Debaran Tiga Belas
Prince’s Kiss
Sialan. Aku harus melaksanakan rencana sebelum Nero benar-benar masuk ke dalam kelasku. Aku tak mengerti kenapa dia bisa mendapatkan nilai sempurna sementara aku tidak. Kembali kupelototi soalku. Memang sih, aku menemukan beberapa kesalahan fatal dalam penjumlahan dan beberapa diantaranya juga aku salah memberikan lingkaran. Tapi bagaimana mungkin anak seperti Nero bisa sangat—sangat—teliti?
Dengan jengkel aku mengetuk-ketuk pensilku ke atas meja. Jika seperti ini terus, maka tak bisa dipungkiri lagi maka Nero akan benar-benar masuk ke kelasku. Bukan berarti aku kesal sih dia mengambil peringkatku. Aku kesal, memang. Tapi tidak sekesal yang dipikirkan teman-temanku karena aku tahu sendiri apa yang terjadi pada Nero. Nero kan tinggal di sebelah kamarku. Dia memang menghabiskan waktunya di kamar sepanjang siang hanya dengan membaca buku.
Aku jadi penasaran kenapa dia betah sekali membaca buku di kamarnya. Dia bahkan tak pernah keluar dari gerbang rumahnya jika sudah pulang sekolah. Yang mengherankan lagi, hal itu membuatku menyadari bahwa Nero tidak memiliki satu orang teman pun di komplek rumah ini. Aku bahkan ragu ada yang menyadari keberadaannya di rumah itu.
Terdengar suara tawa di luar. Dengan cepat aku melirik arloji tanganku. Pukul lima sore. Jadwal bermain Ageha dan Nero. Kalian lihat sendiri kan? Aku benar-benar tahu jadwalnya dengan baik.
“DAD!” Nero meraung dari luar.
Huh? Dad? Aku mengerutkan dahi. Itu berarti Ayahnya Nero ada di sini? Tanpa terduga, aku beranjak dari tempatku dan menuju balkon. Aku belum pernah bertemu dengan Ayah Nero. Itu karena Ayah Nero, kata Jennifer, ada di luar negeri. Itu berarti Ayahnya sudah kembali. Siapa namanya kemarin? Matt? Oh, ya, Matt.
Aku duduk, mengambil buku bacaanku dan melirik ke bawah.
Ada Nero bersama dengan Ageha. Di belakang mereka tampak seorang laki-laki, memiliki wajah yang nyaris mirip seperti Nero. Dia muda, tinggi, dan punya tawa yang menyenangkan. Laki-laki itu tak tampak memiliki seorang anak berusia enam belas tahun karena masih begitu energik, malah tampak seperti kakakknya Nero daripada Ayahnya.
Matt melempar bola baseball pada Nero. Nero menangkap dari ujung yang satunya, lalu memberikannya pada Ageha. Ageha melemparkannya kembali. Lemparan Ageha sering meleset. Untungnya, Matt jago berakting seolah-olah lemparan itu berasal dari seorang pemain professional.
“Hebat, Sayang! Lihat itu Nero, seperti itulah caranya melempar bola!”
Nero membalas dari tempatnya. “Lihat itu Ageha? Seperti itulah penangkap baseball yang payah!”
Matt terbahak, lalu melempar bola itu dengan kekuatan penuh. Nero menangkap dengan pas dari tempatnya.
“Hayooo, yang lagi jatuh cinta.”
Aku terkejut mendengar suara rendah di belakangku, nyaris jatuh dari bangkuku andai saja tanganku tak dipegangi.
Abangku, Ray, tertawa sambil geleng-geleng kepala. “Kamu ngapain sih?” dia melongok ke bawah. “Hmmmm, dasar. Ada cowok cakep, lupa sama Abang sendiri.”
Aku tidak memedulikan kata-katanya. “Kenapa nggak ketuk pintu dulu sih?” kataku jengkel.
“Udah. Lihat nih tanganku sampai bengkak gedor-gedor pintu tapi nggak didengar,” katanya lagi dan duduk di sampingku. “Itu si anak tetangga baru kan? Siapa namanya?”
“Nero,” kataku.
“Oh, dan bagaimanakah arti Nero itu padamu? Hmmm?”
Aku mendelik jengkel pada Abangku. “Tidak ada.”
“Masa? Matamu nyaris keluar melihatnya,” katanya melirik ke bawah. “Aku yakin betul kalau kamu tak akan repot-repot memperhatikan cowok kalau kamu tidak tertarik padanya.”
“Aku punya orang yang kusuka, Bang. Lagipula, aku benci pada Nero. Dia selalu usil padaku,” kataku.
“Si Vion itu? Sudah berapa lama sih kamu suka padanya? Bukankah dia belum membalas cintamu?” dahi Ray mengerut dalam. “Lagipula, Niken, dari benci bisa jadi cinta loh.”
“Terserah.”
“Oh, dia jatuh!” kata Ray tiba-tiba.
Aku segera melihat ke bawah.
Nero memang tergeletak di atas rumput, memegangi kepalanya dan berguling-guling. Matt berlari menghampiri sementara Ageha sudah berteriak-teriak panik. Jantungku nyaris terhenti melihat Nero meraung-raung memegangi kepalanya.
“Nero! Nero!” Matt panik.
“Kepalaku! Aduh, kepalaku!”
“Abang! Abang!”
“Nero! Nero!” Matt memegangi kepala Nero. “Coba sini aku lihat! Ageha, telepon ambulan!”
“Kepalaku!” teriak Nero lagi.
Lalu…
“Muahahahahahahaha!” Nero terbahak-bahak.
Geez, anak itu! Gerutuku jengkel begitu melihat Nero terbahak-bahak sementara Matt dan Ageha terbengong melihatnya.
“Nero!!” gerutu Matt jengkel. “Kau mau membuatku terkena serangan jantung? Dasar anak nakal!”
Nero masih tertawa terpingkal-pingkal. “Tampang kalian jelek sekali!”
Matt menyipitkan mata. “Ageha, revenge!”
“Tickle!”jerit Ageha.
Dan mereka pun menggelitiki Nero.
Nero tergelak-gelak, berguling-guling menghindari Matt dan Ageha yang tiada ampun terus menggelitikinya sampai membuatnya menangis karena tertawa. Untuk sesaat aku merasa bahwa Nero terlihat bahagia. Dia punya keluarga yang benar-benar luar biasa. Berbahagialah mereka yang memiliki keluarga seperti Nero.
“Surrender!” teriak Matt penuh kemenangan saat Nero sepertinya menyerah. “We won!”
Ageha melompat-lompat, memeluk Matt. Matt mengangkat Ageha ke atas bahunya dan berputar-putar, berteriak, “Yoooooohoooooo.”
“Aku suka keluarga itu,” kata Ray lagi.
Dengan cepat aku tersentak, melihat Abangku tengah tersenyum-senyum seperti idiot begitu melihatku. “Jika kamu menikah dengan anak mereka,” tambahnya sambil melirik Nero yang masih mengambil napas di rumput. “aku yakin bahwa kamu akan menjadi orang paling bahagia di muka bumi, daripada bersama Vion.”
“Iiiiiih! Nyebelin!” dan aku hanya mampu mencubitnya.
***The Flower Boy Next Door***
Siang hari sebelum bel jam makan siang berakhir, aku harus memberikan laporan pada Pak Alfon mengenai data siswa yang terlambat. Berkurangnya jumlah persentasi keterlambatan siswa memberikan nilai tersendiri bagi sekolah ini—dan juga pekerjaanku.
“Terima kasih, Niken,” kata Pak Alfon. Dia membolak-balik laporan itu sejenak dan melirik Pak Julian yang sedang minum teh.
Kedua guru ini, jika diperhatikan, memang sangat akrab. Aku penasaran mereka punya hubungan apa. Apakah mereka teman sejak kecil? Saudara sepupu? Teman sekampus? Hmmm, soalnya mereka berdua selalu membicarakan masalah serius berdua dan jarang sekali terlibat dengan guru-guru lain.
“Alfon,” Pak Julian berpaling padanya. “Kau akan datang berkunjung hari ini kan?”
“Tidak,” jawab Pak Alfon tegas. “Aku ada kencan hari ini.”
Pak Julian menganga. “Dengan siapa? Kenapa kau tak memberitahuku?”
“Kenapa aku harus memberitahumu?” Pak Alfon tampak tak peduli dan kembali mengalihkan perhatiannya padaku. “Ada lagi yang ingin kau ketahui, Niken?”
“Tidak ada, Pak. Tapi saya mau tanya,” kataku tak mengerti.
“Silakan,” Pak Alfon tersenyum sambil mengangguk kecil.
“Pak Alfon dan Pak Julian tampak dekat sekali. Teman baik ya?”
Pak Alfon melirik Pak Julian dengan alis menaik sambil menimang-nimang. “Teman baik? Kami masih jauh dari kategori itu. Kami kebetulan saja memiliki hubungan keluarga.”
“Hah?”
“Kakak laki-lakinya kebetulan menikah dengan kakak perempuanku,” kata Pak Alfon. “Kebetulan yang mengerikan ya?”
Pak Julian meninju pelan tangannya. “Awas kau nanti.”
Aku manggut-manggut sedikit. Ternyata gosip yang menyatakan mereka punya hubungan spesial memang benar adanya. Mereka berdua keluarga.
Aku segera pamit dari kantor guru dan hendak menuju kelasku saat melihat Nero duduk seorang diri di sisi tembok sekolah yang terutupi rerumputan liar dan pepohonan rindang. Punggungnya menyentuh tembok dengan salah satu kakinya terangkat dan tangan yang lain menyentuh dengkulnya. Matanya tertutup sementara wajahnya mengadah ke atas, menikmati angin siang yang sejuk dari pepohonan.
Lagi-lagi dia meninggalkan Devon dan Vion. Mereka berdua pasti mencarinya. Dan tidak ada yang menyadari dia ada di sini karena memang tidak ada orang yang berniat melihat tempat ini karena pepohonannya yang lebat.
Maka sambil lirik ke sana kemari, aku memastikan bahwa tidak ada orang yang lewat. Tampaknya semua siswa menghabiskan waktu di Bukit Hijau. Aku segera melompat turun keluar dari jendela dan berjalan mendekatinya.
“Nero,” kataku.
Dia tidak merespon.
“Nero,” kataku lagi, agak lebih keras.
Lagi-lagi dia tidak merespon. Apakah dia sedang tidur? Aku mendekat dan berjongkok di depannya. Perlahan-lahan, aku menotol-notol bahunya dengan telunjuk. Tidak ada respon. Saat aku mendekatkan telingaku, terdengar suara pelannya yang sedang mengambil napas.
Dia tertidur.
Bagaimana mungkin dia bisa tidur di tempat seperti ini? Apa dia tak takut jika ada ular yang muncul dan membelitnya? Tapi, dia manis juga kalau tidur. Lucu. Tidak seperti saat dia sedang bangun. Jika dia bangun, dia mirip seperti anak usia enam tahun yang nyebelin dan hobinya mengganggu.
Aku memerhatikan wajahnya.
Anak ini memang tampan sekali. Seluruh wajahnya tampak seperti ukiran lembut yang dibuat oleh seorang ahli. Bulu matanya yang panjang tampak menyapu matanya. Rambutnya yang coklat pendek sederhana juga tampak lembut. Untuk kategori orang kaya yang tinggal di rumah seharga dua puluh milyar, Nero termasuk anak yang sederhana. Tidak ada barang istimewa yang dia pakai kecuali jam tangan.
Kali ini perhatianku teralih pada jam tangannya. Itu dia tattoo yang selalu membuatku penasaran. Aku tak pernah melihat bentuk tattoo itu dengan jelas.
Kuperhatikan lagi wajah Nero. Tak ada tanda-tanda dia akan bangun sebentar lagi. Jadi aku perlahan-lahan mengambil tangan kirinya yang tergeletak di samping dan mengangkatnya sedikit. Dengan was-was aku melirik Nero yang bergerak tidak nyaman saat posisinya kuubah, tapi dia tidak terbangun.
Sambil menggigit bibir, aku melepaskan jam tangannya. Waduh, bisa gawat kalau dia bangun dan melihatku dalam posisi begini—dan lebih gawat lagi jika ada orang yang melihat—karena aku bisa dikatai maling jam tangan!
Akhirnya, setelah melepaskan jam tangan Nero, aku bisa melihat tattoo sederhana berwarna hitam yang ada di pergelangan kiri tangannya yang terletak di bagian dalam dan tampak begitu kecil. Tatoonya bergambar sebuah jangkar dengan tulisan “faith” sebagai anak panahnya. Ukiran tatoonya unik sekali dan baru pertama sekali aku melihat kombinasi begini. Aku penasaran apakah Nero mendesain tato ini sendirian.
“Mmmnnnh…”
Aku menahan napas sementara jantungku berdegup kencang tak karuan melihat Nero bergerak lagi. Kepalanya terkulai lemah ke sisi yang satunya. Tapi dia kembali tenang.
“Fuh.” Aku menghela napas lega dan pelan-pelan kembali mengikatkan jam tangan Nero.
“… ther…”
Huh? Apa katanya?
“… Mother…”
“Mmmpft!!” aku menutup mulutku, nyaris tertawa terbahak-bahak. Ya ampun. Dia benar-benar anak kecil! Di usia begini masih memanggil Mamanya? Tak bisa dipercaya! Ini bisa jadi balasan paling menyenangkan nanti jika Nero macam-macam! Seorang Pangeran memanggil Mamanya dalam mimpi? Haha!
“… Mother…”
Baiklah. Sekarang pembalasan!
“Nero, bangun!” aku mendorongnya ke samping. Tubuh Nero limbung seketika itu juga. “Ya ampun. Kau ini sudah besar dan masih memanggil Ibumu? Yang benar saja! Jennifer pasti sangat memanjakanmu ya? Tsk tsk tsk. Jika cewek-cewek sampai tahu, mereka pasti bakal kecewa. Pangeran mereka ternyata anak Mami!”
Nero bergerak dan mencoba untuk duduk. Sepertinya dia mengalami kekagetan yang luar biasa. Aku tak sabar ingin lihat tampang memalukannya seperti apa!
“Tapi, jangan khawatir, aku tak akan memberitahu mereka jika—” Aku tak mampu meneruskan kembali kata-kataku. Napasku serasa terhenti saat itu juga dan tenggorokanku tercekat begitu melihat wajah Nero.
Nero… menangis…
“Nero,” desahku tak percaya. “Nero, kau tak apa-apa?”
Hatiku rasanya robek begitu saja melihat wajahnya yang tanpa ekspresi. Matanya tampak begitu kosong walau air matanya bergulir turun begitu saja membasahi pipinya yang putih. Dia seperti terjebak dalam emosi yang aku tak tahu sebabnya. Seperti seorang anak kecil yang hancur dan tak mampu berlari kemanapun. Dia tampak begitu rapuh. Apakah aku sudah melakukan hal yang buruk? Apakah aku melukainya tadi? Aku ketakutan setengah mati.
“Nero, aku minta maaf, oke?” kataku membantunya duduk. “Kau terluka? Apakah aku mendorongmu terlalu keras?”
Tapi Nero tidak merespon. Tatapannya masih saja kosong. Mungkinkah dia tadi bermimpi buruk dan belum menyadari bahwa dia sudah bangun? Oh, Tuhan! Aku sudah melakukan hal yang buruk!
“Nero… Nero?” kataku lagi berusaha menyadarkannya. “Nero, kau bisa mengenaliku kan? Nero?” suaraku bergetar.
Tapi dia benar-benar tak meresponku.
“Nero, tolong dengar suaraku…” Entah kenapa, kali ini aku malah ikut menangis. Aku bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang menimpanya. Aku bisa merasakan bebannya. Aku bisa merasakan kesedihannya. Dan aku begitu sedih melihatnya tidak meresponku.
Mungkin aku gila jika mengatakan ini, tapi sialan, aku lebih menyukai dia menggangguku seperti biasanya daripada melihat dia tidak meresponku!
“Nero…” kataku menangkup wajahnya untuk dapat melihatku. “Nero,” panggilku lagi.
Dia melihatku. Tapi tidak benar-benar melihatku. Ya Tuhan, ada apa dengannya? Kenapa dia jadi seperti ini? Sebenarnya apa yang terjadi?
“Nero,” kataku lagi. “Nero, kau mendengarku kan? Jangan membuatku takut, please?”
Dia mengedip perlahan. “Niken…” desahnya.
Oh, Thanks God!Aku lega sekali dia meresponku!
“Kau kenapa, Nero? Kau membuatku ketakutan! Aku tak tahu apa yang harus kulakukan! Kupikir kau tadi terluka atau apa!” aku terisak-isak, lega, sekaligus juga takut.
“Niken…”
Dengan kalut aku menghapus air mataku dengan punggung tangan. “Kita ke UKS ya? Aku takut kau sakit.”
“Niken…”
Aku mengerutkan dahi. Sejak tadi dia hanya memanggil namaku.
“Nero, kau tak apa-apa kan?” aku ketakutan lagi.
“Niken…”
“Ya, Nero, aku di sini.”
“Niken…”
Aku tidak tahan lagi. Dia benar-benar seperti mengalami mimpi paling buruk. Hal yang kuingat adalah aku memeluknya.
“Aku di sini, Nero,” kataku. “Aku di sini.”
Nero memelukku erat-erat. Aku bisa merasakan kalau tubuhnya menggigil dan punggungnya basah. Dia ketakutan. Aku bisa merasakannya. Dia ketakutan pada apapun itu yang telah dia mimpikan tadi.
“Kau sudah tak apa-apa?” aku melepaskan pelukanku dan memerhatikan wajahnya dengan seksama. Dia mengangguk perlahan. Tapi ekspresinya belum kembali. Sialan. Apa sih yang membuat Nero jadi seperti ini?
“Kau yakin?” tanyaku lagi.
Nero mengadah, menatapku dengan tatapan kosong yang sama.
“Nero?” aku terheran.
Dia memegang lenganku dan aku bisa melihat wajahnya mendekat… kemudian…
…dia mencium bibirku.
Aku terlalu terkejut untuk menyadari apa yang terjadi dan terlalu terpesona pada mata coklatnya yang tampak begitu bening.
Bibir Nero bergerak perlahan, mendorongku yang tak bergerak untuk mendekat. Salah satu tangannya naik ke leherku, menyentuhnya dengan lembut sebelum dia memperdalam ciumannya yang membuatku terkesikap.
Bibir Nero begitu lembut, nyaman dan—
Aku mendorong Nero. Wajahku memanas dan jantungku berbunyi, meletup-letup sampai membuat gendang telingaku terasa pecah dan semua suara yang kudengar hanya suara jantungku.
“Niken?” katanya mengerjap kebingungan.
Oh, tidak. Oh, tidak. Oh, TIDAK!
Aku bangkit dan berlari menjauh, meninggalkan Nero yang sepertinya sudah sadar sepenuhnya.
Nero menciumku. Aku balas menciumnya. Apa aku sudah gila????
Lupakan, Niken! Lupakan kejadian hari ini! Lupakan! Lupakan! LUPAKAN!
Tapi ciuman seorang pangeran seperti Nero berhasil membuatku nyaris pingsan!
***The Flower Boy Next Door***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar