Selasa, 12 Maret 2013

The Flower Boy Next Door (Debaran Sebelas)


Debaran Sebelas
Jatuh Ke Bumi
1.      Nero K Yudea : 100
2.      Niken Reney : 92
Ini pertama kalinya aku melihat namaku ada di bawah nama seseorang. Hal ini tak pernah terjadi sebelumnya, bahkan sejak aku SD dulu. Rekor juara satuku tak pernah luntur sebelumnya dan kali ini aku melihat bahwa rekor itu berhasil dipecahkan—dengan nilai sempurna yang membuatku bungkam.
Nero, yang saat ini ada di sampingku, juga ikut-ikutan melihat hasil perolehan ujian. Saat aku meliriknya, dia menunduk melihatku. Aku merasa teraniaya karena lebih pendek dari makhluk jangkung ini. Bibirnya tersenyum. Dia akan mengeluarkan kalimat berbisanya.
See, Niken? Aku sudah bilang kalau aku akan mendepakmu dari Juara 1,” Nero tersenyum penuh kemenangan, tampak semakin menyebalkan.
Aku tak bisa membalasnya. Dan tanganku mengepal, berusaha sekuat tenaga untuk tidak kehilangan kendali dan malah meninju wajahnya.
“Dan karena perkataanku selalu terbukti maka tinggal empat minggu lagi untuk meminta pertolonganku,” tambah Nero lagi. Tangannya memainkan dasinya dan matanya mengedip-ngedip lucu. “Sebaiknya kau cari cara untuk membuktikan bahwa kau bisa mendapatkan cowok yang kau taksir itu karena aku sendiri sudah mendepakmu dari singgasanamu.”
Cukup sudah. Tanganku bergerak sendiri, memegang dasinya.
“Aku tak butuh bantuanmu,” kataku geram.
“Oh, kau butuh bantuanku. Cewek galak dihindari cowok, loh.” Nero melirik tanganku, dan perlahan jarinya melepas genggamanku. Masalahnya, cowok menyebalkan itu malah menggenggam tanganku.
“Lepaskan,” bisikku jengkel. Walau begitu, jantungku sendiri berdegup tak karuan. Ini kali kedua dia menggenggam tanganku. Yang menyebalkan, aku belum pernah menggenggam tangan seorang cowok sebelumnya, jadi aku tak tahu harus melakukan apa untuk menyingkirkan tangan Nero.
“Mhm,” gumamnya, masih belum juga melepas genggamannya.
Rahangku mengeras. “Lepaskan atau aku akan meninjumu,” ancamku.
Nero menggeleng-geleng kecil, menunjukan ekspresi kasihan. “Kau tak akan bisa melakukannya, Niken. Kau terlalu mungil untuk menyingkirkanku.” Dan sialnya, itu memang benar.
Tapi aku tak kehilangan akal karena kakiku tiba-tiba bergerak, menendang kakinya.
“Ouch!” Nero refleks menunduk, melepas genggamannya dan mengelus-elus kakinya.
Aku puas sekali melihat wajahnya yang meringis.
“Sekali lagi kau memegang tanganku, aku akan menendang wajahmu!” setelah mengatakan itu, aku pergi sambil memaki-maki dia. Masalahnya, aku malah mendengar tawa Nero di belakang punggungku.
Menyebalkan. Sungguh menyebalkan.
Belum sekelas saja dia sudah menghabiskan nyawaku separuh. Bagaimana jadinya bila nanti dia sekelas denganku?
Tanganku mengepal lagi. Aku tak ingin dia sekelas denganku!
***The Flower Boy Next Door***
Guru Olahraga kelas dua adalah Pak Gerry. Dia berusia tiga puluh tahunan, sudah menikah tapi masih tampil energik dengan pinggang ramping dan kulit kecoklatan. Setiap hari dia mengenakan kaos dan celana training, tak mau repot-repot mendengarkan peraturan sekolah karena menurutnya itu tak penting.
