Selasa, 26 Maret 2013

The Flower Boy Next Door (Debaran Empat Belas)


Debaran Empat Belas
Soccer
Apa yang terjadi? Nero mengerutkan dahinya, sama sekali tak bisa mengingat apa yang dia lakukan setelah datang ke tempat ini. Sambil mengerutkan dahinya, Nero melihat sekeliling, berusaha mengingat kenapa dia memilih tempat ini. Sialnya. Dia tak ingat sama sekali.
“Nero.”
Nero mengadah melihat Vion mendekat. Wajah Vion sama sekali tidak menyenangkan, seperti halilintar dan tampak murka sekali.
“Kami mencarimu kemana-mana,” ucapnya lagi.
“Oh. Sori,” kata Nero menggaruk-garuk kepalanya. “Sepertinya aku tak ingat kenapa aku ada di sini.”
“Kau tak ingat?” suara Vion naik satu oktaf. Ini pertama kalinya dia menggunakan nada itu. Nero menduga pastilah dia sudah melakukan hal yang buruk pada Vion. Tapi apa? Sialan. Inilah yang sering terjadi jika dia ditinggal sendirian. Pikiran dan tingkahnya tak pernah sejalur.
Nero tersenyum kecil. “Memangnya aku sudah melakukan apa?”
Lalu bhuuuuuuuuk. Tanpa diduga, Vion meninju Nero. Tangan Vion dengan segera menarik jas Nero, dengan ganas, memaksa Nero menghadapkan wajahnya.
Nero tidak melawan. “Vion, kenapa kau memukulku?” katanya tenang.
“Kenapa? Coba ingat lagi apa yang kau lakukan!” raung Vion, dan meninju wajah Nero lagi. “Apa kau sudah ingat sekarang?”
Nero terbatuk, darah keluar dari mulutnya. Tapi lagi-lagi, dia tak melawan dan memilih menatap Vion dengan tenang. “Aku sama sekali tak ingat. Keberatan jika kau mengatakannya hah, Vion?”
“Bagaimana mungkin kau tak ingat apa yang kau lakukan?” Vion tampak marah, pada apapun itu. Dia kembali meninju Nero.
“HENTIKAN!” seseorang berteriak dan menarik Vion menyingkir dari tubuh Nero, lalu menghempaskannya begitu saja ke sisi yang lain dengan satu tangan. “Kau tak apa-apa, Nero?”
Nero menggeleng, mencoba duduk.
“Siapa kau? Jangan ikut campur!” Vion berdiri dengan cepat dan berjalan menghadapi anak muda bertubuh tinggi tegap yang ada di depannya.
“Aku murid baru. Namaku Zoe (baca: Zo-i) Aigner. Dan aku harus ikut campur karena Nero sama sekali tidak melawanmu. Itu tak adil.”
“Ini urusanku dengannya. Orang asing segera menyingkir!” Vion tampak tak sabar.
“Sudah kubilang bahwa—” Zoe berhenti saat Nero menepuk bahunya dari belakang.
“Minggirlah, Anak Baru. Aku paling tak suka ada orang yang sok pahlawan,” Nero memperingatkan.
Zoe menatapnya sejenak, lalu mengangkat bahu. “Terserah. Aku akan melaporkan masalah ini pada guru.”
“Jangan coba-coba,” kata Nero lagi. “Seperti yang sudah dikatakan Vion, ini bukan urusanmu.”
Zoe menghela napas. “Fine. Do whatever you want, guys.”
Tapi tepat saat itu bel berdering keras sekali.
“Ini belum selesai, Nero,” kata Vion. “Aku akan menghajarmu sampai kau ingat.”
Nero mengangguk kalem. “Aku bisa menduga hal itu.”
Zoe memutar bola matanya. “Go to the inframary, Nero. It looks bad.”
Nero menghapus luka dari bibirnya. “What the hell was that for? Stupid Ass-President.”
“You kissed his girlfriend,”kata Zoe.
Nero menatapnya. Terkejut. “Huh?”
“You-kissed-his-girlfriend,”Zoe mengulang dengan nada lambat.
Nero mengerjap. Zoe terheran bagaimana mungkin Nero tak ingat apa yang dia lakukan. Padahal Nero sendiri tadi yang memegang tangan gadis itu dan bergerak menciumnya sendiri.
“You don’t remember?”Zoe bertanya kebingungan.
“Erm… no,”jawabnya dengan dahi mengerut.
Zoe menarik tangannya. “Come on. I’ll take you to inframary.”
Nero menurut. Pikirannya masih melayang pada apa yang dikatakan Zoe. Dia mencium pacar Vion? Siapa? Memangnya Vion punya pacar? Dia sama sekali tak bisa memikirkan siapa pacarnya Vion. Vion terlalu banyak memiliki teman wanita. Terlebih lagi, Vion sedang marah dan sakit hati padanya. Vion, bisa dipastikan, tak akan mengatakan apapun mengenai ini secara baik-baik. Tinju akan berbicara padanya.
“Mau kemana kau? Ke sini!” Zoe menarik tangannya lagi saat Nero hendak berjalan lurus menuju kelasnya.
“Aku tak apa-apa, Zoe.”
“Tidak. Kau tampak kacau. Apa yang akan kau katakan pada guru jika dia tahu kau berkelahi?”
Nero menghela napas. “Benar juga.” Memikirkan guru dan teman-temannya bertanya mengenai wajahnya justru akan menambah daftar permasalahnnya. Lebih baik dia tidak mengatakan apapun. Apalagi Vion juga terlibat dalam kasus kali ini.
Petugas kesehatan, Bu Moni, ada di kantor. Wanita itu membelalakan mata melihat apa yang terjadi pada wajah Nero.
“Kenapa dengan mukamu, Nero?” katanya terkejut.
“Aku tak apa-apa, Bu. Cuma kecelakaan,” jawab Nero pelan.
Bu Moni melirik Zoe dengan curiga. “Apa kalian berdua berkelahi?”
“Tidak. Ini kesalahan saya sendiri,” kata Nero sambil tersenyum. Walau tampangnya babak belur begitu, Nero masih mampu menghipnotis orang.
“Kalau begitu saya mempercayakan Nero pada Ibu. Permisi,” kata Zoe dan keluar dari ruangan kesehatan.
Nero melirik Zoe yang meninggalkannya. Dad, aku tak menyangka kau mengirim bodyguard lagi padaku, batinnya. Belum cukup ya dengan pengalaman dulu?
***The Flower Boy Next Door***
Devon tak senang sama sekali. Nero memaki dirinya sendiri karena tidak berhasil kabur tepat saat bel pelajaran berakhir. Siapa yang menyangka bahwa Devon menunggunya di depan pintu gerbang sepuluh menit lebih awal?
“Well,”Devon memulai, melipat tangannya dengan jengkel sementara matanya mendelik melihat wajahnya. “What happened?”giginya gemertakan menahan amarah.
“Nothing happened—ouch! Damn you. It hurts!” Nero menggerutu saat Devon memegangi luka di sudut bibirnya tanpa ada rasa kasihan sedikitpun.
“Who the fuck did this to you?”suara Devon terdengar tidak menyenangkan. Dia marah!
Nero menyingkirkan tangannya. “Don’t wanna tell you.”
“What?”Devon tak terima. “TELL ME, BASTARD!”
“It’s okay, Devon. That was my fault after all.”
Devon menggertakan giginya lagi. “So, tell me what did you do?”
Nero memutar bola matanya. “Devon, you act like my mother.”
Rahang Devon mengeras. Murid-murid yang keluar dari sekolah sekarang mulai memerhatikan mereka yang—karena luka Nero—berpikir bahwa Devonlah yang memukul wajahnya.
“Get lost, you ass!”Devon memelototi murid-murid yang berbisik-bisik.
“Dude,”kata Nero. “Stop that! Come on. It’s not a big deal.”
“Fine,”bisik Devon jengkel. “I’ll find who did that and when I know who is that, I swear I’ll make him know who Devon is.”Kemudian dia menarik dasi Nero dengan kasar untuk meninggalkan gerbang sekolah.
Nero hanya mampu menghela napas. Devon tak akan main-main. Jika dia tahu Vion yang meninjunya, bisa dipastikan bahwa Devon akan menghabisinya.
***The Flower Boy Next Door***
Matt menaikan alisnya saat Nero turun untuk makan malam. Sepulang sekolah Nero sama sekali tidak mau turun dari kamarnya, bahkan menghindari bermain dengan Ageha. Jennifer sempat bertanya-tanya kenapa Nero tidak melaksanakan aktivitasnya yang biasa, bahkan dengan sengaja mengunci kamarnya. Sekarang Matt tahu alasannya.
Jennifer yang melihat wajah Nero menutup mulutnya dengan kaget.
“Abang, mukanya kenapa?” kata Ageha terkejut.
“Jatuh, Dek,” jawab Nero.
Alis Matt masih menaik. Tapi sama sekali tak berniat membahas masalah ini. Akhirnya mereka makan malam dalam keheningan canggung yang tak biasa.
Setelah selesai makan, Matt segera menarik Nero ke kantornya. Dengan tangan melipat, Matt menunggu Nero menjelaskan apa yang terjadi. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Nero tahu bahwa Matt tak akan melepaskannya jika dia berbohong.
“Aku yang salah,” Nero memulai. Matt masih menunggu dalam diam. “Aku tak ingat apa yang kulakukan. Zoe bilang kalau aku mencium pacar… temanku.”
Matt menurunkan tangannya dan menepuk bahu Nero. “Nero,” katanya. “Jangan ulangi lagi, oke?”
Nero mengangguk dalam diam.
“Dan siapa teman pacarmu ini?” Matt bertanya dengan seringai menyebalkan di wajahnya.
Nero memutar bola matanya. “Aku tak ingat dan Dad, aku mau protes.”
“Protes apa?”
“Zoe,” dan saat Matt menahan napas, Nero tahu bahwa kecurigaannya benar. “Kenapa sih Dad masih saja mengirimkan bodyguard? Nggak belajar dari pengalaman ya?” kali ini gantian Nero yang melipat tangannya. “Jangan-jangan, ada masalah yang akan terjadi ya?”
Matt tersenyum kecil. “Aku hanya khawatir padamu.”
Nero mendengus. “Aku mengendus adanya kebohongan.”
Matt memutar bola matanya. “Dengar, Anak Muda, aku hanya khawatir.”
“Berapa orang yang kau kirim untuk mengawasiku? Aku bukan anak kecil lagi, Dad. Aku tak butuh Zoe. Aku bisa menjaga diriku sendiri.”
Matt mengibaskan tangannya, tak ingin mendengar protesan Nero.
***The Flower Boy Next Door***
Devon melipat tangannya dengan jengkel. Walau sudah beberapa hari ini memaksa Nero untuk mengatakan padanya siapa yang memukulinya sampai babak belur begitu, Nero tetap bungkam. Tapi yang mengherankan, Vion tidak lagi pergi bareng dengan mereka. Vion selalu pergi lebih awal.
Ada bagusnya juga Vion tak berada di dekat mereka untuk sementara. Tapi Devon merasakan adanya kejanggalan dalam beberapa hari ini. Setiap kali berpapasan, Vion selalu memberikan tatapan menusuk pada Nero.
Si Brengsek Vion itu. Pasti dialah yang memukul Nero.
Devon bisa menduga permasalahannya, sedikit. Pasti kejadian beberapa hari lalu memiliki hubungan dengan Niken. Walau Devon tak ingin terlibat kisah percintaan mereka bertiga yang menyebalkan, Devon ada di pihak Nero—seratus persen. Masalahnya, Devon ragu apakah Nero benar-benar naksir pada gadis itu atau tidak. Kalau Vion sih, sudah bisa dipastikan naksir Niken. Devon bisa melihatnya dari cara Vion memandang Niken.
“Devon!” Pak Gerry meraung ke depan wajahnya. “Jangan melamun saat jam olahraga!”
Devon mengerjap, melihat ke sekelilingnya. Sekarang anak-anak kelas dua sudah ada di bawah sinar matahari: berbaris, kepanasan dan berkeringat.
“Baik, anak-anak. Karena sekarang Devon sudah kembali ke dunia nyata, kita akan memulai pertandingan yang sudah kita mulai minggu lalu,” Pak Gerry berjalan di depan barisan. “Minggu lalu yang memenangkan pertandingan adalah dari kelas gabungan 2-1 dan 2-5 dengan 2-3. Karena itu sudah bisa dipastikan siapa yang akan bertanding. Kelas yang memenangkan pertandingan akan mendapatkan hadiah berupa uang jajan makan di kantin secara gratis selama seminggu. Anak-anak cowok silakan memilih kembali timnya untuk pertandingan kali ini. Yang cewek silakan duduk di pinggir dan menonton.”
Devon memutar bola matanya. Hanya karena gratis makan di kantin selama seminggu mereka harus bertanding di bawah sinar matahari? Tapi Devon mungkin hanya satu-satunya yang tidak terlalu memedulikan hal ini, karena begitu anak-anak lain mendengar hadiah yang akan diperebutkan, dengan segera mereka segera membentuk lingkaran, menentukan nama pemain dan strategi.
“Devon, kau masuk dalam tim ya?” kata salah seorang teman sekelasnya.
Devon hanya mengangkat tangan tanda setuju. Matanya memerhatikan Nero yang ada di belakang barisan anak-anak cowok, tidak berniat sama sekali untuk ikut bertanding. Heh, minggu lalu Nero juga tidak ikut bertanding dan memilih lari keliling lapangan bersama Niken.
“Nero!” Bram berteriak, menunjuk Nero. “Nero saja! Kemarin kan dia tidak ikutan karena kita lupa bahwa ada dia!”
“Aku nggak bisa main bola,” kata Nero cepat-cepat.
“Jangan bercanda, Nero. Kau ini kan cowok, masa main bola aja nggak bisa,” kata Bram lagi. “Udah, masukin aja nama Nero ke pemain utama.”
Devon menaikan alis. Well, ini di luar dugaannya. Dia sama sekali tak menyangka akan melawan Nero hari ini.
Setelah pemain ditentukan, Pak Gerry kembali mengambil alih perhatian. Dia memilih beberapa orang untuk membantunya menjadi wasit garis, kemudian menyuruh para pemain bersiap di posisinya masing-masing.
PRIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIT
Devon membawa bola, menggiringnya di lapangan rumput. Tim Nero segera bergerak, dua orang berlari di kiri-kanannya. Dengan cepat Devon mengoper ke salah satu temannya dan berlari menghindari dua orang penjaga di belakangnya.
“Hai, Devon,”kata Nero yang berlari ke arahnya.
Bola melayang ke arah Devon lagi, Nero melompat, menerimanya dengan dada dan saat bola itu jatuh, menendangnya ke teman setimnya.
“Bye, Devon,”kata Nero dan berlari ke sisi lapangan yang lain.
Devon mengerjap melihat Nero berlari cepat meninggalkannya di belakang menuju tiang gawang. Nero cepat sekali!!
“Kalian, jaga Nero!” Devon berteriak, mengejar Nero dari belakang.
Bola terbang lagi, menuju Nero yang berlari mendekati daerah pinalti. Dua tim Devon menghadangnya dengan cepat dan bola berhasil ditangkap oleh kipper dan ditendang jauh menuju ujung lapangan yang lain.
Devon berlari mengejar bola yang menuju ke arahnya dan menyundulnya ke teman yang ada di sebelah kiri. Bola itu bergerak ke teman setimnya dan menendangnya ke lapangan. Kipper melompat dan—
DONG!
Penonton kecewa karena bola mengenai tiang gawang.
Permainan dimulai kembali. Kadang-kadang tim Devon yang memegang bola, kadang-kadang tim Nero yang membawa bola. Nero bohong soal dia tak bisa main bola. Anak itu bisa main bola walau tidak mahir. Sering kali bola yang didapatkannya digiring mendekati gawang, tapi dia tak berani menendang dan memberikannya pada temannya yang lain.
Mendekati babak kedua, seluruh pemain sudah berkeringat dan kepanasan. Sinar mentari siang benar-benar menambah suasana riuh yang diberikan penonton. Penonton kedua tim bersorak gila-gilaan begitu bola mendekati lapangan dan ber-buuuuuuuuuuuuu-ria saat bola tak masuk gawang.
“NERO! NEROOOOO!” cewek-cewek pendukung Nero berteriak gila begitu Nero menerima bola dan menggiringnya melewati satu orang… dua orang… tiga orang…
“Hey, hentikan dia!!” kipper dari tim Devon berteriak.
Nero berhenti dan mengoper ke belakang. Bram menerima di belakang sementara Nero berbalik arah ke belakang.
Devon berlari mengejar bola yang digiring Bram. Bram sangat berbahaya jika diberikan bola. Bram merupakan kapten tim sepakbola sekolah. Macannya lapangan. Dan begitu Bram mendapatkan bola, Bram tidak segan-segan langsung menendang ke arah gawang.
“Aaaah!” penontong bersorak saat bola berhasil di tinju kipper.
Bola terbang lagi, melayang… melayang…
BUK!
“GOOOOOL!!”
Penotong menjerit saat Nero menyundul bola. Bola masuk ke sudut kiri gawang.
“YAY!” teman-teman setim Nero berlari ke arahnya dan mengerubutinya. Sambil berteriak-teriak, mereka memeluk Nero, menepuk-nepuk punggungnya, bahkan mengacak-acak rambutnya.
PRIIIIIIIIIIT
“Satu kosong untuk Tim Gabungan 2-1 dan 2-5 melawan 2-3!”
Bola kali ini dipegang oleh Tim Nero. Nero ada di ujung lapangan yang lain. Bram dan teman setimnya memulai kembali permainan. Mereka membawa bola kembali, hanya saja kali ini Devon dengan sigap merebut bola.
“Bagus, DEVON! DEVON!”
“HUUUUUH! NERO!! NERO!!”
“DEVON! DEVOOOOOOOOON!!!”
Penonton menggila di pinggir lapangan. Devon berlari menghindari Nero yang menjaganya dengan ketat di sampingnya.
“Minggir, Nero!” kata Devon.
“Ah, enak saja!” balas Nero.
Devon mengoper pada temannya di sebelah kiri. Nero menoleh jengkel padanya tapi memilih untuk mengejar bola yang sekarang membahayakan gawang mereka. Devon tersenyum puas. Bagus. Akhir-akhir ini Nero tidak lagi mampu mengendalikan wajah super tenang dirinya. Devon nyaris melihat seluruh ekspresi Nero. Ada bagusnya juga Bram menariknya main bola. Inilah cara anak lelaki bermain, bukan hanya dengan memainkan piano. Itu lebih keperempuanan menurut Devon.
“NERO!!” cewek-cewek berteriak lagi saat Nero jatuh terguling saat mendapatkan jegelan keras.
Devon memaki dan berlari ke arahnya.
“Nero!” Bram dan timnya segera mengerumuninya. Pak Gerry berlari di belakang. “Nero! Nero!” Bram yang terlebih dahulu sampai segera berusaha menyadarkan Nero yang tak begerak.
“Apa dia pingsan?” teman setim Devon yang tadi tidak sengaja menjegelnya sekarang mulai cemas dan ketakutan.
“Kau tadi terlalu keras!” kata Bram lagi. “Dia bukan atlit!”
“Ada apa ini?” Pak Garry berjongkok melihat keadaan Nero. “Hey, bawa tandu kema—” Pak Garry berhenti. “Sialan, Anak Muda! Jangan membuat takut kami!” teriaknya jengkel.
Devon dan yang lain jengkel melihat Nero tertawa terbahak-bahak di pelukan Bram yang ketakutan. Ternyata dia cuma pura-pura pingsan.
“NERO! Sialan kau!” kata Bram. “Tidak lucu!”
“Oh, lucu sekali,” kata Nero terbahak-bahak.
“Kembali ke posisi masing-masing!” Pak Garry marah-marah. “Dilarang bercanda di lapangan, Anak Muda. Dan jika kau lakukan lagi, kau akan terkena kartu merah!”
“Maaf, Pak,” kata Nero, masih terkekeh.
Penonton yang sempat panik segera tertawa melihat keusilan Nero. Nero masih saja bisa membuat kejutan walau penonton sudah histeris panik.
Seluruh pemain segera ke posisi masing-masing. Nero segera mengawasi pergerakan Devon.
“Panasnya,” gumam Nero menyeka keringat di dahinya.
“Kau harus terbiasa,” balas Devon dan berlari menghindari Nero. Nero mengejarnya dari belakang. Babak pertama masih ada sekitar sepuluh menit lagi. Mereka masih punya waktu untuk mencetak skor.
Devon mendapatkan bola kembali. Dia membawanya menuju gawang milik tim Nero. Dengan sigap Devon berhasil menghindari beberapa orang dan mengoper kembali bola pada teman setimnya. Nero kembali menjaganya dengan ketat. Harus Devon akui bahwa Nero sangat sigap, cepat dan keras kepala.
“Minggir, Nero,” geram Devon.
“Tidak mau!” balas Nero.
Devon mencengkram kaos Nero, menahan tubuhnya dengan menggunakan tubuh Nero sebagai topangan dan melompat saat bola melayang padanya, menyundulnya ke teman setimnya yang ada di depan.
“Ow! Shit, Devon! You broke my head!” Nero menempeleng kepalanya. Siku Devon tak sengaja mengenai kepala Nero tadi.
“Sorry.”Devon nyengir dan berlari mengejar bola kembali yang sekarang sudah nyaris mendekati lapangan.
Bola itu berhasil melewati garis pinalti. Kiper menjaga di depan gawangnya dengan kedua tangan terbuka lebar, menunggu bola dengan segenap jiwa. Bola ditendang dan penonton menjerit takjub, tapi bola terlalu tinggi dan terpantul ke tiang gawang. Tepat saat itu Devon ada di dekat gawang dan menendang dengan sekuat tenaga. Bola meluncur turun, melesat ke bawah tangan kipper.
“GOOOOOOOOOOOOOOOL!”
Penonton beteriak gila-gilaan.
“Bagus, Devon! DEVON! DEVON!”
“NERO!” suara Bram terdengar dari sisi yang lain. “NERO, BANGUN! INI TAK LUCU! NERO!”
Keriangan gol tadi terhenti menjadi hiruk-pikuk kebingungan. Devon dan yang lain segera mendatangi Bram dan Nero yang masih ada di tengah lapangan. Nero—lagi-lagi—tidur di lapangan rumput dengan posisi yang sama seperti sebelumnya: dipelukan Bram yang mencoba menyadarkannya.
“Nak, kami tak akan tertipu untuk kedua kalinya! Bangun atau kau akan terkena kartu merah,” ancam Pak Gerry. Nada suaranya tidak main-main.
Geez, anak itu. Tak tahukah dia arti kata cukup? Manusia belajar, bodoh. Trik yang sama tak akan berlaku, pikir Devon. Dia maju, memegang kerah baju Nero dan memaksanya untuk duduk.
“Bangun, Nero. Caramu bercanda sama sekali tak lucu.” Devon menggeram jengkel.
Tapi kepala Nero terkulai lemah ke bahu Bram.
“Nero, jika kau tak bangun, aku akan menghajarmu!” kata Devon lagi.
“Pak Gerry!” salah seorang turun dari bangku penonton dan berlari ke arah mereka. “Pak Gerry! Tunggu sebentar! Pergantian pemain!”
“Apa?” Pak Garry terperangah. “Siapa kau?”
“Zoe. Murid baru di kelas 2-2,” jawabnya pelan. Dia menunduk melihat Nero. “Saya akan membawa Nero ke UKS.”
“Nero cuma pura-pura pingsan,” kata Bram.
Tapi Zoe berjongkok, mengalungkan tangan Nero ke lehernya dan menggendongnya ke belakang punggungnya. “Saya akan membawanya ke UKS. Permisi, Pak.”
Zoe berlari, membawa Nero yang tak bergerak keluar dari lapangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar