dan memaksanya untuk duduk.
“Bangun, Nero. Caramu bercanda sama sekali tak lucu.” Devon menggeram jengkel.
Tapi kepala Nero terkulai lemah ke bahu Bram.
“Nero, jika kau tak bangun, aku akan menghajarmu!” kata Devon lagi.
“Pak Gerry!” salah seorang turun dari bangku penonton dan berlari ke arah mereka. “Pak Gerry! Tunggu sebentar! Pergantian pemain!”
“Apa?” Pak Garry terperangah. “Siapa kau?”
“Zoe. Murid baru di kelas 2-2,” jawabnya pelan. Dia menunduk melihat Nero. “Saya akan membawa Nero ke UKS.”
“Nero cuma pura-pura pingsan,” kata Bram.
Tapi Zoe berjongkok, mengalungkan tangan Nero ke lehernya dan menggendongnya ke belakang punggungnya. “Saya akan membawanya ke UKS. Permisi, Pak.”
Zoe berlari, membawa Nero yang tak bergerak keluar dari lapangan.