Kali ini, Pak Gerry menggabung siswa kelas 2 untuk bermain bola kaki. Anak laki-laki sudah mengenakan kaos olahraga, sedangkan para siswa wanita memilih untuk menyingkir ke pinggir lapangan dan latihan senam—bersama Bu Shanny.
“Semuanya berbaris,” kata Pak Gerry.
Murid sekolah ini memang tidak sebanyak sekolah lain karena sekolah ini merupakan sekolah pribadi milik salah seorang pengusaha yang sudah kakek-kakek. Oleh sebab itu peralatan sekolah juga tidak selengkap di sekolah lain. Tapi, sekolah ini luas dan sangat menyegarkan dan memang dikondisikan hanya untuk sekolah akademis, bukan sekolah artis.
Nero dan Devon berbaris di bagian kelas masing-masing.
“Hari ini kita akan bertanding bola,” Pak Gerry memulai, berjalan di depan barisan siswanya. “Karena kelas dua ganjil, maka kelas 2-5 akan bergabung dengan kelas 2-1 untuk menguatkan posisi.”
Siswa kelas 2-1 yang memang tampak lemah dibandingkan dengan kelas lain bertepuk tangan sopan.
“Pertandingan akan berjalan selama sepuluh menit untuk setiap babak.” Pak Gerry memulai lagi. “Babak pertama kelas 2-1 dan 2-5 melawan kelas 2-4. Babak kedua kelas 2-2 melawan kelas 2-3. Pemenang dari kedua babak akan bertanding lagi miggu depan. Sekarang, kalian pilih sebelas pemain dari masing-masing kelas dan 5 pemain cadangan. Yang lainnya cheerleader.”
Terdengar protesan dari arah barisan.
“Jangan protes. Waktu kalian sepuluh menit untuk pertandingan pertama.” Pak Gerry menyebrangi lapangan, menuju murid-murid wanita yang saat ini melakukan pemanasan.
Pak Gerry melihat murid-murid wanita dan berbisik perlahan pada Bu Shanny.
Bu Shanny tersenyum sambil mengangguk. “Oke, anak-anak. Kita akan lari keliling lapangan sebanyak dua kali.”
“Hah? Keliling lapangan, Bu?”
“Yaaaaaaaaaah…”
“Huuuuuuu….”
Aku mengeluh. Keliling lapangan? Yang benar saja. Aku paling tidak suka lari.
Pak Gerry mengangguk kecil dan kembali menangani anak laki-laki yang masih berkerumun tak jelas. Dia meniup peluitnya sembari berlari ke arah mereka.
“Tidak ada protes, anak-anak. Karena para cowok memakai lapangan, maka yang kalian lakukan adalah duduk di pinggir lapangan. Setelah melakukan pemanasan, kalian akan berlari bersama dengan sisa anak-anak cowok yang tidak ikutan pertandingan.” Bu Shanny menjelaskan sambil melipat tangan di dada.
Ini membosankan. Berlari bersama anak-anak cowok dari kelas lain benar-benar membosankan.
Tapi, mataku menyipit melihat sosok yang mendekat, kurasa ini akan jadi jam olahraga yang paling buruk karena kerumunan anak cowok yang tidak ikutan bermain bola mendekat. Dan salah satu dari kerumunan itu adalah Nero.
“Eh? Nero kan?” salah seorang anak cewek berjengit melihat Nero yang mendekat.
“Iya, Nero tuh.”
“Nero nggak ikutan main bola?”
“Asyik, nih, kita bisa ngobrol sama dia.”
Aku hanya bisa memutar bola mataku saat Nero berjalan menyebrangi lapangan, menuju cewek-cewek yang tampak senang melihat kedatangannya. Devon ternyata menjadi salah satu anggota yang terpilih karena sosoknya ada di ujung lapangan, melakukan pemanasan untuk babak kedua.
“Nero?” Bu Shanny tersenyum padanya. Senyum cewek-cewek dan senyumku juga menghilang dalam sekejap melihat guru centil itu mendekati Nero. Masalahnya, cowok-cowok di belakang Nero tidak menyadari situasi ini dan malah ikutan terhipnotis pesona Bu Shanny. “Kenapa kamu tidak ikutan main bola?”
Nero balas tersenyum kecil, membuat cewek-cewek di belakangku mendesah bahagia. “Posisi bangku cadangan dan pemain sudah penuh, Bu.”
“Oh, begitu,” kata Bu Shanny, mengedip-kedipkan matanya.
Aku paling, paling, paling, paliiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiing nggak suka ada seorang guru menggoda muridnya.
Nero memiringkan kepalanya, tertawa kecil dan berkata, “Matanya kenapa, Bu? Kelilipan?”
Perkataan Nero segera membuat cewek-cewek menahan tawa. Wajah Bu Shanny memerah dengan cepat, dia menggeleng gugup dan buru-buru menghentikan aksinya untuk menggoda Nero, yang sudah pasti dia sadari nggak bakal berhasil.
“Anak-anak, sekarang kalian sudah bisa lari keliling lapangan,” kata Bu Shanny sambil menepuk tangannya, menyuruh kami agar cepat bergerak. “Ayo ayo ayo lari keliling lapangan dua kali.”
Aku segera beranjak dan berlari terlebih dahulu. Nero menyusulku dari belakang. Hanya dalam waktu sebentar saja, dia sudah berlari di sampingku.
“Hai, Niiiiken,” katanya sambil mengedipkan salah satu matanya.
“Apa?” kataku terlalu jengkel padanya.
“Galak amat,” Nero pura-pura merengutkan bibirnya, setelah itu wajahnya kembali tersenyum. “Niken, ayo lari denganku.”
Aku terlalu sebal untuk menjawab.
“Ah, kau takut,” katanya sambil mengangguk-angguk kecil.
Dengan cepat kupelototi dia, tanpa diduga, aku menambah kecepatan berlariku, meninggalkan dia di belakang. Persetan dengan tata krama. Aku sama sekali tak ingin mendengar kata-katanya dan sama sekali tak ingin berlari bersamanya.
Tapi Nero berhasil menyusulku. “Kau cepat sekali, Niken.”
Aku menambah kecepatanku lagi. Kali ini dia menyusul sedikit lebih lama, mungkin sedikit terkejut dengan kecepatan tak terdugaku.
Nero berhasil menyusulku dari belakang.
Bye, Niken,” katanya dan melewatiku.
Uuuuuuuuuuuurgh! Menyebalkan!
Kakiku berlari lagi. Lebih cepat. Seperti seorang pelatih marathon professional, aku mengejarnya dari belakang. Nero menoleh padaku. Wajahnya basah karena keringat, napasnya tersentak perlahan tapi tak bisa dipungkiri ada kekaguman dan keterkejutan yang ditunjukannya padaku.
Haha! Aku juga bisa mengerjarmu kalau cuma segini! Biar bagaimanapun, aku pernah menang dalam kejuaran marathon tingkat kota!
Tidak mau kalah, Nero menambah kecepatannya. Aku juga tak mau kalah dan menyusulnya lagi dan lagi. Akhirnya, kami malah berlari gila-gilaan selama tiga putaran penuh sampai akhirnya kami tiduran di rumput karena kelelahan.
“Hahaha, itu tadi menyenangkan,” Nero tergelak-gelak.
“Ya, benar,” kataku.
Aku belum pernah berlari seperti itu sejak SD. Napasku terasa sesak dan keringatku mengucur deras. Tapi anehnya, aku merasa senang dan ringan sekali.
Kutatap langit biru di atas. Awan putih melukiskan bentuk-bentuk cantik dengan indah. Suara-suara dukungan terdengar menjauh di telingaku, merasakan ketenangan di dekatku. Saat aku menoleh, melihat sosok yang saat ini tergeletak di sampingku, aku terpana.
Nero tidur di sampingku dengan wajah melihat langit. Matanya tertutup sementara keringat perlahan-lahan menetes dari wajahnya yang pucat. Sebuah senyuman tersungging di bibirnya yang manis. Aku juga dapat melihat bulu matanya yang panjang. Bagaimana hidungnya terbingkai dengan indah. Kulitnya tampak bersinar dan memerah karena selesai berlari. Namun, terlebih daripada itu, Nero tampak…
DUK
“Oooow!” aku memegang kepalaku yang terhantam sesuatu dengan keras.
Nero melonjak kaget dan buru-buru terduduk.
“Niken, nggak apa-apa?” kata Nero.
Suara-suara langkah kaki terdengar mendekat.
“Hey kalian! Kalau main bola, kira-kira dong mau menendang kemana!” kata Nero jengkel.
“Sori, Nero. Bukan kita yang menendang, tapi Devon.”
Devon? Sialan! Devon pastilah sengaja menendang bola sepak itu ke wajahku! Aku menggerutu dalam hati.
“DEVON!” Nero meraung marah. “MINTA MAAF!”
Entah apa yang terjadi di lapangan, aku tak tahu, aku merasakan semuanya gelap dan berputar-putar. Loh? Loh?
***The Flower Boy Next Door***
Aku mendengar suara-suara di dekatku saat aku mencoba membuka mataku yang terasa berkunang-kunang.
“Look, I’m sorry, oke?”
“Don’t sorry me, A-hole.”
Kepalaku terasa berat sekali.
“Nero, I didn’t expect that ball will hit her. I’m sorry.”
“She’s the one that got your ball.”
“Aku nggak apa-apa kok,” kataku tiba-tiba.
Nero dan Devon ada di sisi tempat tidurku. Nero mencengkram kaos Devon, tampak marah. Tapi wajahnya berubah menjadi tenang kembali saat melihatku baik-baik saja dan sudah sadar.
“Niken, nggak apa-apa?” kata Nero. Aku mengangguk perlahan. “Coba beritahu berapa ini?” katanya menunjukan dua jari.
“Untuk apa itu?” kataku sebal.
Nero nyengir lebar saat menjawab. “Supaya aku tahu kalau otakmu nggak kenapa-napa.”
“Nero,” geramku.
“Berapa, Niken?” katanya menggoyang-goyangkan kedua jarinya ke depan wajahku.
“Dua. Menyingkirlah dariku,” gerutuku. “Mana kacamataku?”
Nero melirik Devon. Devon mendesah.
“Sori, Niken. Kacamatamu pecah,” ucapnya pelan. “Aku tak sengaja menginjaknya saat Nero berusaha membawamu ke UKS.”
Saat aku melirik Nero, Nero berkata, “Aku tidak membawamu seperti Putri, kok. Aku membawamu seperti karung beras yang berat sekali. Di sini.” Salah satu tangannya menepuk-nepuk bahu.
Aku melotot, memandang Devon yang menggeleng.
“Itu tak benar. Dia membawamu seperti seorang pengantin wanita yang dibawa ke kamar pengantin. Percayalah padaku.” Devon menyela dari tempatnya. “Ouch! Sakit tahu!” katanya lagi saat Nero menyikut perutnya.
Nero tersenyum lagi. Untunglah dia tak membahas masalah itu lebih lanjut. “Kau tak apa-apa? Devon akan mengganti kacamatamu jika kau mau nanti.”
Aku menggeleng cepat. “Tidak usah. Aku juga tak butuh kacamata itu.”
Nero mengangguk kecil. “Jika kau butuh istirahat. Kau bisa istirahat sekarang, Niken.”
Aku segera bangkit. Nero buru-buru memegangi tanganku di sebelah kanan dan Devon di tangan yang lain. Mereka sepertinya takut aku akan jatuh kemudian pingsan lagi.
“Aku nggak apa-apa, oke?” kataku menyingkirkan kedua tangan mereka.
Tepat saat itu, Kak Vion masuk ke dalam UKS. Wajahnya tampak khawatir, tapi lega begitu melihat kalau aku baik-baik saja.
“Niken, aku dengar kalau kau pingsan. Aku khawatir sekali.” Ooooh, Kak Vion… mungkinkah kau menguatirkanku? Itu berarti aku memiliki harapan kan?
Nero menaikan alis. “Sebaiknya kami segera pergi.”
“Kalian mau kemana?” kata Kak Vion cepat. “Aku ikut.” Lalu runtuhlah harapanku.
Devon menyingkiran Kak Vion dari pintu masuk dan menarik Nero. “Nikmati harimu, Vion. Dan Niken, aku minta maaf soal hari ini. Tak akan terulang lagi. Janji.”
Nero tersenyum sambil memain-mainkan alisnya, mengikuti Devon yang menyeretnya sebelum keluar dari UKS.
“Kenapa mereka berdua?” Kak Vion terheran-heran.
“En-entahlah,” gumamku.
Kak Vion menatapku selama beberapa detik. Aduh… aku benar-benar tak tahan. Matanya teduh sekali.
“Sepertinya kau jadi sangat sibuk karena gosip itu ya?” tanyanya. “Maaf, ya, Niken. Kau jadi harus mengawasi semuanya sendiri.”
“Oh, nggak apa-apa kok.” Aku tergagap. Aku tak pernah merasa menyesal melakukan apapun itu yang bisa membuatku dekat dengannya.
“Hmm, Niken memang baik hati. Kau ingin aku mengantarmu ke kelasmu?”
“Oh, nggak usah.”
Dan aku menyesal karena langsung menjawab. Kak Vion mengangguk penuh pengertian dan pergi begitu saja.
***The Flower Boy Next Door***
Saat jam makan siang, aku keluar kelas, menghindari bisik-bisik tidak menyenangkan dari murid-murid menyebalkan karena masalah di lapangan. Kadang kala gosip mereka membuatku jengkel. Apa mereka tak bisa mencari gosip yang lain selain mengenai aku? Apa sih masalah mereka? Nggak bosan ya membicarakan hal yang sama setiap hari.
“Niken,” Devon menegurku. Dia bersama Kak Vion. “Kau melihat Nero?”
Aku segera menggeleng. “Bukankah dia selalu ada di Bukit Hijau?” Sejak Nero datang, Bukit Hijau mulai diminati oleh para siswa dan siswi. Mungkin mereka sedang mencoba untuk bergabung dengan 3 Hot Guys yang terkenal.
“Dia tak ada di sana,” kata Kak Vion. “Kita cari ke tempat lain.”
Lalu mereka berlalu begitu saja. Aku cuma dapat melihat mereka berdua keheranan dari belakang. Mereka berdua benar-benar terikat pada Nero. Aku sama sekali tak mengerti bagaimana Nero bisa membuat mereka berjalan berdua tanpa saling bunuh hanya untuk mencari Nero.
Yang benar saja. Kemana sih Nero? Dia melarikan diri kemana lagi? Jangan bilang dia memanjat tembok sekolah dan kabur begitu saja.
Begitu pikiran itu melintas, aku langsung merasa ngeri. Mungkin saja dia memang bolos.
Cepat-cepat, aku ikutan mencari Nero ke seluruh penjuru sekolah. Jika Nero memang coba-coba bolos maka aku akan segera memberinya talak. Seorang juara satu tidak boleh memberikan contoh buruk bagi seluruh siswa yang lain. Dan hal itulah yang membuatku berat merelakan juara satuku diambil Nero, karena aku tahu bahwa Nero tak akan memberikan contoh yang baik.
Tapi dia tak ada di manapun. Devon dan Kak Vion benar. Mereka juga tak bisa menemukan Nero. Kabur kemana sih Nero?
“Haaah,” suaraku mendesah, berjalan perlahan melewati lantai dua dan dahiku mengerut melihat pintu Ruang Musik tidak tertutup sempurna. Tidak pernah ada seorang pun yang masuk ke ruang musik selain jam pelajaran.
Tanganku terangkat perlahan, membuka pintu yang berderit. Saat aku masuk, aku melihat Nero, tengah menunduk ke balik piano dan wajahnya terkejut melihatku.
Ternyata dia ada di sini.
“Niken,” katanya agak sedikit jengkel. “Jangan membuatku kaget!”
“Kau sedang apa? Devon dan Kak Vion mencarimu,” kataku melangkah mendekatinya.
“Aku sedang memperbaiki piano. Suaranya sumbang,” jawab Nero, lalu menekan tuts-tuts yang memang terdengar sumbang. Dia berputar lagi ke balik piano kotak itu dan melakukan entah apa. “Niken, coba tekan tutsnya supaya aku tahu bunyinya.”
“Biarkan saja guru yang memperbaiki.” Aku duduk di depan piano, menekan tuts sesuai permintaan Nero.
“Jika harus menunggu mereka, maka aku yakin bahwa piano ini akan selesai diperbaiki bulan depan,” kata Nero dari belakang. “Tekan lagi, Nik.”
Deng deng deng.
Aku menuruti perkataan Nero tiap kali dia memerintahkan untuk menekan tuts. Selama setengah jam, kami berusaha sekuat tenaga untuk mendengarkan bunyi tuts, sampai kemudian terdengar suara ting ting ting yang indah di semua tuts.
“Wow,” kataku terkesan. “Suaranya jadi lebih bagus.”
“Kau sekarang bisa memainkannya, Niken,” kata Nero, berputar dari tempatnya dan duduk di sebelahku.
“Aku tak bisa memainkan piano,” dan itu memang benar.
“Hmmm,” Nero manggut-manggut. “Kalau begitu, sebagai ucapan terimakasihku karena mau membantuku membetulkan piano, aku akan memainkan satu lagu untukmu.”
Alisku menaik. “Ini tak akan menyita waktu kan?”
Nero tertawa. “Tidak. Ini akan sebentar.” Dia menggulang lengan bajunya, meremas jari-jarinya dan menggoyang-goyangkannya di udara. “Ini pemanasan, Niken.” Nero menjelaskan lagi saat aku menatap tingkahnya dengan keheranan. “Supaya jariku tak kaku menekan tuts piano.”
“Oh,” kataku tak bisa berkata apa-apa. “Kau akan memainkan apa?”
“Kau dengarkan saja.”
Nero meletakan jemarinya di atas tuts putih piano dan dalam sekejap nada-nada cepat seperti air mengalun lembut, memecah kesunyian di ruangan itu dengan sangat luar biasa. Nada-nada indah itu keluar dari piano yang kami berikan, seperti sebuah kristal, sehingga aku merasa terbawa dalam alam mimpi.
Aku menatap Nero dengan tak percaya lalu ke arah jemarinya yang lincah, menciptakan bunyi-bunyi indah yang tidak berhenti seperti simfoni dari surga. Luar biasa. Aku tak bisa berhenti melihat terkagum-kagum bagaimana Nero memainkan piano itu sehingga menghasilkan sebuah musik yang—walau aku tak kenal—tapi membuat hatiku tenang, seolah aku disapa oleh keajaiban.
Lembut… dan menggema…
Dan aku belum puas saat lagu itu berakhir dengan lembut dan memukau, bahkan di saat terakhir.
Sh*t, Nero. Kau memainkan Un Suspiro dengan sempurna,” kata Devon.
Pintu ruang musik sudah dipenuhi dengan guru dan beberapa siswa yang terkagum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar